4. وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ
walal-aakhiratu khayrun laka mina al-uulaa
“Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan”
Tafsir Surat Adh-Dhuha Ayat-4
Yaitu bahwa sesungguhnya yang terakhir itu bagi Nabi lebih baik daripada yang awal. Kata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, ini adalah dalil bahwasanya Rasulullah setiap saat tingkatannya naik, apa yang telah berlalu tingkatannya lebih rendah dari apa yang akan datang. Semakin berjalannya waktu, maka semakin tinggi kedudukan Nabi di sisi Allah dan semakin dekat dengan Allah. Sehingga kedudukan Nabi di sisi Allah menjadi sempurna tatkala meninggal dunia. Oleh karena itu, kedudukan Nabi setelah meninggal dunia lebih afdhal daripada sebelum meninggal dunia. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 928)
Namun hal ini tidak melazimkan bahwa keadaan Nabi yang telah meninggal dunia menjadikan doa itu lebih mustajab jika meminta kepada beliau agar berdoa kepada Allah. Bahkan bukan saja anggapan itu yang ditutup oleh para sahabat, tetapi lebih dari itu untuk meminta berdoa tanpa ada anggapan seperti itu pun tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, karena mereka menganggap itu tidak berguna. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab, ketika di zaman kekhalifahannya terjadi musim paceklik. Beliau tidak mendatangi kuburan Rasulullah, akan tetapi beliau mendatangi Al-Abbas yaitu paman dari Nabi. Umar meminta kepada pamannya Nabi agar berdoa. Umar berkata, “Kami dahulu ketika Nabi masih hidup maka kami bertawassul dengan Nabi, akan tetapi sekarang kami bertawassul dengan doanya paman Nabi”. Mengapa Umar bin Khatthab meninggalkan Nabi kemudian menuju kepada pamannya Nabi padahal kedudukan Nabi setelah meninggal lebih baik dibanding sebelum meninggal? Tidak lain karena Nabi setelah meninggal dunia tidak bisa dimintai untuk berdoa kepada Allah. Sehingga Umar pergi ke pamannya Nabi yang masih hidup, yang mana beliau juga merupakan orang shaleh agar mendoakan kaum muslimin yang tertimpa musim paceklik kala itu.
Inilah syubhat yang sering dilontarkan oleh banyak orang, mereka pergi ke orang mati yang semasa hidupnya shaleh atau kepada para syuhada lalu minta kepada mereka. Padahal sebaliknya, justru merekalah yang butuh terhadap doa orang yang masih hidup. Ketika terjadi perang Mu’tah, Rasulullah tidak ikut dalam peperangan tersebut dan mengirimkan Zaid Bin Haritsah sebagai panglima perang. Abu Qatadah menceritakan bahwa ketika Rasulullah naik ke mimbar, beliau bersabda:
إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا فَلَقَوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ
“Mereka berangkat sampai bertemu musuh. Kemudian Zaid gugur sebagai syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya,” lalu kaum musliminpun memintakan ampunan untuknya. (HR 22551)
Beliau mati dalam keadaan syahid akan tetapi Nabi tetap memerintahkan agar para sahabat mendoakannya, karena dia butuh terhadap doa orang yang masih hidup, bukan malah sebaliknya. Itulah tujuan sebenarnya dari ziarah kubur, salah satunya untuk mendoakan orang yang dikubur tersebut. Selain tujuan lain yaitu mengingat mati dan kehidupan akhirat. Barang siapa yang berziarah ke kuburan bukan dengan tujuan ini berarti tujuannya keliru.