11. وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
wa-ammaa bini’mati rabbika fahaddits
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”
Tafsir Surat Adh-Dhuha Ayat-11
Ada tiga pendapat tentang yang dimaksud dengan nikmat dalam ayat ini (lihat Zaadul Masiir 4/459):
- Nikmat kenabian, sehingga makna nyatakanlah yaitu serulah manusia untuk mengimani kenabianmu
- Nikmat al-Qur’an, sehingga maknanya yaitu bacakanlah al-Qur’an kepada manusia
- Nikmat secara umum
Pendapat ketiga didukung secara bahasa, karena kalimat نِعْمَةِ رَبِّكَ tersusun dari isim mufrad yang diidhafahkan kepada isim ma’rifat, menurut kaidah ushul fikih, susunan ini memberi faedah keumuman. Sehingga meskipun نِعْمَةِ menggunakan isim mufrad (tunggal) tetapi tetap bermakna nikmat-nikmat Allah seluruhnya. Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba mengingat-ingat atau menyebut-nyebut nikmat Allah yang diberikan kepadanya, baik itu nikmat agama maupun nikmat dunia.
Lantas bagaimana bentuk mengamalkan “menyebut nikmat”?. As-Sam’aani rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan ada dua cara, (1) dengan menunjukan rasa syukur, dan (2) dengan menyceritakannya kepada orang-orang yang tsiqoh/terpercaya/amanah (lihat tafsir As-Sam’aani 6/246)
Dengan demikian diantara bentuk menyebut nikmat Allah adalah bersyukur dengan nikmat Allah. Tidak sebagaimana sebagian orang yang kufur kepada nikmat Allah dan selalu menggambarkan dirinya di hadapan orang lain sebagai orang yang kekurangan, agar orang lain tidak minta-minta kepadanya atau agar orang lain mengasihaninya. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melihat ada seseorang yang memakai baju yang lusuh, beliau bersabda:
فَإِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ أَثَرُ نِعْمَةِ اللَّهِ عَلَيْكَ وَكَرَامَتِهِ
“Jika Allah memberimu harta maka tampakkanlah wujud dari nikmat-Nya dan pemberian-Nya itu pada dirimu.” (HR Abu Daud no. 4064)
Hendaknya seseorang menampakkan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Namun bukan berarti menunjukkannya dalam rangka untuk sombong dan berbangga-banggaan, akan tetapi sewajarnya. Dengan memakai pakaian yang bagus dan bersih, dengan memakai kendaraan yang wajar, bukan pakaian yang sangat mewah atau kendaraan yang sangat mewah dalam rangka untuk sombong dan berbangga-banggaan.
Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa diantara bentuk bersyukur dengan menyebut-nyebut nikmat bisa diwujudkan melalu hati, lisan, dan anggota badan. Dengan hati kita mengingat dan mengakui bahwasannya semua kenikmatan yang kita rasakan berasal dari Allah. Diri kita tidak punya andil dalam mendatangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Janganlah dia bersikap seperti perkataan Qorun yang merasa punya harta banyak karena ilmu yang dimilikinya.
Setelah kita mewujudkan melalui pengakuan hati, selanjutnya kita ucapkan dengan lisan. Diantaranya dengan mengucapkan “alhamdulillah” atau ucapan-ucapan pujian lainnya. Dan diantara bentuk lain dari bersyukur dengan lisan adalah menyebutkannya kepada orang lain bahwasanya kita baru saja mendapatkan manfaat atau kemudahan-kemudahan dari Allah. Namun sebaiknya kita hanya menceritakannya kepada orang-orang terdekat atau orang-orang yang kita percayai saja, atau kita menceritakannya dalam konteks umum tanpa memberitahukan secara detail nikmat apa yang baru saja kita peroleh. Hal ini untuk menghindarkan diri kita dari hasad yang bisa jadi muncul dari orang yang tidak suka. Itu diantara bentuk bersyukur dengan lisan yaitu menyebut-nyebut nikmat kepada orang lain. Namun kita harus berhati-hati, mengikhlaskan niat, dan menghindarkan diri dari sombong, riya’, dan pamer.
Setelah kita mewujudkan melalui ucapan di lisan, selanjutnya kita tampakkan pada anggota badan. Diantaranya dengan memakai pakaian-pakaian yang bersih dan bagus, yang tidak sampai pada derajat berlebihan dan bermewah-mewahan. Diantara bentuk bersyukur kepada Allah dengan anggota badan adalah dengan shalat. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, lalu ‘Aisyah bertanya, “Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab,
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur.” (HR Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820)
Demikianlah seharusnya seorang muslim ketika mensyukuri nikmat-nikmat Allah pada dirinya. Dia mensyukurinya melalui hati, lisan, dan anggota badan. Karena kebanyakan manusia tidak bersyukur. Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba’ : 13)
Mereka tidak berterima kasih kepada Allah, akan tetapi justru kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Dia tidak merasa cukup, dia selalu melihat ke atas, sehingga menghilangkan rasa syukurnya kepada Allah. Karena itu, hendaknya kita menghiasi diri kita dengan sifat qanaah dan selalu merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Nabi bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini akan menjadikan kalian tidak merendahkan nikmat Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.” (HR Muslim No. 2963)
Jika masalah agama maka lihatlah ke atas dan jangan melihat ke bawah. Adapun dalam masalah dunia maka lihatlah ke bawah dan jangan lihat ke atas. Dan barang siapa yang memiliki sifat qanaah maka dia akan hidup dengan tenteram. Penyair berkata:
إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ….. فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ
Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah
Maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sehingga bahagia tidak harus memiliki harta yang banyak, tetapi yang terpenting adalah qanaah, manerima pemberian Allah.