Zakat Harta Sewa yang Menjadi Hak Milik (IMBT)
Definisi
Akad menyewa suatu barang dan berakhir menjadi hak milik merupakan akad yang ada pada zaman sekarang ini.([1]) Banyak pembahasan, karya-karya ilmiah, dan fatwa-fatwa ulama kontemporer yang membahasnya sesuai dengan kaidah syariat. Tidak ditemukan dalam kitab-kitab ulama terdahulu mengenai akad sewa-menyewa yang berakhir menjadi hak milik. Akan tetapi ulama-ulama pada masa sekarang telah membahasnya.
Definisi dari bab ini adalah kepemilikan suatu manfaat berupa barang dalam masa tertentu dan berakhir dengan kepemilikan zat barang tersebut. ([2])
Di Indonesia transaksi ini disingkat dengan IMBT (Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit Tamlik). Artinya adalah akad sewa yang dilakukan antara pemilik barang/pemberi sewa (mu’jir) dengan penyewa barang (musta’jir) disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa kepada penyewa setelah masa akad ijarah.([3])
Secara global akad ini merupakan akad sewa menyewa antara pihak pemilik barang dengan pihak penyewa, di mana uang sewanya dibayarkan dengan berangsur dalam masa tertentu, dan berakhir dengan kepemilikan barang bagi pihak penyewa dengan akad baru, dengan harga yang telah disepakati antara keduanya, atau tanpa harga sekalipun.([4])
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa akad ini memiliki beberapa gambaran, di antaranya:
- Akad sewa menyewa yang diiringi dengan memberikan (hibah) barang yang disewakan kepada penyewa di akhir masa sewa, dan penyewa memiliki barang tersebut tanpa harga atau biaya yang lain, cukup dengan biaya angsuran yang telah dibayarkan sebelumnya.
- Akad sewa menyewa yang diiringi dengan akad jual beli barang yang disewakan kepada penyewa setelah masa sewa menyewa selesai. Jadi penyewa nantinya akan memiliki barang yang disewa dengan harga yang sesuai dengan barang tersebut.
- Akad sewa menyewa yang disertai dengan opsi jual beli atau hibah yang diajukan oleh pemilik barang kepada penyewa di akhir waktu sewa menyewa. Jadi, di akhir masa sewa menyewa tersebut, penyewa diberikan opsi untuk memiliki barang yang disewa dengan akad jual beli yang baru, atau tidak memilikinya.([5])
Zakat Harta Sewa Yang Menjadi Hak Milik
Dr. Abdullah bin Manshur Al-Ghufaili mengatakan bahwa dengan beragamnya gambaran akad ini, para ulama ahli fikih pun berbeda pendapat tentang zakat dalam masalah ini, hal itu disebabkan bervariasinya bentuk akad tersebut.([6])
Namun, beragamnya bentuk akad tersebut tidaklah mempengaruhi hukum zakat harta bagi pemberi sewa. Karena pemberi sewa merupakan pemilik barang yang disewakan, baik akadnya sah atau tidak. Maka, hukum zakat pada masalah ini sama halnya dengan hukum zakat mustaghalat.([7])
Wajib hukumnya bagi pemberi sewa untuk mengeluarkan zakat dari hasil barang yang telah disewakannya, yaitu berupa upah/angsuran-angsuran yang telah dibayarkan penyewa dan diterima oleh pemberi sewa serta mencapai haul-nya. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran dari penyewa, maka hendaknya pemberi sewa menentukan waktu tertentu untuk mengeluarkan zakatnya setelah terkumpul hasil dari angsuran-angsuran yang telah dibayarkan. ([8])
Footnote:
__________
([1]) Sejarah akad ini dikenal pertama kali pada tahun 1846 M di Inggris. Dimulai pertama kali oleh seorang pedagang alat-alat musik di Inggris. Ia menyewakan alat musiknya dengan diikuti pemberian hak milik barang kepada penyewa ketika pembayaran uang sewanya berakhir. Setelah itu, praktik akad semacam ini meluas dari sekadar level individu, menjadi level pabrik dan instansi. Pabrik pertama yang menerapkannya adalah pabrik bernama “Singer”, yang merupakan penyedia alat-alat jahit di Inggris. Kemudian akad ini tersebar dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik. Kemudian setelah itu tersebar luaslah akad ini ke seluruh penjuru dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953 M. Lalu memasuki Perancis pada tahun 1962 M. Hingga akhirnya memasuki negara-negara Islam dan Arab pada tahun 1397 H. [Lihat: Al-Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik fii Dhau’ al-Fiqh al-Islamiy, karya Khalid Abdullah Al-Hafiy, (hlm. 49)].
([2])Al-Ijarah Al-Muntahiy Bit Tamlik karya As-Syadzili, Majallah Majma’ Al-Fiqh Al-Islamiy Li Munaddzamati Al-Mu’tamar Al-Islamiy (5/2110).
Berikut beberapa definisi akad ini menurut para ulama kontemporer:
- Akad yang dilakukan oleh dua belah pihak, salah satunya merupakan mu’jir (pemilik barang), yaitu pihak yang menyewakan suatu barang tertentu dengan mendapatkan upah atau bayaran dari musta’jir (penyewa) dengan cara mengangsur dalam waktu tertentu, kemudian kepemilikan barang berpindah kepada pihak penyewa ketika membayar angsuran terakhir dengan akad baru. [Al-Ijaarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik fii Dhau’ al-Fiqh al-Islamiy, karya Khalid Abdullah Al-Haafiy, (hlm. 60)]
- Kesepakatan dari kedua belah pihak, yaitu mu’jir (pemilik barang) dan musta’jir (penyewa barang) untuk waktu tertentu dengan imbalan upah yang telah disepakati -bisa jadi melebihi dari upah asal- dan berakhir dengan kepemilikan barang kepada pihak penyewa. [Lihat: Al-Ijarah Wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah karya Al-Qaradaghi, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islamiy (1/477)].
- Akad sewa yang diiringi dengan janji kepemilikan barang yang disewakan kepada pihak penyewa pada akhir masa sewa atau pertengahannya, disertai dengan kepemilikan penuh dengan salah satu mi’yar (aturan) yang telah dijelaskan, yakni ijarah a’yan ijarah tasyghiliyyah atau ijarah muntahiyyah bit tamlik. [Lihat: Al-Ma’ayir as-Syar’iyyah li Hai’ah al-Muhasibah wa al-Muraji’ah li al-Muassasat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (hlm. 242)].
([3])) Lihat: Fatwa DSN MUI No 27/DSN-MUI/III/2002 perihal IMBT (Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik).
([4])) Lihat: At-Ta’jir Al-Muntahiy Bit Tamlik karya DR. Salman Ad-Dakhil (hlm. 19) dan Al-Ijaarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik fii Dhau’ al-Fiqh al-Islamiy, karya Khalid Abdullah Al-Haafiy (hlm. 48).
([5])) Lihat: At-Ta’jir Al-Muntahiy Bit Tamlik hlm. 19 dan Al-Ijaarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik fii Dhau’ al-Fiqh al-Islamiy (hlm. 105).
([6])) Disebutkan dalam keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamiy di antaranya, adalah:
- Ketentuan akad yang diperbolehkan:
- Hendaknya dua akad terjadi dengan terpisah, masing-masing berdiri sendiri, baik transaksinya maupun waktunya. Yaitu dengan melangsungkan transaksi akad jual beli setelah selesai dari transaksi sewa menyewa, atau adanya perjanjian kepemilikan di akhir masa sewa dan hak memilih (khiyar) setara dengan janji (kepemilikan) tersebut secara hukum.
- Sewa menyewa tersebut benar-benar ada atau terjadi (fi’liyyah) bukan semata sebagai kamuflase (satirah) jual beli.
(Maksudnya : harga sewa memang benar-benar harga sewa bukan harga jual yang biasanya jauh lebih mahal-pen)
- Jaminan (dhaman) barang ditanggung oleh pihak pemilik barang dan bukan pihak penyewa, dengan syarat kerusakan tidak disebabkan oleh pihak penyewa. Begitu juga halnya, bagi penyewa tidak diwajibkan mengganti apapun jika barang yang disewa telah hilang manfaatnya.
- Apabila akad tersebut berkaitan dengan mengasuransikan barang yang disewakan maka hendaknya asuransi tersebut berbentuk asuransi tolong menolong (ta’awuni) sesuai syari’at, dan tidak berbentuk asuransi konvensional (ribawi). Dan yang bertanggung jawab untuk membayar adalah pemilik barang tersebut atau pemberi sewa, bukan penyewa.
- Hendaknya selama masa penyewaan yang diterapkan adalah aturan/hukum sewa, dan ketika pemindahan hak milik barang tersebut yang diterapkan aturan/hukum jual beli.
- Biaya pemeliharaan yang tidak berkaitan dengan operasional barang dibebankan kepada pemilik barang atau pemberi sewa bukan kepada penyewa.
- Ketentuan yang tidak diperbolehkan adalah melangsungkan dua akad yang berbeda (yaitu sewa menyewa dan jual beli) pada barang yang sama dan di waktu yang sama.
[Lihat: Majallah Majma’ Al-Fiqh Al-Islamiy Li Munaddzamati Al-Mu’tamar Al-Islamiy (12/460)].
([7]) Zakat Mustaghalat adalah zakat yang diambil dari harta yang tidak untuk dijualbelikan atau diperdagangkan, melainkan dari harta yang diniatkan untuk diperbanyak, atau dikembangkan dan diambil manfaatnya atau hasilnya dengan dijual atau disewakan. [Lihat: Ahkam wa Fatawa az-Zakat wa an-Nudzur wa al-Kafarat (hal.73)].
([8]) Nawazil az-Zakah, karya DR. Abdullah bin Manshur Al-Ghufailiy (hlm. 312).