Yang Berhak Menerima Zakat #1
(Fakir dan Miskin)
Definisi
- Fakir
Secara bahasa, fakir adalah lawan dari kaya. ([1]) Adapun secara istilah disebutkan oleh Syaikh Sa’id al-Qahthani,
هُمْ مَنْ لَا يَجِدُوْنَ شَيْئاً مِنْ الكِفَايَةِ مُطْلَقاً، أَوْ يَجِدُوْنَ بَعْضَ الكِفَايَةِ دُوْنَ نِصْفِهَا، مِنْ كَسْبٍ وَغَيْرِهِ.
“Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak memiliki penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan mereka, atau memiliki penghasilan yang hanya dapat memenuhi kekurangan dari setengah kebutuhan mereka, baik dari hasil usaha sendiri, atau jalur lainnya.” ([2])
- Miskin
Pengertian miskin secara bahasa dikatakan oleh Ibnu al-Atsir,
“Di dalam hadis sering disebutkan kata مِسْكِيْنٌ, مَسَاكِيْنُ, dan التَّمَسْكُنُ. Semuanya berkisar pada makna tunduk, hina, sedikit harta, dan kondisi yang buruk. اسْتَكَانَ artinya dia tunduk, مَسْكَنَةٌ artinya kefakiran jiwa, dan seseorang dikatakan تَمَسْكَنَapabila ia menyerupai مَسَاكِيْنُ (orang-orang yang miskin), jamak dari مِسْكِيْنٌ, yang artinya tidak memiliki apa-apa atau hanya sebagian harta. Ia juga bisa bermakna kelemahan.” ([3])
Adapun secara istilah adalah orang yang memiliki penghasilan yang dapat memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhannya, namun tidak menutupi seluruh kebutuhannya, baik ia peroleh dari hasil usahanya ataupun dari jalan lain.” ([4])
Syarat bagi fakir dan miskin yang berhak mendapatkan zakat
- Muslim.
- Merdeka (bukan budak), karena dia dicukupi oleh tuannya.
- Tidak memiliki kecukupan.([5])
Kadar zakat yang diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin
Kadar maksimal yang diberikan kepada para fakir miskin adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya/nafkahnya selama 1 tahun penuh, bagi dirinya dan orang-orang yang ditanggungnya.([6])
Permasalahan-permasalahan :
Memberikan zakat kepada orang yang masih sehat akan tetapi ia fakir
Jika ada seseorang yang dia masih sehat badannya, akan tetapi dia fakir, apakah dia termasuk orang yang berhak untuk mendapatkan zakat?
Dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah bahwa orang yang seperti ini masih berhak mendapatkan zakat, beliau berkata,
وَإِنْ كَانَ الرَّجُلُ صَحِيحًا جَلْدًا، وَذَكَرَ أَنَّهُ لَا كَسْبَ لَهُ، أُعْطِيَ مِنْهَا، وَقُبِلَ قَوْلُهُ بِغَيْرِ يَمِينٍ، إذَا لَمْ يُعْلَمْ يَقِينُ كَذِبِهِ، وَلَا يُحَلِّفُهُ؛
“Jika ada seorang lelaki sehat nan kuat, dan ia mengakui bahwa dia tidak memiliki penghasilan, maka ia diberikan zakat, dan ia tidak perlu dimintai sumpah seputar pengakuannya tersebut, selama ia tidak tampak jelas berdusta.”
Setelah itu, beliau membawakan dalil tentang hal ini yaitu berdasarkan hadis ‘Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyaar,
أَخْبَرَنِي رَجُلَانِ: أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، وَهُوَ يُقَسِّمُ الصَّدَقَةَ، فَسَأَلَاهُ مِنْهَا، فَرَفَعَ فِينَا الْبَصَرَ وَخَفَضَهُ، فَرَآنَا جَلْدَيْنِ، فَقَالَ: إِنَّ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
Ada dua orang lelaki telah mengabarkan kepadaku bahwasanya keduanya pernah mendatangi Nabi ﷺ ketika Haji Wada’, sementara beliau sedang membagikan zakat. Lantas, mereka meminta zakat kepada Nabi ﷺ. Beliau ﷺ pun memandangi kami, dan mendapati kami sebagai 2 pemuda yang kuat nan sehat. Setelah itu beliau ﷺ bersabda, ‘Jika kalian berdua memang menginginkan bagian dari zakat ini, aku akan berikan. (Namun perlu kalian ketahui bahwa) tidak ada bagian dalam zakat ini untuk orang yang berkecukupan dan orang yang kuat nan memiliki penghasilan.” ([7])
Hal serupa juga dikatakan oleh Fakhruddin az-Zayla’i,
أَنَّ الْإِنْسَانَ إذَا ادَّعَى الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ فَإِنَّهُ يُصَدَّقُ إلَّا لِرِيبَةٍ بِأَنْ يَكُونَ ظَاهِرُ كُلٍّ مِنْهُمَا يُخَالِفُ مَا يَدَّعِيهِ فَإِنَّهُ لَا يُصَدِّقُهُ
“Seseorang yang mengaku fakir atau miskin, maka (pengakuannya) dipercaya, kecuali jika ada indikasi kedustaan yang tampak jelas dari orang tersebut.” ([8])
Apakah boleh memberikan zakat kepada seseorang yang sedang membutuhkan untuk membangun rumah?
Seperti yang telah diketahui bahwa kelompok yang berhak mendapatkan harta zakat ada 8 golongan berdasarkan firman Allah ﷻ,
﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴾
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini:
- Jumhur ulama (mazhab Maliki, Hanbali, dan salah satu riwayat dari Syafi’i) mengatakan bahwa golongan fakir dan miskin diberikan apa yang mencukupinya dan mencukupi orang yang dinafkahinya selama 1 tahun penuh. Para ulama membatasi 1 tahun karena zakat selalu berulang setiap tahunnya, dan demikianlah kebiasaan Rasulullah ﷺ yang menyediakan simpanan untuk nafkah keluarganya selama 1 tahun maksimal.([9])
Jadi, fakir dan miskin tidak boleh diberikan harta zakat untuk membeli rumah atau membangun rumah, karena ini melebihi kecukupannya, akan tetapi ia mungkin diberikan uang sewa rumahnya selama 1 tahun penuh.
- Adapun Imam Syafi’i berpendapat (dan ini salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah) bahwa orang fakir dan miskin boleh diberikan harta zakat hingga ia menjadi kaya, tanpa dibatasi dengan kecukupan selama 1 tahun. ([10])
Imam asy-Syafi’i s berkata,
وَلَا وَقْتَ فِيمَا يُعْطَى الْفَقِيرُ إلَّا مَا يُخْرِجُهُ مِنْ حَدِّ الْفَقْرِ إلَى الْغِنَى قَلَّ ذَلِكَ أَوْ كَثُر
“Tidak ada batasan waktu terhadap apa yang diberikan kepada fakir kecuali sekadar mengeluarkannya dari batas kefakiran menuju kecukupan, baik sedikit maupun banyak.” ([11])
Zakaria al-Anshari dalam kitab Asna al-Mathalib menukilkan dari al-Qadhi Abu Thayyib rahimahullah dalam memberikan catatan dari perkataan Imam Syafi’i rahimahullah di atas,
يُرِيدُ بِهِ أَنَّ الْغِنَى هُوَ الْكِفَايَةُ عَلَى الدَّوَامِ فَيُدْفَعُ إلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا يَجْعَلُهُ رَأْسَ مَالٍ وَيَكْفِيه فَضْلُهُ لِمُؤْنَةٍ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ لَا يُحْسِنُونَ التِّجَارَةَ اشْتَرَى لَهُمْ مَا يَغُلُّهُمْ كِفَايَتَهُمْ عَلَى الدَّوَامِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْحِرْفَةِ اشْتَرَى لَهُمْ آلَاتِهِمْ
“Yang dimaksud dengan kekayaan adalah kecukupan secara terus menerus, maka diberikan untuk masing-masing dari mereka (kaum fakir miskin) kadar yang sebagiannya dapat dijadikan modal, dan sebagiannya lagi dapat mencukupi perbekalannya. Orang berilmu yang fakir dan tidak ahli dalam berdagang, maka diberikan kadar yang dapat mencukupinya secara terus menerus, dan orang yang memiliki ketrampilan tertentu (namun fakir), maka dibelikan alat-alat tersebut bagi mereka.” ([12])
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,
أَنَّ الْفَقِيْرَ يُعْطَى كِفَايَتَهُ إِلَى نِهَايَةِ الْعَامِ؛ لِأَنَّ الزكَّاةَ تَتَجَدَّدُ كُلَّ سَنَةٍ، وَلَوْ قِيْلَ: إِنَّهُ يُعْطَى إِلَى أَنْ يُصْبِحَ غَنِيّاً وَيَزُوْلَ عَنْهُ وَصْفَ الْفَقْرِ لَكَانَ قَوْلاً قَوِياًّ
“Orang fakir diberikan kecukupannya hingga akhir tahun, karena zakat terus ada setiap tahun. Jika dikatakan, Sesungguhnya diberikan kepada mereka kadar yang membuatnya menjadi berkecukupan dan menghilangkan darinya status kefakiran/kemiskinan, maka ini juga merupakan pendapat yang kuat.” ([13])
Namun demikian, Syaikh Utsaimin rahimahullah sendiri memilih bahwa uang zakat tidak boleh dipergunakan untuk membelikan rumah bagi seorang fakir/miskin, baik disengaja oleh yang menunaikan zakat maupun oleh lembaga tertentu, karena harga rumah tidaklah sedikit. Akan tetapi dibolehkan jika cukup disewakan untuknya sebuah rumah selama setahun dari harta zakat, dan jika di tahun berikutnya keadaannya tidak membaik, maka disewakan kembali, dan seterusnya.([14]) Beliau juga menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihad.
Membayar zakat dengan membelikan motor kepada tukang ojek
Berdasarkan keterangan Imam Syafi’i rahimahullah di atas beserta keterangan tambahan dari Al-Qadhi Abu Thayyib ath-Thabari yang dinukilkan oleh Zakariya al-Anshari bahwa hukumnya boleh jika memang keahlian si fakir tersebut adalah mengendarai motor, dan motor tersebut dapat menjadi sumber nafkah baginya dan keluarganya. ([15])
Apakah pelaku maksiat yang fakir tetap mendapatkan zakat?
Ya, selama tidak diyakini bahwa harta zakat tersebut akan digunakan olehnya untuk bermaksiat. Dan ini berlaku bagi setiap mustahik zakat. Al-Kharsi rahimahullah berkata,
وَيُعْطَى أَهْلُ الْمَعَاصِي مَا يَصْرِفُونَهُ فِي ضَرُورِيَّاتِهِمْ، وَإِنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُمْ يُنْفِقُونَهَا فِي الْمَعَاصِي فَلَا يُعْطَوْا وَلَا تُجْزِئُ إنْ وَقَعَتْ
“(Mustahik zakat dari kalangan) pelaku maksiat diberikan kebutuhan yang dapat mencukupi kehidupan mereka. Jika terdapat indikasi yang kuat bahwa mereka akan mempergunakan harta zakat untuk kemaksiatan, maka mereka tidak boleh diberi. Dan zakat yang diberikan kepada mereka (dalam kondisi demikian) tidaklah sah.” [16]
Footnote:
____________
([1]) Lihat: Jamharah al-Lughah (2/784).
([2]) Az-Zakaatu Fil Islaam Fii Dhaui Al-Kitaabi Wa As-Sunnah (hlm. 238).
([3]) Lihat: Az-Zakaatu Fi al-Islaam Fii Dhau Al-Kitab Wa as-Sunnah, karya Muhammad bin Abdullah al-Kharsi (hlm. 238).
([4]) Lihat: Az-Zakaatu Fil Islaam Fii Dhaui Al-Kitaabi Wa As-Sunnah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Kharsi (hlm. 238).
([5]) Lihat: Syarh Mukhtashar Khalil (2/213).
([6]) Lihat: Al-Mughni (2/496), al-Majmu’ (6/194), asy-Syarh al-Kabir (1/494).
([8]) Syarh Mukhtashar Khalil (2/212).
([9]) Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah (23/317).
([10]) Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (23/317), Al-Fatawa Al-Kubra, karya Ibnu Taimiyyah (5/374), dan Al-Inshaf karya Al-Mardawi (3/238-239).
([11]) Al-Hawi al-Kabir (8/519).
([12]) Asna al-Mathalib (1/400).
([13]) Asy-Syarh al-Mumti’ (6/221).
([14]) Lihat: Fatawa Nur ‘Ala Darb (10/2).
([15]) Lihat: Asna al-Mathalib (1/400).
([16]) Syarh Mukhtashar Khalil, karya Al-Kharsi (2/213).