Hukum Zakat Fitrah
Pengertian Zakat Fitrah
Menurut Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, zakat fitrah adalah:
إِنْفَاقُ مِقْدَارٍ مَعْلُوْمٍ عَنْ كُلِّ فَرْدٍ مُسْلِمٍ يُعِيْلُهُ قَبْلَ صَلَاةِ عِيْدِ الفِطْرِ فِيْ مَصَارِفَ مُعَيَّنَةٍ
“Menginfakkan kadar tertentu, dari setiap individu muslim yang berada dalam tanggungannya, sebelum shalat Idulfitri, yang kemudian diberikan kepada golongan tertentu.” ([1])
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijmak para ulama.
Berdasarkan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ,
﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ﴾
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al Baqarah:43)
Berdasarkan As-Sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah seukuran 1 sha’ dari kurma atau gandum (sya’ir), baik atas budak atau pun orang merdeka, lelaki atau pun wanita, anak kecil atau pun orang dewasa, dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk mengeluarkannya sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Idulfitri.”([2])
Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
لَيْسَ فِي الْعَبْدِ صَدَقَةٌ إِلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ
“Tidak ada tanggungan zakat bagi seseorang pada budaknya kecuali pada zakat fitrah.” ([3])
Adapun Ijmak maka sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah,
وأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ صَدَقَةَ الفِطْرِ فَرْضٌ
“Para ulama telah sepakat bahwa zakat fitrah adalah sesuatu yang fardu.”([4])
Syarat Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
- Muslim.
- Memiliki makanan (makanan pokok) untuk dirinya dan semua orang yang dia tanggung nafkahnya, mulai malam hari raya sampai usai hari raya (semalam sehari).
An-Nawawi mengatakan:
يُشْتَرَطُ أَنْ يَمْلِكَ فَاضِلًا عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ مَنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَيْلَةَ الْعِيدِ وَيَوْمَهُ
“Dengan syarat, seseorang memiliki kelebihan dari makanan pokoknya dan orang-orang yang ditanggung olehnya, untuk malam hari raya dan pada hari raya.”([5])
Siapa yang Harus Mengeluarkan Zakat?
Zakat wajib bagi setiap muslim, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik pria maupun wanita, baik berakal maupun tidak.
Akan tetapi, apakah setiap orang harus mengeluarkan zakatnya masing-masing, ataukah setiap orang ditanggung zakatnya oleh walinya sampai dia mandiri dan keluar dari tanggungannya?
Jawabannya adalah setiap muslim wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan setiap orang yang wajib ia nafkahi, seperti anaknya, istrinya, budaknya, dan yang lainnya sampai mereka lepas dari tanggung jawabnya.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وَفِي حَدِيثِ جَعْفَرٍ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَهَا عَلَى الْمَرْءِ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ يُمَوِّنُ
“Pada hadits Ja’far terdapat dalil, bahwa Nabi ﷺ mewajibkannya atas seseorang dan siapa saja yang dia tanggung (nafkahnya).”([6])
Al-Khalil rahimahullah berkata,
وَعَنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يَمُوْنُهُ بِقَرَابَةٍ أَوْ زَوْجِيَّةٍ
“Dan juga atas setiap muslim yang dia tanggung nafkahnya, baik karena kekerabatan atau pernikahan.” ([7])
Apa yang Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah?
Ketika seseorang hendak mengeluarkan zakat fitrah, maka ia mengeluarkannya dengan makanan pokok daerah masing-masing. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh mayoritas ulama.
Nabi ﷺ bersabda,
«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ…»
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah seukuran 1 sha’ dari kurma atau gandum (sya’ir)….” ([8])
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata tentang hadits ini,
وَهَذِهِ كَانَتْ غَالِبَ أَقْوَاتِهِمْ بِالْمَدِينَةِ، فَأَمَّا أَهْلُ بَلَدٍ أَوْ مَحَلَّةٍ قُوتُهُمْ غَيْرُ ذَلِكَ فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ صَاعٌ مِنْ قُوتِهِمْ، كَمَنْ قُوتُهُمْ الذُّرَةُ وَالْأُرْزُ أَوْ التِّينُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ الْحُبُوبِ، فَإِنْ كَانَ قُوتُهُمْ مِنْ غَيْرِ الْحُبُوبِ كَاللَّبَنِ وَاللَّحْمِ وَالسَّمَكِ أَخْرَجُوا فِطْرَتَهُمْ مِنْ قُوتِهِمْ كَائِنًا مَا كَانَ، هَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ، وَهُوَ الصَّوَابُ الَّذِي لَا يُقَالُ بِغَيْرِهِ؛ إذْ الْمَقْصُودُ سَدُّ خُلَّةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْعِيدِ وَمُوَاسَاتُهُمْ مِنْ جِنْسِ مَا يَقْتَاتُهُ أَهْلُ بَلَدِهِمْ، وَعَلَى هَذَا فَيُجْزِئُ إخْرَاجُ الدَّقِيقِ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ فِيهِ الْحَدِيثُ،
“Ini adalah makanan pokok dominan mereka saat itu di Madinah. Adapun negeri-negeri lainnya, maka yang wajib atas mereka adalah 1 sha’ dari makanan pokok masing-masing. Seperti jika makanan pokok suatu negeri adalah jagung, beras, buah Tin, atau jenis biji-bijian lainnya, atau susu, daging, ikan, dan jenis non biji-bijian lainnya, maka mereka mengeluarkan zakat fitrah sesuai makanan pokok tersebut, apa pun jenisnya.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama, dan itulah pendapat yang benar, bukan selainnya. Karena tujuan dari zakat fitrah adalah memenuhi kebutuhan fakir-miskin di suatu daerah pada hari Idulfitri, serta membantu mereka dengan makanan pokok yang biasa dipakai oleh penduduk negeri mereka.
Berdasarkan ini, maka boleh mengeluarkan daqiq (biji-bijian yang sudah ditumbuk/dihaluskan, semacam tepung), walau tidak ada dalil valid yang menerangkan (secara zahir) tentangnya.”([9])
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fitrah dengan Qimah (الْقِيْمَةُ)?
Qimah adalah nilai harga dari sesuatu, termasuk di dalamnya adalah membayar zakat fitrah dengan uang atau sesuatu selain makanan keseharian, dengan nilai yang semisal.
Para ulama berselisih dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
- Tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan qimah, akan tetapi wajib dengan makanan keseharian. Barang siapa yang membayar zakat fitrahnya dengan qimah, maka zakatnya dianggap tidak sah, dan ia harus menunaikannya kembali dengan makanan pokok. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki.([10])
- Boleh bagi seseorang untuk mengeluarkan zakat fitrah dengan qimah. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Karena yang dimaksud adalah menutupi kebutuhan para fakir-miskin, dan hal tersebut dapat tercapai baik dengan bahan makanan pokok atau pun uang/qimah yang senilai dengannya([11]). Bahkan sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa membayarkan zakat fitrah dengan qimah lebih utama dibanding membayarkannya dengan makanan pokok([12]).
Tarjih:
Yang lebih kuat adalah, tidak boleh bagi seseorang mengeluarkan zakat fitrah dengan qimah, kecuali jika memang didasari maslahat yang sangat pasti nan urgen.
Contoh kasus maslahat yang pasti nan urgen: seseorang yang hendak kita beri zakat fitrah telah memiliki beras yang cukup untuk tiga hari, akan tetapi dia tidak memiliki sepeser pun uang untuk membeli gas, atau garam, atau lauk pauk, maka boleh kita memberinya uang, karena jika kita malah menambahinya beras, maka sama saja dia tidak akan dapat tercukupi dan tidak dapat ikut merayakan Idulfitri dengan makanan, sebagaimana demikian maksud dan tujuan dari zakat fitrah yang diterangkan dalam hadis. Perincian ini adalah zahir pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah([13]).
Hal ini didasari beberapa hal:
- Ilat dikeluarkannya zakat fitri disebutkan secara nas, yaitu untuk memberi makan orang-orang miskin. Rasulullah ﷺ bersabda,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan yang kotor, serta untuk memberikan makan orang-orang miskin.” ([14])
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»
“Dahulu kami menunaikan zakat fitrah dengan satu sha’ dari makanan, atau gandum, atau kurma, atau susu yang sudah dikeringkan, atau kismis.” ([15])
Juga dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullah dengan lafal,
لَمْ نَزَلْ نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kami senantiasa menunaikan zakat fitrah pada zaman Rasulullah ﷺ dengan…….” ([16])
Perhatikan…, tidak seorang pun dari para sahabat yang menunaikan zakat fitrah dengan uang. Padahal setiap analogi dan alasan mereka yang membolehkan penunaian zakat fitrah dengan uang, juga ditemukan pada zaman mereka. Bukankah fakir-miskin sejak dahulu sampai sekarang tentu lebih memilih uang? Lalu mengapa para sahabat tetap menunaikannya dengan bahan-bahan makanan pokok?
- Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian untuk orang yang berpuasa dari sesuatu yang sia-sia dan keburukan, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” ([17])
Segi pendalilan: Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa zakat fitrah itu sebagai makanan bagi orang-orang yang miskin, dan hal ini tidak bisa tercapai kecuali bila dikeluarkan dengan makanan.
Makanan yang dikeluarkan semuanya dengan takaran yang sama, padahal nilai masing-masing jenis makanan tersebut berbeda-beda. Bukankah harga kurma, gandum, kismis, dan seterusnya saling berbeda? Jika yang diinginkan memang nilainya, mengapa Rasulullah menentukan kadar 1 sha’ bagi setiap jenis makanan pokok?!
- Jika yang jadi patokan adalah nilai harga dari yang dikeluarkan dari makanan di zaman Rasulullah ﷺ, maka dia harus berubah-ubah setiap waktu dan tempat, dan bisa jadi yang dahulunya satu sha’, sekarang senilai lima sha’.
- Tidak ada kejelasan nilai harga satu sha’ dari makanan-makanan yang dikeluarkan pada zaman Rasulullah ﷺ.
Adapun hadits Hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Sa’id,
«أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ» قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ»
“Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum (sya’ir).”
Abdullah bin Umar mengatakan: “Lalu orang-orang mengganti 1 sha’ gandum sya’ir dengan dua mud (setengah sha’) gandum hinthah (jenis gandum yang lebih mahal dari sya’ir).” ([18])
Hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu,
«كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»، فَلَمَّا جَاءَ مُعَاوِيَةُ وَجَاءَتِ السَّمْرَاءُ، قَالَ: «أُرَى مُدًّا مِنْ هَذَا يَعْدِلُ مُدَّيْنِ»
Dahulu kami menunaikan zakat fitrah di zaman Rasulullah ﷺ dengan satu sha’ makanan, atau kurma, atau gandum sya’ir, atau kismis. Dan ketika Mu’awiyah menjadi khalifah, dan mulai banyak penggunaan gandum samra’ (jenis gandum yang lebih mahal dari sya’ir), Mu’awiyah mengatakan: “Menurutku, satu mudd dari gandum samra’ setara dengan 2 mudd gandum lainnya.” ([19])
Maka dapat dijawab dengan:
- Gandum samra’ tatkala itu memang sudah menjadi makanan keseharian mereka.
- Meskipun mereka memperhitungkan nilainya, akan tetapi mereka tetap mengeluarkannya dengan makanan, bukan dengan uang.
- Bisa jadi perbandingan tersebut bukan dari segi harganya, akan tetapi dari segi kandungan gizinya atau sifat mengenyangkannya. Karena jika Mu’awiyah memperhatikan harganya, seharusnya jenis yang lain pun (seperti kurma, kismis, dll) berbeda-beda pula takaran zakatnya, karena harga satu dengan yang lainnya pun berbeda.
Adapun hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
«أَغْنُوهُمْ عَنِ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ»
“Cukupkanlah mereka sehingga mereka tidak perlu meminta-minta pada hari ini.” ([20])
Juga dalam riwayat Daraquthni,
«أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ»
“Cukupkanlah mereka pada hari ini.” ([21])
Maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena:
- Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ma’syar Najih, dan beliau adalah perawi yang dha’if([22]).
- Kalaupun hadits ini sahih, maka tetap saja, orang-orang miskin pastilah meminta-minta untuk membeli makanan. Maka menunaikan zakat dengan makanan lebih maslahat bagi mereka.
- Jika zakat fitrah ditunaikan dengan uang, maka dikhawatirkan akan digunakan untuk sesuatu yang haram. Seperti di negeri kita, di mana rokok bagi mayoritas orang adalah lebih pokok dibandingkan makanan sehari-hari. Wallaahul Musta’an.
Mengapa Menunaikan Zakat Fitrah dengan Uang Dibolehkan jika memang Dilandasi Maslahat yang Urgen?
Karena Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa tujuan zakat fitrah adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Juga telah dimaklumi bahwa di banyak tempat, makanan pokok haruslah diolah terlebih dahulu agar dapat dimakan, atau haruslah dibarengi dengan lauk pauk sehingga dapat nyaman nan pantas untuk dimakan. Maka sejatinya pada kondisi yang seperti ini, seakan dengan memberikan uang, kita memberi mereka sesuatu untuk dimakan dengan pantas.
Peringatan: Dibolehkan mengeluarkan dengan uang apabila memang telah dipastikan bahwa uang tersebut digunakan untuk merealisasikan tujuan zakat, yaitu untuk membeli makanan. Hal itu jika diketahui bahwa orang miskin tersebut memang membutuhkan uang untuk makan makanan yang layak pada hari raya. Namun jika si miskin tersebut bisa makan yang layak pada hari raya tanpa harus diberi uang, maka tidak boleh
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang lebih utama adalah mengeluarkan zakat fitrah setelah terbit fajar di hari Idulfitri, sebelum pelaksanaan shalat id. Sebagaimana hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ»
“Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang keluar untuk shalat.” ([23])
Apakah Boleh Mengeluarkan Zakat Fitrah sebelum Fajar Hari Raya?
Boleh mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya, dan ini adalah pendapat mazhab Hanbali dan Maliki. Akan tetapi tidak boleh mengeluarkan zakat jauh-jauh hari sebelum hari raya.
Dikarenakan beberapa hal:
- Nafi’ rahimahullah menceritakan,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ»
“Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma biasa memberikan zakat fitrah kepada yang mereka mau menerimanya, dan mereka (para sahabat) biasa menunaikan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari Idulfitri.” ([24])
- Lebih memudahkan para muzakki (yang menunaikan zakat), terutama di zaman sekarang, yang mana sulit menyempatkan waktu untuk menyalurkan zakat fitrah persis sebelum dilaksanakannya shalat Idulfitri, terlebih mereka yang memiliki banyak anggota keluarga untuk dipersiapkan menuju lapangan shalat.
- Tidak boleh jauh hari sebelum hari raya, dikarenakan zakat fitrah disandarkan/dikaitkan kepada waktunya (hari raya Idulfitri). Maka jika dikeluarkan jauh hari sebelum hari H, seakan tidak ada faedahnya penyandaran/pengaitan zakat ini kepada waktunya, sehingga tidak perlu disebut “zakat al-Fithr”.
- Sebab tujuan zakat fitrah adalah “sebagai makanan bagi orang miskin di Hari Raya Idulfitri”, dan yang demikian tidak dapat tercapai jika dikeluarkan sejak jauh hari sebelum hari H.
- Mengapa boleh satu atau dua hari sebelum hari H? Karena yang demikian tidak menyelisihi maksud dan tujuan zakat fitrah, sebab besar kemungkinan makanan yang diberikan masih akan tersisa hingga tibanya hari Idulfitri.([25])
Catatan: :
Boleh bagi seseorang menitipkan zakatnya kepada orang yang bertugas menyalurkan zakat fitrah jauh-jauh hari sebelum hari raya apabila diyakini bahwa petugas tersebut akan mengeluarkannya pada waktu yang diperbolehkan, yakni pada hari H sebelum pelaksanaan shalat Idulfitri, atau satu atau dua hari sebelum hari H.
Dalam kondisi demikian berarti orang tersebut belum membayar zakat fitrah akan tetapi ia mewakilkan petugas untuk membayarkan zakat fitrohnya pada waktunya (yaitu semenjak 2 hari sebelum hari H).
Demikian pula tidak mengapa menyerahkan uang kepada DKM (pengurus masjid) dengan menjadikannya wakil untuk menggunakan uang tersebut membeli beras lalu menyerahkannya kepada fakir miskin menjelang hari H.
Footnote:
____________
([1]) Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ hlm. 223.
([2]) HR Bukhari No.1053 dan Muslim No. 984.
Lihat juga: Al-Iqna’ (1/279), dan Al-Muhadzdzab (1/300-301).
Lihat juga: Al-Muhadzdzab (1/301) dan Al-Majmu’ (6/113).
([7]) Mukhtashar Khalil (hlm. 160).
([8]) HR. Bukhari No. 1053 dan Muslim No. 984.
([9]) I’lam al-Muwaqqi’in an Rabb al-Alamin, Ibnul Qayyim, (1/20)
Lihat juga: Al-Umm (2/73) dan Majmu’ al-Fatawa (3/43).
([10]) Lihat: Al-Hawi al-Kabir (3/383), Mukhtashar Al-Khiroqi hlm. 48, dan Al-Isyraf fi Nukat Masail al-Khilaf (1/391).
([11]) Lihat: Bada’i Ash-Shana’i (2/73).
([12]) Radd al-Muhtar ‘Ala Ad-Durr Al-Mukhtar, Hasyiyah Ibn ‘Abdin (2/366).
([13])Dalam masalah ini, pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah sifatnya umum tidak hanya pada zakat fitrah saja, selama terdapat maslahat yang pasti nan urgen maka diperbolehkan bagi seseorang untuk membayarkan zakatnya dengan qimah. Beliau juga menekankan bahwa mengambil pendapat bolehnya membayar zakat dengan qimah secara mutlak menjadikan seorang muzaki memilih mengeluarkan zakatnya dengan qimah dari harta zakat yang tidak layak (buruk), atau sebaliknya dari harta zakat yang terbaik sehingga memudorotkan pembayar zakat. [lihat: Majmu’ Fatawa (25/82-83)].
([14]) HR. Ibnu Majah No. 1852.
([15]) HR. Bukhari No. 1506 dan Muslim No. 985.
([16]) HR. Ahmad No. 11182. Dinyatakan sahih oleh al-Arnauth dalam ta’liqnya.
([17]) HR. Ibnu Majah No. 1827 dan Abu Daud No. 1609. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitabnya Shahih at-Targhib wa at-Tarhib No. 1085.
([19]) HR. Bukhari No. 1508 dan Muslim No. 984.
([21]) HR. Daruquthni No. 2133.
([22]) Taqrib At-Tahdzib No. 7100.
([23]) HR. Bukhari No. 1509 dan Muslim No. 986.
([25]) Al-Mughni (3/90). Lihat juga: Mukhtashar (hlm.48), dan adz-Dzakhirah (3/157).
Adapun menurut mazhab Syafi’i, dibolehkan untuk menunaikannya sejak hari pertama dari bulan Ramadhan. Asy-Syirazi berkata,
وَيَجُوْزُ تَقْدِيْمُ الفِطْرَةِ مِنْ أَوَّلِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِأَنَّهَا تَجِبُ بِسَبَبَيْنِ: صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ وَالفِطْرِ مِنْهُ. فَإِذَا وُجِدَ أَحَدُهُمَا جَازَ تَقْدِيْمُهَا عَلَى الآخَرِ كَزَكَاةِ المَالِ بَعْدَ مِلْكِ النِّصَابِ وَقَبْلَ الحَوْلِ، وَلَا يَجُوْزُ تَقْدِيْمُهُمَا عَلَى شَهْرِ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ تَقْدِيْمٌ عَلَى السَّبَبَيْنِ فَهُوَ كَإِخْرَاجِ زَكَاةِ المَالِ قَبْلَ الحَوْلِ وَالنِّصَابِ.
“Dibolehkan menyegerakan zakat fitrah sejak awal bulan Ramadhan, karena ia diwajibkan karena dua hal, yaitu: puasa di bulan Ramadhan, dan berbuka darinya (di hari Idulfitri). Maka apabila salah satu sebab telah terpenuhi, maka boleh mendahulukan penunaiannya sebelum terealisasinya sebab yang kedua. Seperti zakat mal, boleh langsung ditunaikan setelah tercapai nisabnya, walaupun belum terpenuhi haul-nya.
Dan tidak boleh mendahulukannya sebelum masuk bulan Ramadhan, karena itu berarti mendahulukan penunaiannya sementara kedua sebabnya belum terpenuhi sama sekali. Seperti tidak bolehnya menunaikan zakat harta sebelum tercapai nisab dan haul-nya.” (Al-Majmu’ 1/303).