Hadits 2
Menjauhi Prasangka Buruk
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Waspadalah dengan buruk sangka karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan dusta.”([1])
Hadits ini berbicara mengenai sifat suuzan yang mana telah dibawakan pada bab sebelumnya di Bab At-Taberharapib min Maﷺiil Akhlak. Sebagian ulama semisal Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpandangan bahwa penyebab Ibnu Hajar membawakan kembali hadits ini di bab ini boleh jadi karena keliru. Sebagian ulama yang lain mengatakan maksud Ibnu Hajar membawakannya kembali karena ingin menekankan bahwa lawan dari suuzan yaitu husnuzan merupakan akhlak yang baik. Sebagian lagi mengatakan sebagai lanjutan dari hadits sebelumnya yang berbicara tentang dusta, dan di antara kedustaan itu adalah suuzan.
Mengapa Nabi mengatakan bahwa persangkaan merupakan perkataan yang paling dusta? Apakah lebih dusta dari perkataan dusta yang langsung keluar dari lisan secara tegas?
Jawabannya adalah benar dia lebih dusta. Hal ini karena orang yang berdusta dia sadar bahwa dirinya sedang berdusta, sementara seseorang yang berprasangka, prasangka itu salah dan merupakan kedustaan tetapi dia merasa benar. Dia bangun prasangkanya tanpa dalil dan dia menyangka prasangkanya itu benar. Dari sisi ini maka prasangka lebih dusta dari kedustaan yang biasa.
Sebagai perbandingan, keadaan antara bid’ah dan maksiat. Sufyan Ats-Tsauri berkata,
الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْس مِنَ الْمَعْصِيَةِ، الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا
“Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertobat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertobat.”([2])
Hal ini karena pelaku maksiat masih merasa bahwa dirinya berdosa dengan kemaksiatan tersebut, kemungkinan untuk bertobat masih ada. Berbeda dengan pelaku bid’ah, dia menyangka apa yang dilakukannya adalah kebenaran, sehingga menghalangi dia untuk bertobat.
Demikian pula halnya dengan prasangka buruk, orang yang berprasangka buruk tidak merasa sedang berdusta, maka ia melakukan tindakan yang dibangun di atas prasangka buruknya tersebut
Dari penjelasan di atas didapatkan perlunya sikap tabayun atau konfirmasi. Karena sering kali kita ketika beberharapadapan dengan suatu kabar, semua indikasi yang ada seolah-olah mengantarkan pada suatu kesimpulan. Padahal setelah dikonfirmasi ternyata kesimpulannya salah.
Terutama kepada kaum mukminin secara umum, tidak boleh berprasangka buruk kepada mereka. Hendaknya yang dikedepankan adalah tabayun dan mencari tahu perkara yang sebenarnya. Jangan hanya karena prasangka-prasangka yang belum tentu terbukti kebenarannya dijadikan sebagai pegangan kita. Apalagi antara suami dan istri haram berprasangka buruk kepadanya.
Oleh karena itu, para ulama memberi nasihat,
“Jauhilah prasangka buruk yang jika benar pun itu adalah kesalahan apalagi kalau prasangka tersebut salah.”
‘Umar bin Khaththab berkata,
وَلَا تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهُ فِي الْخَيْرِ مَحْمَلًا
“Janganlah engkau berprasangka apa yang keluar dari mulut seorang muslim sebagai keburukan, sedangkan kamu masih menemukan arah kepada penafsiran yang baik.”([3])
Seseorang yang berprasangka buruk juga hakikatnya dia menuruti perkataan setan. Karena saat itu setan sedang mendikte agar memilih tafsiran buruk, padahal kemungkinan tafsiran itu banyak tetapi dia memilih tafsiran yang buruk. Kecuali jika prasangkanya dibangun di atas indikasi-indikasi yang benar kuat, maka dalam beberapa keadaan diperbolehkan. Karena itu berprasangka buruk itu hukumnya haram dan merupakan akhlak buruk, sebaliknya berprasangka baik adalah hal yang dituntut oleh syariat dan merupakan akhlak yang baik.
Footnote:
_________
([1]) HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563
([2]) Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no. 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22.