Diantara akhlak yang mulia dan sangat dianjurkan oleh syariát adalah mendamaikan dua orang yang bersengketa. Berikut ini penulis lampirkan pembahasan khusus tentang akhlak mulia “mendamaikan yang bersengketa” :
Mendamaikan Yang Bersengketa
Mendamaikan dua pihak yang bersengketa merupakan ibadah yang sangat memiliki keterkaitan erat dengan masalah akhlak.
- Mukadimah
Terdapat beberapa hal yang menunjukkan tentang pentingnya mendamaikan orang yang bersengketa.
Pertama, ibadah-ibadah yang manfaatnya berkaitan dengan orang lain lebih utama dari ibadah-ibadah yang manfaatnya hanya terbatas pada pelakunya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini, di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ,
ذَهَبَ المُفْطِرُونَ اليَوْمَ بِالأَجْرِ
“Orang-orang yang berbuka puasa pada hari ini mendapatkan ganjaran besar.”([1])
Hadis ini Rasulullah ﷺ sabdakan dalam suatu medan jihad, di mana saat itu sebagian para sahabat berbuka puasa dan sebagiannya lagi tetap berpuasa.
Rasulullah ﷺ sebutkan bahwa pahala yang didapatkan bagi para sahabat yang berbuka saat itu lebih besar dari para sahabat yang tetap berpuasa. Mengapa demikian? Karena para sahabat yang berpuasa, manfaat dari puasanya hanya kembali kepada diri mereka sendiri. Adapun para sahabat yang berbuka, manfaat yang mereka datangkan tidak hanya kembali pada diri mereka sendiri, namun juga kepada kaum muslimin, di mana saat itu mereka lebih kuat untuk berjihad dan juga berkhidmat bagi kaum muslimin. Berbeda halnya jika mereka berpuasa, tentu akan merasa lebih sulit melakukan hal tersebut.
Namun perlu untuk diperhatikan, saat itu Rasulullah ﷺ sama sekali tidak melarang para sahabat untuk berpuasa. Rasulullah ﷺ hanya ingin menjelaskan bahwa pahala mereka yang berbuka saat itu lebih besar dari mereka yang berbuka karena manfaat yang mereka datangkan lebih besar.
Begitu juga dengan sabda Rasulullah ﷺ,
لَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ من أنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا المَسْجِدِ شَهْرًا
“Sesungguhnya (jika) aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan satu hajat/keperluan lebih aku sukai daripada aku beriktikaf di masjid ini sebulan.”([2])
Tidak seorang pun meragukan besarnya pahala iktikaf, namun ternyata Rasulullah ﷺ sebutkan beliau lebih suka membantu saudaranya daripada beriktikaf. Mengapa demikian? Karena ibadah iktikaf hanya berkaitan dengan diri sendiri, sedang membantu orang lain berkaitan dengan orang lain yang tentu ini manfaatnya lebih besar.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa mendamaikan dua pihak yang bersengketa merupakan ibadah yang mendatangkan pahala yang sangat besar, sebab ia termasuk dari ibadah yang manfaatnya berkaitan dengan orang lain. Karenanya, dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
ألَا أُخبِرُكم بِأَفْضَلَ مِن دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ والصَّدَقَةِ؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: إِصْلَاحُ ذَاتِ البَيْنِ
“Maukah kalian aku kabarkan tentang suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, salat dan sedekah? Para sahabat menjawab, ‘Tentu ya Rasulullah’. Rasulullah ﷺ lalu bersabda, ‘hal tersebut adalah mendamaikan persengketaan’.”([3])
Kedua, di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat berkaitan dengan keutamaan mendamaikan orang yang bertikai, di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴾
“Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah peberharapubungan di antara sesamamu.” (QS. Al-Anfal: 1)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿ لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 114)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَالصُّلْحُ خَيْرٌۗ﴾
“Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa: 128)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ﴾
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)
Selain itu, di antara keutamaan yang sangat menakjubkan dalam hal ini adalah bolehnya dusta demi mendamaikan orang yang bertikai. Padahal sebagaimana kita tahu, sebagian ulama mengatakan bahwa hukum asal dusta adalah dosa besar berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ,
وإنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وإنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Jauhilah oleh kalian (dan waspadailah) dusta, karena dusta menjerumuskan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menjerumuskan kepada Neraka.”([4])
Walaupun begitu, ternyata syariat melegalkan dusta demi tercapainya perdamaian di antara orang yang bertikai. Ini menunjukkan bahwa perkara ini adalah hal yang sangat urgen di dalam syariat Islam.
Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya dusta dalam hal ini adalah sabda Rasulullah ﷺ,
لاَ يَحِلُّ الْكَذبُ إلاَّ فِي ثَلَاثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرأتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذبُ فِي الحَرْبِ وَالْكَذبُ لِيُصْلِحَ بينَ النَّاسِ
“Tidak halal (tidak boleh) berdusta kecuali dalam tiga kondisi, (dusta) seorang suami yang berbicara kepada istrinya untuk menyenangkannya, dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan manusia (yang berselisih).”([5])
Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَمْ يَكْذِبْ مِن نَمَى بَيْنَ اثْنَيْنِ لِيُصْلِحَ
“Tidak dikatakan dusta orang yang berbohong untuk mendamaikan antara dua orang.”([6])
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَيْسَ الكَذَّابُ الذي يُصْلِحُ بيْنَ النَّاسِ، فَيَنْمِي خَيْرًا، أوْ يقولُ خَيْرًا
“Tidaklah disebut dusta, orang yang bermaksud mendamaikan hubungan di antara manusia yang sedang berselisih, lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau mengucapkan yang baik-baik.”([7])
Ketiga, syariat sangat memperhatikan segala perkara yang mengantarkan kepada persatuan. Karenanya, perkara-perkara tersebut seperti senyum, berjabat tangan saat bertemu, mengucapkan salam, memberi hadiah, menjenguk orang sakit, dan yang lainnya seluruhnya disyariatkan oleh Islam. Hal ini tidak lain untuk menjaga persatuan yang Allah ﷻ firmankan yaitu,
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ﴾
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Sebaliknya, segala perkara yang mengantarkan kepada perpecahan seluruhnya diharamkan oleh syariat, seperti adu domba, ghibah, berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, menyebarkan rahasia, membeli di atas pembelian saudara, dan yang lainnya.
Keempat, persengketaan merupakan perkara yang sangat berbahaya, di antaranya adalah dapat menunda ampunan Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
تُفْتَحُ أبْوابُ الجَنَّةِ يَومَ الإثْنَيْنِ، ويَومَ الخَمِيسِ، فيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ باللَّهِ شيئًا، إلَّا رَجُلًا كانَتْ بيْنَهُ وبيْنَ أخِيهِ شَحْناءُ، فيُقالُ: أنْظِرُوا هَذَيْنِ حتَّى يَصْطَلِحا
“Pintu-pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis, maka akan diampuni setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali seseorang yang memiliki permusuhan antara dirinya dengan saudaranya. Maka akan dikatakan, “Tundalah (pengampunan dosa dan kesalahan mereka berdua), sehingga mereka berdua berdamai. Tundalah (pengampunan dosa dan kesalahan mereka berdua), sehingga mereka berdua berdamai. Tundalah (pengampunan dosa dan kesalahan mereka berdua), sehingga mereka berdua berdamai.”([8])
Selain itu juga, persengketaan menyebabkan salat seseorang tidak diterima oleh Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَا
“Tiga golongan yang salatnya tidak akan di angkat meski satu jengkal dari kepalanya; seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya, seorang perempuan yang bermalam sementara suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bermusuhan.”([9])
Footnote:
________
([1]) HR. Bukhari No. 2890 dan Muslim No. 1119.
([2]) HR. At-Thabarani No. 6026, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([3]) HR. Abu Dawud No. 4919, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([5]) HR. Tirmidzi No. 1939, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([6]) HR. Bukhari No. 2692 dan Muslim No. 2605.
([9]) HR. Ibnu Majah No. 971, dan dinyatakan hasan oleh an-Nawawi.