Macam-macam Islah (Mendamaikan)
Pertama: Mendamaikan suami dan istri yang bertikai
Allah ﷻ berfirman,
﴿وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا﴾
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرً﴾
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 128)
Di antara pertikaian yang paling banyak terjadi dan mengenaskan adalah pertikaian yang terjadi antara suami dan istri. Mengapa demikian? Karena pertikaian ini adalah hal yang paling disukai oleh iblis. Rasulullah ﷺ bersabda,
إنَّ إبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ علَى الماءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَراياهُ، فأدْناهُمْ منه مَنْزِلَةً أعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أحَدُهُمْ فيَقولُ: فَعَلْتُ كَذا وكَذا، فيَقولُ: ما صَنَعْتَ شيئًا، قالَ ثُمَّ يَجِيءُ أحَدُهُمْ فيَقولُ: ما تَرَكْتُهُ حتَّى فَرَّقْتُ بيْنَهُ وبيْنَ امْرَأَتِهِ، قالَ: فيُدْنِيهِ منه ويقولُ: نِعْمَ أنْتَ
“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lantas ia mengirim kan tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku beberharapasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.”([1])
Bagi para suami dan istri hendaknya bersabar dalam menjalani rumah tangga. Jika ada permasalahan-permasalahan yang terjadi, hendaknya berusaha untuk melakukan islah, dan itulah yang terbaik sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan. Jangan sampai kita masuk dan terjebak dalam hal yang paling disukai oleh iblis ini.
Kedua: Mendamaikan kaum muslimin yang berperang
Allah ﷻ berfirman,
﴿وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَاۖ﴾
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Dalam suatu hadis Rasulullah ﷺ memuji hasan radhiallahu ‘anhu,
ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ من المُسلمينَ
“Sesungguhnya cucuku ini (Hasan) adalah seorang pemimpin. Semoga dengannya Allah ﷻ mendamaikan dua kelompok besar dari kalangan kaum mukminin.”([2])
Faktanya pun terjadi, Hasan radhiallahu ‘anhu pun akhirnya mendamaikan kaum muslimin dengan cara meninggalkan takhta kepemimpinan yang harus ia pegang, beliau rela berkorban meninggalkan dunia demi perdamaian kaum muslimin.
Ketiga: Secara umum
Adapun pertikaian secara umum, maka sangat banyak sekali. Di antaranya seperti pertikaian antar kerabat, suku, warga, dan yang lainnya.
- Cara mendamaikan
Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan oleh setiap orang dalam melakukan perdamaian, yaitu:
- Pandai atau cerdas.
Seperti pandai dalam melihat situasi dan kondisi. Hal ini penting, sebab jika salah melangkah, alih-alih terjadi perdamaian, pertikaian malah akan bisa semakin runyam.
- Ikhlas.
Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa mendamaikan pertikaian adalah ibadah, sehingga dalam menjalankannya seseorang harus ikhlas, tidak riya’ atau ujub sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang memamerkan kebeberharapasilannya dalam mendamaikan pertikaian dengan berkata, “Seluruh orang jika mengalami pertikaian, mereka akan meminta saya untuk mendamaikan mereka”. Allah ﷻ berfirman,
﴿لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 114)
Ketahuilah, kebeberharapasilan seseorang dalam mendamaikan suatu pertikaian hanyalah sebuah usaha, adapun yang menjadikan hati mereka bersatu kembali bukanlah dia, melainkan Allah ﷻ.
- Adil.
Ketahuilah, seseorang yang mendamaikan adalah seorang hakim, maka berhati-hatilah. Hendaknya ia bersikap adil, tidak berpihak pada satu pihak tertentu, berusaha untuk membuat kedua pihak yang bertikai rida. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا﴾
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
- Boleh berdusta.
Penjelasan tentang hal ini telah berlalu di atas. Jika seseorang mampu untuk melakukan tauriyah([3]), maka itu lebih utama. Namun jika ternyata harus untuk berdusta maka tidak mengapa, bahkan jika mendesak boleh baginya untuk bersumpah.
- Mengingatkan kedua belah pihak yang bertikai agar bertakwa kepada Allah ﷻ, seperti mengingatkan tentang bahaya pertikaian dan keutamaan berdamai.
- Boleh mendamaikan dengan harta, seperti memberikan uang kepada orang yang bertikai agar mereka berdamai.
Usaha-usaha mendamaikan yang disebutkan dalam hadis-hadis Rasulullah ﷺ
Kisah Pertama
Dikisahkan, suatu ketika terjadi pertikaian pada sekelompok orang dari bani Amr bin Auf di Quba, bahkan sampai terjadi lemparan-lemparan batu.
Sampailah kabar ini kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ pun keluar menuju mereka bersama beberapa orang sahabat untuk mendamaikan mereka.
Tibalah waktu salat, dan saat itu Rasulullah ﷺ belum kembali. Bilal radhiallahu ‘anhu mengumandangkan azan, dan Rasulullah ﷺ pun tak kunjung kembali. Bilal radhiallahu ‘anhu kemudian datang kepada Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dan memintanya untuk memimpin salat, sebab Rasulullah ﷺ hingga saat itu masih tertahan karena sibuk mendamaikan pertikaian. Akhirnya, salat pun didirikan dengan diimami oleh Abu Bakr radhiallahu ‘anhu.
Ketika salat sedang berlangsung, datanglah Rasulullah ﷺ berjalan memasuki saf-saf hingga sampai dan menempati saf pertama. Para sahabat kemudian memberikan isyarat kepada Abu Bakr radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ telah tiba. Akhirnya Abu Bakr radhiallahu ‘anhu kemudian mundur, dan meminta Rasulullah ﷺ untuk memimpin salat.([4])
Lihatlah, Rasulullah ﷺ rela berjalan jauh ke Quba sampai akhirnya terlambat dalam menghadiri salat berjamaah karena ingin mendamaikan pertikaian, padahal kita tahu bahwa Rasulullah ﷺ sangat menjaga salat berjamaah. Ini menunjukkan bahwa mendamaikan pertikaian merupakan ibadah yang mulia.
Kisah kedua
Suatu ketika Rasulullah ﷺ mendengar suara pertikaian yang sangat keras di arah pintu rumah beliau. Ternyata pertikaian tersebut adalah prahara pembayaran utang, di mana orang yang beberharaputang meminta sebagian hutangnya dihapuskan dengan belas kasihan, sedangkan orang yang memberi hutang mengatakan, “Demi Allah ﷻ, permintaan itu tidak akan saya lakukan”.
Rasulullah ﷺ kemudian keluar dan berkata,
أَيْنَ المُتَأَلِّي علَى اللهِ لا يَفْعَلُ المَعْرُوفَ؟
“Siapakah orang yang bersumpah atas Allah untuk tidak melakukan kebaikan itu?”
Orang yang menghutangi tadi pun berkata, “Saya ya Rasulullah ﷺ, tetapi baginya -orang yang beberharaputang tadi- apa saja yang ia sukai -maksudnya pemotongan sebagian hutangnya dikabulkan dengan sebab syafaat Rasulullah ﷺ itu.([5])
Kisah ini menggambarkan bahwa Rasulullah ﷺ masuk ikut dalam pertikaian yang terjadi demi untuk mendamaikan.
Kisah ketiga,
Kisah yang diceritakan Rasulullah ﷺ dalam sabdanya,
اشْتَرَى رَجُلٌ مِن رَجُلٍ عَقارًا له، فَوَجَدَ الرَّجُلُ الذي اشْتَرَى العَقارَ في عَقارِهِ جَرَّةً فيها ذَهَبٌ، فقالَ له الذي اشْتَرَى العَقارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي، إنَّما اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الأرْضَ، ولَمْ أبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ، وقالَ الذي له الأرْضُ: إنَّما بعْتُكَ الأرْضَ وما فيها، فَتَحاكما إلى رَجُلٍ، فقالَ: الذي تَحاكما إلَيْهِ: ألَكُما ولَدٌ؟ قالَ أحَدُهُما: لي غُلامٌ، وقالَ الآخَرُ: لي جارِيَةٌ، قالَ: أنْكِحُوا الغُلامَ الجارِيَةَ وأَنْفِقُوا علَى أنْفُسِهِما منه وتَصَدَّقا
“Ada seseorang yang membeli tanah dari orang lain, lalu orang yang membeli tanah itu menemukan guci berisi emas dari dalam tanah yang telah dibelinya. Orang yang membeli tanah itu berkata kepada yang menjualnya, ‘Ambillah emasmu dari tanah yang aku beli ini, sebab aku hanya membeli tanah darimu, dan tidak membeli emasmu.’ Sedangkan orang yang menjual tanah berkata, ‘Yang aku jual kepadamu adalah tanah berikut isinya, oleh karena itu, jika kamu mendapati emas, maka itu sudah menjadi hakmu.’
Akhirnya kedua orang tersebut pergi menemui seseorang untuk meminta keputusan antara mereka berdua. Lalu orang yang dimintai keputusan bertanya kepada keduanya, ‘Apakah kalian berdua memiliki anak?’ Seorang di antara mereka menjawab, ‘Ya, aku memiliki anak laki-laki’, dan yang satunya menjawab, ‘Ya, aku juga memiliki anak perempuan’. Kemudian orang yang dimintai keputusan itu berkata, ‘Sebaiknya nikahkan saja anak laki-laki dan anak perempuan kelian berdua. Setelah itu, belanjakanlah emas tersebut untuk kepentingan kalian, dan bersedekahlah untuk diri kalian berdua.”([6])
Kisah keempat
Sebagaimana diketahui bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha adalah sosok wanita yang dikenal sebagai wanita yang rajin bersedekah. Karena begitu rajinnya bersedekah, sampai keponakan Aisyah yaitu Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu tidak suka hal tersebut. Abdullah bin Zubair pun berkata mengomentari salah satu pembelian atau pemberian yang dilakukan Aisyah radhiallahu ‘anha, “Demi Allah, sesungguhnya Aisyah harus menghentikan ini, jika tidak maka aku akan meninggalkan berbicara padanya -yakni tidak menyapanya.”
Terdengarlah kabar ini sampai ke telinga Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia pun menanyakan kebenaran perihal tersebut kepada sebagian sahabat, dan mereka pun membenarkannya. Aisyah radhiallahu ‘anha pun marah dan berkata,
هُوَ لِلَّهِ علَيَّ نَذْرٌ، ألَّا أُكَلِّمَ ابنَ الزُّبَيرِ كَلِمةً أبَدًا
“Saya bernazar karena Allah terhadap dirinya bahwa saya tidak akan berbicara dengan Abdullah bin Zubair selama-lamanya.”
Abdullah bin Zubair akhirnya meminta maaf kepada Aisyah, dan meminta agar Aisyah membatalkan nazarnya, namun Aisyah ternyata bersih keras dengan sikapnya dan berkata,
لَا وَاللَّهِ لا أُشَفِّعُ فِيْهِ أَبَدًا، وَلَا أَتَحَنَّثُ إِلَى نَذْرِي
“Demi Allah ﷻ tidak ada syafaat dalam hal ini dan aku tidak akan membatalkan nazarku selamanya.”
Setelah berjalan waktu yang cukup lama dan selama itu pula Abdullah bin Zubair tidak berbicara dengan Aisyah, Abdullah bin Zubair kemudian mendatangi al-Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman bin al- Aswad bin Abdu Yaghuts meminta pertolongan dengan berkata,
أنْشُدُكُما بِاللَّهِ لَمَّا أدْخَلْتُمَانِي علَى عَائِشَةَ، فإنَّهَا لا يَحِلُّ لَهَا أنْ تَنْذِرَ قَطِيعَتِي
“Demi Allah ﷻ, aku meminta agar kalian berdua dapat memasukkan saya di tempat Aisyah radhiallahu ‘anha, sebab sesungguhnya halal baginya untuk bernazar terus memutuskan hubungan kekeluargaan dengan aku.”
Al-Miswar dan Abdur Rahman menerima permintaannya itu, sehingga pada suatu ketika keduanya meminta izin pada Aisyah -dan Abdullah bin Zubair ikut serta. Keduanya berkata, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh, apakah kita semua boleh masuk?” Aisyah berkata, “Masuklah semua.” Mereka berkata: “Apakah kita semua boleh masuk?” Ia menjawab: “Ya, masuklah engkau semua.” Aisyah radhiallahu ‘anha tidak mengerti bahwa Abdullah bin Zubair menyertai kedua orang tersebut.
Setelah semuanya masuk, lalu Abdullah bin Zubair langsung masuk ke dalam tabir -sebab Aisyah radhiallahu ‘anha ada di balik tabir kalau menemui lelaki dan Abdullah bin az-Zubair itu adalah kemanakannya sendiri yakni anak Asma’, saudarinya. Abdullah segera merangkul Aisyah -bibinya- radhiallahu ‘anha dan mulailah meminta-minta -agar dimaafkan kesalahannya- sambil menangis. Al-Miswar dan Abdur Rahman juga meminta-minta -supaya dimaafkan, kemudian bercakap-cakap lagi dengannya dan menerima permintaan maafnya itu. Keduanya berkata kepada Aisyah bahwasanya engkau telah mengetahui apa yang Rasulullah ﷺ larang, di antaranya tidak halal bagi seorang muslim untuk meninggalkan saudaranya -yaitu tidak menyapa- lebih dari tiga hari.”
Setelah terus menerus diingatkan dan diminta, Aisyah pun menangis dan berkata,
إنِّي نَذَرْتُ، والنَّذْرُ شَدِيدٌ
“Sesungguhnya saya telah bernazar dan nazar itu adalah berat tanggungannya.”
Namun, keduanya tidak henti-hentinya memberikan peringatan.
Aisyah radhiallahu ‘anha akhirnya berbicara dengan Abdullah bin Zubair. Untuk menebus denda sumpah nazarnya -yang dilanggar- itu Aisyah radhiallahu ‘anha memerdekakan empat puluh orang hamba sahaya -sebenarnya yang wajib hanyalah memerdekakan seorang hamba sahaya saja-, tetapi oleh sebab sangat takwanya kepada Allah ﷻ, Aisyah radhiallahu ‘anha pun berbuat demikian. Saat itu Aisyah radhiallahu ‘anha menangis, sampai-sampai kerudungnya menjadi basah oleh air matanya.([7])
Footnote:
_________
([3]) Berucap perkataan yang benar, namun salah dipahami oleh orang yang mendengar.
([4]) Lihat: HR. Bukhari No. 2690.