Adab-adab Dalam Safar dan Berkendaraan
- Membaca doa ketika menaiki kendaraan.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Rabi’ah berkata,
شَهِدْتُ عَلِيًّا، أُتِيَ بِدَابَّةٍ لِيَرْكَبَهَا، فَلَمَّا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الرِّكَابِ، قَالَ: «بِسْمِ اللَّهِ» ثَلَاثًا، فَلَمَّا اسْتَوَى عَلَى ظَهْرِهَا، قَالَ: «الحَمْدُ لِلَّهِ»، ثُمَّ قَالَ: ” {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ} ، ثُمَّ قَالَ: «الحَمْدُ لِلَّهِ» ثَلَاثًا، «اللَّهُ أَكْبَرُ» ثَلَاثًا، «سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ»، ثُمَّ ضَحِكَ. فَقُلْتُ: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَنَعَ كَمَا صَنَعْتُ، ثُمَّ ضَحِكَ، فَقُلْتُ: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ” إِنَّ رَبَّكَ لَيَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا قَالَ: رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرُكَ
“Aku melihat Ali bin Abu Thalib didatangkan tunggangan kepadanya, tatkala dia meletakkan kakinya di pijakan dia mengucapkan, ‘Bismillah’ (3x). Setelah dia berada di atas punggung tunggangannya, maka dia mengucapkan, ‘Alhamdulillah’, kemudian dia berdoa,
‘Subhanalladzi sakhkhara lana hadza wa maa kunna lahuu muqrinin wa inna ilaa rabbina lamunqalibuun’
(Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat),
kemudian dia mengucapkan, ‘Alhamdulillah’ (3x), Allahu Akbar (3x),
‘Subhaanaka innii dzalamtu nafsii faghfirlii fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta’
(Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau)’,
kemudian dia tertawa, maka aku berkata, ‘Kenapa engkau tertawa wahai Amirul Mukminin’, maka dia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah ﷺ melakukan seperti yang aku lakukan, kemudian beliau ﷺ ’tertawa, lalu aku bertanya kepada beliau ﷺ, Wahai Rasulullah apa yang membuat engkau tertawa?’. Beliau ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya Rabb-mu kagum melihat seorang hamba ketika dia mengucapkan, ‘Ya Allah ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau’ (hamba tersebut tahu bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Aku (Allah)).”([1])
Inilah di antara adab yang bisa dilakukan seorang muslim pada saat naik kendaraan hendak pergi ke kantor, mengunjungi saudara dekatnya atau satu keperluan yang lain dan kapan saja dia hendak menggunakan kendaraan.
Tentu saja, ini merupakan adab yang mudah. Dengan adab tersebut seorang muslim dapat meraih pahala setiap kali berkendaraan. Barang siapa yang hendak berkendara dengan naik motor atau mobil, maka dia bisa mengerjakan adab ini. Beberharaparap dengan doa tersebut memberikan keberkahan di dalam safarnya, sehingga Allah ﷻ senantiasa memberikan penjagaan-Nya dalam perjalanannya.
- Membaca doa ketika hendak safar/perjalanan jauh.
Jika seseorang hendak melakukan safar atau perjalanan yang jauh dan lama, maka ada doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ، كَبَّرَ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ»، وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ jika telah duduk di atas tunggangannya dalam rangka hendak bersafar, maka beliau bertakbir Allahu Akbar sebanyak tiga kali, kemudian beliau berdoa,
‘Subhanalladzi sakhkhara lana hadza wa maa kunna lahuu muqrinin wa inna ilaa rabbina lamunqalibuun. Allaahumma innaa nas-aluka fii safarinaa haadzal birra wat-taqwaa, wa minal ‘amali maa tardhaa. Allaahumma hawwin ‘alainaa safaranaa haadzaa wathwi ‘annaa bu’dah, Allaahumma antash-shaahibu fis-safari wal khaliifatu fil ahli, Allaahumma innii a’uudzu bika min wa’tsaa-is-safari wa ka-aabatil manzhari wa suu-il munqalabi fil maali wal ahli.’
(Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat)). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang meridhakanMu. Ya Allah, permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan kepulangan yang jelek dalam harta dan keluarga.
Apabila kembali dari bepergian, doa di atas dibaca, dan ditambah:
‘Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduuna lirobbinaa haamiduun’.
(Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami).” ([2])
الْبِرَّ وَالتَّقْوَى ‘Kebajikan dan ketakwaan’ yang dimaksud di dalam doa tersebut adalah amalan-amalan saleh dan meninggalkan kemaksiatan. Seseorang yang bersafar sangat mudah untuk melakukan kemaksiatan. Apalagi jika dia melakukan safar yang jauh dan lama, ketika dia jauh dari istrinya, maka sangat mudah baginya untuk melakukan kemaksiatan, baik saat bersama kawannya, perempuan asing maupun saat dia dalam keadaan sendiri.
Pada zaman sekarang terkadang akhlak seseorang yang melakukan safar atau berada di luar rumahnya berbeda ketika berada di dalam rumah. Akhlaknya pada saat bersama keluarganya berbeda dengan akhlaknya pada saat bersendirian.
Maka dari itu, hendaknya seseorang berdoa kepada Allah ﷻ pada saat hendak bersafar dengan doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, agar di dalam safarnya diliputi dengan banyak amalan-amalan kebajikan dan dengan ketakwaan agar dijauhkan dari berbagai kemaksiatan dan keburukan.
وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى ‘dari amal yang dapat meridakan-Mu’. Hendaknya seseorang berdoa di dalam safarnya agar didekatkan dengan amalan-amalan yang diridai oleh Allah ﷻ. Di dalam safar seseorang dapat beramal, melakukan salat lima waktu, salat malam, bersedekah, bersilaturahim dengan saudara atau orang tuanya, mendengarkan ceramah, mengkaji buku agama dan aktivitas kebaikan lainnya yang dapat mendatangkan keridaan Allah ﷻ. Hendaknya dia selalu berusaha melakukan amalan yang mendatangkan rida Allah ﷻ, meskipun dalam keadaan safar.
اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا ‘Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami’. Di dalam safar banyak hal yang memberatkan, baik dalam hal bekal, kekuatan ataupun keamanan dalam perjalanan. Oleh karenanya, hendaknya seorang musafir meminta kepada Allah ﷻ agar selalu diberikan kemudahan di dalam aktivitas safarnya.
وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ‘Dekatkan jaraknya bagi kami’. Di dalam doa tersebut seseorang meminta kepada Allah ﷻ agar didekatkan jarak tempat tujuannya dengan selalu dimudahkan segalanya dalam menempuh perjalanannya tanpa ada kesulitan dan cepat sampai kepada tempat tujuan.
اللهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ ‘Ya Allah, Engkau adalah teman di dalam perjalanan’, artinya adalah مَعِيَّة خَاصَّة ‘Engkau menemani kami dengan pertolongan-Nya’. Doa ini berisi harapan jika seorang musafir kembali dari perjalanannya juga mendapatkan pertolongan dari Allah ﷻ.
وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ ‘Yang mengurusi keluargaku’. Seseorang yang bersafar, maka dia tidak mampu menjaga keluarganya yang ditinggalkan. Oleh karenanya, hendaknya dia berdoa agar Allah ﷻ senantiasa menjaga mereka, karena dia meninggalkan mereka, sedangkan dia tidak mampu menjaga mereka dari jauh, sehingga dia bertawakal kepada Allah ﷻ agar selalu menjaga mereka.
Bayangkan, ketika seseorang bersafar, dia mengingat segala yang ada di dalam doa tersebut, di mana berisi tentang hal-hal yang dapat memberikan ketenangan dan kemudahan kepada dirinya. Ini merupakan doa yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ agar Allah ﷻ senantiasa menjaga kita dan keluarga kita selama dalam safar.
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ ‘Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam safar’. Banyak hal yang didapati oleh seseorang di dalam safar. Seperti pada saat menunaikan haji, seseorang mendapati kendaraan yang dinaikinya mogok atau terjebak di dalam kemacetan. Oleh karenanya, dengan doa ini seseorang meminta agar berlindung dari segala kelelahan dan hal-hal yang memberatkan di dalam safarnya. وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ ‘pemandangan yang menyedihkan’. وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْل ‘kepulangan yang buruk di dalam harta dan keluarga’.
- Membaca doa ketika pulang dari safar.
Ketika seseorang pulang dari safar menuju rumahnya, maka hendaknya dia membaca doa yang sama. Namun, hendaknya dia menambahkan di dalam doanya,
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami’.
آيِبُونَ ‘Kami dalam keadaan kembali dari safar kami’, تَائِبُونَ ‘bertobat kepada Allah ﷻ’. Karena di dalam safar, bisa saja tanpa sadar seseorang melakukan kemaksiatan, melihat hal yang haram, berkata-kata kotor atau kemaksiatan yang mudah dilakukan seseorang di dalam safar. Maka, pada saat dia kembali dari safarnya dia berdoa dalam keadaan bertobat kepada Allah ﷻ.
Inilah doa safar yang hendaknya tidak dilupakan oleh seorang muslim. Doa lain yang bisa dibaca adalah sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
وَإِذَا دَخَلَ أَهْلَهُ قَالَ تَوْبًا تَوْبًا، لِرَبِّنَا أَوْبًا، لَا يُغَادِرُ عَلَيْنَا حَوْبًا
“Jika beliau ﷺ masuk ke dalam rumahnya mendatangi keluarganya, maka beliau mengucapkan,
‘Tauban tauban lirabbina auban, laa yughadiru ‘alaina hauban’
(Kami bertobat kepada Allah, kami kembali kepada Rabb kami, semoga Allah tidak meninggalkan sedikitpun dosa dari kami). ”([3])
- Membaca doa ketika mendapati tempat yang tinggi atau tempat yang rendah.
Di antara adab di dalam safar ataupun berkendaraan, jika seseorang menaiki tempat yang tinggi, maka hendaknya dia bertakbir. Jika mendapati tempat yang menurun, maka hendaknya bertasbih.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
“Jika kami mendapati jalan naik, maka kami bertakbir dan jika mendapati jalan turun, maka kami bertasbih.” ([4])
Para ulama menjelaskan bahwa di antara hikmahnya adalah ketika seseorang menaiki tempat yang tinggi atau naik di dalam kendaraan yang bagus atau kendaraan yang mampu membawanya ke tempat yang tinggi, lalu dia akan merasa lebih tinggi, maka hendaknya dia ingat bahwa ada Dzat yang lebih tinggi yaitu Allah ﷻ. Allah ﷻ Maha Besar dan Maha Tinggi dari segalanya. Adapun ketika tasbih ketika dia menuruni jalan, sebagaimana kisah Nabi Yunus ‘alaihissalam ketika berada di perut ikan, dengan tasbihnya Allah ﷻ menyelamatkannya dari kegelapan yang bertumpuk-tumpuk.([5])
- Mendoakan orang yang hendak bersafar.
Demikian juga di antara adab yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ ketika safar adalah beliau mendoakan orang yang hendak bersafar, beliau ﷺ mendoakannya dengan mengucapkan,
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Aku menitipkan kepada Allah ﷻ agamamu, amanahmu dan penutup-penutup amalanmu.”([6])
Ibnu Abdil Barr berharap menyebutkan di antara hikmah seseorang berpamitan untuk bersafar dengan orang-orang yang ditinggalkannya adalah agar mereka mendoakannya selama dalam kondisi safar, sehingga dia mendapatkan keberuntungan dengan doa-doa yang ditujukan kepadanya. Jika mereka berdoa dengan tulus beberharaparap agar Allah ﷻ selalu memberikan penjagaan dan perlindungan kepadanya.([7])
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكَ ‘Aku menitipkan agamamu kepada Allah’. Seseorang yang melakukan safar sangat rentan terjerumus ke dalam perbuatan kemaksiatan. Dalam kondisi safar, agama seseorang bisa saja berubah. Maka, jika kita ingin agar selalu dijaga oleh Allah ﷻ, hendaknya kita selalu berpamitan kepada orang-orang yang hendak kita tinggalkan dalam safar, sehingga mereka akan mendoakan kebaikan bagi kita selama dalam safar.
Ketika seseorang mendoakan orang yang hendak bersafar dengan doa ini, artinya dia menitipkan penutup amalannya kepada Allah ﷻ, agar jika meninggal dunia dia mendapatkan husnulkhatimah di dalam safarnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُسَافِرَ فَأَوْصِنِي، قَالَ: عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالتَّكْبِيرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ، فَلَمَّا أَنْ وَلَّى الرَّجُلُ، قَالَ: اللَّهُمَّ اطْوِ لَهُ الأَرْضَ، وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَر
“Sesungguhnya ada seseorang yang datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ingin bersafar, berikanlah wasiat kepadaku’. Beliau ﷺ bersabda, ‘Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah ﷻ dan bertakbirlah di setiap tempat yang tinggi’. Ketika seseorang tersebut hendak pergi, maka beliau ﷺ berdoa, ‘Ya Allah, lipatkanlah bumi dan mudahkanlah baginya di dalam safarnya.”([8])
Demikian juga yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ سَفَرًا فَزَوِّدْنِي. قَالَ: زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى، قَالَ: زِدْنِي، قَالَ: «وَغَفَرَ ذَنْبَكَ» قَالَ: زِدْنِي بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، قَالَ: وَيَسَّرَ لَكَ الخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah ﷺ sesungguhnya aku hendak bersafar, berikanlah bekal kepadaku’. Beliau ﷺ bersabda, ‘Semoga Allah memberikan bekal kepadamu katakwaan’. Dia berkata, ‘Tambahkanlah’. Beliau bersabda, ‘Semoga Allah mengampuni dosamu’. Dia berkata, ‘Tambahkanlah demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu’. Beliau mendoakannya, ‘Semoga Allah memberikan kemudahan bagimu dalam segala kebaikan di manapun engkau berada’.”([9])
Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“Berbekal-lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan ber-takwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal.“ (Al-Baqarah: 197)
Sebagaimana bekal seseorang di dalam menunaikan haji, maka seseorang membutuhkan bekal, baik berupa biaya, harta maupun kekuatan. Namun, sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. Rasulullah ﷺ bersabda,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada.”([10])
- Bersafar dengan istri atau keluarga.
Di antara hal yang disunahkan jika kita hendak bersafar adalah hendaknya bersafar dengan istri. Nabi Muhammad ﷺ selalu bersama istrinya setiap kali melakukan safar. Bahkan, di dalam safar mengerikan, yaitu safar untuk berjihad. Ini merupakan sunah dari Nabi Muhammad ﷺ.
Jika kita memiliki harta yang berlebih, maka hendaknya kita mengajak istri kita setiap kali hendak melakukan safar. Jika seseorang memiliki istri lebih dari satu, maka dia bisa mengundi di antara istri yang mana yang hendak diajak untuk ikut menemaninya safar. Jika ada uzur sehingga tidak mampu membawa serta keluarganya untuk bersafar, maka tidak menjadi masalah. Namun, selama dia mampu membawa keluarganya, maka hendaknya dia melakukannya.
Dengan hadirnya istri kita yang menemani safar, sejatinya membuat kita lebih bertakwa kepada Allah ﷻ, lebih menjaga pandangan kita selama dalam safar, lebih sering mengingatkan kita ketika kita hendak terjerumus di dalam sautu keburukan dan mengingatkan kepada kebaikan-kebaikan yang lain.
Oleh karenanya, hendaknya seseorang selalu berpamitan kepada keluarga, kerabat, saudara maupun temannya ketika hendak bersafar. Bagi mereka yang hendak ditinggal safar, hendaknya tidak merasa malu untuk mendoakannya. Semoga dengan doa yang dipanjatkannya bermanfaat kepada musafir, sehingga Allah ﷻ selalu memberikan penjagaan kepada musafir dan membuat perjalanannya menjadi berkah.
- Dimakruhkan bersafar dalam keadaan sendiri, apalagi safar pada malam hari.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ، مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia tahu apa yang aku tahu saat dia bersendirian, maka tidak ada seorangpun yang berkendara pada malam hari dalam keadaan sendirian.”([11])
Sebagian ulama menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ketika seseorang sedang bersendirian atau bersafar dalam keadaan sendiri pada malam hari sangat membahayakan bagi dirinya([12]). Hendaknya seseorang tidak melakukan safar pada malam hari dalam keadaan sendiri, karena banyak bahaya yang akan dijumpainya, baik itu berupa perampok, ketika mendapati kesulitan atau kesakitan, maka tidak ada orang yang melihatnya atau bahkan menolongnya, jika tiba-tiba dia meninggal dunia, maka tidak ada yang mampu menolongnya dan hal-hal berbahaya lainnya.
Adapun pada zaman sekarang -sebagian ulama menyebutkan bahwa- illah tersebut hampir tidak ada. Banyak orang yang melakukan safar pada malam hari dengan beramai-ramai, baik dengan menaiki kereta api, peﷺat, kapal atau kendaraan yang lain. Meskipun satu musafir tidak mengenali musafir yang lain, tetapi mereka melakukan perjalanan dalam rombongan, sehingga menjauhkan dari risiko yang membahayakan bagi orang yang bersafar sendirian.
Demikian juga dengan hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ
“Yang berkendara sendiri adalah setan, dua orang yang berkendara adalah setan dan tiga orang yang berkendara adalah para pengendara (musafir).”([13])
Para ulama menyebutkan bahwa hal ini berlaku pada zaman dahulu, yaitu pada zaman Nabi Muhammad ﷺ. Ketika seseorang melakukan safar sendirian, maka dikhawatirkan akan terjadi hal yang membahayakan, begitu juga jika dua orang. Namun, jika yang melakukan safar adalah tiga orang atau dengan jumlah ke atas, maka mereka bisa melakukan salat berjamaah, saling tolong-menolong dan saling mengingatkan. Bagaimanapun jika kita ingin melakukan safar, hendaknya mencari orang-orang yang mau menemani kita di dalam safar dan hal itu lebih baik([14]).
- Menunjuk pemimpin di dalam safar.
Di antara adab di dalam safar adalah menunjuk pemimpin di dalam rombongan safar. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang pergi bersafar, hendaknya salah satu dari mereka menjadi pemimpin.”([15])
Barang siapa yang hendak melakukan safar dengan cara beramai-ramai, baik untuk haji, umrah, kunjungan memberikan bantuan bencana alam atau kepentingan banyak orang, maka harus ada yang menjadi pemimpin di antara mereka.
Pentingnya kehadiran pemimpin dalam safar ini adalah agar tidak ada pertikaian. Pemimpin mereka bertugas untuk memberikan keputusan. Adapun yang lain harus menaati perintahnya dalam masalah safar. Semua keputusan pemimpin di dalam safar harus ditaati. Inilah di antara sunah agar tidak terjadi pertikaian di dalam safar. Oleh karenanya, hendaknya satu rombongan tersebut memilih pemimpin yang baik, bisa melihat situasi dan kondisi, memiliki ilmu, mampu mengendalikan emosi dan bijak dalam memimpin safar mereka.
Setelah kita telah menunjuk pemimpin di dalam safar, maka perkara selebihnya dan sesudahnya kita serahkan kepada Allah ﷻ. Semua keputusan pemimpin di dalam safar harus ditaati selama itu adalah ketaatan kepada Allah ﷻ.
- Berdoa ketika singgah pada suatu tempat yang asing.
Barang siapa yang bersafar dan singgah dalam suatu tempat, maka hendaknya berdoa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan.”([16])
Alangkah baiknya seseorang ketika singgah di dalam suatu tempat mengucapkan doa tersebut. Bisa saja seseorang singgah di dalam tempat peristirahatan yang asing baginya, sehingga ada saja orang-orang atau hewan-hewan yang akan mencelakainya. Dengan membaca doa tersebut Allah ﷻ akan melindunginya.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Khaulah binti Hakim as-Sulamiyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa yang singgah pada suatu tempat kemudian dia berdoa: ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan’, niscaya tidak akan ada yang membahayakannya hingga di pergi dari tempat itu.”([17])
- Segera menemui keluarganya ketika pulang dari safar.
Jika seseorang selesai dari safarnya dan pulang menuju rumahnya, hendaknya dia segera bertemu dengan istrinya. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah potongan dari kesulitan. Safar dapat menghalangi seseorang dari makanan, minuman dan tidurnya. Jika dia telah selesai dari urusannya, maka hendaknya dia bersegera menuju keluarganya/istrinya.”([18])
Safar merupakan salah satu keadaan yang menyulitkan, sehingga seseorang terhalangi dari makanan yang biasa dia makan, minuman yang biasa dia minum dan tidur nyenyak yang biasa dia nikmati. Selezat apa pun bekal yang dihidangkan di dalam safar, menikmati makanan yang biasa disantap di rumah lebih nikmat dari pada makanan di dalam safar. Senyaman apa pun fasilitas yang digunakan untuk tidur selama dalam safar, tidur di rumah lebih nyaman dari pada tidur dalam keadaan safar.
Tidak semua orang bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang berada di sekitarnya, sehingga dia merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Karena tidak semua orang terbiasa makan, minum dan tidur di luar rumahnya, membuatnya tidak terbiasa dengan hal-hal yang ada di luar rumahnya.
- Safar pada hari kamis.
Sebagaimana di dalam hadis yang diriwayatkan Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ، إِذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إِلَّا يَوْمَ الخَمِيسِ
“Sungguh sedikit sekali Rasulullah ﷺ ketika hendak keluar (untuk safar) kecuali pada hari kamis.”([19])
Rasulullah ﷺ sering melakukan safar pada hari kamis pagi hari. Bagi siapa saja yang hendak melakukan safar pada hari kamis, maka hendaknya dia melakukannya, karena ini termasuk sunah Nabi Muhammad ﷺ. Jika dia tidak mampu melakukannya, maka tidak menjadi masalah. Karena ada sebagian orang yang harus melakukan safar setiap hari, sehingga dia terhalangi dari memilih hari untuk bersafar. Namun, jika seseorang bisa memilih waktu untuk bersafar, maka hendaknya dia memilih hari kamis, karena Nabi Muhammad ﷺ sering bersafar di pagi hari pada hari kamis.
- Hendaknya seorang wanita safar disertai mahramnya.
Di antara adab bagi wanita ketika safar adalah tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar selama sehari semalam, sedangkan dia tidak bersama mahramnya.”([20])
Ini adalah hukum asal bahwa seorang wanita yang melakukan perjalanan dalam sehari semalam harus disertai dengan mahramnya. Adapun di dalam kondisi darurat atau keperluan yang sangat mendesak, seperti sebagian wanita yang harus beberharapijrah sendirian dari Makkah menuju Madinah atau suaminya berada di luar negeri, tidak ada saudara yang mampu untuk menemaninya, sedangkan dia dituntut untuk menemani orang tuanya yang sedang sakit, maka hal ini dibolehkan.
Namun, bagaimanapun keadaannya tidak seharusnya bagi setiap orang menyepelekan hal ini. Apalagi jika safarnya bukan menjadi keperluan yang sangat mendesak, maka tidak diperbolehkan seorang wanita melakukan safar seorang diri tanpa mahram.
Sebagai seorang suami juga hendaknya menyadari, jika seandainya seorang istri dituntut untuk melakukan safar, sedangkan dia sendiri tidak mampu menemaninya, maka hendaknya dia berbuat baik terhadapnya. Dia bisa menghubungi kerabat istrinya untuk menemaninya bersafar dengan menanggung semua perbekalan safar. Sehingga dengan perbuatannya tersebut, dia telah menjalankan syariat Allah ﷻ, dia mengeluarkan hartanya pada tempatnya dan seorang istri mampu melakukan safar dengan nyaman, karena ada yang menemaninya.
- Selalu bersama rombongan selama safar.
Di antara petunjuk salaf di dalam safar adalah selalu dalam rombongan dan kebersamaan bersama kawan-kawan musafir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berharap ketika ditanya,
أَيُّهُمَا أَحَبُّ إلَيْك يَعْتَزِلُ الرَّجُلُ فِي الطَّعَامِ أَوْ يُرَافِقُ قَالَ يُرَافِقُ هَذَا أَرْفَقُ يَتَعَاوَنُونَ إذَا كُنْت وَحْدَك لَمْ يُمْكِنْك الطَّبْخُ وَلَا غَيْرُهُ
“‘Manakah yang lebih baik antara seseorang makan seorang diri atau makan secara dengan temannya?’. Imam Ahmad berkata, ‘Lebih baik makan dengan temannya. Perbuatan ini lebih membuat mereka untuk saling tolong menolong. Jika engkau seorang diri, maka tidak mungkin bagimu untuk memasak seorang diri.([21])
Bisa saja sekelompok orang bersepakat mengumpulkan uang mereka untuk membeli makan hingga disantap bersama-sama, maka perbuatan ini sangat dianjurkan, karena banyak manfaat yang didapatkan bagi mereka. Mereka bisa saling merasakan kebahagiaan dan kesusahan.
- Mengerjakan ibadah sunah ketika sedang safar.
Di antara adab bersafar adalah ketika sedang bersafar seseorang dibolehkan untuk salat sunah di atas kendaraan kemanapun arah kendaraan berjalan. Ketika seseorang naik peﷺat, lalu pada malam hari dia ingin mengerjakan salat malam, maka dia bisa mengerjakannya kemanapun arah peﷺat tersebut melaju.
Pada zaman dahulu seseorang berkendara di atas untanya, jika dia hendak mengerjakan salat sunah, maka dia bisa mengerjakan salatnya di atas untanya. Karena ketika unta telah berjalan, sejatinya ia telah mengetahui kemana arah tujuannya tanpa diarahkan oleh penunggangnya. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Banyak orang yang menyangka bahwa jika dia melakukan safar, maka ibadah yang biasa dilakukannya tidak dikerjakannya. Sebagaimana banyak para wanita yang berpikir ketika tiba masa haid, maka mereka tidak mengerjakan segala ibadah yang biasa mereka kerjakan. Yang sebenarnya harus dilakukan adalah meskipun seseorang dalam safar atau seorang wanita dalam kondisi haid, dia bisa mengerjakan ibadah-ibadah yang masih mampu untuk dikerjakan. Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf dalam meniru perbuatan Nabi Muhammad ﷺ, di mana dalam keadaan safar tidak menghalangi mereka untuk melakukan ibadah sunah di atas kendaraan mereka.
Berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ، إِلَّا الفَرَائِضَ
“Nabi ﷺ pernah salat dalam keadaan safar di atas kendaraaannya menghadap kemanapun arah kendaraannya dan mengerjakan salat malam dengan berisyarat, kecuali dalam salat-salat fardu.”([22])
Di dalam hadis Abdullah bin Umar menyebutkan bahwa يُومِئُ إِيمَاءً ‘memberi isyarat (dalam salat)’, artinya ketika Nabi Muhammad ﷺ rukuk, sujud dan mengerjakan rukun salat yang lain, hanya dengan sekedar isyarat untuk rukuk maupun sujud dan tidak mempraktekkan rukuk maupun sujud dengan sempurna. Ketika rukuk beliau cukup membungkukkan kepalanya sedikit dan ketika sujud beliau membungkukkan kepalanya lebih dalam dari pada ketika rukuk dan seterusnya.
- Memperbanyak doa selama safar.
Di antara adab dalam safar adalah banyak berdoa ketika di dalam safar. Berdasarkan riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ، لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Ada tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang terzalimi, doa orang yang sedang safar dan doa orang tua kepada anaknya.” ([23])
Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang sedang bersafar banyak rahmat Allah ﷻ yang turun kepadanya, di antaranya adalah ketika dia sedang bersafar dalam keadaan berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Allah ﷻ memberikan banyak kemudahan bagi musafir. Jika dia hendak salat, Allah ﷻ memberikan kemudahan baginya untuk mengqasar atau menjamak salat. Dia tidak perlu mengerjakan salat qabliyah maupun bakdiyah. Jika dia berdoa, maka Allah ﷻ akan mengabulkan doanya.
Maka, hendaknya seseorang ketika mendapatkan kesempatan dalam keadaan bersafar, apalagi disaat waktu jumat sore, sehingga tergabung kepadanya waktu-waktu yang sangat baik untuk dikabulkan doa, maka hendaknya dia banyak berdoa dengan meminta banyak kebaikan dari Allah ﷻ. Jadi, Allah ﷻ telah memberikan keistimewaan, sudah seharusnya seorang muslim tidak melewatkan keistimewaan tersebut.([24])
- Tidak pulang dari safar menuju rumahnya pada waktu malam secara tiba-tiba.
Di antara adab ketika pulang dari safar adalah Nabi Muhammad ﷺ melarang seseorang pulang pada waktu malam tanpa diketahui oleh istrinya. Sebagian orang ketika pulang dari safar hendak memberikan kejutan kepada keluarganya atau istrinya pada malam hari dengan tanpa memberi kabar kepulangan. Sejatinya hal ini dilarang oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلًا يَتَخَوَّنُهُمْ، أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah ﷺ melarang bagi seseorang mengetuk pintu rumahnya pada malam hari (dari safar) untuk mencari-cari kesalahan atau keburukan keluarganya.”([25])
Di dalam riwayat yang lain dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Nabi ﷺ membenci seseorang yang (bersafar lama), lalu mendatangi istrinya mengetuk pintu rumahnya pada malam hari.”([26])
Di antara hikmah dan sebab Rasulullah ﷺ melarang dan membenci hal itu adalah beliau ﷺ ingin seorang wanita atau istri bersiap-siap menyambut suaminya yang datang dari safar. Sehingga, ketika seorang suami pulang ke rumahnya dari safar yang jauh dalam keadaan lelah, dia mendapati istrinya telah bersiap-siap beberharapias diri untuk menyambut kedatangannya.
Syariat ingin agar suami istri selalu dalam kondisi mesra, saling dekat dan menyayangi. Ketika seorang suami pulang dari safar yang lama dalam keadaan rindu kepada istrinya, lalu ketika pulang mendapati istrinya dalam kondisi yang nyaman dipandang oleh suaminya, maka akan terbentuk kasih sayang di antara mereka. Berbeda halnya, jika seorang suami pulang dari safar, tetapi mendapati istrinya sedang dalam keadaan tidak nyaman dipandang, maka akan menambah rasa lelah dan kebencian terhadap istrinya. Oleh karenanya, hendaknya seorang suami tidak pulang dari safarnya pada malam hari secara tiba-tiba, sehingga istrinya dapat bersiap diri untuk menyambut kedatangannya.([27])
Jika seorang suami memiliki kebiasaan bepergian dalam sehari atau dua hari, sedangkan istri sudah mengetahui kebiasaan suaminya tersebut, maka tidak mengapa jika seorang suami datang ke rumahnya, meskipun pada malam hari.
Para ulama menjelaskan bahwa hal ini berlaku pada zaman dahulu. Adapun pada zaman sekarang dengan adanya sarana telekomunikasi yang mudah, maka seseorang bisa dengan bebas pulang dari safarnya kapan saja dia mau. Dia bisa memberikan kabar kepulangannya kepada istrinya kapanpun waktunya.
Oleh karenanya, tidak disunahkan bagi seseorang untuk memberikan kejutan kepada keluarganya dengan datang ke rumahnya dari safar dengan tiba-tiba tanpa memberi kabar. Dari satu sisi, hal ini baik, tetapi bukan termasuk sunah dan anjuran dari Nabi Muhammad ﷺ.
- Ketika pulang dari safar mengerjakan salat dua rakaat sebelum masuk rumah.
Di antara adab dalam safar adalah ketika pulang di siang hari atau waktu duha sebelum masuk ke rumahnya dia mengerjakan salat dua rakaat di masjid terdekat. Adab ini menjadi sunah yang sangat langka dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman sekarang. Ini merupakan kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ka’b radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، ضُحًى دَخَلَ المَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ jika datang dari safar pada waktu duha, maka beliau masuk ke dalam masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.”([28])
Inilah anjuran yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada umatnya, yaitu ketika pulang dari safar pada pagi hari menyempatkan diri untuk mengerjakan salat dua rakaat di dalam masjid. Jika seseorang mampu meluangkan waktunya untuk melakukan amalan ini dalam rangka bersyukur kepada Allah ﷻ, tentu hal ini adalah yang terbaik baginya.([29])
- Selalu berhati-hati dalam berkendara.
Di antara adab yang harus diperhatikan bagi seiap muslim adalah selalu berhati-hati dalam berkendara. Betapa banyak kecelakaan terjadi di dalam perjalanan, sehingga banyak memberikan mudarat kepada orang lain. Hendaknya seseorang menjaga adabnya ketika berkendara. Janganlah seseorang mendahului kendaraan orang lain secara tiba-tiba, sehingga membuat orang lain terkejut. Janganlah dia menakut-nakuti orang lain selama dalam kendaraan.
Ketika dia hendak beristirahat di tengah perjalanan, maka hendaknya dia memberhentikan kendaraan di tempat yang semestinya, sehingga tidak melanggar, mengganggu dan memberikan kerugian atau mudarat terhadap orang lain. Karena hal itu menjadi sebab kecelakaan bagi kita dan juga kepada orang lain. Hendaknya sebelum bepergian seseorang memeriksa kendaraannya dari hal-hal yang dapat memberikan mudarat selama perjalanannya. Hendaknya mengatur kecepatan di dalam berkendara sehingga dia terhindar dari kecelakaan.
Sudah seharusnya bagi setiap muslim selalu bertakwa kepada Allah ﷻ selama dalam perjalanan atau safar, sehingga dia tidak menzalimi orang lain. Inilah di antara adab-adab dalam bersafar yang hendaknya diperhatikan oleh setiap muslim.
Footnote:
__________
([1]) HR. Abu Dawud No. 2602 dan At-Tirmidzi, No. 3446, hadis hasan sahih dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([3]) HR. Ahmad No. 2311 hadis hasan.
([5]) Lihat: Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (6/136).
([6]) HR. Ahmad No. 4524, hadis sahih.
([7]) Bahjah al-Majalis, (hlm. 50).
([8]) HR. At-Tirmidzi, No. 3445 hadis hasan dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([9]) HR. At-Tirmidzi, No. 3444 dan dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani.
([10]) HR. Ahmad No. 21354, At-Tirmidzi No. 1987, ia berkata, ‘hadits ini hasan shahih’. Dan Syu’aib al-Arnauth mengatakan hadits ini hasan lighairih.
([12]) Lihat: Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (6/139).
([13]) HR. Abu Dawud No. 2607 dan Ahmad No. 7007, hadis hasan dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([14]) Lihat: Mirqah al-Mafatih (6/2511).
([15]) HR. Abu Dawud No. 2608 dan hadis dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani.
([21]) Al-Adab asy-Syar’iyah, (3/193).
([23]) HR. Bukhari no. 32 di dalam al-Adab al-Mufrad.
([24]) Lihat: Jami’ al-Ulum wal-Hikam, karya Ibnu Rajab (1/269).