Hadis 6
Perintah Zuhud Terhadap Dunia
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْـتُـهُ أَحَبَّنِيَ اللَّهُ، وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ: “اِزْهَدْ فِيْ الدُّنْـيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ.” رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهُ وَسَنَدُهُ حَسَنٌ.
Dari Sahl bin Sa’ad ﷺ ia berkata, “Seorang sahabat menemui Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu perbuatan yang jika aku lakukan, aku akan dicintai oleh Allah dan manusia.’ Beliau bersabda, ‘Zuhudlah dari dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah dari apa yang ada pada manusia, niscaya mereka akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang hasan)([1])
Hadis ini menjelaskan tentang keutamaan zuhud. Zuhud ada dua macam, yaitu 1) zuhud terhadap dunia, inilah mendatangkan kecintaan Allah terhadap seseorang; dan 2) zuhud terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain, artinya kita tidak beberharaparap/minta/dikasih dari orang lain.
- Zuhud Terhadap Dunia
Orang yang zuhud terhadap dunia akan dicintai oleh Allah ﷻ karena Allah mencela orang-orang yang mendahulukan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat.
Dalam Al-Qurān Allah berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi kalian mendahulukan kehidupan dunia padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal.” ([2])
Dalam ayat yang lain, kata Allah ﷻ ,
تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ
“Kalian menghendaki perbendaharaan dunia padahal Allah menghendaki akhirat.” ([3])
Dalam ayat yang lain,:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ
“Katakanlah, bahwasanya perhiasan dunia itu sedikit dan akhirat lebih baik bagi yang bertakwa.” ([4])
Perhiasan/harta dunia sedemikian indah dan menawan di hadapan kita ini, di sisi Allah sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan akhirat. Kita bisa renungkan hadis Rasulullāh ﷺ,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat yang dikerjakan sebelum (qabliyyah) salat Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.” ([5])
Maksudnya, ganjaran yang Allah siapkan di akhirat kelak bagi yang senantiasa salat 2 rakaat sebelum salat Shubuh adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya. Seluruh kenikmatan dunia dan seisinya ini akan kalah dengan ganjaran yang Allah sediakan bagi orang yang salat 2 rakaat sebelum Shubuh.
Dalam hadis yang lain Rasulullāh ﷺ mengatakan,
لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia itu nilainya di sisi Allah seperti sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan minuman kepada seorang kafir.” ([6])
Karena dunia tidak ada nilainya di sisi Allah, maka Allah berikan juga kepada orang kafir. Seandainya dunia itu bernilai, maka Allah tidak akan memberikan sama sekali kepada orang kafir dan akan Allah khususkan saja bagi orang beriman. Kenyataannya, Allah memberikan dunia kepada orang kafir sebagaimana juga Allah berikan dunia kepada orang mukmin.
Namun saya ingatkan! Jangan disalah pahami bahwasanya tidak boleh mencari dunia sama sekali. Dunia itu tercela bukan karena zatnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jāmi’ul ‘Ulūm wal Hikam. Beliau menyebutkan bahwasanya dunia itu tercela bukan karena zatnya tetapi karena kebanyakan manusia mendahulukan dunia daripada akhirat. Dunia tercela tatkala manusia menjadikan dunia sebagai tujuannya.
Ibnu Rajab berkata :
وَاعْلَمْ أَنَّ الذَّمَّ الوَارِدَ فِيْ الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لِلدُّنْيَا لَيْسَ هُوَ رَاجِعاً إِلَى زَمَانِهَا الَّذِيْ هُوَ اللَّيلُ وَالنَّهَارُ، الْمُتَعَاقِبَانِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، فَإِنَّ اللهَ جَعَلَهُمَا خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَاْدَ شُكُوْراً… وَلَيْسَ الذَّمُّ رَاجِعاً إِلَى مَكَانِ الدُّنْيَا الَّذِيْ هُوَ الأَرْضُ الَّتِيْ جَعَلَهَا اللهُ لِبَنِيْ آدَمَ مِهَاداً وَسَكَناً، وَلَا إِلَى مَا أَوْدَعَهُ اللهُ فِيْهَا مِنَ الْجِبَالِ وَالبِحَارِ وَالأَنْهَارِ وَالْمَعَادِنِ، وَلَا إِلَى مَا أَنْبَتَهُ فِيْهَا مِنَ الشَّجَرِ وَالزَّرْعِ، وَلَا إِلَى مَا بَثَّ فِيْهَا مِنَ الْحَيَوَانَاتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ بِمَا لهُمْ فِيْهِ مِنَ الْمَنَافِعِ، وَلَهُمْ بِهِ مِنَ الِاعْتِبَارِ وَالاِسْتِدْلَالِ عَلَى وِحْدَانيَّةِ صَانِعِهِ وَقُدْرَتِهِ وَعَظَمَتِهِ، وَإنَّمَا الذَّمُّ رَاجِعٌ إِلَى أَفْعَالِ بَنِيْ آدَمَ الوَاقِعَة فِيْ الدُّنْيَا؛ لِأَنَّ غَالِبَهَا وَاقِعٌ عَلَى غَيْرِ الوَجْهِ الَّذِيْ تُحمَدُ عَاقِبَتُهُ، بَلْ يَقَعُ عَلَى مَا تَضُرُّ عَاقِبَتُهُ، أَوْ لَا تَنْفَعُ
“Ketahuilah bahwasanya celaan yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah kepada dunia, tidaklah tertuju kepada perputaran masa di dunia -yaitu siang dan malam yang silih berganti hingga hari kiamat- karena Allah menjadikan siang dan malam silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur…
Dan celaan tidak juga tertuju kepada tempat dunia yaitu bumi yang telah Allah jadikan sebagai hamparan dan tempat tinggal bagi anak keturunan Adam. Dan tidak pula celaan tertuju kepada apa-apa yang Allah siapkan di dunia seperti gunung, lautan, sungai, logam-logam, tidak juga tertuju kepada apa yang Allah tumbuhkan di bumi, seperti pepohonan dan tanaman, dan tidak juga tertuju pada apa yang Allah tebarkan di bumi seperti hewan-hewan dan yang lainnya. Sesungguhnya itu semua merupakan karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya yang penuh manfaat bagi mereka. Celaan hanyalah tertuju kepada perbuatan dan sikap hamba yang mereka lakukan terhadap dunia, karena kebanyakan perbuatan mereka terjadi tidak sesuai dengan yang seharusnya, akan tetapi terjadi dengan kondisi yang memberi kemudaratan bagi mereka atau tidak bermanfaat bagi mereka.” ([7])
Jadi, dunia ini pada zatnya sendiri tidak tercela karena dunia ini bisa bermata dua; bisa bermanfaat untuk akhirat seseorang dan bisa juga mencelakakan akhirat seseorang. Bukankah dalam banyak ayat Kitab Suci Al-Qur’an dan hadis Rasulullāh ﷺ dianjurkan untuk bersedekah, memberi manfaat, memberi hadiah, menyenangkan orang lain?
Kita beri hadiah dan pekerjaan kepada orang lain, kita membantu orang lain. Ini semua berkaitan dengan dunia. Semua butuh dengan dunia, jadi beramal saleh membutuhkan kepemilikan berbagai hal di dunia.
Oleh karenanya, dunia itu menjadi terpuji tatkala dijadikan sarana untuk mencapai akhirat dan bukan menjadi tujuan utama. Oleh karenanya, di antara doa Rasulullah ﷺ adalah
وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia ini sebagai tujuan utama kehidupan kami.” ([8])
Seseorang yang menjadikan dunia sebagai puncak tujuannya, maka dia akan lelah. Bahkan orang kaya pun akan lelah. Anda kira orang kaya tatkala mencapai harta yang begitu banyak, dia tidak lelah? Dia lelah, meskipun dia seorang bos yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Dia akan lelah berfikir; kalau ada kerugian dan musibah maka dia akan pusing/stres, karena dia menjadikan dunia sebagai tujuannya.
Tetapi kalau orang kaya yang menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat, dia akan bekerja dengan senang (bahagia) karena saat bekerja dia tahu bahwa hartanya akan digunakan untuk berinfak di jalan Allah. Tatkala membantu fakir miskin, dia gembira. Tatkala membangun pondok atau masjid, dia bahagia. Tatkala pondoknya ditempati oleh orang (untuk belajar), dia bahagia. Bisa berbakti kepada orang tua, dia bahagia. Oleh karenanya, jika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuannya (maka) dia akan tersiksa dan sengsara. Dan barang siapa yang menjadikan dunia bukan sebagai tujuannya (maka) dia akan zuhud terhadap dunia. Meskipun dia memiliki dunia yang banyak tetapi dunia tidak masuk ke hatinya dan hanya di tangannya karena dia tahu dunia itu hanyalah alat untuk mencapai akhirat, bukan tujuan.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita orang-orang yang zuhud sehingga kita dicintai oleh Allah ﷻ .
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullāh menyebutkan dari Yunus bin Maisarah,
الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ، كُلُّهَا مِنْ أَعْمَالِ الْقَلْبِ، لاَ مِنْ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ
“Zuhud terhadap dunia dengan 3 perkara. Seluruh perkara ini semuanya berkaitan dengan amalan hati, bukan berkaitan dengan amalan badan.” ([9])
Jadi, zuhud itu adalah masalah hati.
- Perkara Pertama
أَنْ يَكُوْنَ الْعَبْدُ بِمَا فِي يَدِ اللهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِ نَفْسِهِ
“Seseorang lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada dengan yang apa ada di tangannya.”
Maksud ungkapan ini yaitu seseorang sangat yakin bahwanya rezekinya berada di sisi Allah, bukan bergantung kepada dunia yang ada di tangannya saat ini, apalagi dengan harta yang ada di tangan orang lain (milik orang lain). Ini hanya dapat diwujudkan dengan kekuatan keyakinan. Jika hatinya sudah meyakini akan hal ini, maka:
- Ia tidak akan mencari harta dengan cara yang haram, karena dia tahu bahwa rezekinya bukan pada harta yang haram.
- Ia tidak akan tergantung pada orang lain, karena dia tahu bahwa rezekinya bukan di tangan orang lain.
- Ia akan tetap yakin akan rezekinya meskipun di rumahnya tidak ada apa-apa, tentunya dengan tetap ia berusaha mencari rezeki.
- Ia tidak terpedaya dengan harta yang sedang ada ditangannya, sehingga lupa kepada Allah, seakan-akan rezekinya tergantung pada harta yang sedang ia miliki saat ini.
Rezeki seluruh makhluk (telah) Allah jamin berdasarkan firman Allah ﷻ ,
مَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Tidak ada binatang melata di atas bumi ini kecuali rizkinya (berada) di sisi Allah ﷻ .” (QS. Hūd: 6)
Oleh karenanya, meskipun seseorang memiliki dunia (dia tahu bahwa Allah telah mengaruniakan rezeki kepadanya), namun dia lebih yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah ﷻ . Ini masalah hati. Sebagaimana yang pernah disampaikan pada pembahasan yang lalu, bahwasanya betapapun besarnya dunia di tangan kita, jangan sampai dimasukkan ke hati, (tetapi) hanya di tangan. Kita yakin bahwasanya dunia ini hanyalah sarana.
Kita yakin apa yang kita miliki sekarang ini akan sirna/hilang/habis dan ada waktunya. Sedangkan yang kekal abadi adalah yang di sisi Allah ﷻ . Allah ﷻ berfirman,
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang kalian miliki akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal.” ([10])
Jika kondisi hati seseorang demikian yakinnya, maka dia akan zuhud terhadap dunia, meskipun mungkin memiliki mobil dan rumah yang mewah, tetapi dia yakin ini hanyalah sementara, lebih yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah kepadanya, menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat.
- Perkara Kedua
أَنْ يَكُوْنَ الْعَبْدُ إِذَا أُصِيْبَ بِمُصِيْبَةٍ فِي دُنْيَاهُ مِنْ ذَهَابِ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، أوْ غَيْرِ ذَلِكَ أَرْغَبَ فِي ثَوَابِ ذَلِكَ مِمَّا ذَهَبَ مِنْهُ مِنَ الدُّنْيَا أَنْ يَبْقَى لَهُ.
“Seseorang tatkala terkena musibah, seperti hilangnya harta atau anaknya meninggal atau yang lainnya, lebih mengharapkan pahala dari musibah tersebut daripada menetapnya harta yang hilang tersebut bersamanya.” ([11])
Ini adalah sesuatu yang berat karena ini adalah zuhud yang hakiki. Jadi, kembali kepada keyakinan bahwasanya akhirat lebih mulia.
Seseorang tentu cinta kepada anak dan hartanya. Kalau anaknya meninggal atau hartanya hilang dia memang sedih, tetapi dia tumbuhkan di dalam hatinya bahwa pahala yang Allah berikan karena meninggalnya anak atau hilangnya harta, sangat jauh lebih besar daripada kenikmatan adanya anak dan kenikmatan harta tersebut.
Ini sangat berat. Oleh karenanya, Allah ﷻ memuji seorang yang tatkala anaknya meninggal dunia kemudian dia حمَدِ اللهَ وَاسْتَرْجَعَ hamidallah (memuji Allah) dan mengucapkan, “Innāllillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.”
Maka Rasulullahﷺ meminta Allah membangunkan bagi orang seperti ini istana di Surga yang dinamakan dengan Baitul Hamd (istana pujian). ([12])
Mengapa? Karena meskipun dia terkena musibah, dia memuji Allah ﷻ dengan mengatakan,
الْحَمْدُ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Segala puji bagi Allah atas segala kondisi (termasuk kondisi musibah yang menimpa).” ([13])
Dia yakin sepenuhnya bahwa di balik musibah ini ada kenikmatan yang luar biasa yang mungkin tidak diketahuinya di dunia, terlebih lagi di akhirat, hikmah yang Allah kehendaki, dan pahala yang luar biasa yang Allah siapkan di akhirat.
- Perkara Ketiga
أَنْ يَسْتَوِيَ عِنْدَ الْعَبْدِ حَامِدُهُ وَذَامُّهُ فِي الْحَقِّ
“Bagi si hamba sama saja apakah orang lain memuji atau mencelanya.” ([14])
Dan ini juga berkaitan dengan hati. Ini adalah tanda bahwa dia zuhud terhadap dunia karena pujian itu berkaitan dengan dunia. Orang memuji atau mencela bagi dia sama saja, tidak ada masalah. Yang dia harapkan adalah pujian Allah dan dia juga tidak ingin dicela oleh Allah ﷻ .
Adapun penilaian manusia maka tidak akan ada habisnya. Ketika Anda dipuji juga ada yang mencela, ketika Anda dicela ada juga yang memuji. Siapapun orangnya pasti pernah dicela dan dipuji, karena ada orang yang cocok dengan kita dan ada yang tidak. Menurut pendapat kita baik tapi menurut pendapat orang lain tidak baik.
Oleh karenanya, orang yang benar-benar zuhud terhadap dunia, tidak perduli dengan komentar-komentar duniawi. Yang dia pikirkan adalah bagaimana komentar Allah terhadap dirinya; apakah dia sudah berbuat baik atau belum menurut Allah ﷻ . Itu yang selalu menjadi bahan renungannya.
Orang yang zuhud adalah orang yang benar-benar tidak peduli dengan ini semua. Ini adalah zuhud yang luar biasa. Namun sulit untuk mencapai derajat ini. Kebanyakan orang kalau dicela maka akan marah dan kalau dipuji maka akan besar kepala, dan beberharaparap mendapat pujian terus-menerus. Berarti orang ini belum sampai pada derajat zuhud yang hakiki.
Para pembaca yang budiman dan dirahmati oleh Allah ﷻ , ketiga perkara ini sangat sulit diraih. Namun kita harus terus berusaha melatih diri kita. Saya ringkaskan lagi ketiga perkara tersebut adalah sebagai berikut.
- Seseorang lebih percaya dengan apa yang Allah janjikan baginya di akhirat. Dunia ini hanya sementara yang akan dia tinggalkan dan hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai apa yang Allah janjikan.
- Dia yakin bahwa di balik musibah yang menimpanya ada karunia dan kenikmatan yang luar biasa yang Allah siapkan untuk dirinya, meskipun dia kehilangan dunia ini. Dia zuhud, berusaha untuk sabar dan berusaha juga untuk memuji Allah ﷻ meskipun terkena musibah.
- Dia tidak mempedulikan komentar manusia. Baginya, yang dia pedulikan adalah bagaimana komentar Allah; apakah Allah memuji dia ataukah mencelanya. Yang dia pikirkan apakah dia sudah dengan benar menjalankan perintah Allah ataukah malah melanggar larangan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah ﷻ , banyak sekali hadis Rasulullah ﷺ yang memerintahkan kita untuk isti’faf (tidak beberharaparap pada orang lain) dan istighna (tidak butuh kepada orang lain). Dalam hadis, Rasulullah ﷺ mengajarkan do’a,
اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan perkara-perkara yang halal sehingga aku tidak butuh dengan perkara yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu, ya Allah, sehingga aku tidak butuh kepada orang lain.” ([15])
Pada asalnya, seseorang berusaha untuk mengerjakan kegiatannya sendiri dan mencukupkan dirinya sendiri (tidak butuh kepada orang lain). Karena seseorang yang membutuhkan (minta bantuan) kepada orang lain maka dia akan rendah di hadapan orang tersebut.
Berbeda dengan Allah ﷻ , semakin sering seorang hamba meminta kepada Allah, akan semakin Allah tinggikan derajatnya sebagaimana telah lalu.
Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian lah yang sangat membutuhkan Allah.” ([16])
Seorang semakin mewujudkan al-iftiqār (perasaan butuh kepada Allah) maka dia semakin dekat kepada Allah ﷻ , karena Allah suka kalau orang minta (berdoa) kepada-Nya. Berbeda dengan anak keturunan Adam, jika ada yang minta kepadanya maka dia akan marah dan benci.
Telah lalu sebuah nukilan perkataan indah dari Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah,
اِحْتَجْ إِلَى مَنْ شِئْتَ تَكُنْ أَسِيْرَهُ، وَاسْتَغِنِ عَمَّنْ شِئْتَ تَكُنْ نَظِيْرَهُ وَأَحْسِنْ إلَى مَنْ شِئْت تَكُنْ أَمِيرَهُ
“Butuhlah engkau kepada siapa yang engkau kehendaki niscaya engkau akan menjadi tawanannya. Cukupkanlah engkau untuk tidak butuh kepada siapapun yang engkau kehendaki maka engkau akan menjadi setara dengan dia. Berbuat baiklah kepada siapa yang engkau kehendaki maka engkau akan menjadi pemimpinnya.” ([17])
Meskipun ada orang miskin bergaul dengan orang kaya, jika orang miskin ini tidak butuh dengan orang kaya maka orang kaya ini tidak terlalu merendahkannya. Artinya, tidak bisa menjadikan tawanannya, kerena dia tidak merasa butuh kepada orang kaya tersebut.
Jadi, meskipun yang satu kaya dan satunya miskin, di mana Si Kaya adalah sahabat Si Miskin dan Si Miskin tidak butuh kepada Si Kaya, maka jadilah keduanya sama (setara). Kemudian, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
وَأَحْسِنْ إلَى مَنْ شِئْت تَكُنْ أَمِيرَهُ
“Dan berbuat baiklah kepada siapapun yang engkau kehendaki, maka engkau akan menjadi pemimpinnya.”
Kenapa ini semua bisa terjadi? Karena kalau kita berbuat baik kepada seseorang, bagaimanapun juga dia akan punya hutang budi kepada kita (sehingga) dia akan menghormati kita. Sebagaimana perkataan seorang penyair,
أَحْسِنْ إِلَى النَّاسِ تَسْتَعْبِدْقُلُوْبَهُمُ … فَطَالَمَا اسْتَعْبَدَ الإِنْسَانَ إِحْسَانُ
“Berbuat baiklah kepada orang lain maka engkau akan menundukkan hatinya. Kebaikan akan selalu menjadikan manusia tunduk kepada manusia lainnya.” ([18])
Yang kita bicarakan di sini (yang menjadi pokok bahasan) adalah tidak mengharap kepada orang lain agar tidak menjadi tawanannya.
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menjelaskan “Seseorang, semakin meminta kepada orang lain (semakin memerlukan orang lain) maka dia semakin rendah di hadapan orang tersebut.”
Beliau berkata :
وَمَتَى احْتَجْتَ إلَيْهِمْ – وَلَوْ فِي شَرْبَةِ مَاءٍ – نَقَصَ قَدْرُكَ عِنْدَهُمْ بِقَدْرِ حَاجَتِكَ إلَيْهِمْ، وَهَذَا مِنْ حِكْمَةِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ، لِيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، وَلَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ
“Kapan saja engkau membutuhkan mereka -meskipun hanya untuk seteguk air- maka akan berkurang nilai kehormatanmu di sisi mereka sesuai kadar kebutuhanmu kepada mereka. Ini merupakan hikmah Allah dan rahmat-Nya, agar penghambaan sepenuhnya hanya milik Allah dan Allah tidak disekutukan sedikitpun.” ([19])
Engkau, mau tidak mau, akan semakin rendah di hadapan orang lain tersebut karena engkau butuh kepada orang lain tersebut. Oleh karena itu, seseorang hendaknya berusaha untuk tidak beberharaparap kecuali kepada Allah ﷻ . Dia serahkan hatinya kepada Allah ﷻ . Dia minta kepada Allah, maka Allah yang akan menundukkan hati-hati orang tersebut untuk membantunya dan berbuat baik kepadanya.
Jadi, kalau ada yang berbuat baik kepada kita tidak kita tolak. Rasulullah ﷺ tidak menolak hadiah dan bantuan orang lain. Justru kalau kita menerima hadiah/bantuan dari orang lain tersebut, orang yang memberinya akan senang. Misalnya, ada orang ingin dekat dengan kita dengan memberi hadiah, maka kita terima. Akan tetapi jangan sampai hati kita beberharaparap diberi hadiah oleh orang itu. Jangan! Ini masalah pengaturan hati. Tetapi kita beberharaparap hanya kepada Allah, maka Allah yang akan mengatur hatinya untuk memberi bantuan/menolong kepada kita.
Dalam suatu riwayat disebutkan ada seorang bertanya, “Siapakah pemimpin penduduk negeri Bashrah?” Maka dikatakan, “Hasan Al-Bashri adalah pemimpin kota Bashrah.” Ditanya lagi, “Bagaimana dia bisa menjadi pemimpin bagi penduduk kota Bashrah?” Maka dikatakan, “Hasan Al-Bashri, orang-orang butuh terhadap ilmunya tetapi dia sendiri tidak butuh dengan harta mereka.” Dia tidak pernah minta kepada mereka.
Namun ada perkara yang perlu saya ingatkan, bukan berarti kita tidak boleh minta bantuan kepada orang lain sama sekali. Kita boleh meminta dalam beberapa kondisi seperti berikut ini:
- Apa yang kita minta itu memang hak kita sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Contohnya, ada seseorang yang berhak menerima zakat, maka dia boleh menyampaikan kepada pembagi zakat, “Saya berhak menerima zakat karena (alasan) 1, 2 dan 3.”
- Kondisinya sangat membutuhkan. Contohnya minta bantuan berupa utang.
Hal seperti ini diperbolehkan dan tidak masalah. Rasulullah ﷺ adalah imamnya orang-orang yang zuhud. Namun, Rasulullah ﷺ pernah juga berutang. Bahkan, ketika meninggal, beliau masih mempunyai utang dengan menggadaikan baju perangnya kepada seroang yahudi. ([20])
- Bukan untuk dirinya, tetapi untuk dakwah/pekerjaan sosial.
Untuk keperluan seperti ini tidak mengapa dia merendahkan dirinya. Hal seperti ini bukan untuk kepentingan dirinya tapi karena kepentingan di jalan Allah ﷻ , kepentingan ummat, untuk agama Allah. Ini tidak jadi masalah. Sebagaimana Rasulullah ﷺ menyuruh untuk bersedekah, bukan untuk dirinya, tapi untuk yang lain.
- Kondisi darurat.
Dalam kondisi darurat tidak mengapa meminta bantuan kepada orang lain, terutama kepada teman-teman dekat kita, yang seperti saudara sendiri, karena Allah menyuruh kita untuk saling tolong menolong sebagaimana telah dijelaskan di beberapa pembahasan sebelumnya. Tetapi jangan terlalu sering meminta bantuan sehingga merendahkan derajat kita di hadapan manusia. Hendaknya meminta bantuan dalam kondisi darurat saja.
Footnote:
____________
([6]) HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis hasan sahih.”
([7]) Jami’ al-‘Uluum wa al-Hikam 2/865-866
([9]) Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/858
([11])Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/860
إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ.
“Jika salah seorang dari anak seorang hamba meninggal, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkata kepada para malaikat, ‘Kalian mengambil (nyawa) anak dari hambaku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu Allah ‘Azza wa Jalla berkata, ‘Kalian mengambil buah hatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu Allah ‘Azza wa Jalla bertanya kepada para malaikat, ‘Lantas apa yang dia katakan?’ Mereka menjawab, ‘Dia memujimu dan mengucapkan innalillahi wainna ilaihi raji’un,’ Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkata, ‘Bangunkanlah untuk hambaku sebuah rumah di surga, dan namakanlah rumah itu baitul hamd’.” (H.R. At-Tirmidzi, No.1021 dari Abū Mūsā Al- Asy’ariy dan dihasankan oleh Syekh Al-Albāni rahimahullāh)
([13]) HR. Ibnu Mājah no. 3.830, hadis hasan
([14]) Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/861
([15]) HR. Tirmidzi, No.3563, dan dinilai sahih oleh Al-Albāniy
([18]) Ucapan Abu Al-Fath Al-Busti, di dalam ‘Unwan Al-Hikam (atau dikenal dengan nama Nuniyyah Al-Busti), karya beliau.
([20]) Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha meriwayatkan:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ، بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah ﷺ meninggal dunia, sedang baju besi beliau masih tergadaikan pada salah seorang yahudi, dahulu beliau gadaikan dengan 30 sho’ gandum” (H.R. Bukhori, No.2916)