Hadis 11
Diam adalah Hikmah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : “اَلصَّمْتُ حِكَمٌ، وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ.” أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِيْ “اَلشُّعَبِ” بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ وَصَحَّحَ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ مِنْ قَوْلِ لُقْمَانَ اَلْحَكِيْمِ
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Diam adalah hikmah dan sedikit yang melakukannya’.” (HR. Imām Al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Īmān dengan sanad yang dha’īf dan sebagian ulama membenarkan bahwasanya hadis ini adalah dari perkataan Luqmān Al-Hakīm)([1])
Luqmān Al-Hakīm adalah seorang yang telah makruf. Allah abadikan namanya dalam Al-Qur’an pada satu surah yang dikenal dengan nama Surah Luqmān. Terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama apakah Luqmān ini seorang nabi atau bukan. Namun jumhur ulama berpendapat bahwasanya beliau bukanlah seorang nabi, melainkan adalah hamba yang saleh yang memiliki kata-kata yang bijak.[2]
Disebutkan bahwa di antara kata-katanya yang bijak adalah perkataannya ini; bahwasanya “Diam adalah hikmah namun sedikit orang yang melakukannya”. Intinya, riwayat ini ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya diam itu mulia karena diam adalah hikmah. Kalau orang-orang berbangga dengan perkataan maka kita berbangga dengan diam.
Terdapat ungkapan sebagian orang yang berbunyi,
لَوْ كَانَ الْكَلاَمُ مِنْ فِضَّةٍ لَكَانَ السُّكُوْتُ مِنْ ذَهَبٍ
“Kalau seandainya berbicara itu terbuat dari perak, maka diam itu terbuat dari emas.”
Lisan ini sangat berbahaya. Dia bisa memudahkan seorang masuk dalam surga dan juga bisa memudahkan orang terjerumus masuk ke dalam neraka Jahannam. Oleh karena itu, Mu’ādz bin Jabal radhiallahu’anhu, tatkala Rasulullah ﷺ berkata kepada dia,
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
“Jagalah (kekanglah) lisanmu ini.”
Beliau bertanya,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟
“Ya Rasulūllāh, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?” Maka, Rasulullah ﷺ mengatakan,
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ-أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ-إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
“Bukankah kebanyakan orang tersungkur dalam neraka Jahannam di atas wajah mereka –atau di atas hidung mereka- oleh karena buah perkataan-perkataan mereka?”([3])
Oleh karenanya sebagian ulama (Al-Fudhail bin ‘Iyādh) mengatakan,
مَنْ عَدَّ كَلاَمَهُ مِنْ عَمَلِهِ قَلَّ كَلاَمُهُ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Barang siapa yang menghitung perkataannya itu termasuk dari perbuatannya, maka dia tidak akan banyak omong pada perkara yang tidak bermanfaat baginya.” ([4])
Bukan berarti tidak boleh berbicara. Boleh berbicara bahkan berbicara yang baik sangat dituntut, seperti dalam rangka berdakwah.
Allah mengatakan,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
“Dan perkataan siapa yang lebih baik dari orang yang berdakwah ke jalan Allah.” ([5])
Namanya berdakwah tentu harus berbicara. Jadi, berbicara itu baik, akan tetapi pembicaraan yang banyak yang tidak bermanfaat dan yang berlebihan bisa mengantarkan kepada neraka Jahannam. Oleh karenanya, seseorang hendaknya tidak berbicara kecuali dengan perkataan yang baik.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka hendaknya dia mengucapkan yang baik atau diam.” ([6])
Jika seseorang tidak bisa berucap yang baik, tidak pas atau pembicaraannya berlebihan hendaknya ia diam. Maka diamnya itu adalah emas, diamnya itu adalah hikmah.
Dalam hadis yang lain dari Abū Mūsā radhiallahu’anhu, beliau berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Rasulullah ﷺ pernah ditanya, ‘Muslim yang mana yang paling utama, Wahai Rasulullah?’ Rasulullah ﷺ mengatakan, ‘Seorang muslim yang kaum muslimin lain selamat dari kejahatan lisan serta kejahatan tangannya’.” ([7])
Seorang hendaknya hati-hati dalam berucap, karena ucapan lisan itu berbahaya, bisa menyakiti.
Oleh karenanya, seorang penyair berkata:
جَرَاحَاتُ السِّنَانِ لَهَا الْتِئَامٌ …. وَلاَ يَلْتَامُ مَا جَرَحَ اللِّسَانُ
“Luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa disembuhkan, tetapi luka yang disebabkan sayatan lisan kadang tidak bisa disembuhkan.” ([8])
Jika seseorang telah menyakiti saudaranya dengan ucapannya seperti, “Kamu pandir, enggak nyambung,” atau ucapan-ucapan berupa penghinaan lainnya, kadang sulit dilupakan oleh sahabat atau saudaranya yang mendengarnya.
Karenanya, beberharapati-hatilah dalam berbicara. Betapa banyak lisan yang dapat meninggikan derajat seseorang di surga, sebagaimana betapa banyak juga karena lisan menyebabkan seorang terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Oleh sebab itu, diam itu bernilai bagaikan emas dan ia merupakan hikmah.
Footnote:
__________
([1]) HR. Imām Al-Baihaqi no. 5027
([2]) Ibnu Hajar al-‘Asqalànì berkata: “Diriwayatkan dalam al-Mustadrak dengan sanad sahih bahwa Anas bin Malik berkata, ‘Dahulu di kala Luqmàn menyaksikan Nabi Daud membuat baju perang, Ia pun takjub dan ingin menanyakan perihal itu. Namun lantaran hikmah yang dianugerahkan Allah kepadanya, maka ia urungkan niatnya untuk bertanya.’Narasi ini secara jelas menyebut bahwa Luqmàn hidup sezaman dengan Nabi Daud.” Beliau juga mengutip pendapat mayoritas ulama (yang juga diriwayatkan sebagai pendapat Mujahid) bahwa Luqmàn adalah seorang saleh dan bukan seorang nabi. (Lihat: Ibnu Hajar al-‘Asqalànì (w. 852 H), Fath al-Bari, jilid 6/466).
([3]) HR. At-Tirmidzi no. 2.616, disahīhkan oleh Syekh Al-Albāni dalam Shahīh At-Tirmidzi
([4]) Kitab Al-Minhaj Syarah Shahīh Muslim, 2/19. Dan Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, bahwa ucapan ini juga ada pada Shuhuf Ibrahim ‘alaihissalam. Lihat : At-Tamhid, 8/276
([6]) Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhāri no. 6018; Muslim no.47, dari Abū Hurairah radhiallahu’anhu.
([7]) HR. Bukhāri, No.11, Muslim, No.42, Tirmidzi, No.2504, dan Nasā’I, No.4999
([8]) Al-Lathaif Az-Zharaif, Abu Manshur Ats-Tsa’alibi, 1/104