Hadis 8
Meninggalkan Hal-Hal Yang Bukan Urusannya
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : “مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ، تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَسَنٌ.
Dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Diantara keelokan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya’.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “Hadis yang hasan.”)([1])
Hadis ini adalah hadis yang sangat agung dan mengajarkan adab yang sangat luhur, karena Rasulullah ﷺ membuka hadis ini dengan berkata, “Di antara keelokan Islam seseorang.”
Jadi, dengan hadis ini, kita dapat mengukur keelokan Islam seseorang, yaitu dengan melihat bagaimana kegiatan dia. Apabila berbagai aktivitas yang dia lakukan (baik perkataan maupun perbuatannya) berkaitan dengan urusan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat, maka ia adalah orang yang Islamnya indah. Tapi ada orang yang kesibukannya pada perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan yang bukan urusannya, seperti nimbrung dengan urusan orang lain, komentar dengan perkara-perkara yang bukan bidangnya, ikut ingin tahu urusan-urusan orang lain, menghabiskan waktu pada yang tidak bermanfaat, maka (ini) Islamnya tidak indah.
Dan yang dimaksud dengan “urusan” di sini adalah urusan yang bermanfaat yang ditentukan oleh syariat. Bukan sibuk dengan “urusan” yang dia kehendaki (menurut pikiran dia), karena setiap orang mempunyai urusan, tapi banyak dari urusan-urusan tersebut yang tidak bermanfaat. Seseorang hendaknya berusaha menyibukkan dirinya dengan perkara yang bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat. ([2])
Jadi, maksud dari hadis ini adalah supaya kita sibuk dengan urusan kita sendiri, namun dengan syarat urusan yang bermanfaat menurut syariat.
Para pembaca yang dirahmati oleh Allah ﷻ , sekarang kita hidup di zaman (terutama di zaman media sosial saat ini) yang terdapat banyak sekali perkara yang tidak bermanfaat yang membuat kita tersibukkan. Seseorang memiliki banyak teman di Facebook dan banyak grup di WhatsApp sehingga banyak berita yang masuk yang kebanyakannya tidak perlu untuknya atau terkadang memang perlu, namun bukan termasuk hal yang primer. Banyak orang yang mengunakan Facebook suka men-share berbagai hal, baik masalah kesehatan, keluarga, makanan, berita artis, dan berbagai informasi lain. Akhirnya, informasi itu masuk juga ke HP kita dan kitapun ikut membaca.
Oleh karenanya, di zaman seperti ini, dengan kita memperbanyak teman akan memperbanyak berita yang masuk kepada kita, yang pada akhirnya memenuhi memori “hard disk” yang ada di kepala kita. Karena sudah penuh, maka untuk memasukkan Al-Qur’an sudah tidak ada tempatnya dan untuk memasukkan hadis juga kurang tempatnya. Akhirnya, banyak kesibukan kita habiskan dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat. Maka jadilah Islam kita bukan Islam yang indah.
Belum lagi, tatkala kita melihat berita-berita tersebut kita juga sibuk berkomentar; komentar ini, komentar anu, komentar dan komentar. Sudah beritanya tidak bermanfaat, kita pun sibuk berkomentar, sehingga tidak bermanfaat plus tidak bermanfaat, menjadi tidak bermanfaat kuadrat. Maka bagaimana mau dikatakan Islam kita Islam yang indah jika demikian keadaannya? Oleh karenanya, seseorang di zaman seperti ini hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat agar dia tidak terjebak pada kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat.
Para ulama mengatakan sebuah adagium yang indah,
مَنِ اشْتَغَلَ بِمَا لا يَعْنِيهِ فَاتَهُ مَا يَعْنِيهِ
“Barang siapa yang sibuk dengan perkara yang tidak bermanfaat bagi dia maka banyak perkara yang bermanfaat yang luput darinya.” ([3])
Jadi, seseorang yang seharusnya memiliki waktu untuk menghafal Al-Qur’an, belajar hadis, berbakti kepada orang tua, menelepon orang tua, memberi waktu untuk anak-anaknya, membahagiakan istri dan anaknya dan sebagainya, karena terlalu banyak teman di media sosial, banyak berita yang masuk, banyak komentar, akhirnya waktu menjadi terbuang sia-sia.
Seorang muslim harus sibuk dengan perkara yang bermanfaat, bermanfaat baginya dan keluarganya, di dunia maupun di akhirat. Bayangkan, jika seseorang mempunyai group WhatsApp sampai lima puluh grup. Alhamdulillāh, kalau ternyata grupnya adalah grup BIAS (Bimbingan Islam) atau grup ilmu dan dakwah lain yang bermanfaat. Tetapi kalau grup ini, grup anu, grup itu yang tidak jelas, sehingga ketika ia membuka Whatsapp ada gambar orang tertawa, tulisan kabur, ada gambar ini, gambar anu, postingan macam-macam yang terkadang tidak bermanfaat, dan sebagainya.
Kalau ingin punya grup hendaknya grup tertentu yang bermanfaat, misalnya grup untuk silaturahmi, grup kakak adik, grup kerabat, atau group pengajian, dan sebagainya. Silaturrahmi lewat WhatsApp, alhamdulillāh. Grup pengajian, tidak jadi masalah. Kalau mempunyai teman di Facebook sampai 5.000 teman tetapi hanya untuk mengobrolkan hal-hal yang tidak bermanfaat, apa yang akan didapat? Kecuali kalau untuk dakwah, alhamdulillāh. Tapi kalau tidak untuk dakwah, akhirnya banyak berita yang masuk. Bukan mendakwahi mereka malah kita yang didakwahi oleh mereka, karena masing-masing teman tersebut men-share macam-macam dan kita ikut baca.
Oleh karenanya, para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ . Di antara bentuk zuhd dan wara’ yaitu kita menyibukkan diri kita dengan perkara yang bermanfaat, sedangkan yang tidak bermanfaat kita tinggalkan. Jangan sibuk dengan urusan orang lain, tetapi sibuklah mengurusi urusan diri sendiri. Kita tidak masuk ke dalam urusan orang lain kecuali dalam rangka memberikan manfaat kepadanya atau menolongnya.
Tetapi kalau hanya sekedar ingin tahu, ingin nimbrung, dan tanpa memberikan sumbangsih yang berarti baginya, maka tidak perlu. Wallahu a’lam.
Footnote:
_________
([2]) Lihat : Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, Ibnu Rajab Al-Hanbali, 1/288
([3]) Lihat : Al-‘Uzlah, Al-Khatthabi, 43, Al-Fawaid, Ibnu Al-Qoyyim, 1/175