Hadis 7
Sebab untuk Meraih Kecintaan Allah kepada Seorang Hamba
Dari Sa’ad bin Abi Waqqāsh radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya dan yang tersembunyi’.” ([1])
Hadis ini menjelaskan tentang salah satu sifat Allah, yaitu “mencintai”, dimana Allah mencintai seorang hamba. Allah dicintai dan Allah mencintai. Maka seorang hamba hendaknya berusaha untuk dicintai oleh Allah ﷻ sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullāhu Ta’āla:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِنَّ الشَّأْنَ أَنْ تُحَبَّ
“Perkara yang paling utama bukanlah bagaimana engkau mencintai Allah, tetapi engkau dicintai Allah.” ([2])
Ini yang paling penting. Oleh karenanya, seorang hamba hendaknya berusaha melakukan hal-hal yang bisa membuat dia bisa meraih kecintaan Allah kepada dirinya.
Di antara hal-hal yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba menurut hadis ini ada 3 perkara, yaitu:
- At-taqiy (seorang hamba yang bertakwa)
Takwa artinya menjalankan perintah Allah ﷻ , dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh Allah ﷻ .
- Al-ghaniy (seorang yang kaya)
Maksudnya adalah jiwanya yang kaya, kanaah dengan apa yang Allah berikan kepadanya. ([3]) Dan Wallahu a’lam bish-shawāb, alasan hadis ini dibawakan dalam bab Az-Zuhd wal Wara’ adalah karena masalah ini, yaitu al-ghaniy, yaitu seorang yang zuhud dia tidak butuh dengan apa yang dimiliki oleh orang lain, dia tidak mengkaitkan hatinya dengan harta orang lain, dan dia ingin cukup dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ berkata,
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
“Barang siapa yang berusaha untuk mencukupkan diri, Allah akan berikan kecukupan kepadanya.” ([4])
- Al-khafiy
Mengenai hal ini, riwayat hadis ini memiliki dua redaksi; dengan huruf “kha” ( خ) dan dengan huruf “ha” (ح).
- Huruf kha (خ)
Jika dengan huruf “kha” yaitu “al-khafiy” ( الخَفِيُّ ) artinya samar (tersembunyi). Maksudnya orang ini berusaha menjauhkan dirinya dari pandangan manusia. Ia tidak ingin riya’ dan sum’ah. Dia sibuk dalam perkara-perkara yang bermanfaat bagi dirinya; bermanfaat bagi dunianya maupun bagi akhiratnya. ([5])
Para ulama menyebutkan bahwa ini adalah dalil tentang keutamaan untuk mengasingkan diri, terutama di zaman-zaman fitnah. ([6]) Seseorang hendaknya jangan sibuk dengan fitnah, tetapi sibuk dengan yang bermanfaat, sibuk dengan ibadah. Dalam hadis Rasulullāh ﷺ mengatakan,
العِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Bahwasanya ibadah dalam masa-masa fitnah nilai pahalanya seperti beberharapijrah kepadaku.” ([7])
Mengapa demikian? Karena kalau sudah timbul fitnah, maka banyak orang yang sibuk ingin mengetahui fitnah tersebut, kemudian ingin berkomentar dalam fitnah dan ikut nimbrung.
Dan ini adalah dalil bahwasanya seorang hendaknya menjauhkan dirinya dari hal-hal yang bisa membuat riya’ dan sum’ah, dan ingin menjauhkan diri dari popularitas.
Namun para ulama menyebutkan, jika seseorang tidak ingin populer/tersohor dan tidak melakukan sebab-sebab yang membuat dirinya populer (sengaja untuk mempopulerkan diri), namun Allah takdirkan dirinya populer/dikenal oleh orang, maka hal ini tidak mengapa
Abu Dzar radhiallahu’anhu berkata:
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Dikatakan kepada Rasulullah ﷺ , ‘Bagaimana menurut Anda seseorang yang mengerjakan amal kebajikan lalu orang-orang memujinya atas amaanl tersebut?’ Rasulullah ﷺ berkata, ‘Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin’.” ([8])
Jadi, asalkan orientasinya bukan pujian manusia, melainkan dia beramal hanya karena Allah ﷻ maka tidak mengapa, karena memang banyak orang yang berusaha ingin menjadi populer. Ada orang ingin populer dan Allah jadikan dia populer. Ada orang ingin populer, tetapi tidak populer. Ada orang tidak ingin populer namun Allah jadikan dia populer. Kita mohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada kita keikhlashan.
- Huruf ha (ح)
Jika dengan huruf “ha” menjadi al-hafiy ( الْحَفِيُّ ). Disebutkan oleh para ulama maknanya adalah الْوَصُولُ لِلرَّحِمِ اللَّطِيْفُ بِهِمْ وَبِغَيْرِهِمْ مِنَ الضُّعَفَاءِ (orang yang sangat suka menyambung silaturahmi dengan para kerabatnya dan sangat Perhatian dengan mereka dan juga selainnya dari dari para duafa.” ([9]). Yakni, ia sibuk mengurusi kerabat-kerabat dekatnya terlebih lagi anak-anak dan istrinya. Karenanya sebagian ulama (yaitu Abul ‘Abbas al-Qurthubi) menjelaskan makna الْحَفِيُّ dengan الْمُتَحَفِّي بِأَهْلِهِ، الْوَصُوْلُ لَهُمْ بِمَالِهِ، السَّاعِي فِي حَوَائِجِهِمْ “Yang sibuk mengurusi keluarganya, menyambung kebaikan kepada mereka dengan hartanya, yang berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka ” ([10])
Orang seperti ini dicintai oleh Allah ﷻ karena mengurus keluarga adalah perkara yang penting.
Di antara kesalahan sebagian orang (yaitu) Perhatian dan suka membantu orang-orang yang jauh sementara rahimnya (kerabatnya) tidak diperhatikan. Terlebih lagi jika menjadikan keluarganya bukan primer tapi sekunder. Dia menjadikan pekerjaannya dan hubungannya dengan teman-temannya sebagai yang primer, sementara keluarganya terbengkalai.
Hal seperti ini keliru. Oleh karenanya, banyak orang yang beberharapasil di luar rumah namun di keluarganya tidak beberharapasil. Ini tidak dicintai Allah. Yang Allah cintai adalah seseorang yang sibuk mengurus keluarganya, anak-anaknya dan istrinya. Inilah makna dari hadis ini.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk orang seperti yang disebutkan dalam hadis ini dan dimudahkan untuk meraih kecintaan Allahﷻ .
Footnote:
___________
([2]) Kitab Rawdhatul Muhibbīn wa Nuzhatul Musytaqīn: 266
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Tidaklah kekayaan itu diukur dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu hakikatnya adalah kekayaan jiwa (kanaah)”. (H.R. Bukhori, No.6446, Muslim, No.1051)
([5]) Lihat : Mirqat Al-Mafatih, Mulla ‘Ali Al-Qori, 8/3306
([6]) Lihat : Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 18/101
([9]) Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, An-Nawawi 18/100
([10]) Al-Mufhim Lima Asykala Min Talkhis Kitabi Muslim, Abul Ábbas al-Qurthubi 7/120