Hadis 3
Perintah untuk Wara’ kepada Dunia
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله الهم قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِـبَيَّ، فَقَالَ: “كُنْ فِيْ الدُّنْـيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ.”
وَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ رضي الله عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِسَقَمِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallãhu ‘anhumā ia berkata, “Rasulullah ﷺ memegang kedua pundakku lantas berkata, ‘Jadilah di dunia ini seakan-akan kamu adalah orang asing atau orang yang hanya menumpang lewat’.” Dan Ibnu ‘Umar radiyallãhu ‘anhuma berkata, “Jika engkau berada di sore hari, jangan tunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, maka jangan kau tunggu tibanya sore hari. Gunakan dan manfaatkanlah kesehatanmu sebelum datang sakitmu. Dan manfaatkanlah kehidupanmu sebelum kematianmu.” ([1])
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan beliau termasuk sighārush shahābah (sahabat Rasulullah yang berusia belia). Tatkala Rasulullah ﷺ menyampaikan wasiat ini kepada beliau usianya masih sangat muda. Disebutkan di hadis ini bahwa Rasulullah ﷺ memberi nasihat ini sambil memegang kedua pundak Ibnu Umar. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar serius dengan nasihat ini, namun disampaikan dengan penuh kasih sayang.
Rasulullah ﷺ kemudian berwasiat,
كُنْ فِيْ الدُّنْـيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Wahai Ibnu Umar, hiduplah engkau di dunia seakan-akan engkau adalah orang yang asing atau orang yang numpang lewat.”
Pembaca yang dirahmati Allah, wasiat kepada pemuda adalah perkara yang penting, karena anak muda biasanya belum terlalu tenggelam ke dalam urusan-urusan dunia disebabkan kebutuhannya akan dunia tidak terlalu banyak. Berbeda dengan seseorang yang telah berkeluarga, maka kadang tenggelam dengan dunia dan mencari dunia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang banyak. Nah, nasehat kepada anak muda sangat tepat tentang dunia sebagai persiapan baginya sebelum ia terjun ke dalam kancah dunia dan harta.
Apa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ dengan nasehat beliau kepada Ibnu Umar di atas? Maksudnya, janganlah engkau terperdaya dengan dunia ini. Jadilah engkau seperti orang asing di suatu kota. Misalnya ada orang asing yang tinggal di suatu kota, bagaimanakah sikap orang asing tersebut? Orang asing tersebut hanya tinggal di kota tersebut seperlunya. Dia ada keperluan; mungkin karena ada pekerjaan atau mencari sesuatu sehingga dia tidak terlalu tertarik dengan apa-apa yang ada di kota tersebut. Kenapa? Karena dia tahu bahwa dia tidak akan tinggal lama di kota ini. Tatkala dia melihat penduduk kota tersebut memiliki rumah-rumah yang mewah, dia tidak terlalu peduli. ([2])
Untuk apa dia memiliki rumah di situ? Dia hanya orang asing di situ. Dia tahu dia tidak akan tinggal selama-lamanya di kota itu. Dia hanya menjalankan tugas sementara di kota tersebut dan akan kembali ke tempat tinggalnya semula. Jadi, seseorang hidup di dunia ini seperti orang asing. Yang dia perhatikan (adalah) bagaimana membangun rumah di kampungnya, kampung akhirat, kampungnya yang sesungguhnya. Dia rindu untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya, kekasih-kekasihnya, orang-orang yang dicintainya di kampung tersebut. Adapun di kota ini, dia hanyalah asing; tidak begitu mengenal orang, tidak tertarik dengan kelebihan yang mereka miliki, tidak hasad kepada mereka.
Kenapa? Karena dia tahu bahwasanya semua itu akan dia tinggalkan, dia akan pulang ke kampungnya yang sesungguhnya. Demikianlah (hendaknya) seseorang takala hidup di dunia, yang dia perhatikan adalah bagaimana membangun istananya di kampung akhirat. Itulah tempat tinggalnya yang sesungguhnya.
Banyak orang yang terperdaya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, menghabiskan waktu, tenaga dan energi dalam rangka untuk membangun istana di dunia. Namun lupa untuk membangun istana di akhirat. Padalah di dunia dia hanyalah seperti orang asing, dia akan tinggalkan dunia ini.
Berapapun rumah mewah yang ia bangun, berapapun banyak uang yang dia kumpulkan, nantinya juga akan ia tinggalkan. Kalau tidak dia jadikan itu semua sebagai bekal untuk membangun istananya di akhirat maka dia akan merugi. Kenapa? Karena semuanya akan dia tinggalkan.
Coba seandainya ada orang asing yang tinggal di suatu kota, dia bangun rumah besar-besar kemudian dia tinggalkan. Apa fungsi rumah tersebut? Ini orang yang kurang waras. Yang waras adalah orang yang membangun istana di kampung yang sesungguhnya. Dia jadikan dunia ini sebagai sarana untuk bisa mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk membangun istananya di akhirat.
Kata Rasulullah ﷺ kepada Ibnu Umar,
أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Atau (jadilah engkau seperti) orang yang numpang lewat.”
Orang yang numpang lewat menyadari bahwa dirinya masih punya tujuan yang harus ia tempuh, dan dia cuma singgah sebentar. Mungkin untuk makan secukupnya atau ingin mengambil bekal untuk dia gunakan melanjutkan perjalanan. Demikianlah hakikat dari kondisi kehidupan dunia. Hanya numpang lewat dan benar-benar dunia ini hanyalah numpang lewat. Waktu kita hidup di dunia hanya sebentar dibandingkan dengan kehidupan abadi yang selama-lamanya. Dunia dalam bahasa arab diambil dari kata الدُّنُو yang artinya القُرْبُ dekat, dan dinamakan demikian karena begitu dekat waktunya untuk hilang. Dan benar, kenikmatan dunia begitu cepat sirna, bahkan para penghuni dunia juga begitu cepat sirna.
‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu pernah menuturkan,
نَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا.
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di atas tikar. Kemudian ketika beliau bangun, ternyata tikar itu meninggalkan bekas di badan beliau. Maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullah ﷺ, maukah engkau kami buatkan kasur/dipan’ Rasulullah ﷺ pun menjawab, ‘Apa urusanku dengan dunia? Tidaklah aku di dunia ini melainkan hanya seperti orang yang sedang berkendaraan, lalu singgah barang sebentar di bawah pohon untuk berteduh, lalu berlalu setelah rehat sejenak.”([3])
Oleh karenanya, Ikhwan dan Akhwat yang dirahmati oleh Allãh ﷻ , jadilah Anda di dunia ini seperti orang asing atau orang yang numpang lewat. Jangan terperdaya dengan kilauan dan keindahan dunia. Toh Anda akan tinggalkan ini semua! Siapkanlah bekal Anda untuk membangun istana seindah-indahnya di kampung Anda yang sesungguhnya, yaitu kampung akhirat.
Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah ﷻ , Selanjutnya Ibnu ‘Umar radhiyAllahu Ta’āla ‘anhumā, setelah beliau mendengar hadis Rasulullah ﷺ untuk tinggal di dunia seperti orang asing atau yang numpang lewat, beliau mengambil kesimpulan dan menasihati kita,
“Jika kau berada di sore hari maka jangan tunggu pagi hari. Jika kau telah memasuki pagi hari maka jangan tunggu sore hari. Gunakanlah waktu sehatmu sebelum kau sakit. Gunakanlah kehidupanmu sebelum datang kematianmu.”
Seakan-akan Ibnu Umar menasihati kita agar menjadikan kematian selalu berada di hadapan kedua mata kita, sehingga kita senantiasa bersemangat untuk melaksanakan ketaatan dan menggunakan kesempatan yang Allah berikan sebelum datang atau sebelum hilangnya waktu luang (kesempatan) tersebut. ([4])
Dengan petuahnya, Ibnu Umar mengajarkan kepada kita untuk jangan terlalu memanjangkan angan-angan dalam urusan dunia. ([5]) Adapun untuk masalah akhirat seyogianya kita mempunyai himmah ‘āliyah (semangat yang tinggi).
Rasulullah ﷺ mengatakan,
إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ
“Jika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus.” ([6])
Kita harus punya semangat dalam meraih kebaikan di akhirat. Dengan semangat itu, maka kita harus terus beramal. Adapun dalam masalah dunia, jangan memanjangkan angan-angan. Ibnu Umar menyuruh kita untuk bersegera; kalau sudah tiba di pagi hari maka jangan tunggu sore. Apa yang bisa kita kerjakan sekarang, jangan tunda, karena belum tentu kita bisa hidup sampai sore hari. Yang harusnya bisa kita kerjakan sekarang kenapa harus ditunda untuk sore hari? Demikian juga kalau sudah tiba sore hari, kita jangan tunda sampai pagi hari.
Apa yang bisa kita kerjakan sekarang, kerjakan saja sekarang! Amal apa saja (semua amal) yang bisa kita lakukan di pagi hari atau sore hari, kita amalkan! Di pagi hari misalnya berzikir kepada Allah, mencari nafkah buat keluarga, menyempatkan salat Duha. Di sore hari pun demikian. Misalnya menyempatkan membaca al-Quran, salat malam, salat berjemaah, berbakti kepada orang tua. Itu bekal kita untuk membangun istana di akhirat. Jangan tunda-tunda kebaikan! Kalau masalah dunia bisa kita tunda, tapi masalah akhirat jangan kita tunda.
Oleh karenanya seorang penyair berkata,
تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي … إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
“Berbekallah engkau dengan ketaqwaan (karena) sesungguhnya engkau tidak tahu jika telah tiba malam hari apakah engkau masih bisa hidup hingga pagi hari.”
وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ … وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْناً مِنَ الدَّهْرِ
“Betapa banyak orang sehat tiba-tiba meninggal tanpa didahului oleh sakit. Dan betapa banyak orang yang sakit ternyata masih hidup dengan masa yang panjang.”
وَكَـمْ مِنْ عَرُوْسٍ زَيَّـنُوْهَا لِزَوْجِـهَا… وَقَدْ نُـِسجَـتْ أَكْـفَـانُهَا وَهِيَ لاَ تَدَرِي
“Betapa banyak mempelai wanita yang dihiasi untuk dipersembahkan kepada mempelai lelaki ternyata kain kafannya sedang disiapkan sedangkan dia tidak menyadarinya.”
فَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا …. فَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَامُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ
“Betapa banyak pemuda di pagi dan petang hari masih tertawa, tiba-tiba (setelahnya) tubuh mereka sudah dimasukkan ke dalam liang lahat.”
Saya punya seorang teman tetapi tidak begitu dekat. Subhanallah. Dia ingin (melakukan perjalanan) ke Indonesia namun dia batalkan karena malam harinya bibinya meninggal dunia dan dia harus menghadiri pemakaman. Maka di malam harinya dia ke pekuburan Bāqi’ untuk menguburkan bibinya. Subhanallah, ternyata saat shubuh hari dia yang dikuburkan di Bāqi’ (di tempat pemakaman yang sama). Subhanallah, padahal malam harinya dia baru saja menyalatkan mayat orang lain, baru mendoakan mayat orang lain, baru menguburkan orang lain.
Oleh karenanya, Para ikhwan dan akhawat yang dirahmati oleh Allah ﷻ , jika telah tiba pagi hari jangan tunda-tunda lagi waktu (hingga) sore hari. Beramallah! Kalau tidak bisa banyak-banyak, yang penting ada waktu yang kita sisihkan untuk beramal. Demikian juga jika telah tiba sore hari, tidak usah tunggu sampai pagi. Sore hari sampai malam waktu yang panjang, banyak yang bisa kita kerjakan dengan berdzikir, membaca Al-Qurān, berbuat baik pada orang tua, membuat orang tua tersenyum, dan yang lainnya.
Semoga Allah ﷻ memberi taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa beramal saleh dan tidak menunda-nunda amal saleh.
Footnote:
___________
([1]) H.R. Imām Bukhari, No.6416
مَعْنَى هَذَا الحَدِيْثِ الحَضُّ عَلَى قِلَّةِ الْمُخَالَطَةِ وَقِلَّةِ الاقْتِنَاءِ وَالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا.
“Maksud dari hadis ini adalah: “Anjuran untuk meminimalisasi pergaulan, tidak banyak mengumpulkan harta, dan zuhud terhadap dunia” (Syarah Shahih Al-Bukhori, Ibnu Batthal, 10/148)
([3]) H.R. At-Tirmidzi, No.2377, Ahmad, No.3709
([4]) Lihat : Syarh Shahih Al-Bukhori, Ibnu Batthal, 10/149
([5]) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa hadis ini adalah terhitung sebagai salah satu pokok dari tema memendekkan angan-angan. Beliau berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي قِصَرِ الْأَمَلِ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَّخِذَ الدُّنْيَا وَطَنًا وَمَسْكَنًا، فَيَطْمَئِنَّ فِيهَا، وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِيهَا كَأَنَّهُ عَلَى جَنَاحِ سَفَرٍ: يُهَيِّئُ جِهَازَهُ لِلرَّحِيلِ.
“Dan hadis ini adalah termasuk dalil dalam masalah memendekkan angan-angan, dan tidak laik bagi seorang mukmin untuk menjadikan dunia ini sebagai negeri dan tempat tinggal baginya lalu ia tenang di dalamnya. Akan tetapi, seharusnya seorang mukmin itu, merasa bahwa dia di dunia ini hanya sebagai orang yang hendak bepergian, dia menyiapkan perbekalannya untuk perjalanannya.” (Jami’u Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, 2/377)