Hadis 2
Celaan Bagi Orang yang Diperbudak Dunia
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : تَعِـسَ عَـبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَـمِ وَالْقَطِـيْفَةِ، وَالخَمِيْصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Celaka budak dinar dan budak dirham, dan budak kain qathīfah, dan khamishah. Kalau diberikan kepadanya dunia tersebut (entah dinar, dirham atau kain yang lembut tersebut) dia senang dan kalau tidak mendapatkan dunia tersebut diapun tidak suka (marah)’.” ([1])
Pembaca yang dirahmati Allãh ﷻ , qathīfah adalah kain yang lembut/halus, seperti kain yang terbuat dari sutra dan ada beludrunya atau semisalnya. ([2])
Ungkapan yang digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis ini sangat indah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan kepada kita bahwasanya, ternyata, di antara hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla, ada yang disebut/dinamakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan nama hamba dinar, hamba dirham, hamba al-qathīfah (hamba yang pekerjaannya hanya mencari pakaian yang indah).
Kenapa disebut sebagai “hamba”? Karena kehidupan mereka benar-benar demi dinar dan dirham. Tujuan hidup mereka benar-benar untuk mencari dunia semata. Mereka menjadi penyembah harta dan hartalah yang mengaturnya. Dia menyangka tatkala mengumpulkan harta, dia akan menguasai dan mengatur harta tersebut. Namun pada hakikatnya, sewaktu mengumpulkan harta tersebut dia sebenarnya sedang menyembah harta. Hartalah yang mengatur kehidupannya. ([3]) Kalau harta mengatakan, “Kau ingin meraihku, maka tinggalkanlah salat!,” maka dia akan meninggalkan salat.
“Kau bisa meraihku, akan tetapi kau harus durhaka kepada orangtuamu,” maka dia akan durhaka kepada orangtuanya.
“Kau bisa mendapatkan aku, akan tetapi kau harus memutuskan tali silaturahmi atau bermusuhan dengan sahabatmu,” maka dia akan lakukan hal itu.
Para penyembah harta seperti ini rela bertikai dengan orang tua dan teman, meninggalkan salat, berbuat zhalim, dan sebagainya demi mendapatkan secercah dinar dan dirham. Oleh karenanya, orang seperti ini kehidupannya diatur oleh harta.
Maka orang seperti ini disebut oleh Rasulullah ﷺ dengan تَعِسَ (celaka). Mengapa? Karena dia bodoh. Kehidupan dia pada ujungnya hanya ingin mencari dunia. Dia lupa bahwasanya dunia hanya sementara dan ada kehidupan yang abadi di akhirat kelak.
Para pembaca yang dirahmati Allãh ﷻ . Kalau harta mengatakan, “Tunda salat!” maka dia akan tunda salat. Dengan demikian berarti dia penyembah dinar bukan penyembah Allãh ﷻ . Dia menyangka menguasai dinar padahal dinar yang menguasainya. Kehidupan dia orientasinya hanyalah dunia.
فَإِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ
“Kalau dia diberi harta dia senang.”
Karena itulah yang dia cari.
وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Kalau tidak mendapat harta (sementara sudah kecapekan mencari harta) maka dia marah.”
Karena orientasinya adalah dunia, maka ini sama seperti sifat orang-orang munafik yang Allãh sebutkan dalam surat At-Taubah. Kata Allah ﷻ ,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Di antara mereka ada yang mencela engkau (wahai Muhammad) tatkala engkau membagi-bagikan harta sedekah (zakat). Kalau mereka diberi (melihat dari) harta tersebut mereka senang (gembira). Dan jika mereka tidak diberi dari harta tersebut mereka pun marah.” ([4])
Orang-orang munafik mencela Rasulullah ﷺ dalam pembagian harta. Mereka mencela Rasulullah ﷺ bukan karena mereka memiliki ide yang lebih bagus dalam masalah pembagian (distribusi), melainkan karena mereka tidak mendapat bagian. Jadi mereka marah karena tidak dapat bagian.
Hal seperti ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka menampakkan kemarahan (pencelaan) seakan-akan karena Allãh, tetapi ternyata bukan, akan tetapi mereka marah tidak lain kecuali karena mereka tidak dapat bagian. Oleh karenanya, seseorang hendaknya menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan berusaha untuk beramal yang orientasinya bukan dunia tetapi karena Allãh ﷻ .
Bahkan jika seorang bekerja dalam kegiatan agama, misalnya sebagai ustaz, muazin, pengajar TPA, penulis buku-buku agama, berdakwah, dan tugas agama apa saja lalu dia mendapat upah/gaji. Kalau dia menjadikan upah/gaji ini sebagai tujuan utamanya (mengumpulkan harta dengan wasilah agama), maka ini sangat tercela. Sesungguhnya dia adalah hamba dinar dan hamba dirham.
Akan tetapi jika dia menerima upah tersebut dari kegiatan agama yang dia kerjakan dan hanya sebagai sarana agar dia bisa terus beribadah kepada Allah, memenuhi kebutuhan anak dan istrinya dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allãh, maka ini in syã Allãh sama sekali tidak tercela, niatnya tulus.
Ingat, asal niatnya harus disambung, jangan berhenti kepada hanya ingin memiliki dunia. Tidak. Tetapi niatnya harus bersambung sehingga dunia tersebut hanyalah sebagai sarana untuk bisa terus beribadah kepada Allãh, menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba di atas muka bumi ini.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy berharap berkata :
وَأَمَّا الْعَمَلُ لأَجْلِ الدُّنْيَا وَتَحْصِيْلِ أَغْرَاضِهَا:
فَإِنْ كَانَتْ إِرَادَةُ الْعَبْدِ كُلُّهَا لِهَذا الْمَقْصِدِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ لِوَجْهِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ، فَهَذَا لَيْسَ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيْبٍ. وَهَذَا الْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْوَصْفِ لاَ يَصْدُرُ مِنْ مُؤْمِنٍ؛ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ وَلَوْ كَانَ ضَعِيْفَ الإِيْمَانِ، لاَ بُدَّ أَنْ يُرِيْدَ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ. وَأَمَّا مَنْ عَمِلَ الْعَمَلَ لِوَجْهِ اللهِ وَلِأَجْلِ الدُّنْيَا، وَالْقَصْدَانِ مُتَسَاوِيَانِ أَوْ مُتَقَارِبَانِ، فَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُؤْمِنًا فَإِنَّهُ نَاقِصُ الْإِيْمَانِ وَالتَّوْحِيْدِ وَالإِخْلاَصِ، وَعَمُلُهُ نَاقِصٌ لِفَقْدِهِ كَمَالَ الإِخْلاَصِ. وَأَمَّا مَنْ عَمِلَ ِللهِ وَحْدَهُ وَأَخْلَصَ فِي عَمَلِهِ إِخْلاَصًا تَامًّا، وَلَكِنَّهُ يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ جُعْلاً وَمَعْلُوْمًا يَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى الْعَمَلِ وَالدِّيْنِ، كَالْجُعَالاَتِ الَّتِي تُجْعَلُ عَلَى أَعْمَالِ الْخَيْرِ، وَكَالْمُجَاهِدِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى جِهَادِهِ غَنِيْمَةٌ أَوْ رِزْقٌ، وَكَالأَوْقَافِ الَّتِي تُجْعَلُ عَلَى الْمَسَاجِدِ وَالْمَدَارِسِ وَالْوَظَائِفِ الدِّيْنِيَّةِ لَمَنْ يَقُوْمُ بِهَا، فَهَذَا لاَ يَضُرُّ أَخْذُهُ فِي إِيْمَانِ الْعَبْدِ وَتَوْحِيْدِهِ لِكَوْنِهِ لَمْ يُرِدْ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا أَرَادَ الدِّيْنَ وَقَصَدَ أَنْ يَكُوْنَ مَا حَصَلَ لَهُ مُعِيْنًا لَهُ عَلَى قِيَامِ الدِّيْنِ.
“Adapun beramal untuk dunia, dan memperoleh perkara-perkara dunia, maka, jika niat hamba tersebut seluruhnya adalah untuk hal ini dan sama sekali tidak berniat mencari wajah Allah dan kampung akhirat, maka orang yang seperti ini tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat. Amal yang seperti ini tidaklah didapati dari seorang mukmin. Seorang mukmin, meskipun lemah imannya, pasti ada padanya niat untuk Allah dan kampung akhirat.
Adapun orang yang beramal berniat karena wajah Allah dan juga berniat karena dunia, sementara kedua niatnya sama kuatnya atau kekuatan keduanya saling berdekatan (hampir setara), maka orang ini meskipun ia seorang mukmin, akan tetapi dia adalah seorang yang kurang imannya, kurang tauhidnya, dan kurang keikhlasannya. Amalannya kurang, dikarenakan tidak adanya kesempurnaan pada keikhlasannya.
Adapun seseorang yang beramal karena Allah semata dan ia ikhlash dalam amalannya dengan keikhlasan yang sempurna, akan tetapi ia mengambil upah atas amalnya tersebut atau gaji yang ia gunakan untuk menolongya untuk beramal dan untuk agamanya, seperti gaji-gaji yang dikhusukan untuk amal-amal kebajikan, dan seperti seorang mujahid yang karena jihadnya maka ia memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) dan rezeki, demikian juga harta-harta wakaf yang disalurkan untuk orang-orang yang mengurusi masjid-masjid, pondok-pondok, dan kegiatan-kegiatan agama lainnya. Menerima upah-upah seperti ini sama sekali tidak merusak dan membahayakan iman seorang hamba dan tauhidnya, karena ia tidak menginginkan dunia dengan amal salehnya. Tujuan utamanya adalah agama, dan ia bertujuan untuk menjadikan apa yang ia peroleh untuk membantunya dalam menjalankan agama.” ([5])
Dan imam As-Shan’ani memberikan batasan antara mencari harta yang tercela dengan yang tidak tercela. Beliau berkata,
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَذْمُومَ مِنْ الدُّنْيَا كُلُّ مَا يُبْعِدُ الْعَبْدَ عَنْ اللَّهِ تَعَالَى وَيَشْغَلُهُ عَنْ وَاجِبِ طَاعَتِهِ وَعِبَادَتِهِ لَا مَا يُعِينُهُ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَإِنَّهُ غَيْرُ مَذْمُومٍ وَقَدْ يَتَعَيَّنُ طَلَبُهُ وَيَجِبُ عَلَيْهِ تَحْصِيلُهُ.
“Ketahuilah! Sesungguhnya yang tercela dari urusan dunia adalah apa-apa yang menjauhkan seseorang dari Allah ‘Azza wa Jalla, dan menyibukkannya dari hal-hal yang wajib atasnya, dari mentaati Allah ‘Azza wa Jalla dan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun perkara dunia yang membantunya untuk melakukan amalan-amalan yang saleh, sesungguhnya dia tidaklah tercela. Terkadang bisa jadi hal itu diharuskan dan diwajibkan baginya untuk mencari dan mendapatkannya.” ([6])
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba Allãh yang hakiki, bukan menjadi hamba dinar, hamba dirham, hamba dollar, hamba rupiah atau hamba dunia-dunia yang lainnya.
Footnote:
________
([2]) Lihat : Tahdzib Al-Lughah, Al-Azhari, 9/26
([3]) Lihat : Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/181, Subul As-Salam, As-Shan’ani, 2/644-645