Hadis 5
Anjuran Agar Menghormati Tetangga
وَعَنْ أَنَس رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (sempurna) iman seorang hamba sampai dia menyukai bagi tetangganya kebaikan yang dia suka untuk dirinya.” ([1])
Hadis ini adalah hadis yang agung. Dalam hadis ini Rasulullah ﷺ mengawali sabdanya dengan sumpah. Kata Rasulullah ﷺ,
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya”
Untuk apa Rasulullah ﷺ bersumpah? Tidak lain adalah untuk menekankan agungnya hak tetangga. Bahkan Allah ﷻ menyebutkan tentang tetangga ini dalam Al-Qurān. Allah berfirman,
والجَارِ الْجُنُبِ
“Dan berbuat baiklah kepada tetangga dekat”. (QS. An-Nisā: 36)
Rasulullah ﷺ mengatakan, “Tidaklah beriman seorang hamba sampai dia menghendaki kebaikan bagi tetangganya, apa-apa kebaikan yang disuka untuk dirinya.”
Para ulama mengatakan bahwa ungkapan “tidaklah beriman seorang hamba” yang mengawali hadis ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di belakangnya, yaitu “menyukai kebaikan bagi tetangga sebagaimana kita menyukai kebaikan-kebaikan itu untuk diri kita sendiri” merupakan perkara yang wajib. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dalam Kitābul Īmān, menjelaskan bahwasanya, “Tidaklah sesuatu dinafikan dalam syariat kecuali karena ada suatu kewajiban darinya yang ditinggalkan.”
Jadi, adanya penafian dengan ungkapan, “tidaklah beriman seorang hamba” disebabkan oleh ada kewajiban yang ditinggalkan, yaitu “menyukai kebaikan bagi tetangga sebagaimana kita menyukai kebaikan-kebaikan itu untuk diri kita sendiri”
Model penafian yang sama juga dapat dilihat dari contoh-contoh hadis berikut ini.
- Pertama, sabda Rasulullah ﷺ,
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” ([2])
Ini menunjukkan bahwasanya amanah hukumnya wajib. Tatkala amanah ditinggalkan, maka divonis tidak ada iman. Berarti amanah hukumnya wajib.
- Kedua, dalam masalah salat, Rasulullah ﷺ tatkala melihat ada seorang yang salat, kemudian menemuinya, maka beliauﷺ bersabda,
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah salat lagi, sesungguhnya kamu belum salat.” ([3])
Para ulama menjelaskan mengapa Rasulullahﷺ menegur orang ini dan mengatakan bahwa dia belum salat? Hal itu adalah karena ada perkara-perkara wajib yang ditinggalkan olehnya, sehingga Rasulullahﷺ mengatakan, “Kamu belum salat.” Adapun kalau hanya perkara sunah yang ditinggalkan, maka tidak dinafikan.
Demikian pula di dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ mengatakan, “Tidaklah beriman seorang hamba sampai dia menghendaki kebaikan bagi tetangganya, apa-apa yang dia sukai untuk dirinya.” Hal ini menunjukkan bahwa rasa cinta dan kehendak supaya tetangga mendapatkan kebaikan sebagaimana kita mendapatkan kebaikan hukumnya adalah wajib, bukan sekedar sunah.
Namun, ini tidak bermakna apa yang kita miliki harus kita berikan kepada tetangga, sebagaimana kalau kita punya mobil dua berarti mobil yang satu kita berikan kepada tetangga.
Bukan seperti itu maksudnya. Namun yang dimaksudkan hanya sekedar rasa ingin. Sebagaimana kita punya mobil, kita ingin tetangga kita juga punya mobil. Sebagaimana kita bahagia, kita ingin agar tetangga kita juga bahagia.
Perhatikan pula hadis yang umum yang berkaitan dengan hubungan sesama muslim. Rasulullah ﷺ, bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai dia menghendaki kebaikan bagi saudaranya, apa kebaikan yang dia kehendaki untuk dirinya.” ([4])
Dari hadis ini dapat diambil pemahaman, jika kepada saudara secara umum, meskipun tetangga jauh atau bahkan bukan tetangga saja kita wajib untuk menghendaki kebaikan baginya selama dia seorang muslim, apalagi dengan tetangga yang dekat? Oleh karenanya, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Āisyah i, Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Senantiasa malaikat Jibrīl u berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku menyangka malaikat Jibrīl akan menuliskan atau menetapkan warisan bagi tetangga.” ([5])
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya tetangga bukan ahli waris kita. Kalau kita meninggal, tetangga tidak dapat mewarisi harta kita. Akan tetapi, karena sedemikian sering malaikat Jibrīl mewasiatkan kepada Rasulullah ﷺ untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Rasulullah ﷺ menyangka malaikat Jibrīl akan menulis bahwa tetangga akan memiliki jatah warisan. Namun ternyata hal itu tidak terjadi. Ini hanyalah berupa penekanan dari Rasulullah ﷺ akan Perhatian malaikat Jibril terhadap tetangga. Hadis ini juga mengisyaratkan bahwa hak-hak Tetangga mirip dengan hak-hak kerabat, karena Tetangga seakan-akan menjadi ahli waris.
Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَليُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” ([6])
Hadis ini juga mengandung perintah yang sangat tegas. Rasulullah ﷺ mengatakan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat.” Kalau dia beriman kepada Allah ﷻ dan beriman kepada hari Akhirat (yaitu hari pembalasan), bahwasanya kebaikan dia akan diberi balasan oleh Allah ﷻ, bahwasanya dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ, maka konsekuensinya adalah “فَليُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ (maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya).”
Berbuat baik kepada tetangga termasuk perkara yang mulai pudar di kalangan kaum muslimin. Bahkan kita jumpai di sebagian kota-kota besar, seseorang tidak mengenal tetangganya sama sekali. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Padahal seharusnya tidak demikian. Rasulullah ﷺ menganjurkan agar sesama tetangga harus saling mengenal, karena kepada tetangga terdapat hak-hak yang harus ditunaikan.
Terdapat ikhtilaf di antara para ulama tentang siapa sajakah yang termasuk tetangga? Sebagian ulama mengatakan tetangga ialah orang-orang yang saling bertemu di masjid (satu masjid). Artinya, semakin dekat seorang tetangga semakin tinggi haknya. Tetangga yang pintunya paling dekat dengan pintu rumah kita memiliki hak yang paling tinggi untuk ditunaikan hak-haknya, seperti hak untuk dikunjungi/diziarahi, hak untuk dijenguk ketika sakit, hak untuk diakrabi, hak untuk berbagi makanan, dan lai-lain.
Sebagaimana telah datang hadis-hadis yang tegas menyeru kita untuk berbuat baik kepada tetangga, maka demikian pula sebaliknya telah datang hadis-hadis yang tegas melarang mengganggu tetangga. Di antara hadis-hadis tersebut,
Rasulullah ﷺ bersabda,
«وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ» قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ»
“Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman !”. Dikatakan kepada Rasulullah, “Siapakah yang tidak beriman Ya Rasulullah?”. Rasulullah berkata, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” ([7])
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ»
“Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” ([8])
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: ” هِيَ فِي النَّارِ “، قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، وَصَلَاتِهَا، وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: ” هِيَ فِي الْجَنَّةِ
“Dari Abu Hurairah ia berkata, seorang lelaki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang banyaknya salatnya, puasanya, dan sedekahnya, hanya saja ia mengganggu tetangga-tetangganya dengan lisannya.’ Rasulullah berkata, ‘Ia di neraka.’ Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang sedikitnya puasa, sedekah, dan salatnya, dan ia hanya bersedekah dengan beberapa potong susu yang dikeringkan, dan ia tidak mengganggu tetangga-tetangganya dengan lisannya.’ Rasulullah berkata, ‘Ia di surga’.”([9])
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ» قَالَ: فَجَعَلَ النَّاسُ يَمُرُّونَ بِهِ (وفي رواية : فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ) فَيَلْعَنُونَهُ، فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَقِيتُ مِنَ النَّاسِ قَالَ: «وَمَا لَقِيتَهُ مِنْهُمْ؟» قَالَ: يَلْعَنُونِي قَالَ: «فَقَدْ لَعَنَكَ اللَّهُ قَبْلَ النَّاسِ» قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنِّي لَا أَعُودُ، قَالَ: فَجَاءَ الَّذِي شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَمِنْتَ أَوْ قَدْ لَعَنْتَ»
Dari Abu Juhaifah ia berkata, “Datang seorang lelaki kepada Rasulullah mengeluhkan tentang tetangganya. Maka Rasulullah berkata kepadanya, ‘Keluarkan barang-barangmu di jalan.’ Maka orang-orang pun lewat (dalam salah satu redaksi riwayat : Orang-orang pun bertanya kepadanya, lalu ia kabarkan kepada mereka tentang kejadiannya) maka orang-orang melaknat tetangganya tersebut. Maka tetangganya mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang menggangguku.’ Rasulullah berkata, ‘Apa gangguannya gerangan?’ Ia berkata, ‘Mereka melaknatku.’ Rasulullah berkata, ‘Allah telah terlebih dahulu melaknatmu sebelum orang-orang melaknatmu.’ Ia berkata, ‘Aku akan tidak akan mengulanginya lagi.’ Lalu datanglah orang yang mengeluh kepada Rasulullah, maka Rasulullah berkata kepadanya, ‘Engkau telah aman’ atau Rasulullah berkata, ‘Engkau telah melaknat’.” ([10])
Contoh sedeberharapana mengganggu tetangga di antaranya dengan membuat gaduh di rumah sendiri yang terdengar sampai di rumah tetangga, menyetel radio atau TV dengan suara yang keras sehingga mengganggu ketenangan dan istirahat tetangga, saluran air bocor sehingga masuk ke lingkungan rumah tetangga, tidak segera membuang sampah dari halaman sehingga baunya sampai ke rumah tetangga, dan lain-lain. Semua itu dilarang dan bertentangan dengan hadis yang mulia ini.
Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga bukan hanya berarti tidak mengganggu mereka, tetapi juga bertindak aktif untuk memberikan kebaikan kepada mereka. Misalnya dengan berbagi makanan jika kita memasak dan lain-lain yang akan membuat tetangga kita bahagia dan nyaman hidup berdampingan dengan kita. Betapa sungguh dibutuhkan di zaman sekarang ini sosok seorang muslim yang merasa sedang beribadah kepada Allah tatkala ia berbuat baik kepada tetangga dan tidak mengganggunya. Betapa sering kita mendengar seseorang tidak betah tinggal di kampungnya karena bertetangga dengan tetangga-tetangga yang buruk.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita semua orang yang bisa berbuat baik kepada tetangga.
Footnote:
_______
([1]) Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, no. 13 dan Imām Muslim, no. 45
([3]) HR. Bukhari no. 757, Muslim no. 397
([4]) HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45
([5]) HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624
([6]) HR. Bukhari no. 4.787 dan Muslim no. 69, lafazh hadis milik Muslim
([9]) HR. Ahmad no. 9675 dengan sanad yang hasan
([10]) HR. Al-Hakim No. 7303 dan Abu Dawud no. 5153 dengan sanad yang sahih