Hadis 9
Pemimpin Yang Berbuat Ghisy (Menipu) Kepada Rakyatnya
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ الله عِنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan kepadanya wewenang mengatur rakyat, dan ketika (hari di mana) dia meninggal dunia, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah akan haramkan baginya surga’.”([1])
Makna Ghisy
Dalam bahasa Arab, kata غِشٌّ (ghisy) adalah kebalikan dari kata نَصِيْحَةٌ (nashihah). Makna dari kata nashihah (nasihat) di sini bukan sebagaimana yang pahami dalam bahasa Indonesia di mana artinya seseorang memberi nasihat kepada orang lain. Tetapi kata nashihah dalam bahasa Arab dan peristilahan Islam maknanya lebih umum, yaitu melakukan yang terbaik. Contohnya, ketika Rasulullah ﷺ membaiat (mengambil janji setia) sebagian sahabatnya. Di antara isi baiatnya tersebut adalah melakukan nashihah kepada setiap muslim. Bukan berarti setiap ketemu orang harus dinasehati, tetapi maksudnya hendaknya berusaha berbuat terbaik kepada orang tersebut.
Rasulullah ﷺ bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah ‘An-Nashihah’.” Lalu kami (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah, untuk siapa? Maka Rasulullah ﷺ menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada imam (pemimpin) kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.”([2])
Nasihat kepada Allah, tentu saja bukan bermakna memberi nasihat kepada Allah sebagaimana nasihat dalam bahasa Indonesia dengan memberinya saran dan kritik, tetapi maksudnya adalah melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan kepada Allah ﷻ dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian nasihat kepada Al Quran adalah berbuat yang berbaik berkaitan dengan Al Quran, seperti meyakini Al Quran adalah kalam Allah ﷻ yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad: seluruh huruf dan lafal-lafalnya, juga maknanya, serta menjalankan perintah dan menjauhi larangan yang ada di dalam Al Quran. Kemudian nasihat kepada Rasulullah juga bukan berarti memberi nasihat kepada Rasulullah ﷺ, tetapi melakukan yang terbaik berkaitan dengan hak Rasulullah ﷺ atas kita yaitu membenarkan seluruh pengkabaran beliau, menaati perintahnya, dan menjauhi larangannya. Kemudian nasihat kepada pemimpin adalah melakukan yang terbaik terhadap pemimpin, di antaranya memberi masukan kepada mereka. Demikianlah maksud dari kata nashihah, menurut istilah syariat. Sehingga makna kata ghisy adalah lawan dari kata nashihah yaitu berbuat tidak baik kepada rakyatnya.
Adapun perbuatan ghisy yang dimaksud dalam hadis ini adalah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya (tidak layak) kepada rakyatnya. Padahal sudah seharusnya seorang pemimpin bersikap nashihah, yaitu melakukan hal yang terbaik untuk rakyatnya, namun yang terjadi tidak demikian. Perbuatan seperti ini adalah dosa besar. Hadis ini sekaligus ancaman bagi para pemimpin (penguasa).
Antara Pemimpin yang Adil dan Pemimpin yang Ghisy
Para ulama mengatakan bahwa penguasa disini mencakup penguasa dalam lingkup besar maupun dalam lingkup yang lebih kecil. Meliputi Presiden, Raja, Khalifah, dan juga yang di bawahnya sepeti Menteri yang memiliki anak buah, Gubernur, Bupati, Camat dan seterusnya. Demikian juga seorang Lurah yang memiliki rakyat di bawah kekuasaannya, dia harus melakukan yang terbaik bagi rakyatnya. Jika ternyata dia melakukan ghisy yaitu tidak melakukan yang terbaik untuk rakyatnya dengan tidak memikirkan kemaslahatan rakyatnya melainkan hanya mementingkan kepentingan pribadinya, maka dia terancam dengan ancaman tidak masuk surga.
Oleh karena itu, kedudukan sebagai pemimpin adalah bagaikan pedang bermata dua. Seseorang bisa meraih surga yang tinggi karena menjadi pemimpin dan sebaliknya bisa terjerumus ke dalam neraka yang paling bawah karena menjadi pemimpin. Sebagaimana sebuah hadis di mana Rasulullah ﷺ menyebutkan tentang tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari kiamat kelak, golongan pertama adalah pemimpin yang adil. Rasulullah ﷺ bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّه ُ: إِمَامٌ عَدْلٌ، وَ شَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Tujuh golongan manusia, akan diberi naungan Allah di hari tidak ada naungan kecuali naungan dari Allah: Pemimpin yang adil, Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya, seorang laki-laki yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena cinta karena Allah, seorang laki-laki yang ‘dirayu’ seorang wanita berkedudukan serta cantik menawan, lalu dia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allah’. (Juga) seorang yang bersedekah, lalu ia rahasiakan sedekahnya itu, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan seorang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian, lalu kedua matanya mengucurkan air mata.”([3])
Hadis ini menjelaskan tentang tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah ﷻ di akhirat, setelah seluruh manusia dibangkitkan dari kematian mereka dan dikumpulkan di padang mahsyar, di mana matahari saat itu diturunkan oleh Allah, sehingga jarak antara manusia dan matahari sekitar 1 mil. Akibatnya, manusia tersiksa, kehausan, kelaparan, dan keringat mereka bercucuran.
Tujuh golongan tersebut adalah orang-orang yang melakukan amalan-amalan yang luar biasa. Pertama, pemimpin yang adil. Kedua, dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu karena Allah, berpisah karena Allah. Ketiga, pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah. Anak muda yang biasanya bersenang-senang, hura-hura, namun dia tidak. Dia tumbuh dalam ketaatan, dia tinggalkan semua hura-hura, untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Keempat, seorang yang hatinya terpaut dengan masjid. Dia selalu rindu untuk ke masjid, rindu mendengar azan. Dia sekolah atau bekerja mencari nafkah, akan tetapi dia rindu kapan azan akan berkumandang lagi. Kelima, seorang lelaki yang dirayu oleh wanita yang sangat cantik, kaya-raya dan memiliki kedudukan, kemudian diajak untuk berzina, tetapi laki-laki itu menolaknya karena takut kepada Allah ﷻ. Keenam, seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, kemudian dia rahasiakan, sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Maksudnya yaitu dia sangat ikhlas ketika bersedekah sampai tidak ada orang yang mengetahuinya. Ketujuh, seorang yang ketika sendirian dia mengingat Allah, takut dan mengagungkan Allah ﷻ sampai menangis tersedu-sedu.
Di antara hikmah disebutkannya pemimpin yang adil pertama kali adalah karena pemimpin yang adil pahalanya luar biasa besar. Seandainya dia mengeluarkan ketetapan, undang-undang, atau peraturan yang membawa kebaikan bagi rakyatnya tentunya akan mengalirkan pahala yang sangat banyak. Rasulullah ﷺ bersabda,
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”([4])
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke dalam (hati) seorang muslim.”([5])
Betapa banyak orang yang akan berterima kasih kepada seorang Raja, Gubernur, atau pak Lurah karena telah membuat peraturan yang bermanfaat bagi orang banyak. Betapa banyak orang yang akan berbahagia dengan peraturan tersebut, lantas mendoakannya. Betapa banyak pahala yang akan dia dapatkan jika dia ikhlas melakukannya. Oleh karena itu, pantaslah Rasulullah ﷺ ketika menyebutkan tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat kelak, pemimpin yang adil disebut di urutan pertama, karena pahalanya yang luar biasa.
Sebaliknya, jika ada seorang pemimpin yang tidak adil maka sungguh dia telah melakukan dosa besar yang sangat berbahaya, dan diancam dengan neraka Jahanam karena ketidakadilannya, kezalimannya, dan perbuatan ghisy yang berkaitan dengan orang banyak.
Berbuat zalim kepada satu orang, tentu dosanya berbeda dengan berbuat zalim kepada dua orang. Apalagi berbuat zalim kepada seribu orang atau bahkan jutaan orang. Misalnya, seorang gubernur mengeluarkan satu peraturan yang di dalamnya ada unsur kezaliman kepada rakyat, atau gubernur itu membuat peraturan demi keuntungan dirinya dan peraturan tersebut merugikan rakyat banyak, betapa banyak dosa yang akan dia tanggung! Betapa banyak orang yang akan menuntut dia pada hari kiamat, di dalam persidangan akhirat di hadapan Allah ﷻ. Selaiknya seorang pemimpin (penguasa) wajib memikirkan hal ini. Begitu juga saudara-saudara kita yang bekerja di pemerintahan, sebagai pegawai negeri.
Kewajiban Seorang Pemimpin
Telah lewat penjelasan bahwa hadis ini mencakup pemimpin pada tataran yang paling tinggi seperti Raja atau Presiden, hingga tataran kecil. seperti Lurah, termasuk pula seorang kepala bagian dalam sebuah instansi yang dia memiliki anak buah. Patut dicamkan bahwa pemimpin itu bukanlah bekerja untuk dirinya atau orang lain bekerja untuk dirinya, tetapi pemimpin adalah wakil yang ditugaskan bekerja demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Imam Syafi’i berkata,
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap anak yatim.”([6])
Anak yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya, dia memiliki wali seperti pamannya atau kakaknya. Di antara kewajiban walinya adalah menjaga dan mengatur harta anak yatim tersebut dengan baik. Menurut ajaran Islam, ketika mengurus anak yatim, dibolehkan seorang wali makan dari hasil harta anak yatim itu, namun dia tidak boleh membohongi anak yatim tersebut. Misalnya, mengambil banyak harta anak yatim tersebut sehingga dia terlantar. Apabila ini terjadi maka dia telah melakukan ghisy.
Begitu pun dengan seorang pemimpin, sikapnya kepada rakyatnya tidak jauh beda dengan sikap wali yatim kepada anak yatim di bawah pengasuhannya yaitu dia harus berusaha melakukan yang terbaik bagi rakyatnya. Apabila seorang pemimpin melakukan amalan demi kesejahteraan dirinya pribadi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat, maka dia terancam dengan neraka Jahanam dan akan diharamkan surga baginya. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan,
“Pemimpin yang zalim (pemimpin yang melakukan ghisy) adalah yang berusaha meraih kebahagiaan pribadi dengan mengorbankan kebahagiaan banyak orang.”
Kebahagiaan rakyat rela dikorbankan demi kepentingan pribadi dan kemaslahatan pribadi. Dalam sebuah kaidah dikatakan:
الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ
“Balasan sesuai dengan perbuatan.”
Maka pada hari kiamat kelak, Allah ﷻ akan mengambil kebahagiaan pemimpin tersebut, karena selama di dunia dia telah merampas kebahagiaan rakyatnya. Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahanam dan Allah haramkan untuknya surga. Ini adalah ancaman yang sangat mengerikan. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya benar-benar bertakwa kepada Allah ﷻ, sehingga dia bisa melakukan yang terbaik bagi rakyatnya dan dia akan memperoleh pahala yang sangat banyak.
Demikian pula para pemimpin atau para pemangku jabatan dan mempunyai bawahan, harus berusaha melakukan perbaikan (nahi mungkar). Dan dalam melakukan perbaikan tidak mesti harus terjadi perbaikan secara total. Para ulama mengatakan bahwa nahi mungkar ada 2 tingkatan. Tingkatan pertama, yaitu dengan mengubah segala kemungkaran menjadi kebaikan atau dengan kata lain terjadi perubahan total, maka ini yang terbaik. Tetapi tidak semua orang sanggup, maka dengan tingkatan yang kedua yaitu dengan mengurangi kemungkaran.
Di antara kita mungkin memiliki jabatan dan masuk ke dalam sebuah sistem, kemudian sistem itu rusak. Misalnya, dijumpai adanya praktik korupsi, atau praktik-praktik haram lainnya sehingga mengorbankan masyarakat dan pihak lainnya. Apabila kita tidak bisa mengubah secara total maka minimal kita melakukan perbaikan. Karena ketika kita melakukan proses perbaikan, sesungguhnya kita sedang bernahi munkar (mencegah kemungkaran). Sehingga dengan hal tersebut kita mendapatkan pahala dari Allah ﷻ karena ada perbaikan yang kita usahakan.
Di antara contoh perbaikan yang bisa dilakukan oleh para pegawai negeri adalah menjalankan tugas sesuai prosedur. Jangan sampai melakukan sebaliknya, misalnya dengan menyalahi prosedur, melakukan kecurangan, menerima harta haram, dan menarik uang sebanyak mungkin dari masyarakat dengan berbagai cara.
Footnote:
__________
([1]) HR. Bukhari no. 7151 dan Muslim no. 142.
([3]) HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031.
([4]) HR. Thabarani dalam Mu’jamul Aushat no.5787 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Sahihul Jami’ no.3289.
([5]) Al–Mu’jam Al-Ausath no. 6026, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini derajatnya ‘hasan’ menurut syekh Al-Albani rahimahullah, sebagaimana di dalam kitab ‘Sahih Al-Jami’ Ash-Shaghir’