Hadis 1
Keutamaan Silaturahmi
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . أَخْرَجَهُ الْبُخَارِي
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullāh ﷺ bersabda, “Barang siapa yang senang dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturahmi.” ([1])
Hadis yang agung ini memotivasi kita untuk menyambung silaturahmi. Dari hadis ini kita mengetahui bahwa ada sebagian amal saleh ganjarannya tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Contohnya adalah menyambung silaturahmi.
Ganjaran di dunia yang Allah siapkan bagi orang yang menyambung silaturahmi menurut hadis ini adalah dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Rasululllah ﷺ mengatakan, “Siapa yang senang dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung silaturahmi.” Ini adalah motivasi dari Rasulullah ﷺ , yaitu dengan mengiming-imingi ganjaran duniawi.
Oleh karenanya, pendapat yang rajih (terkuat) di antara pendapat para ulama, bahwasanya barang siapa beramal saleh, ikhlas karena Allah ﷻ, tidak mengharap pujian manusia, tidak riya, kemudian dalam niatnya disertai dengan ingin mendapatkan ganjaran duniawi yang diizinkan oleh syariat, maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasululllah ﷺ sendiri mengiming-imingi dengan mengatakan, “Siapa yang senang.” Artinya barang siapa yang berminat dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya menyambung silaturahmi.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam memahami makna kalimat dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umur. Secara umum ada 2 pendapat terkuat, yaitu sebagai berikut.
Pendapat pertama menyatakan bahwa maknanya adalah berupa kiasan. Hal itu karena rezeki dan umur sudah tercatat di catatan takdir, sehingga tidak mungkin di ubah-ubah lagi.
Menurut pendapat kalangan ini, maksud dilapangkan rezeki adalah rezekinya diberkahi Allah ﷻ. Jadi, meskipun secara kuantitas rezekinya tetap, namun Allah menjadikan keberkahan pada rezekinya sehingga rezekinya banyak bermanfaat, membawa faedah, dan digunakan untuk beramal saleh serta untuk hal-hal yang dicintai oleh Allah ﷻ. Dengan demikian, rezekinya membawa banyak kemanfaatan tehadap kehidupan dunia dan akhiratnya.
Demikian pula halnya dengan maksud dipanjangkan umur, yaitu umurnya tidak berubah sesuai dengan yang ditakdirkan, melainkan Allah memberkahi umurnya sehingga umurnya itu banyak gunakan untuk kebaikan dan beribadah serta dihindarkan kesia-siaan dan dari sakit yang mengganggu keberkahan umurnya. Dengan demikian waktunya benar-benar bermanfaat, seakan-akan umurnya panjang. Bukankah sering kita dapati ada orang yang memiliki umur yang panjang, namun tidak bermanfaat atau yang bermanfaat hanya sedikit dari umurnya? Dengan demikian, sebagian umurnya hilang sia-sia dan jauh dari keberkahan.
Pendapat kedua menyatakan bahwa maknanya adalah makna hakiki. Artinya Allah benar-benar memanjangkan umurnya dan melapangkan rezekinya disebabkan oleh menyambung silaturahmi yang ia lakukan. ([2])
Pendapat kedua ini berpijak pada apa yang telah kita ketahui bersama bahwa Allah ﷻ bisa mengubah takdir yang berada di tangan para malaikat, sebagaimana firman Allah ﷻ,
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d: 39)
Menurut pendapat kedua ini, yang dihapuskan oleh Allah adalah catatan yang berada di tangan malaikat. Bisa jadi Allah ﷻ telah memerintahkan kepada malaikat untuk mencatat umur hamba sepanjang -misalnya- 60 tahun. Karena hamba tersebut selalu menyambung silaturahmi, maka Allah ﷻ menyuruh malaikat untuk mengubah catatannya sehingga umur hamba tersebut menjadi 70 tahun. Sehingga, umur hamba tersebut benar-benar bertambah selama 10 tahun disebabkan oleh amalannya menyambung silaturahmi.
Namun, Perubahan jatah umur dari 60 tahun menjadi 70 tahun itu sebenarnya tidak mengubah takdir. Karena apa yang terjadi pada hamba tersebut, mulai dari amalan silaturahminya sampai pertambahan umurnya, sebenarnya sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Dengan demikian, tidak ada perubahan di Lauhul Mahfuzh.
Allah mengatakan, “Dan di sisi Allah terdapat Ummul Kitab.” Apa yang tercatat dalam Ummul Kitab tidak berubah. Seakan-akan yang tertulis di Lauhul Mahfuzh adalah: Malaikat mencatat awalnya umur si hamba adalah 60 tahun, kemudian karena dia beramal saleh maka Allah perintahkan agar umurnya ditambah menjadi 70 tahun. Jadi proses perubahan catatan malaikat sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh dan tidak ada perubahan sama sekali.
Hal yang sama juga berlaku pada rezekinya. Rezeki yang tadinya dicatat sejumlah tertentu oleh malaikat, kemudian ditambah atas perintah Allah ﷻ karena hamba tersebut bersilaturahmi. Namun semua itu sudah tercatat di al-Lauhul Mahfuzh.
Dalam hal ini penulis lebih condong dengan pendapat yang kedua. Karena berdasarkan kenyataan yang ada, silaturahmi benar-benar merupakan sebab dipanjangkan umur dan ditambahkan rezeki. Betapa banyak orang yang menyambung silaturahmi kemudian rezekinya ditambah oleh Allah ﷻ. Dan ini benar-benar bisa dirasakan secara nyata. Demikian juga betapa banyak orang yang menyambung silaturahmi umurnya ditambah, misalnya dijauhkan dari sakit. Barangkali seharusnya dia celaka tapi kemudian dihindarkan dari kecelakaan oleh Allah ﷻ sehingga bertambah umurnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Semoga Allah ﷻ memberkahi harta dan umur kita semua. Dan semoga Allah memudahkan kita untuk bersilaturahmi.
Footnote:
____________-