Hadis 9
Larangan Mengucapkan Salam Terlebih Dahulu kepada Orang Kafir
Dari ‘Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu([1]), Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ، فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ، فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ»
“Janganlah kalian mengucapkan salam terlebih dahulu kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan jika kalian berpapasan dengan mereka di suatu jalan, maka desaklah mereka ke bagian jalan yang paling sempit.” ([2])
Hadis ini menunjukkan kemuliaan Islam, dan bahwa seorang muslim diwajibkan untuk berbangga dengan statusnya sebagai seorang muslim.
Saudaraku pembaca, ketahuilah bahwa sebagaimana Islam mengajarkan kita untuk berkasih-sayang kepada sesama makhluk, berlemah-lembut terhadap mereka, namun Islam juga memerintahkan kita untuk berbangga dan memuliakan agama ini.
Tidak perlu kita sebutkan satu per satu kisah-kisah teladan Rasulullah ﷺ dalam berkasih sayang kepada sesama makhluk, termasuk seorang kafir. Seperti kisah Rasulullah ﷺ yang memberikan pakaian yang ia kenakan untuk mengafani Abdullāh bin ‘Ubay bin Salūl, gembong kaum munafik di Madinah dan salah satu orang yang paling membenci Rasulullah ﷺ. Demikian juga kisah Rasulullah ﷺ yang menjenguk seorang pemuda Yahudi yang biasa melayaninya, guna mendakwahinya kepada Islam.
Akan tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu, umat Islam dituntut untuk membanggakan kemuliaan Islam. Salah satunya adalah ketika seorang muslim berpapasan dengan seorang kafir di suatu jalan, janganlah ia malah minggir, sembari mengalah dan mempersilahkan orang kafir tersebut untuk melewati bagian ternyaman dari jalan tersebut, karena sikap yang demikian menunjukkan kehinaan. Seorang muslim seharusnya merasa mulia dan agung di hadapan orang-orang kafir, bukan malah mengalah, tidak percaya diri, dan terhina di hadapan mereka. Demikian pula dalam suatu pembicaraan atau diskusi, seorang muslim janganlah malu untuk berbicara, hingga akhirnya orang kafir terus yang berbicara.
Saudaraku, kita harus mengetahui momen-momen yang pas untuk menunjukkan kelemah-lembutan, sebagaimana kita juga harus memahami momen-momen yang membutuhkan ketegasan. Hendaknya kita terus mempelajari agama yang sempurna ini. Dalam kondisi seperti disebutkan di atas, seorang muslim hendaknya menunjukkan bahwa orang Islam harus memiliki ‘izzah (kemuliaan) di hadapan orang-orang kafir. Oleh karenanya, seorang muslim harus bisa menempatkan diri. Jika kita berbicara tentang masalah muamalah hasanah (etika bergaul yang baik) maka itu adalah sebuah persoalan tersendiri. Adapun jika seorang muslim dituntut harus menunjukkan keutamaan Islam maka dia harus menunjukkannya.
Ada beberapa poin yang berkaitan dengan hadis ini.
Pertama, seorang muslim tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Mengapa demikian? Karena, salam menunjukkan pemuliaan dan di dalamnya juga terdapat doa. Jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaikum” berarti kita telah mendoakan keselamatan bagi dia. Padahal, dengan kekufurannya itu dia tidak berhak untuk mendapatkan keselamatan. Dia kafir kepada Allah ﷻ, dia kafir terhadap Rasulullah Muhammad ﷺ , dan dia juga berbuat kesyirikan. Lalu bagaimana kita mendoakan keselamatan bagi mereka. Karena itu, kita tidak berhak dan bahkan tidak boleh mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka([3]).
Kedua, bagaimana kalau mereka yang lebih dahulu mengucapkan salam kepada kita? Kalau mereka mengucapkan “Assalaamu’alaikum,” kita jawab, “wa’alaikum (demikian juga bagi kalian).”([4])
Ketiga, bagaimana jika kondisinya sulit untuk tidak saling mengucapkan salam kepada mereka? Misalnya, mereka adalah bos kita, rekan kerja kita, atau orang-orang yang sangat sering bertemu dengan kita, maka sebagian ulama membolehkan untuk mengucapkan salam kepada mereka karena darurat dan hajah (kebutuhan)([5]). Bukankah jika kita tidak mau mengucapkan salam sama sekali akan menyulitkan diri kita? Kita bisa dianggap ekstrem, tidak mau bergaul, tidak ramah, atau prasangka-prasangka lain yang mungkin timbul.
Namun jika kita lihat kondisi di tanah air kita, maka ada solusi yaitu tidak perlu mengucapkan Assalamu ‘alaikum kepada mereka, tetapi cukup dengan menggunakan kalimat salam yang umum seperti, “Selamat pagi”, “Bagaimana kondisimu?”, “Good morning” dan sejenisnya, seperti kita bertanya tentang kondisi keluarganya atau anaknya, dan yang semisalnya.
Ucapan salam seperti itu tidak menjadi masalah karena di dalamnya tidak mengandung doa rahmat dan keselamatan kepada mereka. Berbeda dengan ucapan “Assalaamu’alaikum” yang merupakan doa yang tidak pantas untuk diberikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir kepada Allah serta kafir kepada Rasulullah Muhammad ﷺ.
Footnote:
____________
([1]) Inilah yang benar, bahwa hadis ini adalah riwayat Abu Hurairah RA. Adapun yang disebutkan dalam kitab Bulugh al-Maram, yang mengesankan bahwa hadis ini adalah riwayat Ali bin Abu Thalib RA, maka hal itu adalah suatu kekeliruan. Bisa jadi kekeliruan tersebut berasal Ibnu Hajar RH sendiri, atau oleh para pengutip kitab dari beliau RH. (Lihat: Minhah al-Allaam Syarh Bulugh al-Maram).
([3]) Lihat Fathul Muním Syarh Sahih Muslim, Dr. Musa Syahin 8/473.
Adapun jika kita menggunakan lafal salam yang menunjukan bahwa mereka (Yahudi dan Nashrani) tidak termasuk dalam doa salam tersebut, maka tidaklah mengapa. Seperti surat yang dituliskan Rasulullah kepada Heraklius dimana di awal surat Rasulullah berkata :
سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
“Keselamatan bagi orang yang mengkuti petunjuk”
Atau mengucapkan salam kepada mereka dengan lafal:
السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
“Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih”
Maka hal ini tidak mengapa. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar 11/40)
([4]) Menurut Imam an-Nawawi hal ini disepakati oleh seluruh ulama. Namun, menurut Ibnu Qayyim, jawaban dengan “Wa ‘alaikum” atau “’Alaikum” ini hanya berlaku apabila ucapan salam yang dilontarkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani berbunyi, “Assamu ‘alaikum” (kematian atas kalian), dan seperti itu pula terdengar oleh muslim yang diberi salam, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis. Lain halnya apabila si pendengar secara meyakinkan mendengar salam yang diucapkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani berbunyi “Assalamu ‘alaikum”, maka pandangan yang sesuai dengan konsekuensi dalil dan prinsip dasar syariat adalah membalasnya dengan “Wa ‘alaikassalam” atau “Wa ‘alaikumussalam”. (Lihat: Ibnul Qayyim RH dalam Ahkam Ahli adz-Dzimmah, hl. 425-426).
([5]) Dan ini adalah pendapat ‘Alqomah dan an-Nakha’i (Lihat al-Ikhnaiyah, Ibnu Taimiyyah hal 121, Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 2/388 dan Nailul Authar, Asy-Syaukani 8/76)
Kalaupun kita memulai mengucapkan salam kepada mereka maka hendaknya kita niatkan makna Assalamu ’alaikum adalah “Engkau selamat dari gangguanku”, karena ini adalah salah satu dari makna Assalamu ‘alaikum yaitu keselamatan dari pembicara kepada yang diajak berbicara. (Lihat Fathul Muním Syarh Sahih Muslim 8/473)