Hadis 2 – Pandanglah Orang yang di Bawahmu dalam Masalah Dunia
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي اللّه عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
Dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat yang di atas kalian. Dengan demikian kalian tidak akan meremehkan nikmat yang telah Allah ﷻ berikan kepada kalian.” ([1])
Saudaraku, hadis ini mengajarkan agar dalam masalah dunia hendaknya kita melihat ke bawah. Bagaimana pun kekurangan yang ada pada diri kita dalam masalah dunia, pasti masih ada orang lain yang lebih parah kekurangannya daripada kita. Misalnya, alhamdulillah, saat ini kita dalam keadaan sehat, sementara betapa banyak orang yang sakit, bahkan terkapar tak bergerak di tempat tidurnya, cacat, atau sedang berjibaku menghadapi penyakitnya yang sangat parah. Andai saat ini kita sedang sakit pun, pasti masih ada orang lain yang lebih parah sakitnya daripada kita. Demikian pula dari segi harta, tempat tinggal, atau nikmat-nikmat duniawi lainnya, selalulah memAndang mereka yang taraf kehidupannya berada di bawah kita.
Senantiasa bersyukur bukanlah perkara yang mudah, oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Hendaknya kita senantiasa berdoa semoga Allah menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba Allah ﷻ yang sedikit tersebut. Dan salah satu usaha terbaik untuk mewujudkan harapan tersebut, adalah mengamalkan saran Rasulullah ﷺ pada hadis di atas.
Perlu kita ingat bahwa kesehatan adalah kekayaan sejati, yang banyak diimpikan oleh orang-orang kaya harta yang terkapar di rumah sakit. Namun sayangnya, seringkali kita lalai untuk mensyukuri nikmat yang sangat besar ini, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang banyak orang tertipu di dalamnya yaitu kesehatan dan waktu luang.” ([2])
Jika nikmat kesehatan belum bisa kita syukuri dengan baik, sementara mata kita sudah melirik kepada kenikmatan-kenikmatan harta yang dimiliki oleh tetanga-tetangga atau teman-teman kita, bagaimana mungkin kita akan bisa menjadi hamba yang bersyukur?
Maka, di antara hal yang membuat kita senantiasa bersyukur adalah melihat ke bawah dalam masalah dunia, termasuk masalah harta. Misalnya kita merasa mempunyai kendaraan yang kurang bagus. Namun lihatlah, masih banyak orang di bawah kita yang kendaraannya lebih jelek daripada kendaraan kita. Malah boleh jadi, masih banyak orang yang hanya memiliki motor butut atau memiliki sepeda kayuh tua, atau bahkan masih banyak orang yang hanya bisa berjalan kaki ke mana-mana karena ia tidak memiliki kendaraan sama sekali.
Ambisi terhadap dunia tidak akan pernah ada habisnya. Orang yang mencari dunia akan terus senantiasa haus akan dunia. Terkadang kita heran ketika melihat ada seorang yang sudah tua, umurnya sudah 60 tahun, 70 tahun, atau bahkan 80 tahun, namun masih sibuk tenggelam dalam urusan duniawi padahal hartanya sudah lebih dari cukup. Di usia senjanya, ia masih memikirkan bisnis ini dan itu, lalu kapan dia akan beristirahat? Kapan dia akan menikmati harta dunia yang selama ini ia kumpulkan? Lebih lagi, kapan lagi ia akan memfokuskan perhatiannya untuk menghamba kepada Sang Penciptanya ﷻ? Dunia itu bak air laut, semakin diteguk, ia akan semakin membuat haus seseorang. Hasrat terhadap dunia baru akan berhenti jika seseorang telah meninggal dunia. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ
“SeAndainya seorang anak Adam memiliki dua lembah harta, dia pasti akan mencari lembah yang ke-3 (tidak akan pernah merasa puas). Seorang anak Adam tidak akan berhenti (mengejar dunia), kecuali ketika tanah sudah menyumpal mulutnya (jenazahnya telah dikebumikan).” ([3])
Itulah gambaran tentang dunia beserta arahan Islam terkait bagaimana menyikapinya. Berbeda halnya dengan masalah akhirat. Dalam masalah akhirat, kita diperintahkan untuk melihat ke atas. Allah ﷻ mengajarkan kita untuk selalu bersemangat dalam masalah akhirat, sebagaimana pesan ini tersirat dalam perintah untuk senantiasa memohon minimal sebanyak 17 kali setiap harinya, pada momen terdekat seorang hamba dengan Tuhannya, yaitu doa:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat itu? Mereka adalah para nabi, orang-orang shiddiq (jujur dalam keimanan), para syuhada, dan orang-orang saleh. Merekalah panutan dan role model kita dalam masalah akhirat. Demikianlah, Allah ﷻ memerintahkan kita untuk menatap ke atas dalam masalah akhirat, yaitu dengan senantiasa meminta petunjuk ke jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang saleh nan mulia tersebut.
Allah ﷻ lebih menegaskan perintah ini dalam ayat lainnya. Allah ﷻ berfirman:
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian (yaitu kenikmatan-kenikmatan surga), hendaknya orang-orang yang berlomba itu berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifīn: 26)
Allah ﷻ juga berfirman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)
Allah ﷻ juga berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
“Berlomba-lombalah untuk meraih ampunan Allah. Dan berlomba-lombalah untuk segera meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Āli ‘Imrān: 133)
Demikianlah saudaraku, kita diperintahkan untuk bersikap qana’ah (rela menerima) dalam masalah dunia, namun jangan pernah merasa puas dalam masalah akhirat. Bukan sebaliknya, tidak pernah puas dengan dunia, namun malah legowo dan puas apa adanya dalam masalah agamanya.
Sebagai contoh, jangan sampai seseorang sudah memiliki mobil, namun masih bernafsu untuk memiliki mobil yang lebih mewah lantaran iri dengan tetangganya, teman-temannya, dan seterusnya. Sementara ketika ditegur perihal ibadahnya yang pas-pasan, ia dengan entengnya mengatakan, “Ah, alhamdulillāh saya sudah salat. Lihat tuh, masih banyak orang yang tidak salat sama sekali.”
Benar, memang masih banyak orang yang tidak salat, dan kita bersyukur kepada Allah karena menjadi golongan orang yang mendirikan salat, akan tetapi lihatlah ke atas, agar dirimu terus terpacu dengan banyaknya orang-orang saleh yang jauh lebih baik kualitas agamanya darimu. Hendaknya kita berusaha mencapai kedudukan setinggi mungkin dalam masalah agama. Rasulullah ﷺ bersabda:
فإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ
“Jika engkau minta surga, mintalah surga Firdaus, surga yang paling baik dan yang paling tinggi.” ([4])
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang zuhud dan qana’ah dalam masalah dunia, dan selalu bersemangat dan tak pernah puas dalam masalah agama.
FAEDAH
Sebagian ulama menyebutkan bahwa jika seseorang yang miskin memandang kepada orang yang jauh lebih kaya darinya dengan kacamata syukur, ia pasti akan mendapati bahwa dirinya ternyata memiliki nikmat yang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nikmat harta yang dimiliki oleh si kaya tersebut.
Bisa jadi ia mendapati bahwa si kaya dengan hartanya yang melimpah harus merasakan berbagai penderitaan yang membuat hidupnya tidak tenang, seperti sakit yang datang silih berganti, tekanan hidup yang tinggi, kekhawatiran akan kehilangan hartanya, dan lain-lain.
Bisa jadi orang yang hartanya melimpah hidupnya tidak tenang karena senantiasa memikirkan pekerjaannya dalam rangka mencari dan mempertahankan kekayaan. Bisa jadi ia juga dipusingkan perihal cara menyimpan dan membelanjakan hartanya, dan seabrek permasalahan lain yang tidak pernah membebani orang-orang miskin.
Si miskin yang bersyukur sudah terpuaskan dengan makanan yang sangat sederhana, dan mampu tidur pulas di sembarang tempat, sementara si kaya harus bersikap super hati-hati perihal konsumsi sehari-harinya demi menjaga kesehatan atau pola dietnya, dan sulit tidur karena berbagai permasalahan yang selalu memenuhi otak dan pikirannya, sehingga meskipun si kaya berbaring di ranjang yang empuk dan mahal, di kamar yang luas nan mewah, ia tidak kunjung tertidur, sementara si miskin sudah tertidur pulas, kendati hanya beralaskan tikar lusuh atau emperan jalanan.
Yakinlah saudaraku, kunci kebahagiaan adalah rasa syukur kepada Allah ﷻ, bukan nominal harta atau tingginya taraf kehidupan dunia.
Footnote:
_____