Menggapai Hidayah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Petunjuk (الهِدَايَة)
Hidayah berasal dari bahasa الهِدَايَة ‘petunjuk’. Sesungguhnya terdapat tanda-tanda tertentu bagi orang-orang yang telah dicabut hidayah dari mereka oleh Allah ﷻ atau bahkan mereka cenderung meninggalkan hidayah tersebut dan tidak mengikutinya sama sekali. Oleh karenanya, setiap orang hendaknya mengetahui manakah hidayah-hidayah yang seharusnya ditinggalkan atau disambut, sehingga dia tidak hanya berdiam, pasrah untuk menjemput hidayah tersebut.
Pentingnya Hidayah
Hidayah sangat penting, karena barang siapa yang diberikan hidayah, maka dia akan sangat beruntung dan barang siapa yang tidak diberikan hidayah, maka dia akan sangat merugi. Allah ﷻ berfiman,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 178)
Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Kemudian firman Allah ﷻ,
مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ
“Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 186)
Ayat-ayat tersebut sering disampaikan oleh Nabi ﷻ di dalam khutbah-khutbah beliau.
Suatu ketika penulis pernah mengunjungi guru beliau yang sedang berada di rumahnya. Saat itu beliau sedang membimbing suatu risalah ilmiah (disertasi) tentang bantahan kepada orang-orang Ateis, di mana yang menulis adalah seorang mahasiswa yang berasal dari Swedya, Eropa. Dia berasal dari keluarga yang mayoritas beragama Ateis. Selain itu, dia tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir. Namun, dibalik itu Allah memberikan kepadanya hidayah, sehingga dia menempuh pendidikan di Unversitas Islam Madinah, dan melanjutkan studinya pada program pendidikan doktor dan menulis sebuah disertasi yang merupakan bantahan terhadap orang-orang Ateis. Yang menjadi keajaiban adalah dia diberikan hidayah dari Allah untuk masuk kepada agama Islam di tengah-tengah masyarakat yang beragama Ateis. Tidak ada yang memberikan hidayah kepadanya, di mana dia tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir kecuali Allah, meskipun dia tinggal di tengah orang-orang yang penuh dengan kesesatan.
Apabila Allah ﷻ hendak memberikan hidayah kepada seseorang, maka Allah akan memberikan kepadanya. Meskipun dia tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir sekalipun. Bahkan, Allah akan membimbingnya untuk membantah kesesatan-kesesatan mereka. Masalah hidayah adalah rahasia Allah, apabila Allah memberikan hidayah kepada seorang hamba, maka orang tersebut akan sangat beruntung.
Sangat dianjurkan untuk meminta hidayah
Di antara bentuk sangat pentingnya hidayah adalah kita sangat dianjurkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah ﷻ. Sebagai contohnya adalah berdasarkan firman Allah ﷻ,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Barang siapa yang disesatkan, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk. Contohnya adalah seperti istri Nabi Nuh ‘alaihissalam, dimana beliau adalah seorang nabi dan rasul, tetapi istrinya kafir, sebagaimana anaknya yang kafir. Begitu juga dengan Nabi Luth ‘alaihissalam, di mana beliau adalah seorang nabi dan rasul, tetapi istrinya kafir. Sebaliknya, Fir’aun, seorang bengis yang mengaku sebagai Tuhan, namun istrinya adalah seorang wanita salehah penghuni surga.
Barang siapa yang Allah ﷻ berikan hidayah, maka tidak ada yang bisa menghalanginya dari hidayah tersebut dan barang siapa yang Allah ﷻ sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberikan hidayah kepadanya. Barang kali dia telah melihat dan mendengar hidayah tersebut, tetapi jika bukan karena hidayah taufik dari Allah ﷻ, maka dia bukan termasuk orang-orang yang diberikan hidayah. Orang-orang munafik yang hidup bersama Nabi ﷺ, mereka secara langsung melihat akhlak beliau, berguru dengan beliau dan menerima ajaran sekaligus pendidikan dari beliau ﷺ, akan tetapi mereka tidak mendapatkan hidayah dari Allah ﷻ. Allah tidak menghendaki hidayah kepada mereka.
Oleh karenanya, hendaknya seseorang berusaha untuk selalu meminta hidayah kepada Allah. Minimal sebanyak tujuh belas kali dalam sehari, hendaknya seorang hamba meminta hidayah kepada Allah ﷻ,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Selain itu, dia juga berdoa di dalam doa qunut,
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ
“Ya Allah, berikanlah petunjuk kepadaku bersama orang-orang yang Engkau berikan petunjuk.”([1])
Begitu juga seperti doa Nabi ﷺ,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina([2]).” ([3])
Kita semua memerlukan hidayah, baik hidayah menuju kebenaran, hidayah agar tegar di atas kebenaran tersebut hingga hidayah agar kita mampu menjalankannya dan hidayah kepada segala jalan kebaikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa hidayah yang kita perlukan sangatlah banyak, di antara bentuk hidayah yang diperlukan oleh setiap hamba adalah:
- Hidayah menuju kebenaran
Bisa jadi seseorang berada di atas kesesatan, sehingga dia membutuhkan hidayah agar Allah ﷻ memberikan petunjuk baginya kepada kebenaran tersebut.
- Hidayah untuk tegar di atas kebenaran
Bagi setiap orang yang sudah mendapatkan nikmatnya hidayah kebenaran berupa agama Islam, maka tidak ada yang bisa menjaminnya meninggal dunia dalam keadaan muslim. Oleh karenanya, hendaknya dia selalu meminta hidayah kepada Allah ﷻ, agar selalu tetap tegar dan istiqamah di atas hidayah tersebut.
- Hidayah agar bisa menjalankan syariat dengan benar
Banyak orang yang sudah berada di atas hidayah kebenaran, tetapi mereka masih jauh dalam menjalankannya kebenaran tersebut atau tidak benar dalam menjalankan hidayah tersebut. Barang kali mereka sudah rutin dalam mendirikan salat, tetapi salatnya belum sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ, atau mereka sudah rajin berpuasa, tetapi puasanya masih jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Padahal, untuk dapat menunaikan ibadah salat ataupun puasa dengan baik, setiap orang membutuhkan hidayah. Selain itu, dalam menjalankan ibadah salat ataupun puasa juga butuh hidayah. Yang lebih utama dari itu, agar seseorang tetap tegar dan selalu istiqamah dalam menjalani ibadah itu sendiri juga butuh hidayah tersendiri.
- Hidayah menuju segala jalan kebaikan
Masih banyak jalan kebaikan-kebaikan yang tidak diketahui oleh orang-orang yang beriman. Padahal, mereka butuh hidayah Allah ﷻ kepada jalan-jalan kebaikan tersebut. Masih banyak jalan kebaikan, dimana hati mereka belum terbuka untuk kebaikan tersebut. Seandainya Allah ﷻ tidak memberikan hidayah, maka mereka tidak akan tahu mana itu kebaikan dan mana itu keburukan. Barangkali seseorang melihat satu jalan kebaikan, namun hatinya belum tertarik untuk mengamalkannya. Keadaan yang seperti ini membutuhkan hidayah agar Allah ﷻ melangkahkan kakinya menuju kebaikan tersebut.
Ketika kita merenungkan tentang bentuk-bentuk hidayah yang kita perlukan, maka wajar saja jika kita setiap hari minimal harus berdoa, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” sebanyak 17 kali sehari di dalam salat wajib, karena banyak hidayah yang kita butuhkan. Ibnul Qayyim dan Ibnu Katsir menegaskan perkataan tersebut di dalam tafsirnya, di mana hendaknya kita sangat dianjurkan untuk meminta hidayah. ([4])
Footnote:
_________
([1]) HR. Abu Dawud no. 1425 dan disahihkan oleh Al-Albani
([2]) ‘Afaf adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan dan berhenti dari melakukan perbuatan tersebut adapun Ghina adalah kekayaan hati dan merasa cukup dari apa yang dimiliki manusia (tidak meminta-minta). (Syarah Sahih Muslim karya An-Nawawy 17/41). Al-‘Afaf adalah sifat menjaga diri dari ketamakan terhadap kehidupan dunia (lihat Faid Al-Qodir 2/137)
([3]) HR. Muslim no. 2721
([4]) Tafsir Ibnu Katsir 1/139 dan Badai’ Al-Fawa’id 2/38