Bentuk-Bentuk Sabar
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Tatkala kita berbicara tentang sabar, konotasinya selalu mengarah pada sabar dalam menghadapi perkara-perkara yang tidak disukai. Padahal sabar itu terbagi menjadi tiga yaitu, sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ﷻ, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang kita tidak sukai (musibah). Dari sini kemudian kita sadar bahwa sabar itu sangatlah mulia. Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa sabar adalah separuh dari keimanan. Rasulullah ﷺ mengatakan, dari Anas bin Malik,
الْإِيمَانُ نِصْفَانِ نِصْفٌ فِي الصَّبْرِ، وَنِصْفٌ فِي الشُّكْرِ
“Iman itu ada dua, separuhnya ada pada sabar, dan separuhnya ada pada syukur.”([1])
Kondisi seorang hamba hanya ada dua, mendapat kenikmatan atau mendapatkan ujian dari Allah ﷻ. Jika seseorang mendapatkan kenikmatan dia bersyukur, dan jika dia mendapatkan musibah dia bersabar, maka sempurnalah keimanannya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ ,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkaranya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. (yaitu) Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan apabila tertimpa musibah (tidak disuka), ia bersabar dan sabar itu baik baginya.”([2])
Maka jika seseorang bisa mengumpulkan antara syukur dan sabar, maka akan sempurna imannya. Oleh karenanya Allah ﷻ juga sering menggandengkan antara sabar dan syukur sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 5)
Dari sini seorang mukmin hendaknya berusaha untuk menggabungkan kedua perkara ini dalam dirinya.
- Sabar dalam menjalankan ketaatan
Sabar dalam menjalankan ketaatan bukanlah perkara yang mudah. Salat berjamaah lima waktu di masjid tidaklah mudah. Memerintahkan keluarga untuk salat juga tidak mudah. Semuanya bisa dilakukan hanya dengan kesabaran. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha : 132)
Allah ﷻ juga menyebutkan bahwa sabar dalam menjalankan ketaatan bisa memasukkan seseorang dalam surga. Allah ﷻ berfirman,
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (QS. Al-Furqan : 75)
Apa yang mereka lakukan sehingga digolongkan sebagai orang yang sabar dan dimasukkan ke dalam surga? Pada ayat-ayat sebelumnya Allah ﷻ berfirman menyebutkan ciri-ciri mereka,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا. وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا. إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا. وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا. وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا.
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”. dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal”. Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar, dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” (QS. Al-Furqan : 63-68)
Semua ciri-ciri yang Allah ﷻ sebutkan di atas adalah hal-hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal-hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan kesabaran.
Allah ﷻ juga berfirman,
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ. سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ.
“(yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya, dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d : 23-24)
Kesabaran yang dimaksud dalam ayat di atas ini adalah kesabaran dalam ketaatan. Dalam surah Ar-Ra’d, di ayat sebelumnya Allah ﷻ menyebutkan ciri-ciri penghuni surga, yang ciri-ciri tersebut hanya bisa dilakukan dengan kesabaran. Ciri yang pertama Allah ﷻ,
الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ
“(yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’d : 20)
Seseorang yang telah bersumpah dan bernazar, dia harus menjaga janji tersebut. Tidaklah hal tersebut bisa ditunaikan kecuali dengan kesabaran. Oleh karenanya Allah ﷻ juga berfirman,
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ
“Dan jagalah sumpahmu (janji-janjimu).” (QS. Al-Maidah : 89)
Allah ﷻ selanjutnya berkata,
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menyambung (silaturahmi) terhadap apa yang diperintahkan Allah agar dia menyambungnya, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Al-Ra’d : 21)
Menyambung silaturahmi bukanlah perkara yang mudah. Silaturahmi itu butuh kesabaran. Di antara silaturahmi yang teragung adalah berbakti kepada orang tua. Oleh karenanya tatkala ada orang yang meminta izin untuk ikut berjihad bersama Rasulullah ﷺ , beliau ﷺ berkata,
أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Iya”. Maka Beliau berkata: “Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti).” ([3])
Berbakti kepada kedua orang tua butuh kesabaran, sabar untuk menjenguk mereka, sabar dalam mengobrol dengan mereka. Terkadang kita tidak bisa sabar dalam mengobrol dengan mereka, sampai-sampai kita cepat ingin menyelesaikan pembicaraan dengan mereka. Demikian pula menyambung silaturahmi terhadap saudara, paman dan tante, sepupu, semuanya membutuhkan kesabaran.
Kemudian Allah ﷻ mengatakan,
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak (membalas) kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d : 22)
Orang-orang yang bersabar karena mengharap wajah Allah ﷻ, mendirikan salat, berinfak dan bersedekah, semuanya bisa dilakukan dengan kesabaran. Terlebih lagi membalas keburukan dengan kebaikan juga lebih-lebih membutuhkan kesabaran. Oleh karenanya dari semua ciri-ciri ini, di akhir ayat Allah mengatakan bahwa malaikat akan memberi selamat kepada mereka atas kesabaran mereka.
Oleh karenanya menjalankan ketaatan itu butuh kesabaran dan kekuatan iman. Penulis teringat dengan kisah Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah tentang bagaimana seseorang bersabar dalam mengerjakan salat malam. Beliau menceritakan bahwa beliau memiliki seorang guru dari Indonesia, beliau tidak mengenalnya dan orang tersebut tidak mengenal beliau. Akan tetapi Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah sering mendoakan orang tersebut. Dahulu di Masjid Nabawi mengerjakan salat tarawih pada awal malam dan salat tahajud di akhir malam pada waktu Ramadan. Hanya saja perbedaannya dengan salat yang dilakukan sekarang ini adalah, salat tahajud dahulu dilaksanakan membaca hingga 3 Juz, sedangkan saat ini sekitar 1 Juz lebih. Beliau menceritakan bahwa dahulu pada saat salat tahajud, ada orang Indonesia datang persis di hadapan beliau dengan menggunakan tongkat karena cacat (kakinya hanya satu). Setelah orang tersebut sampai di depan beliau, orang tersebut kemudian meletakkan tongkatnya dan salat dengan satu kaki selama berjam-jam. Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah kemudian mengatakan kepada kami bahwa sejak saat itulah beliau paham bahwa kekuatan itu bukan pada jasad, melainkan pada kekuatan iman. Secara fisik, orang Indonesia yang beliau ceritakan tidaklah kuat untuk salat berjam-jam, akan tetapi karena imannya yang kuat membuat dia bisa sabar salat dengan satu kaki. Sedangkan betapa banyak orang badannya kekar dan kuat, akan tetapi bangun untuk salat subuh saja dia tidak mampu. Oleh karenanya kekuatan sesungguhnya ada pada keimanan. Sejak peristiwa itu, Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah mengatakan bahwa beliau senantiasa mendoakan gurunya tersebut yang tidak dikenalnya, karena telah memberikan pelajaran yang besar bagi beliau.
Di antara hal yang mempermudah agar kita bisa sabar dalam ketaatan adalah sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Allah ﷻ memerintahkan untuk mencari teman yang bisa mengingatkan kita kepada Allah ﷻ. Dengan berteman dengan orang-orang saleh, kita bisa bersabar. Melihat ketakwaan mereka, amal saleh mereka, semangat mereka dalam berdakwah, semua itu akan membuat kita ikut terpancing untuk bersabar.
Berbeda dengan orang-orang kafir yang bersabar dalam kemaksiatan mereka. Allah ﷻ telah menyebutkan bagaimana orang-orang musyrikin bersabar, Allah ﷻ berfirman,
وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ
“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan sabarlah (dalam menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS. Shad : 6)
وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولًا. إِنْ كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ آلِهَتِنَا لَوْلَا أَنْ صَبَرْنَا عَلَيْهَا وَسَوْفَ يَعْلَمُونَ حِينَ يَرَوْنَ الْعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Dan apabila mereka melihat engkau (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan engkau sebagai ejekan (dengan mengatakan), “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? Sungguh, hampir saja dia menyesatkan kita dari sembahan kita, seandainya kita tidak tetap bersabar (dalam menyembah)nya.” Dan kelak mereka akan mengetahui pada saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan : 41-42)
Lihatlah bagaimana orang-orang musyrikin mengakui kesabaran mereka dalam kesyirikan. Bahkan di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam, Allah ﷻ juga berfirman tentang orang-orang kafir,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (23)
“Dan mereka berkata (saling mewasiatkan), “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaguts, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh : 23)
Selain bersabar dalam beribadah, orang-orang kafir juga Allah ﷻ sebutkan bahwa mereka juga sabar dalam berinfak. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ (36)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakkan harta mereka untuk menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan (terus) menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan akhirnya mereka akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal : 36)([4])
Kalau orang-orang kafir sabar dalam kemaksiatan dan kekufuran menuju neraka Jahanam, kenapa kita tidak bersabar dalam menjalankan ketaatan menuju surga Allah ﷻ?
- Sabar dalam meninggalkan maksiat
Bersabar dalam meninggalkan maksiat merupakan suatu hal yang luar biasa. Tidak mudah seseorang bisa bersabar meninggalkan maksiat terutama di zaman sekarang ini yang penuh dengan fitnah. Contoh yang paling indah yang Allah ﷻ sebutkan tentang bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan adalah tentang kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Kita telah tahu bagaimana Nabi Yusuf ‘alaihissalam diuji dengan ujian yang luar biasa. Sampai-sampai kata para ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa ujian Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala dilempar ke dalam sumur masih jauh lebih ringan dibandingkan ketika beliau diuji dengan Zulaikha. Sebabnya adalah karena tatkala beliau dilemparkan ke dalam sumur itu dalam keadaan terpaksa bersabar (Shabrun Idhthirari) karena tidak ada pilihan yang lain. Berbeda ketika beliau diuji dengan Zulaikha, beliau punya pilihan antara bermaksiat atau meninggalkan maksiat. Kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam meninggalkan maksiat tatkala itu disebut Sabrun Ikhtiari (sabar pilihan). Dan sabar pilihan itu lebih afdal (utama) daripada sabar terpaksa.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa sabarnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala diuji dengan Zulaikha lebih utama daripada sabar beliau tatkala dilemparkan ke dalam sumur. Karena tatkala Nabi Yusuf ‘alaihissalam diuji dengan Zulaikha, beliau diuji dengan berbagai macam ujian. Di antara ujian yang beliau alami yang pertama adalah Zulaikha sangat cantik, dan dia menghias dirinya sehingga menjadi cantik di atas kecantikan. Kemudian pada saat itu tidak ada yang melihatnya dan kunci pintu dipegang oleh Zulaikha. Di antara juga ujian Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah Zulaikha yang merayu lebih dahulu, dan Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga sangat tampan dan masih muda. Di antara ujian Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah beliau jauh dari kampungnya yang sangat bisa mendorongnya untuk melakukan kemaksiatan. Semua bentuk ujian yang dialami Nabi Yusuf ‘alaihissalam ini sangat mudah untuk mendorongnya melakukan kemaksiatan, akan tetapi yang Nabi Yusuf ‘alaihissalam lakukan adalah lari. Para ulama mengatakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam lari karena takut tidak bisa lagi menahan dirinya. Sementara kata Allah ﷻ,
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا
“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya.” (QS. Yusuf : 24)
Nabi Yusuf ‘alaihissalam sebagai manusia biasa juga ternyata telah tergerak syahwatnya melihat wanita yang begitu cantik di hadapannya. Akan tetapi dia memilih untuk kabur dan lari meninggalkan wanita tersebut. Sungguh ujian yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam sangatlah luar biasa, siapakah pemuda di zaman sekarang yang bisa seperti Nabi Yusuf ‘alaihissalam? Jangankan digoda oleh wanita cantik, mungkin digoda oleh wanita biasa saja pun dia sudah tidak bisa menahan dirinya.
Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan di zaman sekarang yang penuh fitnah ini sungguh tidaklah mudah. Akan tetapi kita membutuhkan perjuangan agar bisa menghindarkan diri dari kemaksiatan tersebut. Ada beberapa hal yang disebutkan oleh para ulama bahwa bersabar dari kemaksiatan bisa ditempuh dengan tiga cara,
- Karena takut kepada Allah
Betapa banyak orang yang sedang melakukan kemaksiatan kemudian Allah ﷻ mencabut nyawanya tatkala itu juga. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ﷻ mencabut nyawa kita. Ketika kita meninggal dalam keadaan bermaksiat, maka kita meninggal dalam keadaan suulkhatimah (mati yang buruk). Mungkin terbetik di dalam benak kita bahwa kita ingin bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukan. Akan tetapi adakah jaminan bahwa kita meninggal dalam keadaan telah bertaubat? Atau meninggal tatkala sedang bermaksiat kepada Allah ﷻ? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Katakanlah (Muhammad), “Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (QS. Al-An’am : 15)
Maka dari itu hendaknya seseorang merenungkan hal tersebut, agar dia bisa meninggalkan kemaksiatan. Karena bisa saja Allah menurunkan azab atau mencabut nyawanya tatkala melakukan kemaksiatan. Rasa takut kepada Allah ﷻ ini bisa membuat kita berhenti atau bersabar untuk meninggalkan kemaksiatan.
- Karena malu kepada Allah
Di antara yang bisa membuat seseorang bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan adalah rasa malu kepada Allah ﷻ. Malu jika dengan banyaknya kenikmatan yang Allah berikan, sedangkan kita menggunakannya untuk membangkang dari perintah Allah ﷻ. Oleh karenanya tatkala Nabi Yusuf ‘alaihissalam digoda oleh Zulaikha, beliau mengatakan,
مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ
“Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” (QS. Yusuf : 23)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ada dua, pertama bahwa tuannya telah berbuat baik kepadanya, sehingga tidak mungkin dia mengkhianati tuannya. Kedua bahwa Allah ﷻ telah memberinya banyak kenikmatan, sehingga tidak pantas bagi beliau untuk membangkang dari perintahnya dan melakukan zina dengan Zulaikha.
Bukankah Allah ﷻ telah memberikan banyak kenikmatan kepada kita? Allah ﷻ berfirman,
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad : 8-9)
Allah ﷻ telah memberikan kepada kita nikmat penglihatan, akan tetapi kita gunakan untuk melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ? Allah ﷻ juga telah memberikan kita nikmat lisan, akan tetapi kita gunakan untuk gibah, namimah dan yang ….lainnya? Sungguh banyak kenikmatan yang lain, akan tetapi seharusnya kita malu jika nikmat yang Allah ﷻ berikan tersebut kita gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Oleh karenanya di antara cara agar seseorang bisa bersabar dalam meninggalkan maksiat adalah rasa malu kepada Allah ﷻ. Jika kita ingin kenikmatan itu terjaga pada diri kita, hendaknya kita meninggalkan maksiat. Seorang penyair berkata,
إِذَا كُنْتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا … فَإِنَّ الذُّنُوبَ تُزِيلُ النِّعَمْ
“Apabila engkau dalam kenikmatan maka jagalah. Sesungguhnya dosa-dosa bisa menghilangkan kenikmatan.”
Oleh karenanya Nabi ﷺ juga mengatakan,
اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.”([5])
Latihlah diri kita untuk merasa malu kepada Allah ﷻ. Jika kesehatan, pandangan, dan kenikmatan yang lain adalah pemberian Allah ﷻ, lantas mengapa kemudian kita menggunakannya untuk membangkang dan bermaksiat kepada Allah ﷻ.
- Karena cinta kepada Allah
Di antara cara seseorang bisa bersabar meninggalkan maksiat adalah karena rasa cinta kepada Allah ﷻ. Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika kita telah mencintai seseorang, maka pasti apa pun yang diperintahkan oleh orang yang kita cintai akan kita kerjakan. Contohnya adalah seorang suami yang mencintai istrinya, maka pasti apa pun yang diperintahkan oleh sang istri akan dituruti oleh sang suami, selama dia bisa melakukannya. Apa pun yang dilarang oleh istri terkadang akan dituruti oleh suami. Ini semua karena dasar cinta sang suami kepada sang istri. Demikian juga seseorang yang mencintai Allah ﷻ, apa pun yang Allah ﷻ larang, hendaknya tidak dilakukan.
Bukti seseorang mencintai Allah ﷻ adalah dia melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Allah ﷻ, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah ﷻ. Dengan melakukan ini pula, seseorang bisa mendapatkan cinta Allah ﷻ. Ketahuilah bahwa setiap kali seseorang bermaksiat, maka dia telah menghilangkan kecintaannya kepada Allah dari dirinya. Semakin dia bermaksiat, maka akan semakin jauh dia dari Allah ﷻ. Sedangkan kita tidak ingin jauh dari Allah ﷻ, karena jauh dari-Nya adalah sebuah musibah.
Betapa banyak orang yang mengaku cinta kepada Allah ﷻ, akan tetapi tidak ada bukti cintanya. Malah sebaliknya yang dia lakukan adalah bermaksiat kepada Allah ﷻ, yang itu bukti bahwa dia tidak cinta kepada Allah ﷻ. Sesungguhnya konsekuensi dari orang yang mencintai Allah ﷻ adalah apa yang diperintahkan oleh Allah dia kerjakan, dan apa yang dilarang oleh Allah dia tinggalkan.
Inilah model kedua dari kesabaran dan tidak kalah pentingnya, yaitu bersabar meninggalkan maksiat karena Allah ﷻ.
- Sabar dalam menghadapi musibah
Sabar dalam menjalani musibah atau hal-hal yang tidak disukai adalah pengertian yang banyak dipahami oleh orang terkait kesabaran. Padahal yang namanya ujian bukan hanya sebuah musibah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Allah ﷻ berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’ : 35)
Jadi manusia di dunia ini akan diuji dengan keburukan dan kebaikan. Ujian berupa keburukan itu di antaranya sempitnya harta, sakit, dizalimi, dan yang lainnya. Adapun ujian kebaikan di antaranya adalah, diberi harta yang banyak, jabatan, kesehatan, dan kenikmatan yang lain. Oleh karenanya sebagaimana kita bersabar dalam hal-hal keburukan, kita juga harus bersabar dalam kenikmatan, karena keburukan dan kenikmatan (keduanya) merupakan ujian.
Ingatlah, bahwasanya semakin seseorang beriman maka akan semakin berat ujiannya. Ibarat pohon yang semakin tinggi, maka akan semakin kencang angin yang menerpa. Oleh karenanya orang yang paling berat ujiannya adalah orang yang beriman. Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersabda tatkala ditanya tentang siapa manusia yang paling berat ujiannya,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, lalu orang-orang saleh, kemudian orang yang paling mulia semisalnya dan yang paling mulia semisalnya dari manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya (imannya -red), jika imannya kuat maka akan ditambah ujiannya, dan jika imannya lemah maka akan diringankan ujiannya. Tidaklah ujian itu berhenti pada seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa mempunyai dosa.”([6])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka.”([7])
Oleh karenanya ketika kita bertanya siapakah manusia yang paling diuji? Maka jawabannya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Ujian yang beliau alami sungguh sangat luar biasa. Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ yang lahir dalam kondisi yatim, tidak memiliki ayah. Beliau kemudian dipelihara di Thaif oleh ibu susuannya selama empat tahun, kemudian setelah itu kembali dirawat oleh ibunya. Tatkala beliau sedang lagi sayang-sayangnya kepada ibunya, suatu hari ibunya ke kota Madinah, dan tatkala hendak pulang ke kota Makkah, dalam perjalanan ibunya meninggal dunia karena sakit. Bayangkan bagaimana beratnya ujian Rasulullah ﷺ, beliau melihat ibunya sakit hingga meninggal dunia, dan tidak ada kerabatnya yang melihatnya karena mereka tidak di Madinah dan tidak pula di Makkah tatkala itu. Setelah itu Rasulullah ﷺ tinggal bersama kakeknya hingga berumur delapan tahun. Setelah itu beliau dirawat oleh pamannya Abu Thalib yang miskin, sehingga di antara pekerjaan beliau adalah menggembalakan kambing untuk membantu pamannya. Padahal tatkala itu Nabi Muhammad ﷺ masih kecil.
Setelah itu, tatkala Nabi ﷺ berusia 25 tahun, beliau kemudian menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha. Nabi Muhammad ﷺ kemudian tinggal bersamanya selama 25 tahun. Saking cintanya beliau ﷺ kepada Khadijah, sampai-sampai beliau mengatakan,
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sesungguhnya aku benar-benar telah dianugerahi cinta kepada Khadijah.”([8])
Bagaimana tidak beliau ﷺ sangat mencintai Khadijah? Khadijah adalah istri yang sangat salihah, tidak pernah mengangkat suara di hadapan Nabi Muhammad ﷺ selama 25 tahun bersamanya. Tatkala Rasulullah ﷺ dimaki-maki oleh kaum musyrikin, dituduh gila, dituduh penyihir, dan dituduh pendusta, beliau memiliki Khadijah radhiallahu ‘anha yang menjadi tempat curhat beliau. Khadijah radhiallahu ‘anha juga orang yang sangat patuh, sebagaimana disebutkan tatkala Rasulullah ﷺ hendak pergi ke gua Hira untuk berkhalwat, beliau meminta dibuatkan bekal. Khadijah radhiallahu ‘anha tidak beranya macam-macam kepada Rasulullah ﷺ tentang rencananya, yang ada beliau hanyalah menyiapkan apa yang diminta oleh Rasulullah ﷺ . Tatkala bekal Rasulullah ﷺ habis, beliau kembali ke rumah dan dibuatkan kembali oleh Khadijah radhiallahu ‘anha. Sampai akhirnya tatkala Nabi Muhammad ﷺ di gua Hira dipeluk berkali-kali oleh Malaikat Jibril, beliau kemudian pulang dengan ketakutan. Yang pertama beliau minta tatkala itu adalah untuk diselimuti, dan Khadijah radhiallahu ‘anha pun tidak berkata-kata dan langsung mengambilkan beliau selimut. Ini sedikit gambaran alasan betapa cintanya Nabi Muhammad ﷺ kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Ketika tiga tahun sebelum hijrah, disitulah puncak-puncaknya kaum musyrikin mengintimidasi Rasulullah ﷺ. Ketika dipuncak-puncak Nabi Muhammad ﷺ berada dalam kesulitan tersebut, istri yang sangat dia cintai itu meninggal dunia. Sampai-sampai para ulama menamakan tahun meninggalnya Khadijah radhiallahu ‘anha dengan nama tahun kesedihan. Karena pada tahun tersebut beliau ditinggal mati oleh istri beliau, dan tidak beberapa lama, paman beliau Abu Thalib yang senantiasa mendukung dakwahnya juga meninggal dunia.
Nabi Muhammad ﷺ memiliki tujuh orang anak, enam dari Khadijah dan satu dari Mariyah. Semua anak beliau meninggal di zaman beliau, kecuali Fatimah yang meninggal enam bulan setelah wafatnya Nabi ﷺ . Bayangkanlah bagaimana rasanya menjadi beliau yang diuji dengan meninggalnya anak beliau satu persatu. Bahkan anak laki-laki yang tersisa pada saat itu yaitu Ibrahim, di usia keduanya dia meninggal di pangkuan Nabi Muhammad ﷺ. Ketika itu Nabi Muhammad ﷺ menangis dan berkata,
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Sesungguhnya kedua mata ini mencucurkan air mata, dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridai oleh Rabb kami. Dan sungguh kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim sangat bersedih.”([9])
Nabi Muhammad ﷺ juga tatkala diuji dengan sakit, disebutkan bahwa sakit beliau dua kali lipat. Oleh karenanya tatkala Nabi Muhammad ﷺ sakit akan meninggal dunia, sebagian sahabat menjenguk Nabi Muhammad ﷺ. Ternyata selimut yang menutupi badan Nabi Muhammad ﷺ terasa panas karena saking panasnya demam yang dialami oleh Nabi ﷺ .
Nabi ﷺ juga diuji tatkala Rasulullah ﷺ juga berdakwah di Thaif. Beliau ﷺ dihina oleh orang-orang Thaif dengan menghadirkan anak-anak dan orang gila yang mengantarkan beliau keluar dari Thaif, serta beliau juga dilempari kerikil oleh mereka. Padahal Nabi ﷺ adalah cucu dari penguasa kota Makkah Abdul Muthalib, akan tetapi beliau dihinakan dengan cara seperti itu. Intinya banyak ujian yang dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi iman seseorang, maka akan semakin besar pula ujian yang akan dialaminya. Oleh karenanya Imam Syafi’i rahimahullah memiliki satu syair yang menunjukkan beliau banyak menghadapi ujian meskipun beliau tidak mengungkapkannya. Beliau berkata dalam syairnya,
محنُ الزَّمانِ كثيرة ٌ لا تنقضي…وسرورهُ يأتيكَ كالأعيادِ
“Sesungguhnya ujian kehidupan zaman ini datang begitu banyak silih berganti, adapun kesenangan datang sesekali seperti hari raya.”
Oleh karenanya seseorang yang beriman pasti diuji dengan ujian yang Allah ﷻ kehendaki baginya dalam rangka untuk mengangkat derajatnya atau dalam rangka menghapuskan dosa-dosanya.
Kebanyakan orang apabila berbicara tentang sabar, mereka menyangka bahwasanya sabar hanyalah sabar tatkala tertimpa musibah. Padahal sabar itu ada tiga macam seperti yang disebutkan di atas. Ini adalah tiga jenis kesabaran yang disebutkan oleh para ulama’. Tiga hal ini membutuhkan kesabaran.
Para ulama’ berbeda pendapat, manakah sabar yang paling baik diantara jenis sabar tersebut. Ada yang mengatakan sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menghindari maksiat lebih baik daripada sabar dalam mendapat musibah karena itu adanya keterpaksaan dan tidak ada pilihan lain untuk menjalaninya. Adapun sabar dalam ketaatan dan menghindari maksiat maka seseorang dapat memilih antara sabar ataupun tidak. Contohnya ketika seseorang mendengar azan subuh, maka di hadapannya ada dua pilihan, yaitu salat atau melanjutkan tidurnya, apabila dia memilih salat maka dia telah melakukan sabar. Maka dengan itu menurut para ulama’ yang berpendapat dengan ini melihat dalam kisah Nabi Yusuf, mereka mengatakan sabarnya ketika digoda oleh wanita lebih afdal dari pada sabarnya ketika dilempar ke sumur oleh saudara saudaranya.
Pendapat di atas ditinjau dari sisi jenis kesabaran. Tetapi bila ditinjau dari praktik nyatanya, bisa jadi sabar dalam mendapat musibah lebih afdal dari pada sabar dalam ketaatan dan sabar dalam menghindari maksiat. Contohnya seseorang yang putranya meninggal, tentu itu lebih berat dan pahalanya lebih besar daripada ia hanya bangun untuk pergi salat subuh, padahal keduanya membutuhkan kesabaran.
Intinya dalam kehidupan ini kita harus siap dalam menerima tiga ujian Allah, ujian untuk menjalankan perintah Allah, ujian meninggalkan larangan Allah dan ujian untuk menerima apa yang Allah tentukan untuk kita dari musibah-musibah yang Allah tetapkan.
Kaitan antara ujian dengan keimanan
Sebuah kaidah umum menyebutkan ‘semakin tinggi iman seseorang maka akan semakin besar ujiannya’. Terlalu banyak dalil yang menyebutkan hal-hal ini baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah. Sebagaimana juga pepatah mengatakan ‘Semakin tinggi pohon, semakin lebat buahnya dan semakin kencang angin menerpanya’. Namun jika pohon tersebut kokoh maka angin yang menerpanya tidak akan membuatnya tumbang. Nabi Muhammad ﷺ pernah ditanya siapakah manusia yang paling berat ujiannya, maka beliau ﷺ menjawab,
الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para nabi lalu orang-orang saleh lalu orang-orang yang semisal dengan mereka lalu yang semisal dengan mereka. Sesungguhnya seseorang akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya, semakin kuat ia berpegang teguh dengan agamanya, semakin berat cobaan dan ujian yang diterimanya. Sedangkan yang agamanya lemah, maka ia diuji sebatas kualitas agamanya itu. Dan ujian itu akan terus menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di atas bumi tanpa dosa”. ([10])
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Oleh karena itu, barang siapa rida (menerima cobaan tersebut) maka baginya keridaan, dan barang siapa murka maka baginya kemurkaan.” ([11])
Sudah merupakan hal yang pasti dari Allah ﷻ bahwasanya ujian berbanding lurus dengan keimanan.
Footnote:
_________________
([1]) Syu’abul Iman No. 9264 (12/192).
([4]) Ayat ini Allah ﷻ turunkan tentang perang Uhud. Ketika kaum musyrikin kalah dalam perang Badr, selama satu tahun mereka sabar, berinfak, mengumpulkan harta untuk balas dendam dan menyerang Nabi Muhammad ﷺ di kota Madinah. Akan tetapi infak mereka adalah infak untuk menuju neraka Jahanam.
([5]) HR. Tirmidzi no. 2458, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([6]) HR. Ibnu Majah No. 4024, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([7]) HR. Tirmidzi No. 2396, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([9]) HR. Bukhari No. 1303 dan HR. Muslim No. 2315.
([10]) HR. Ahmad No. 1481, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syu’aib Al-Arnauth.