Macam-macam Hidayah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
- Hidayah umum
Hidayah yang berkaitan dengan seluruh makhluk, bahkan hewan. Contohnya adalah ketika Nabi Musa ‘alaihissalam ditanya oleh Fir’aun, sebagaimana firman Allah ﷻ,
قالَ فَمَنْ رَبُّكُما يَا مُوسَى. قالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى
“Dia (Fir‘aun) berkata, “Siapakah Tuhanmu berdua, wahai Musa? Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 49-50)
Para ulama mengatakan bahwa hidayah yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah insting atau naluri. Sebagaimana hewan, bagaimana dia bisa mencari makan, melakukan perkawinan atau ketertarikan antara hewan jantan kepada betina. Di antara contohnya adalah semut, masing-masing semut bisa mengetahui tugas-tugasnya, baik sebagai semut pekerja maupun semut ratu. Tidak ada yang memberikan petunjuk atau mengajarkan mereka, kecuali Allah. Begitu juga dengan seorang anak yang baru lahir, dia belum memiliki ilmu sama sekali, belum mampu untuk memahami, mata dan telinganya pun belum bisa melihat dan mendengar dengan sempurna. Namun, ketika didekatkan dengan ibunya, maka dia bisa menyusu kepada ibunya. Tidak ada yang mengajarinya, kecuali Allah. ([1])
Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى. الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى. وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi. Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la: 1-3)
Inilah yang disebut dengan hidayah umum, hidayah yang murni datang dari Allah.
- Hidayah umum, yang berkaitan dengan penjelasan kebenaran (هِدَايَةُ الْإِرْشَادُ)
Hidayah ini mencakup orang-orang muslim dan kafir. Allah ﷻ telah menjelaskan kebenaran bagi orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Allah ﷻ berfirman,
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (QS. Al-Balad: 10)
Ayat ini menjelaskan bahwa jalan kebenaran sudah jelas dan jalan keburukan pun sudah jelas. Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى
“Dan adapun kaum Samud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu.” (QS. Fussilat: 17)
Allah ﷻ telah memberikan petunjuk kepada kaum Tsamud, tetapi mereka enggan mengikutinya. Hidayah yang diberikan kepada mereka itulah yang disebut sebagai hidayatul irsyad, hidayah dalam rangka memberikan penjelasan. Hidayah ini, selain Allah ﷻ yang mendatangkan kepada para hamba, manusia juga mampu melakukannya. Sebagaimana para nabi dan rasul, ulama dan para da’i yang menjelaskannya jalan-jalan kebenaran.
Demikian juga Allah memuji Nabi ﷺ dalam firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar ahli dalam hal menjelaskan kebenaran.
- Hidayah untuk menjalankan kebenaran (هِدَايَةُ التَّوْفِيقُ)
Inilah hidayah yang penting, karena hidayah ini hanya milik Allah ﷻ dan tidak ada yang bisa mendatangkannya, kecuali Allah ﷻ.([2]) Pada hidayah ini, seseorang mendapatkan hidayah berupa menjalankan kebenaran yang telah dia dapatkan dari hidayatul irsyad. Hidayatul irsyad hanya berupa penjelasan kebenaran, sedangkan hidayah taufik ini adalah hidayah yang murni dimiliki oleh Allah ﷻ. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ tentang Nabi ﷺ,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qasas: 56)
Dalam masalah hidayatul irsyad, Nabi ﷺ adalah orang yang paling sempurna, paling cerdas dan paling fasih dalam menyampaikan hidayah kepada umat beliau ﷺ, karena beliau ﷺ paling sayang kepada umatnya, sebagaimana para nabi yang lain. Akan tetapi, hidayah agar umatnya bisa menerima kebenaran tersebut, hanyalah milik Allah ﷻ semata. Nabi ﷺ tidak memiliki kekuasaan dalam hidayah tersebut. Maka dari itu, beliau ﷺ tidak mampu memberikan petunjuk kepada orang yang beliau cintai, seperti paman beliau, Abu Thalib ketika hendak meninggal dunia. Beliau ﷺ hanya mampu memberikan petunjuk/hidayah irsyad kepadanya. Akan tetapi, ternyata paman beliau tidak mendapatkan hidayah taufik dari Allah ﷻ.
Hidayah taufik hanya milik Allah ﷻ semata, sedangkan para rasul tidak memiliki hidayah ini. Yang mereka miliki hanyalah hidayatul irsyad. Oleh karenanya, Nabi ﷺ tidak mampu memberikan hidayah kepada pamannya, Abu Thalib dan Abu Lahab.
Begitu juga dengan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada istri dan anaknya, bahkan anaknya meninggal dunia dalam keadaan kafir di depan matanya. Hal yang serupa dengan Nabi Luth ‘alaihissalam yang tidak mampu memberi hidayah kepada istrinya.
Hidayah taufik inilah yang kita fokuskan agar kita meraihnya dari Allah ﷻ. Sejatinya kita menginginkan untuk sungguh-sungguh dalam mendapatkan hidayah dari Allah ﷻ guna menjalankan kebenaran, lalu tegar dalam menjalankan kebenaran tersebut, lalu menjalankan seluruh syariat dengan benar dan tidak asal-asalan, kemudian menuju hidayah untuk menjalani kebaikan-kebaikan yang lain.
Di antara contoh bagaimana Allah ﷻ memberikan hidayah kepada kita sehingga terbuka hati kita adalah ketika ada seseorang yang menjelaskan atau mengajak kita untuk salat, sejatinya itulah yang disebut dengan hidayah irsyad. Apabila hati kita terbuka untuk menjalankan ibadah salat tersebut, maka sesungguhnya itulah yang disebut dengan hidayah taufik dari Allah ﷻ. Di antara hidayah taufik adalah Allah ﷻ membuat kita tegar menjalankan salat dengan rutin, istiqamah dan bisa melaksanakan salat dengan khusyuk, hingga akhirnya Allah ﷻ membukakan pintu-pintu kebaikan yang lain kepada kita.
Macam-macam hidayah taufik
Hidayah taufik adalah hidayah khusus yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Secara umum hidayah ini dibagi menjadi dua([3]), yaitu:
- Hidayah islam (هِدَايَة الإِسلَام)
Hidayah ini bersifat umum, Allah ﷻ memberikan hidayah ini kepada kaum muslimin. Apabila seseorang meninggalkan hidayah ini atau telah dicabut darinya, maka sejatinya dia telah murtad.
- Hidayah yang terperinci (هِدَايَةٌ مُفَصَّلَةٌ)
Hidayah terperinci adalah hidayah yang Allah ﷻ berikan untuk hamba-hamba-Nya kepada kebaikan-kebaikan secara rinci. Hidayah ini sangat banyak. Oleh karenanya, Allah ﷻ menunjukkan hamba-hamba-Nya kepada sebagian kebaikan, namun tidak kepada sebagian yang lain.
Apabila seseorang meninggalkan hidayah ini, maka tergantung hidayah apa yang telah dia tinggalkan. Bisa jadi seseorang mendapatkan sebagian hidayah, namun dia tidak mendapatkan sebagian hidayah yang lainnya, karena hidayah ini sangat banyak. Allah ﷻ telah menyebutkannya di dalam Al-Quran, begitu juga disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi ﷺ. Di antara bentuk-bentuk kebaikan dalam hidayah ini adalah:
Pertama : Lapang dada dalam menerima syariat.
Allah ﷻ berfirman,
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.” (QS. Al-An’am: 125)
Semua orang tahu bahwa siapa saja yang naik ke atas tempat yang tertinggi, maka persediaan oksigen semakin menipis dan semakin sulit baginya untuk bernafas. Dia yang berada di tempat tinggi, melihat apa saja yang di bawahnya seolah luas dan lapang, ternyata dia sendiri merasa sangat kesulitan untuk bernafas. Inilah di antara ilmu dari Allah ﷻ yang disebutkan di dalam Al-Quran menjelaskan bahwa orang yang semakin tinggi menuju langit, maka sesungguhnya dia semakin sulit untuk bernafas.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang diberi hidayah oleh Allah ﷻ, akan mudah baginya untuk menerima ajaran agama Islam. Begitulah Al-Quran menjelaskan tentang contoh dari ciri-ciri orang yang mendapatkan hidayah. Ketika diajarkan suatu ilmu atau syariat agama Islam dengan segala hadis-hadis yang datang dari Rasulullah ﷺ, maka dengan mudah dia menerimanya. Barang kali susah baginya untuk mengamalkannya, namun sejatinya dia dapat menerima petunjuk itu dengan mudah.
Misalnya ketika seseorang mendengar perintah syariat untuk menggunakan jilbab bagi wanita, maka dengan mudah dia menerima syariat tersebut. Meskipun, dia belum mampu mengamalkan perintah itu, namun Allah ﷻ memberikan kelembutan hati untuk menerima hidayah tersebut. Maka dari itu, Allah ﷻ berfirman,
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيما شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Sesungguhnya syariat yang jelas ini telah datang kepada setiap orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan dalil yang sahih. Apabila dia menerimanya dengan lapang dada, maka sejatinya dia telah mendapatkan hidayah secara terperinci.
Barang kali ada seorang muslim yang apabila mendengar suatu dalil yang menjelaskan tentang suatu perintah ibadah, lalu dia akan berkeras hati untuk menolaknya, atau bahkan cenderung tidak mempedulikannya, sehingga cenderung menuruti logika dan hawa nafsunya, maka sejatinya hidayah telah dicabut darinya.
Maka dari itu, ketika dicabut hidayah darinya, dia akan merasa sulit menerima dalil dan menentang syariat dari Allah ﷻ, meskipun dia adalah seorang muslim. Dari sisi ini, sulit baginya untuk mendapatkan hidayah dari Allah ﷻ. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.” (QS. Al-An’am: 125)
Ciri-ciri bagi orang yang sulit menerima hidayah dari Allah ﷻ adalah dia tidak merasa lapang dada dalam menerima perintah-perintah dari Allah ﷻ atau larangan-larangan-Nya. Misalnya ketika diberitakan kepadanya tentang haramnya suatu perbuatan, maka hawa nafsunya akan menolak dan tidak mau menerima hal itu. Sebagaimana ketika terdapat dalil-dalil yang menjelaskan bahwa musik itu haram, maka bagi sebagian orang akan menolak hal itu, dikarenakan hawa nafsunya yang telah menentangnya.
Berbeda dengan orang yang dengan lapang dada menerima bahwa musik itu haram, namun dirinya belum mampu untuk meninggalkan musik tersebut, maka sungguh dia telah mendapat sebagian dari hidayah Allah ﷻ. Akan tetapi, apabila ada orang yang dengan keras kepala serta merta menolak hukum tersebut, mekipun telah ditunjukkan dalil yang jelas kepadanya, meskipun telah jelas kesepakatan ulama dalam permasalahan tersebut, meskipun telah diajak berpikir dengan logikanya, maka sejatinya dia tidak mendapatkan hidayah, atau bahkan hatinya tidak lapang menerima hidayah di dalam hal ini.
Sungguh, hidayah ini sangat penting. Apabila seseorang telah dicabut hidayah darinya dan tidak mau mengikuti syariat agama Islam, atau bahkan benci dengannya, maka dia bisa terjerumus di dalam kekufuran.
Kedua : Sabar dalam menjalani musibah
Berdasarkan firman Allah ﷻ,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Tagabun: 11)
Tatkala seseorang diuji oleh Allah ﷻ, lalu bersabar dan yakin bahwa semuanya terjadi atas takdir dan kehendak-Nya, maka dia telah mendapatkan hidayah. Apabila seseorang tidak sabar dalam menjalani musibah, sehingga dia meronta-ronta dan marah, maka sejatinya perbuatannya itu menunjukkan bahwasanya dia tidak mendapatkan hidayah dari Allah ﷻ. Dari sisi ini, menunjukkan bahwasanya hidayah telah hilang dari diri seseorang, mekipun dia adalah seorang muslim.
Oleh karenanya, di antara ciri-ciri dicabutnya hidayah adalah protes terhadap takdir atau keputusan Allah ﷻ, di mana bentuk protes tersebut akan tampak dari sikapnya, lisannya, anggota badannya yang hendak berontak, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipinya, merobek bajunya atau menyeru dengan seruan jahiliyah (apabila seorang tertimpa musibah).”([4])
Ketiga : Merasa bersalah jika melakukan kemungkaran
Setiap orang yang diberikan hidayah di dalam hatinya, dia akan merasa bersalah jika telah melakukan suatu kemungkaran. Kenapa? Karena hatinya masih bersih. Adapun jika dia sudah tidak merasa bersalah ataupun merasa berdosa ketika melakukan kemungkaran, maka sejatinya telah dicabut hidayah dari dirinya. Apabila hatinya masih bersih, saat hidayah datang kepadanya, maka dia akan mudah baginya menerima kebenaran dan peka terhadap kemungkaran.
Sebaliknya, apabila telah hilang kepekaan terhadap kemungkaran, perbuatan maksiat sudah menjadi hal yang biasa baginya, ketika meninggalkan kewajiban dan melakukan kemaksiatan, seolah-olah tidak merasa terbebani dan merasa santai saja, sejatinya itu adalah ciri-ciri dicabutnya hidayah dari dalam dirinya oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
“Sesungguhnya hamba jika melakukan sebah dosa maka tertulis pada hatinya titik hitam. Jika ia meninggalkan dosa tersebut dan beristighfar serta bertaubat maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali maka ditambah titik-titik hitam tersebut hingga akhirnya menutupi hatinya, dan itulah kotoran hitam yang menutupi yang telah disebutkan oleh Allah (Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka).”([5])
Sesungguhnya apabila seorang hamba telah melakukan kemungkaran, maka dia akan tergores titik hitam di dalam hatinya. Apabila dia terus-menerus bermaksiat, maka hatinya akan penuh dengan noda hitam dan menghitam sampai tertutup. Itulah yang disebut dengan رَانَ.
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14)
Yaitu hitam kelam telah menutupi hatinya. Apabila sudah ada titik hitam yang meliputi hatinya, maka hal itu akan banyak menyulitkannya. Akibatnya kemungkaran dan kemaksiatan akan dianggapnya biasa. Bahkan, ketika dia meninggalkan kewajiban-kewajiban dan perintah Allah ﷻ pun akan dianggap biasa saja. itulah yang hendaknya dikhawatirkan bagi setiap muslim pada zaman sekarang ini.
Bagi setiap orang yang sudah terlalu sering melakukan kemaksiatan hingga kecanduan dalam kemaksiatan tersebut, maka setiap kali dia melakukan kemaksiatan tersebut, dia akan merasa biasa, tanpa ada rasa pilu di dalam hatinya akibat kemaksiatan yang telah dilakukannya.
Banyak kenyataan dari kehidupan ini, di mana hidayah hilang dari seorang muslim. Contohnya adalah setiap kali seseorang tenggelam di dunia maya, lalu melihat aurat wanita yang terbuka. Seharusnya dia tahu bahwa itu adalah maksiat. Apalagi ketika tersingkap sebagian auratnya hingga terlihat bagian auratnya yang lebih sensitif. Bagi seorang muslim yang bersih hatinya, maka sudah seharusnya dia merasa risih dengan pemandangan tersebut. Akan tetapi, bagi orang yang sudah terbiasa dengan kemaksiatan, maka hatinya akan semakin bertambah hitam dan hitam, sehingga pada titik tertentu dia akan merasa biasa dengan perbuatan dosa itu. Terlebih lagi, apabila dia tidak merasa dosa di dalam dirinya, dan bahkan lupa untuk sekedar beristighfar kepada Allah ﷻ, sungguh musibah besar telah menghampirinya. Semua itu adalah akibat dari seringnya dia melakukan dosa kemaksiatan dan kemungkaran, hingga menganggapnya bahwa perbuatan itu adalah hal biasa. Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk selalu berhati-hati. Perbuatan dosa yang sering dilakukan, hingga menganggapnya hal yang sudah biasa, menjadi masalah yang membahayakan.
Maka dari itu, bagi orang yang meninggalkan salat, ketika dia meninggalkannya sekali saja, maka dia akan gelisah, lalu kali keduanya dia akan merasa sedih dan ketika dia meninggalkannya berkali-kali, maka lama kelamaan dia akan merasa terbiasa.
Begitu juga dengan orang yang meminum khamar. Barang kali seseorang saat pertama kali dia meminum khamar, maka dia akan merasa ketakutan, akan tetapi ketika sudah sering kali meminumnya, maka lama kelamaan dia akan merasa terbiasa, hingga hatinya tertutup hitam dan merasa tidak berdosa terhadap perbuatan kemaksiatannya.
Bagi orang yang memiliki iman, ketika dia melakukan kemaksiatan, maka dia akan merasa berdosa dan segera bertobat kepada Allah ﷻ. Seandainya dia melakukannya lagi, maka dia akan bertaubat kepada Allah ﷻ. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada hidayah di dalam hatinya. Tetapi, apabila dia melakukan kemaksiatan berulang-ulang dan merasa nyaman dengan kemaksiatannya, maka hal itu menunjukkan bahwa hidayah telah dicabut dari dalam hatinya. Seperti orang yang suka berdusta. Rasulullah ﷺ bersabda tentang orang yang gemar berdusta,
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Seorang hamba senantiasa berkata dusta dan membiasakan diri untuk berdusta, hingga ditetapkan oleh Allah sebagai seorang pendusta.”([6])
Hadis ini menjelaskan akibat seorang hamba yang gemar berkata dusta, bahkan seringkali sengaja untuk melakukan kedustaan. Apabila dia terus melakukan hal demikian, maka dia akan ditetapkan oleh Allah ﷻ sebagai seorang pendusta. Apabila dia sudah ditetapkan sebagai pendusta, maka kebiasaannya dalam berkata dusta sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah. Dia tidak akan merasa malu dengan perbuatannya, karena Allah ﷻ telah menetapkannya sebagai seorang pendusta.
Begitu juga halnya bagi seorang wanita yang keluar rumah dengan mengumbar auratnya. Barang kali saat pertama kali dia keluar rumah hanya sekadar tidak memakai hijabnya, lalu dia merasa risih, aneh dan merasa malu. Apabila hal ini dilakukan secara terus menerus, maka dia tidak akan merasa malu lagi. Pada kesempatan berikutnya, bisa saja dia akan keluar rumah dengan menanggalkan sebagian bajunya, meskipun sedikit merasa risih. Akan tetapi, ketika dia terus menerus melakukan hal yang demikian, maka dia akan melakukan hal yang lebih dari itu, sehingga dia tidak merasa risih mengumbar auratnya di depan banyak orang, bahkan kepada para lelaki. Apalagi jika sudah hilang rasa malunya, atau bahkan bangga ketika semua orang melihatnya. Sejatinya semuanya menyebabkan hatinya semakin tertutup oleh noda yang semakin menghitam karena kemaksiatan yang dilakukannya, sehingga hidayah dicabut dari hatinya.
Tidak hanya itu, tatkala seseorang meninggalkan kewajiban atau perintah Allah ﷻ, misalnya malas dalam mendirikan salat atau mendatangi salat berjamaah, sehingga beberapa kali dia meninggalkan kewajiban tersebut. Apabila dia sering melakukan hal ini, maka lama kelamaan dia akan merasa terbiasa. Akibatnya, Allah ﷻ akan mencabut hidayah dari dirinya dan terluput dari banyak kebaikan.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata,
وَاللهِ لَوْ أَنَّ الْقُلُوْبَ سَلِيْمَةٌ * لَتَقَطَّعَتْ أَسَفًا مِنَ الْحِرْمَانِ
“Demi Allah, seandainya hati seseorang itu bersih,
Maka, dia akan merasa tercabik-cabik sedih karena terhalangi dari kebaikan.”([7])
Di antara bentuk hidayah bagi seorang hamba adalah dia akan merasa bersalah jika melakukan suatu kemungkaran. Cabang dari perasaan bersalah ini adalah merasa bersedih, karena luput dari kebaikan. Sebaliknya, ciri-ciri orang yang dicabut hidayahnya adalah dia akan merasa biasa saja ketika terluput dari kebaikan.
Bagi orang yang masih diberikan hidayah di dalam hatinya, apabila dia terlambat untuk menunaikan kewajiban atau amalan kebaikan, maka dia akan merasa sedih yang sangat dalam. Pikirannya kacau dan gelisah, akibat terluput dari amalan kebaikan itu. Ini menandakan bahwa dia masih diberikan hidayah oleh Allah ﷻ, karena hatinya masih merasa bersalah ketika luput dari kewajiban-kewajiban Allah ﷻ.
Akan tetapi, apabila hidayah telah dicabut dari dirinya, maka dia tidak akan perhatian dalam menunaikan kewajiban maupun amalan kebaikan, bahkan jika tidak melakukan itu semua, maka dia tidak akan merasa terbebani sedikitpun.
Bagi orang yang memiliki tingkatan iman yang lebih tinggi, apabila dia tidak melakukan amalan sunah, maka dia akan merasa sedih dan galau, dia merasa ada sesuatu yang hilang darinya. Sungguh, ini menunjukkan bahwa hatinya bersih dan jauh dari noda-noda hitam kemaksiatan.
وَاللهِ لَوْ أَنَّ الْقُلُوْبَ سَلِيْمَةٌ * لَتَقَطَّعَتْ أَسَفًا مِنَ الْحِرْمَانِ
“Demi Allah, seandainya hati seseorang itu bersih,
Maka, dia akan merasa tercabik-cabik sedih karena terhalangi dari kebaikan.”([8])
Hidayah ini mencakup dalam banyak hal amalan kebaikan, seperti seseorang yang masih mendapati kesempatan untuk berbakti kepada orang tua. Namun, karena suatu halangan menjadikannya tidak mampu untuk memberikan bantuan kepada keduanya. Akhirnya, dia akan merasa sangat sedih, karena dia tidak mampu memasuki salah satu pintu kebaikan tersebut. Akan tetapi, bagi orang yang sudah dicabut hidayah darinya, maka dia tidak memiliki perasaan peduli sedikitpun kepada keduanya. Ini menunjukkan bahwa hidayah sudah dicabut dari hatinya.
Keempat : Rajin beribadah di penghujung umur
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ
“‘Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan menggunakannya’, lalu dikatakan, ‘Bagaimana Allah akan menggunakannya, wahai Rasulullah?’, beliau ﷺ bersabda, ‘Allah akan memberi hidayah kepadanya untuk beramal saleh, sebelum dia meninggal dunia’.” ([9])
Apabila kita melihat seseorang pada masa tuanya rajin pergi ke masjid untuk berzikir dan beribadah, padahal mungkin dahulu dia merupakan seorang ahli maksiat, maka sejatinya dia merupakan orang yang mendapatkan hidayah. Barang kali dengannya dia dapat meraih husnul khatimah. Akan tetapi sebaliknya, apabila ada orang yang sudah tua, tetapi masih sibuk dengan urusan dunia dan lupa dengan ibadah kepada Allah ﷻ, maka dia adalah orang yang paling sengsara, karena telah dicabut hidayah dari dalam hatinya di penghujung umurnya.
Maka dari itu, hendaknya kita senantiasa berusaha untuk rajin beribadah di masa muda kita, karena di antara tujuh golongan yang diberikan naungan oleh Allah ﷻ adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah ﷻ. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ
“Pemuda yang taat kepada Allah.”([10])
Barang siapa pada masa mudanya tumbuh di dalam ketaatan kepada Allah ﷻ, apalagi di masa penghujung umurnya, maka dia sungguh berada di dalam kebaikan yang banyak. Artinya Allah ﷻ telah memberikan hidayah taufik kepadanya dari masa muda hingga masa tuanya. Tidak sedikit orang yang seperti ini.
Akan tetapi, sebaliknya apabila di masa mudanya dia adalah pemuda yang sangat rajin beribadah, tetapi pada masa tuanya dia tenggelam dalam kesibukan urusan duniawi, sehingga meninggalkan salat dan ibadah-ibadah yang lain, maka sejatinya hidayah telah dicabut darinya oleh Allah ﷻ.
Kelima : Senantiasa bersandar kepada Allah ﷻ
Di antara doa yang dibaca oleh Nabi ﷺ adalah,
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ اسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، ولاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Tuhan Yang Maha Hidup, wahai Tuhan Yang Maha Tegak, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan-Mu, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau limpahkan aku kepada diriku walau sekejap mata.”([11])
Bagi setiap muslim hendaknya selalu bertawakal kepada Allah ﷻ dalam kesehariannya dan di dalam segala hal. Jangan sampai dia bertawakal kepada yang lain. Para ulama mengatakan bahwa tawakal dilakukan di dalam setiap ibadah dan ibadah sehari-hari hendaknya diserahkan kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ telah mengajarkan kepada umatnya untuk tawakal sejak mereka keluar dari rumah sampai dengan berbaring hendak tidur. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ mengajarkan ketika seseorang keluar dari rumah hendaknya mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” ([12])
Begitu juga ketika hendak tidur, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu untuk berdoa,
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ
“Ya Allah aku serahkan jiwaku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu.” ([13])
Selain itu, sudah semestinya bagi seorang muslim untuk senantiasa bertawakal kepada Allah ﷻ di dalam segala aktivitasnya, baik dalam hal dia berjualan, berdagang, membeli sesuatu ataupun bertamasya, hendaknya dia selalu ingat kepada Allah ﷻ, sehingga dia merasa benar-benar diliputi oleh hidayah dari Allah ﷻ.
Tidak semestinya bagi seseorang yang memiliki rasa percaya diri yang besar, hanya bersandar kepada dirinya sendiri dan lupa kepada Allah ﷻ. Tidak sedikit orang yang bersikap demikian. Dia merasa kagum dengan kecerdasan, kekuatan, kepintarannya dan kepiawaian yang dimilikinya. Kapanpun dia bersandar dan percaya dengan dirinya sendiri dan lupa kepada Allah ﷻ, sejatinya orang yang seperti ini telah dicabut hidayahnya dari Allah ﷻ, sehingga rawan baginya terkena ‘ujub.
Barang kali seseorang merasa percaya diri karena dia telah sungguh-sungguh bersandar kepada Allah ﷻ. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Setidaknya setiap muslim selalu merasa percaya diri di setiap usahanya. Tentu saja, dibarengi dengan menyerahkan semua urusannya kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya, setelah itu dia akan merasa bahwa di belakang semua urusannya ada Allah.
Keenam : Hidayah untuk berakhlak mulia
Untuk mendapatkan hidayah berupa akhlak yang mulia tidaklah mudah. Di antara akhlak mulia adalah tidak pelit. Jika Allah ﷻ tidak memberikan petunjuk kepada kita agar tidak pelit, maka kita akan pelit. Murah senyum, jika Allah ﷻ tidak memberikan petunjuk kepada kita supaya murah senyum, maka kita tidak akan mampu melakukannya. Sabar, baik sabar dengan keluarga, sabar dengan suami/istri atau anak-anak. Jika Allah ﷻ tidak memberikan hidayah agar tetap sabar, maka kita tidak akan mampu untuk sabar. Bahkan, di dalam masalah akhlak, Nabi ﷺ berdoa
اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, berikanlah petunjuk untukku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang memberikan petunjuk untukku kepada akhlak yang terbak kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari akhlak yang buruk kecuali Engkau.”([14])
Ketujuh : Mengikuti manhaj para sahabat
Allah ﷻ berfirman,
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ
“Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu).” (QS. Al-Baqarah: 137)
Barang siapa yang tidak mau mengikuti manhaj para sahabat, dan bahkan merasa lebih mulia dan lebih baik dari pada mereka atau tidak puas dengan cara ibadah mereka dan iman mereka atau menganggap bahwa dia mampu untuk memiliki iman yang bisa melebihi iman para sahabat, maka hendaknya dia waspada dari sikap tersebut, karena sikap itu dapat mengeluarkannya dari hidayah Allah ﷻ.
Inilah contoh amalan-amalan kebaikan yang membutuhkan hidayah dari Allah ﷻ. Bisa jadi, seseorang mendapatkan sebagian dari hidayah tersebut dan dicabut dari sisi sebagian kebaikan yang lainnya. Oleh karenanya, hendaknya kita selalu berusaha meminta semua bentuk hidayah kepada Allah ﷻ.
Footnote:
_____
([1]) Lihat: Syifa’ul ‘Alil karya Ibnul Qayyim 1/66
([2]) Badai’ Al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim 2/35
([3]) Lihat: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab 2/40
([4]) H.R. Muslim no. 103 dan Bukhari no. 1294 dengan redaksi hadis,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ…
“Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipinya, dst.”
([5]) H.R. At-Tirmizi no. 3334 dan dihasankan oleh Al-Albani
([7]) Nuniyah Ibnul Qayyim 1/333
([8]) Nuniyah Ibnul Qayyim 1/333
([9]) HR. Ahmad no. 13408 dan At-Tirmidzi no. 2142 dan disahihkan oleh Al-Albani
([11]) HR. Al-Bazzar no. 6368, An-Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10330 dan Al-Hakim no. 2000