BISA JADI YANG KAMU BENCI, BAIK BAGIMU
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Allah ﷻ berfirman,
طه . مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
“Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS. Taha: 1-2)
Allah ﷻ menurunkan Al-Quran kepada nabi-Nya, bukan agar beliau menjadi sengsara, akan tetapi untuk menjadikan beliau bahagia. Oleh karenanya, sejauh mana seseorang terikat dengan Al-Quran, maka sejauh itu pula dia akan meraih kebahagiaan. Allah ﷻ menurunkan Al-Quran sebagai obat dari segala sesuatu. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82)
يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفاءٌ لِما فِي الصُّدُورِ
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Quran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada.” (QS. Yunus: 57)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
القُرْآنُ شِفاءٌ لِمَا فِيْ الصُّدُوْرِ
“Al-Quran adalah obat untuk apa yang ada di dalam dada.”([1])
Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan di dunia ini adalah ujian. Allah ﷻ sengaja menciptakan kita untuk diuji.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Allah ﷻ juga berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
كَبَد artinya adalah bersusah payah. Karena tidak ada ketenteraman abadi dan kebahagiaan yang tidak terputus, kecuali di dalam surga. Setiap orang yang hidup di dunia, dia harus tahu tabiat kehidupan dunia. Selain kebahagiaan, tabiat dari kehidupan dunia adalah kehidupan yang diselingi dengan berbagai macam kesedihan dan kekhawatiran, kepayahan dan kesusahan. Itulah sejatinya tabiat kehidupan dunia. Siapa pun orangnya dia pasti akan merasakan hal tersebut. Ada perkara-perkara yang dia senangi dan tidak dia senangi.
Imam Asy-Syafi’i r berkata,
مِحَنُ الزَمانِ كَثيرَةٌ لَا تَنقَضِيْ, وَسُرورُهُ يَأْتِيْكَ كَالْأَعْيَادِ
“Sesungguhnya ujian kehidupan ini datang (terus menerus) tiada henti dan kesenangan datang kepadamu sesekali seperti hari ‘id.” ([2])
Kita sendiri menyadari bahwa banyak dari keinginan kita yang tidak tercapai, meskipun ada juga keinginan-keinginan yang telah kita raih. Di antara keinginan itu, ada hal-hal yang kita senangi, sebagaimana ada juga hal-hal yang tidak kita senangi. Semuanya diatur oleh Sang Maha Pengatur, yaitu Allah ﷻ.
Oleh karenanya, kita sebagai seorang muslim, hendaknya harus menyiapkan diri untuk menghadapi perkara-perkara yang tidak kita senangi tersebut. Itulah sejatinya keistimewaan seorang mukmin. Dari Shuhaib radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya baik dan ini tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Apabila dia menadapatkan hal yang menyenangkannya, lalu bersyukur, maka hal itu baik baginya. Apabila ditimpa dengan perkara-perkara yang tidak dia sukai, lalu dia bersabar, maka hal itu juga baik baginya.”([3])
Oleh karenanya, ada beberapa ayat di dalam Al-Quran yang memiliki makna yang sama, yang menjelaskan tentang satu kaidah bahwasanya ‘Bisa jadi sesuatu yang tidak engkau senangi, ternyata itu baik bagimu’. Sebagaimana disebutkan di dalam surah Al-Baqarah 216, Allah ﷻ berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Di antara tiga ayat yang menunjukkan kaidah ini adalah:
- Surah Al-Baqarah ayat 216.
Allah ﷻ berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini menjelaskan bahwa diwajibkan bagi kaum muslimin untuk berperang. Padahal, peperangan termasuk perkara yang dibenci oleh orang-orang. Perang adalah sesuatu yang tidak menyenangkan; karena di dalam keadaan tersebut, setiap orang berhadapan dengan musuh dan diharuskan untuk maju melawan mereka, sehingga mempertaruhkan nyawa dan jiwanya. Dia dihadapkan dengan dua pilihan antara membunuh atau dibunuh, melukai atau dilukai. Sifat manusia tidak ada yang suka dengan itu, karena dia harus mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati.
Secara hukum asal, perkara ini adalah كُرْهٌ لَكُمْ ‘tidak menyenangkan bagimu’. Meskipun begitu, Allah ﷻ menjelaskan,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Bisa jadi seseorang membenci sesuatu, namun sejatinya itu baik baginya. Sebaliknya, bisa jadi dia mencintai sesuatu, namun sejatinya itu buruk baginya. Dan yang terpenting dari kaidah ini adalah Allah ﷻ menutupnya dengan firman-Nya,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Bahwa Allah ﷻ mengetahui segala hal yang terjadi atas makhluk-makhluk-Nya, termasuk di antaranya adalah hal-hal yang akan terjadi bagi hamba-hamba-Nya.
Ayat ini menjelaskan tentang syariat, yaitu ketika Allah ﷻ mewajibkan perang kepada para sahabat, maka ada rasa tidak senang dari mereka, di mana mereka diharuskan untuk berperang. Ada beberapa hal yang tidak disenangi oleh kaum muslimin berkaitan dengan hukum syariat tertentu. Namun, meskipun para sahabat membencinya, mereka tetap harus melawan rasa tidak senang tersebut dan tetap mengerjakan syariat itu, sehingga mereka harus mengorbankan jiwa raga mereka untuk berperang.
Allah ﷻ menjelaskan kaidah tersebut, yang berbunyi: ‘Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu’.
Inilah di antara alasan kenapa Allah ﷻ menjelaskan kepada kita bahwa mungkin kita tidak suka dengan sebagian syariat Allah ﷻ. Contohnya seperti seorang laki-laki yang diharuskan untuk salat berjamaah di masjid. Bagi sebagian orang merasa malas untuk mendatangi masjid dan mendirikan ibadah salat berjamaah, atau mungkin bagi sebagian orang merasa keberatan untuk mengeluarkan sejumlah uang dengan tujuan menunaikan umrah maupun haji.
Meskipun, terkadang jiwa ini merasa berat untuk menjalankan syariat tersebut, maka hendaknya kita melawannya. Inilah yang dinamakan beban dalam ibadah. Untuk menghilangkannya, kita harus melawannya. Sebagaimana seseorang yang hendak bangun di malam hari untuk menunaikan salat tahajud atau salat subuh. Bagi sebagian orang, hal ini adalah perkara yang berat, di mana dia harus bersusah payah untuk bangun di tengah malam seorang diri, pada saat orang-orang terlelap dengan tidur mereka. Padahal, saat tersebut adalah waktu di mana jiwa bermalas-malasan untuk bangun, jiwa suka dengan lezatnya tidur di saat-saat tersebut. Meskipun ada rasa tidak senang di dalam jiwa, maka hendaknya dia melawannya dan berusaha menghilangkannya agar dapat menjalankan ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah ﷻ.
Rasa tidak senang di dalam jiwa terhadap ibadah, bukan berarti benci dengan syariat Allah ﷻ. Akan tetapi, Allah ﷻ mengingatkan bahwa:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Meskipun, ayat ini menjelaskan tentang tabiat jiwa yang membenci syariat ibadah secara khusus, namun sejatinya berlaku untuk syariat ibadah secara umum. Terdapat kaidah di dalam syariat yang seringkali disebutkan oleh para ahli tafsir yang berbunyi:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi acuan adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.”
Meskipun sebabnya berkaitan dengan syariat ibadah berupa perang, di mana hal itu tidak disukai oleh jiwa. Namun, Allah ﷻ telah memberikan kaidah umum, berupa firman Allah ﷻ,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
- Surah An-Nisa’ ayat 19.
Allah ﷻ menjelaskan tentang bagaimana seorang suami berinteraksi dengan keluarganya,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa’: 19)
Ayat ini menjelaskan kepada orang-orang yang beriman agar mempergauli istri-istri mereka dengan baik. Apabila seorang suami benci terhadap istrinya, bisa jadi dia membenci sesuatu, namun Allah ﷻ menjadikan kebaikan yang banyak padanya. Jika ayat pada Surah Al-Baqarah sebelumnya menjelaskan tentang ketidaksukaan terhadap syariat. Adapun ayat ini menjelaskan ketidaksukaan terhadap zat tertentu, dalam hal ini adalah istri.
Allah ﷻ menjelaskan, ‘boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu’. Sesuatu yang dimaksudkan di dalam ayat tersebut bersifat umum. Bisa jadi benci kepada wajahnya, fisiknya, penampilannya, perangainya, lisannya atau hal-hal yang membuat seorang suami benci kepada istrinya. Namun setelah itu, Allah ﷻ menyarankan bagi para suami agar bersabar, dengan firman-Nya,
وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
خَيْرًا bersifat nakirah (umum) yang memberikan faedah untuk menunjukkan keagungan, artinya kebaikan ini adalah kebaikan yang agung. Allah ﷻ menjadikan pahala di balik kesabaran menghadapi kekurangan istri sebagai kebaikan yang agung dan banyak.
Oleh karenanya, sesungguhnya ayat ini mengandung sebuah kaidah yang sama dengan kaidah yang terdapat pada ayat sebelumnya bahwasanya boleh jadi kalian membenci sesuatu, namun sejatinya itu baik bagi kalian. Perbedaannya adalah bahwa ayat yang pertama berkaitan dengan syariat, sedangkan ayat yang kedua ini berkaitan dalam hal apa saja. Namun, kedua kaidah ini berlaku secara umum.
Minimal seorang suami menjadi seorang yang sabar ketika mendapati istrinya yang sedemikian rupa, sehingga dia bisa mendapatkan pahala setiap hari, lantaran selalu sabar menghadapinya. Bisa jadi dia melatih diri dengan berdakwah kepada istrinya. Selain itu, dia bisa menjadi lebih dekat dengan Allah ﷻ, karena dia akan selalu berdoa, memohon kepada-Nya agar memberikan kebaikan kepada istrinya. Jika bukan karena istrinya yang demikian, maka dia tidak akan mendapatkan ini semua. Intinya ada banyak kebaikan yang Allah ﷻ kehendaki, baik itu ketidaksukaan terhadap syariat atau terhadap selainnya.
- Surah An-Nur ayat 11.
Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu.” (QS. An-Nur: 11)
Ayat ini bercerita tentang ‘Haditsatul ifk’, di mana Abdullah bin Ubay bin Salul, menuduh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berzina dengan salah seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal radhiallahu ‘anhu, sementara kejadian tersebut menjadi kisah yang masyhur. Tentu saja, hal ini menjadi keburukan bagi keluarga Nabi ﷺ, karena keburukan itu berupa tuduhan yang sangat tidak pantas kepada istri tercinta beliau, yaitu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Tuduhan tersebut mangakibatkan umat Nabi ﷺ berprasangka buruk kepada beliau ﷺ, bahwa istri beliau memiliki hubungan dengan salah seorang muridnya yang bernama Shafwan bin Mu’aththal radhiallahu ‘anhu.
Allah ﷻ menurunkan ayat ini untuk menjelaskan perkara tersebut. Tentu saja, itu adalah ujian yang berat bagi Nabi ﷺ, sehingga Allah ﷻ berfirman,
لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu.”
Ayat ini menjelaskan bahwa janganlah orang-orang Islam mengira bahwa fitnah, tuduhan yang dusta adalah musibah yang buruk bagi mereka. Bahkan, sejatinya dibalik itu lebih baik bagi mereka. Oleh karenanya, setelah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh dengan tuduhan yang keji selama satu bulan, pada saat yang sama Nabi ﷺ tidak mengetahui sama sekali bagaimana kondisi yang sesungguhnya, sedangkan pada saat itu Allah ﷻ tidak menurunkan wahyu yang menjelaskan tentang hakikat kejadian yang sebenarnya. Selain itu, Jibril ‘Alaihissalam pun tidak turun memberikan kabar kepada Nabi ﷺ. Setelah waktu yang lama, akhirnya Allah ﷻ menurunkan ayat yang menjelaskan perkara ini.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ‘haditsatul ifk’ yang tatkala itu dianggap buruk bagi semua orang dari kaum muslimin, ternyata sejatinya baik bagi mereka. Di balik kejadian tersebut terdapat banyak kebaikan, di antaranya adalah tampaknya kemuliaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dengan adanya tuduhan keji yang dituduhkan kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, justru hal itu menampakkan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya. Sebagaimana seorang penyair berkata,
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ نَشْرَ فَضِيلةٍ … طُويَتْ أَتَاحَ لَهَا لِسَانَ حَسُودِ
لَوْلاَ اشْتِعالُ النَّارِ فِيمَا جَاورَتْ … مَا كانَ يُعرَفُ طِيبُ عَرْفِ العُودِ
“Apabila Allah berkehendak untuk menyebarkan kemuliaan yang tertutup dan tidak ada yang tahu, maka Allah akan membukakan lisan-lisan orang yang hasad kepada pemilik kebaikan tersebut.”
“Kalau bukan karena nyala api yang membakar benda-benda di sekitarnya, maka tidak akan diketahui harumnya aroma kayu gaharu([4]).” ([5])
Sebagian orang munafik yang hasad melemparkan tuduhan-tuduhan yang keji kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan juga kepada Nabi ﷺ. Pada hari itu, kedok-kedok mereka dibukakan oleh Allah ﷻ. Sebaliknya, akibat kejadian tersebut, Allah ﷻ membukakan banyak kebaikan bagi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Apabila Allah ﷻ hendak membongkar kebaikan yang tersembunyi, maka Allah menampakkan melalui lisan-lisan yang hasad pada kebaikan tersebut. Biasanya setelah terjadi musibah, fitnah ataupun ujian, maka akan memunculkan kebaikan-kebaikan yang tersembunyi dari orang tersebut.
Hikmah dari kejadian ini adalah ditampakkannya kebaikan-kebaikan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, membongkar keburukan-keburukan orang-orang munafik. Allah mengajarkan kepada kaum muslimin untuk selalu berbaik sangka kepada istri-istri Nabi ﷺ. Bahkan, menampakkan kebaikan-kebaikan dari istri-istri Nabi ﷺ, karena selain memuji ‘Aisyah ﷺ, Allah ﷻ juga memuji istri-istri Nabi ﷺ yang lain. Allah ﷻ berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” (QS. An-Nur: 26)
Di dalam ayat ini, secara tidak langsung Allah ﷻ memuji istri-istri Nabi ﷺ.
Ayat ini berkaitan dengan tidak suka terhadap suatu peristiwa, namun ada kebaikan di balik peristiwa tersebut.
Contoh-contoh yang berkaitan dengan kaidah ‘Bisa jadi sesuatu yang tidak engkau senangi, ternyata itu baik bagimu’
Contoh dari Al-Quran
- Kisah nabi Musa ‘Alaihissalam
Ketika nabi Musa ‘Alaihissalam masih lahir, Allah ﷻ memerintahkan ibu beliau agar meletakkannya di dalam peti dan dihanyutkan di sungai Nil. Allah ﷻ telah menyebutkannya di dalam beberapa ayat dan surah dalam Al-Quran, di antaranya:
وَأَوْحَيْنا إِلى أُمِّ مُوسى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. Al-Qasas: 7)
Pada saat itu, Fir’aun memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir di negeri Mesir. Salah satu bayi yang lahir saat itu adalah nabi Musa ‘Alaihissalam. Allah ﷻ memberikan wahyu kepada ibu nabi Musa ﷻ untuk menyusuinya. Agar nabi Musa ‘Alaihissalam selamat dari kejaran Fir’aun serta pengawalnya, Allah ﷻ memerintahkan kepada ibu nabi Musa ‘Alaihissalam untuk meletakkannya di dalam peti dan menghanyutkannya di dalam sungai Nil, sehingga akan terbawa oleh arusnya.
Tentunya, hal ini ada ujian yang sangat berat bagi ibu nabi Musa ‘Alaihissalam. Bayangkan, seorang ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, lalu pada masa kelahirannya, dia dilepaskan ke dalam aliran sungai Nil. Allah ﷻ berfirman,
وَأَصْبَحَ فُؤادُ أُمِّ مُوسى فَارِغاً إِنْ كادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلا أَنْ رَبَطْنا عَلى قَلْبِها لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh, hampir saja dia menyatakannya (rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).” (QS. Al-Qasas: 10)
Allah ﷻ mengokohkan hati ibu nabi Musa ‘Alaihissalam. Apabila Allah ‘Alaihissalam tidak mengokohkan hatinya, pasti beliau tidak akan kuat menghadapi kondisi yang demikian, apalagi ketika melihat nabi Musa ‘Alaihissalam yang masih bayi dihanyutkan pada aliran sungai Nil.
Ketika bayi di dalam peti tersebut terbawa oleh arus sungai Nil dengan diikuti oleh sanak keluarganya, ternyata peti itu ditemukan oleh keluarga Fir’aun, dan mereka pun mengambilnya. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَناً إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهامانَ وَجُنُودَهُما كانُوا خاطِئِينَ
“Maka dia dipungut oleh keluarga Fir‘aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sungguh, Fir‘aun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (QS. Al-Qasas: 8)
Jika diperhatikan, saat itu adalah kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi keluarga nabi Musa ‘Alaihissalam. Mereka bermaksud ingin selamat dari Fir’aun, ternyata di dapatkan juga oleh keluarga Fir’aun. Tentu saja, hal ini termasuk perkara yang menyedihkan dan tidak disukai bagi keluarga nabi Musa ‘Alaihissalam, terutama kepada ibu beliau. Akan tetapi perintah itu harus dihadapi dan dilakukan, karena merupakan ilham yang datang dari Allah ﷻ. Perintah yang datang dari Allah ﷻ harus diterima dan dikerjakan dengan hati yang lapang.
Setelah itu, hal yang menakjubkan terjadi, ketika bayi tersebut hanyut dalam arus sungai dan ditemukan oleh keluarga Fir’aun, maka Allah ﷻ menjadikan istri Fir’aun jatuh cinta kepadanya. Allah ﷻ berfirman,
يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلى عَيْنِي
“Dia akan diambil oleh (Fir‘aun) musuh-Ku dan musuhnya. Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Taha: 39)
Istri Fir’aun memberikan kasih sayangnya kepada nabi Musa ‘Alaihissalam, lantaran dia tidak memiliki anak keturunan. Nabi Musa ‘Alaihissalam dijadikan sebagai anak angkat oleh mereka. Pada awalnya, Fir’aun hendak membunuh nabi Musa ‘Alaihissalam, akan tetapi dicegah oleh istrinya. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَقالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لا تَقْتُلُوهُ عَسى أَنْ يَنْفَعَنا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَداً
“Dan istri Fir‘aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak.” (QS. Al-Qasas: 9)
Akhirnya, nabi Musa ‘Alaihissalam menjadi anak angkat keluarga Fir’aun. Nabi Musa ‘Alaihissalam yang masih bayi menangis, disebabkan lapar. Keluarga Fir’aun mencarikan para wanita untuk menyusui bayi tersebut. Bayi tersebut tidak mau menyusu dari setiap wanita yang datang kepadanya. Mereka masih bersusah payah mencarikan wanita yang dapat menyusuinya. Namun, tidak ada satu pun wanita yang dapat menyusuinya. Pada akhirnya, mereka menemukan wanita yang dapat menyusui bayi tersebut, yaitu ibunda nabi Musa ‘Alaihissalam.
Ibu beliau yang sebelumnya bersedih hati, karena jauh dari bayi yang telah dilahirkannya. Akhirnya, dia diperintahkan untuk bekerja di istana Fir’aun untuk menyusui dan merawat anak angkat Fir’aun, yang ternyata adalah anak kandungnya sendiri. Bayangkan, ibunda nabi Musa ‘Alaihissalam yang sebelumnya tinggal di rumah yang kecil dalam keadaan bersedih hati, lalu Allah ﷻ menggantinya dengan tempat tinggal di istana Fir’aun dan menyusui anaknya sendiri dengan penuh ketenangan. Di samping itu, dia diberikan upah oleh Fir’aun pada saat itu.
Para ulama menyebutkan bahwa pada saat itu ibu nabi Musa ‘Alaihissalam dalam keadaan takut yang sangat luar biasa di pagi hari, karena anaknya dilepaskan dari pangkuannya agar selamat dari Fir’aun. Namun, sebelum malam hari ternyata anaknya sudah dikembalikan oleh Allah ﷻ dan berada di pangkuannya. Allah ﷻ berfirman,
فَرَجَعْناكَ إِلى أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُها وَلا تَحْزَنَ
“Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati.” (QS. Taha: 40)
Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.
- Kisah nabi Musa ‘Alaihissalam meninggalkan negeri Mesir menuju Madyan.
Allah ﷻ berfirman,
وَجاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعى قالَ يَا مُوسى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ . فَخَرَجَ مِنْها خائِفاً يَتَرَقَّبُ قالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ . وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقاءَ مَدْيَنَ قالَ عَسى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَواءَ السَّبِيلِ . وَلَمَّا وَرَدَ ماءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودانِ قالَ مَا خَطْبُكُما قالَتا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعاءُ وَأَبُونا شَيْخٌ كَبِيرٌ . فَسَقى لَهُما ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقالَ رَبِّ إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Dan seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota seraya berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.” Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.” Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qasas: 20-24)
Tentunya hal ini tidak mengenakkan bagi nabi Musa ‘Alaihissalam. Beliau ‘Alaihissalam keluar meninggalkan Mesir dalam kondisi lapar tidak membawa bekal. Beliau meninggalkan Mesir dengan tiba-tiba; karena ketahuan oleh pengikut Fir’aun yang telah membunuh salah seorang dari mereka, sehingga beliau dikejar dan membuat beliau kabur meninggalkan Mesir dalam keadaan tidak membawa bekal. Ketika sampai di tengah jalan yang berupa padang pasir, beliau dilanda kelaparan. Beliau tidak mendapati apa pun yang bisa dimakan, sampai-sampai memakan dedaunan.
Ketika beliau sampai di Madyan, beliau bertemu dengan lelaki yang saleh, yaitu nabi Syu’aib ‘Alaihissalam. Beliau menikah di negeri tersebut dengan wanita yang salehah, yaitu putri nabi Syu’aib ‘Alaihissalam. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan menuju Mesir, ternyata Allah ﷻ menjadikan beliau seorang rasul. Beliau diangkat menjadi seorang rasul untuk mendakwahi Fir’aun.
Bisa jadi engkau membenci sesuatu, ternyata itu baik bagimu
Semua ini terjadi karena nabi Musa ‘Alaihissalam pergi dari negerinya, lalu menikah, mencari ketenangan, menggembala kambing. Semua itu sebagai bentuk persiapan dalam berdakwah. Para ulama mengatakan bahwasanya para nabi menggembala kambing agar mereka mempunyai keahlian mengatur jumlah manusia dengan berbagai tabiat yang berbeda sebagaimana kambing. Ternyata dibalik keburukan tersebut, ada banyak kebaikan.
- Kisah nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Di dalam Al-Quran dikisahkan bagaimana nabi Yusuf ‘Alaihissalam dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Mereka memasukkan beliau ke dalam sumur. Beliau dijual sebagai budak, lalu dibeli oleh seorang bangsawan di Mesir. Beliau dituduh berzina, hingga di penjara. Di akhir kisah beliau, Allah ﷻ mempunyai skenario yang menakjubkan. Ketika nabi Yusuf ‘Alaihissalam sampai di Mesir dengan melalui berbagai macam ujian, akhirnya beliau ‘Alaihissalam di angkat menjadi bendaharawan Mesir. Setelah itu, saudara-saudara dan keluarga beliau yang tinggal di pelosok badui dipanggil dan tinggal di Mesir. Mereka tinggal di tempat yang mulia disebabkan nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Tentu saja semua yang dilewati oleh nabi Yusuf ‘Alaihissalam adalah perkara-perkara yang tidak disukai. Siapakah yang suka dimusuhi oleh saudara-saudaranya? Seseorang yang dimusuhi oleh orang jauh saja tidak suka, apalagi dimusuhi oleh orang terdekatnya. Siapakah yang suka dilemparkan ke dalam sumur? Bayangkan, orang yang berada di dalam sumur tidak bisa berbuat apa-apa. Siapakah yang suka dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak? Bayangkan, kita semua adalah orang yang merdeka, yang memiliki kebebasan, tiba-tiba ditangkap dan dikatakan sebagai budak yang melarikan diri.
Di dalam kerajaan Mesir beliau harus bekerja menjadi seorang pembantu. Setelah itu, beliau masih saja dituduh berzina dengan istri majikannya tersebut. Akhirnya beliau pun di penjara, dan bertahun-tahun beliau berada di penjara.
Ujian demi ujian beliau lewati, dan ternyata Allah ﷻ memiliki skenario yang menakjubkan untuk hamba-Nya. Semua ujian-ujian berat yang beliau lewati di tengah-tengah kehidupannya, Allah ﷻ memberikan kebahagiaan kepada beliau di ujung kehidupannya. Allah ﷻ berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
Bisa saja engkau membenci sesuatu, ternyata Allah menjadikan di balik kebencian tersebut banyak kebaikan.
- Kisah anak remaja yang dibunuh oleh Khadhir ‘Alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman,
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا
“Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74)
Ketika nabi Musa ‘Alaihissalam dan Khadhir q sampai pada suatu tempat dan bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain-main dengan teman-temannya, tiba-tiba Khadhir ‘Alaihissalam membunuh anak tersebut. Hal ini membuat nabi Musa ‘Alaihissalam bertanya kepadanya,
قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا
“Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74)
Bayangkan, ini adalah ujian bagi orang tua dari anak tersebut. Wafatnya seorang anak merupakan ujian yang besar bagi kedua orang tuanya. Akhirnya, nabi Khadhir ‘Alaihissalam menjelaskan kepada nabi Musa ‘Alaihissalam,
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا . فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
“Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Anak kecil yang dibunuh tersebut, kedua orang tuanya telah beriman. Seandainya anak itu tumbuh besar dan dewasa, sedangkan dia selalu disayang oleh kedua orang tuanya, maka dikhawatirkan akan menjerumuskan kedua orang tuanya dalam kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, Khadhir ‘Alaihissalam ingin agar anak ini meninggal dunia, sehingga Allah ﷻ memberikan ganti dengan anak yang lebih berbakti dan sayang kepada kedua orang tuanya.
Meskipun demikian, tentu saja ini adalah ujian yang berat bagi kedua orang tua tersebut. Keduanya tidak mengetahui hikmah dibalik wafatnya anak mereka. Akan tetapi, Allah ﷻ memberitahukan kepada keduanya melalui nabi Khadhir ‘Alaihissalam bahwa sepeninggal anak tersebut, Allah ﷻ akan menggantikannya dengan anak yang saleh, berbakti kepada keduanya dan mampu membawa mereka ke surga. Seandainya anaknya dibiarkan untuk hidup, maka justru akan menjerumuskan keduanya ke dalam kekufuran.
- Kisah perang Badar
Telah disebutkan di dalam sirah nabi Muhammad ﷺ ketika Abu Sufyan datang bersama kafilah dagangnya dengan membawa 1000 ekor unta dan harta sebanyak 5000 dinar. Kafilah tersebut hendak melewati Madinah, lalu dihadang oleh Rasulullah ﷺ beserta pasukannya. Dalam rangka merebut harta tersebut, tentunya akan mengakibatkan terjadi peperangan. Hal ini dikarenakan orang-orang Quraisy dahulu sudah merebut harta kaum muslimin dari kota Makkah ketika mereka berhijrah.
Abu Sufyan mengetahui rancana Nabi ﷺ, lantas Abu Sufyan memberitakan hal ini kepada Abu Jahal. Setelah itu, Abu Jahal pun datang dengan 1000 pasukan. Ketika itu, para sahabat ingin berperang melawan Abu Sufyan, karena Abu Sufyan hanya dikelilingi oleh beberapa puluh pasukan saja. Adapun pasukan Abu Jahal berjumlah 1000 pasukan. Allah ﷻ berfirman,
يُجادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَ مَا تَبَيَّنَ كَأَنَّما يُساقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ . وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّها لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِماتِهِ وَيَقْطَعَ دابِرَ الْكافِرِينَ
“Mereka membantahmu (Muhammad) tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang), seakan-akan mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu). Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.” (QS. Al-Anfal: 6-7)
Di dalam ayat tersebut Allah ﷻ menyebutkan bahwa para sahabat ingin agar mereka melawan Abu Sufyan, karena keuntungan yang dia dapatkan dari perdagangannya sangat banyak. Mereka ingin untuk menangkap Abu Sufyan, mengambil hartanya, selagi jumlah mereka sedikit. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menghadapi pasukan Abu Jahal berjumlah sangat banyak, meskipun tidak membawa harta.
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّها لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِماتِهِ وَيَقْطَعَ دابِرَ الْكافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.” (QS. Al-Anfal: 7)
Allah ﷻ telah menjanjikan dua pilihan, yang salah satunya pasti akan mereka dapatkan. Namun, mereka berharap yang mereka lawan adalah Abu Sufyan, bukan Abu Jahal. Tatkala mereka tahu bahwa ternyata yang mereka lawan adalah Abu Jahal dan pasukannya, maka seakan-akan mereka merasa dibawa kepada kematian, sementara mereka melihat kematian di depan mereka. bagaimana mungkin, pasukan yang berjumlah kurang lebih 300 orang melawan 1000 orang.
Di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa para sahabat menginginkan melawan kafilah dagang Abu Sufyan, karena melawan mereka lebih mudah. Mereka benci dan tidak suka melawan pasukan Abu Jahal. Namun, Allah ﷻ berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
Mereka harus melawan pasukan Abu Jahal dengan seribu pasukannya. Ternyata dengan perang Badar tersebut, mereka mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Allah ﷻ menamakan hari tersebut dengan يَوْمُ الْفُرْقَان ‘Hari Pembeda’. Para sahabat yang mengikuti peperangan tersebut mendapatkan gelar الْبَدْرِيّ ‘Ahli Badar’. Mereka mendapatkan jaminan surga dari Allah ﷻ. Ternyata, di balik ketidaksukaan mereka ini, mereka justru mendapatkan banyak kebaikan.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
- Contoh dari As-Sunah
- Kisah Ummu Salamah radhiallahu ‘anha
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha adalah seorang sahabiah yang sangat cinta kepada suaminya, yaitu Abu Salamah radhiallahu ‘anhu. Begitu juga dengan Abu Salamah radhiallahu ‘anhu yang memiliki sifat sangat baik kepada istrinya.
Abu Salamah radhiallahu ‘anhu meninggal dunia. Tentu saja, ini menjadi ujian yang sangat berat bagi Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dia telah menjalani kisah yang panjang bersama suami yang dicintainya. Di antaranya dia pernah dipisahkan dari suaminya, ketika hendak berhijrah. Kabilahnya menahannya agar tidak ikut suaminya hijrah ke Madinah, sedangkan Abu Salamah radhiallahu ‘anhu pergi berhijrah seorang diri.
Akhirnya, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha tinggal seorang diri bersama putranya selama setahun. Setiap hari pada pagi hari dia keluar rumahnya dalam keadaan menangis. Sampai akhirnya ada seseorang yang merasa iba dengannya, sehingga membawanya untuk menyusul ke Madinah, hingga bertemu suaminya.
Setelah mereka bertemu di Madinah, tidak lama kemudian Abu Salamah radhiallahu ‘anhu pun meninggal dunia. Musibah yang sangat berat baginya. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berdoa dengan doa yang telah diajarkan dari Nabi ﷺ, sebagaimana hadits,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ، فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا “، قَالَتْ: فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ، قُلْتُ: أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ إِنِّي قُلْتُهَا، فَأَخْلَفَ اللهُ لِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ: أَرْسَلَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ يَخْطُبُنِي لَهُ، فَقُلْتُ: إِنَّ لِي بِنْتًا وَأَنَا غَيُورٌ، فَقَالَ: أَمَّا ابْنَتُهَا فَنَدْعُو اللهَ أَنْ يُغْنِيَهَا عَنْهَا، وَأَدْعُو اللهَ أَنْ يَذْهَبَ بِالْغَيْرَةِ
“Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkata, ‘Tidaklah seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Ya Allah berikanlah pahala pada musibahku ini dan berikanlah ganti yang lebih baik darinya), kecuali Allah akan memberikan kepadanya ganti yang lebih baik’. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata, ‘Siapakah orang yang lebih baik dari Abu Salamah? Orang pertama yang hijrah kepada Rasulullah ﷺ, lalu aku mengucapkan doa itu, maka Allah memberi ganti kepadaku berupa Rasulullah ﷺ’. Rasulullah ﷺ mengutus Hatib bin Abu Balta’ah untuk melamarku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku memiliki seorang anak perempuan, sedangkan aku adalah orang yang pencemburu’, lalu beliau ﷺ bersabda, ‘Adapun anaknya, kita akan berdoa kepada Allah agar mencukupinya dan aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan rasa cemburu itu’.” ([6])
Di dalam hadis tersebut Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu ketika aku hendak mengucapkan doa, وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا ‘Gantikanlah aku dengan yang lebih baik’, dia berhenti, lalu dia bergumam, ‘Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah?’. Tetapi karena ini adalah sunah yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, maka dia pun membaca doa tersebut. Ternyata, Allah ﷻ menggantikan Abu Salamah radhiallahu ‘anhu dengan nabi Muhammad ﷺ.
Nabi ﷺ pun datang melamar Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dengan mengutus Hatib bin Abu Balta’ah. ketika itu, Ummu salamah radhiallahu ‘anha berkata, ‘Aku sudah tua, sedangkan aku memiliki anak, sedangkan aku pun cemburu, karena engkau memiliki istri-istri’. Ummu Salamah merasa sungkan untuk menikah dengan Nabi ﷺ karena beberapa pertimbangan. Akhirnya, Nabi ﷺ bersabda, ‘Adapun engkau sudah tua, maka aku lebih tua darimu. Adapun engkau memiliki anak, maka kita berdoa agar Allah ﷻ mencukupkannya. Adapun engkau mempunyai rasa cemburu, maka aku akan berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kecemburuanmu’. Akhirnya Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menikah dengan Nabi ﷺ.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
- Kisah Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha
Diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha,
أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ، فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ»، فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
“Sesungguhnya Abu ‘Amr bin Hafs menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia sedang tidak bersamanya, lalu mengutus seseorang sebagai wakilnya dengan membawa gandum, maka Fathimah marah kepadanya, lalu Abu Amr berkata kepadanya, ‘Demi Allah, engkau sudah tidak memiliki hak lagi atasku sedikit pun’, lalu Fathimah pun datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Engkau tidak berhak untuk mendapatkan nafkah atasnya’, lalu beliau memerintahkannya untuk menunggu masa ‘iddahnya di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Wanita itu sering dikunjungi oleh para sahabatku, tunggulah masa ‘iddahmu bersama Ibnu Ummi Maktum, sesungguhnya dia adalah seorang yang buta matanya, sehingga kamu bisa menanggalkan pakaianmu, jika kamu telah selesai maka beritahukanlah kepadaku’. Ketika telah selesai masa ‘iddahku, maka aku memberitahukan beliau bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm hendak melamarku, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah miskin, tidak memiliki harta, nikahilah Usamah bin Zaid’, maka aku tidak suka dengannya, kemudian beliau bersabda, ‘Nikahilah Usamah’. Aku pun menikah dengannya. Setelah itu, Allah menjadikan kebaikan di dalamnya, dan aku dicemburui karenanya.” ([7])
Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita yang mulia. Ketika dia diceraikan dari suaminya dan selesai dari masa ‘iddahnya. para sahabat datang kepadanya untuk melamarnya. Di antara sahabat yang melamarnya adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu dan Abu Jahm radhiallahu ‘anhu. Keduanya datang melamarnya dengan tiba-tiba, sedangkan saat itu Fathimah belum berkeinginan untuk menerimanya. Setelah itu, dia datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya kepada beliau. Di antara kecerdasannya adalah dia bermusyawarah kepada Nabi ﷺ. Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dua pemuda ini melamarku’. Nabi ﷺ memberitahukan kepadanya bahwa Mu’awiyah miskin, tidak memiliki uang, sedangkan Abu Jahm, tongkatnya selalu berada di pundaknya, artinya suka memukul perempuan. Beliau memerintahkannya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anha.
Tentu saja, keputusan Rasulullah ﷺ membuat Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha menjadi kebingungan. Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah pemuda Quraisy, kabilah yang tinggi. Abu Jahm radhiallahu ‘anhu juga merupakan pemuda Quraisy, sedangkan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anha adalah anak dari seorang budak. Zaid bin Al-Harits adalah seorang budak dan bukan dari kabilah Quraisy. Bahkan, disebutkan bahwa Usamah adalah seorang pemuda yang berkulit hitam. Dia adalah anak dari Zaid bin Al-Harits dengan Ummu Aiman radhiallahu ‘anha.
Keputusan Rasulullah ﷺ agar Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha menikahi dengan Usamah radhiallahu ‘anhu membuatnya seolah tidak semangat. Maka, di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ
“Taat kepada Allah dan Rasul-Nya lebih baik bagimu.”([8])
Dalam hal ini, Nabi ﷺ tidak memaksa, namun hanya mengatakan bahwa taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah lebih baik. Fathimah radhiallahu ‘anha pun akhirnya menikah dengan Usamah radhiallahu ‘anhu, dan ternyata Allah ﷻ memberikan banyak kebaikan. sampai-sampai orang-orang merasa cemburu, seakan-akan mereka merasa bahwa Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha mendapatkan kebaikan yang banyak ketika menikah dengan Usamah ﷺ. Karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya, akhirnya Allah ﷻ menjadikan lebih baik kepadanya.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”
- Contoh yang disebutkan oleh para ulama
- Kisah seorang prajurit, Ubaidillah bin Ziyad.
كَانَ رَجُلٌ بِالْبَصْرَةِ مِنْ بَني سَعيدٍ، وَكَانَ قَائِدًا مِنْ قُوّادِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ ، فَسَقَطَ مِنْ السَّطْحِ فَانْكَسَرَتْ رِجْلَاهُ ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَبُوْ قِلَابَةَ يَعُوْدُهُ ، فَقَالَ لَهُ أَرْجُو أَنْ يَكونَ لَكَ خِيْرَةً ، فَقَالَ يَا أَبَا قِلَابَةَ ، وَأَيُّ خِيرَةٍ فِي كَسْرٍ رِجْلِي جَمِيعًا ، قَالَ : مَا سَتَرَ اللَّهُ عَنْكَ أَكْثَرَ ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ثَلاثٍ وَرَدَ عَلَيْهِ كِتابُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ أَنْ يَخْرُجَ فَيُقَاتِلَ الحُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ لِلرَّسُولِ قَدْ أَصَابَنِي مَا تَرَى ، فَمَا كَانَ إِلَّا سَبْعًا حَتَّى وَافَى الخَبَرُ بِقَتْلِ الحُسَيْنِ ، فَقَالَ الرَّجُلُ : رَحِمَ اللَّهُ أَبَا قِلَابَةَ ، لَقَدْ صَدَقَ أَنَّهُ كَانَ خِيْرَةً لِي
Ada seorang berasal dari Bani Sa’id, Bashrah. Dia adalah seorang panglima Ubaidillah bin Ziyad. Suatu ketika dia terjatuh dari atap rumah, hingga menyebabkan keretakan pada kedua kakinya. Abu Qilabah([9]) datang menjenguknya, lalu berkata, ‘Aku berharap semoga menjadi hal yang terbaik bagimu’, lalu dia bertanya, ‘Wahai Abu Qilabah, kebaikan apa pada musibah patahnya kedua kakiku ini?’. Dia menjawab, ‘Allah lebih banyak mengetahui rahasia dibalik itu’. Tiga hari setelahnya, Ubaidillah bin Ziyad diperintahkan untuk berangkat memimpin pasukan melawan Al-Husain bin ‘Ali radhiallahu ‘anha, lalu dia berkata kepada utusannya, ‘Engkau telah melihat musibah yang menimpaku’. Tujuh hari setelah nya datanglah kabar kepadanya bahwa Al-Husain radhiallahu ‘anhu telah terbunuh, dia pun berkata, ‘Semoga Allah merahmati Abu Qilabah, dia telah berkata benar bahwa musibah ini adalah yang terbaik bagiku’. ([10])
Allah ﷻ mendatangkan kebaikan dalam bentuk musibah. Seandainya dia dalam keadaan sehat, bisa jadi dia akan berangkat memimpin pasukannya menghadap Al-Husain dan membunuhnya. Jika hal ini terjadi, bagaimana jika dia bertemu dengan Nabi ﷺ di akhirat kelak, semantara dia memimpin dan membunuh cucu beliau ﷺ.
- Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir r tentang seseorang yang sedang pergi ke Makkah, dekat dengan sumur zam-zam. Dia membawa sebuah emas yang sangat berat. Dia meletakkannya di suatu tempat hingga lupa, ternyata emasnya tersebut tidak dibawanya dan hilang. Setelah itu dia pun kembali ke negara asalnya. Selang beberapa tahun, dia pun jatuh miskin. Ketika dalam keadaan yang serba kekurangan itu, dia gunakan hartanya yang tersisa untuk membeli sebuah kaca, seperti gelas dan semacamnya. Suatu hari dia berjalan di suatu tempat, lalu tersandung dan membuatnya terjatuh. Ternyata kaca yang hendak dijadikan modal untuk perniagaan terjatuh dan pecah. Akhirnya dia pun menangis.
Orang-orang pun datang kepadanya dan bertanya, ‘Kenapa engkau menangis?’, dia berkata, ‘Dahulu saya pernah kehilangan emas yang berat, namun saya tidak menangisinya, karena saat itu aku mengira bahwa emas itu bukanlah hartaku, di samping itu aku masih memiliki harta. Aku menangisi kaca ini, karena ini adalah hartaku yang terakhir. Dengan pecahnya kaca ini, maka aku tidak memiliki harta lagi’. Di dalam keramaian tersebut, ternyata ada salah seorang di antara mereka yang bertanya kepadanya, ‘Engkau kehilangan emas?’, ‘Benar’ jawabnya. Dia bertanya ‘Ceritakan kepadaku bagaimana sifatnya?’. Ternyata dia lah yang dahulu menemukan emas tersebut. Akhirnya orang itu mengembalikan emas tersebut kepada pemiliknya setelah beberapa tahun.
Allah ﷻ menginginkan kebaikan, pecahnya kaca yang dimilikinya di tengah jalan untuk modal perniagaan, ternyata di balik itu Allah berkehendak memberikan emas yang pernah hilang.
- Disebutkan oleh Syaikh Ali Thanthawi r. ([11])
Ada seseorang yang hendak pergi naik pesawat -hal ini juga pernah terjadi di zaman sekarang ini-. Al-Hasil dia tertidur pada saat jadwal keberangkatannya. Dia pun berangkat ke bandara dan ternyata pesawat yang hendak dia naiki sudah terbang. Akhirnya dia bersedih. Namun, tiba-tiba ada pengumuman bahwa pesawat yang seharusnya dia naiki tersebut meledak, hingga mengakibatkan banyak penumpangnya meninggal dunia.
Hal ini, juga pernah dialami oleh teman penulis. Ketika dia hendak naik pesawat untuk pulang menuju Indonesia, dia berangkat ke bandara, namun terjebak macet. Akibatnya dia terlambat ke bandara, sehingga pesawat pun terbang meninggalkannya. Akan tetapi, beberapa saat setelahnya diumumkan bahwa pesawat yang hendak dinaikinya tersebut meledak di udara.
Kita tidak tahu, bisa jadi Allah menentukan keburukan bagi kita, namun sejatinya di balik keburukan tersebut, ternyata ada kebaikan yang Allah persiapkan untuk kita.
Renungan agar kita sabar terhadap apa yang tidak kita sukai
Pertama: Hendaknya setiap orang yakin bahwa Allah ﷻ lebih mengerti tentang kemaslahatan kita dari pada kita sendiri. Maka dari itu Allah ﷻ berfirman,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Kita yakin bahwa Allah ﷻ tahu tentang yang terbaik bagi kita. Jika seseorang terkena suatu musibah, hendaknya dia bertanya kepada diri sendiri, manakah yang lebih baik antara Allah ﷻ yang mengaturnya atau dia sendiri yang mengatur? Manakah yang lebih baik antara Allah yang menghadapi musibahnya atau dia menghadapinya sendiri? Orang yang beriman, pasti akan mengatakan bahwa lebih baik Allah ﷻ yang mengaturnya.
Allah ﷻ yang mengetahui segalanya. Allah ﷻ lebih mengetahui bagaimana kita menghadapi musibah tersebut. Allah ﷻ lebih mengetahui yang terbaik bagi kita. Manakah perbuatan yang tidak menimbulkan kesombongan, ujub dan manakah mendatangkan pahala? Allah mengetahui bagi kita dan terbaik bagi kita dalam menghadapi semua ini. Maka dari itu, hendaknya kita menyerahkan semuanya kepada Allah ﷻ.
Hendaknya dia bertanya kepada diri sendiri, Allah ﷻ yang lebih sayang kepada dirinya ataukah ibunya yang lebih sayang kepadanya? Tentu saja, Allah ﷻ yang lebih sayang kepadanya. Maka dari itu, hendaknya dia menyerahkan semuanya kepada Allah ﷻ.
Apakah pantas baginya lebih memilih ibunya untuk mengaturnya atau Allah ﷻ yang mengaturnya? Orang yang berakal sehat tentu akan memilih Allah ﷻ yang mengatur hidupnya. Maka dari itu, serahkanlah semuanya kepada Allah ﷻ, dan biarkan Allah ﷻ yang mengatur semuanya.
Musibah yang menimpa, dibalik itu ada hikmah. Jika kita bersabar, maka itu akan mengurangi dosa, meninggikan derajat, menambah pahala, belum lagi hikmah-hikmah yang lain. Seandainya tidak mungkin didapatkan pada saat itu, mungkin beberapa waktu yang akan datang, kita akan mendapatkannya. Oleh karenanya, hendaknya seseorang mengetahui bahwa lebih baik Allah yang mengatur kita dari pada diri sendiri.
Kedua: Ketika menghadapi musibah, maka hendaklah mengikuti prosedur. Yaitu senantiasa beristighfar dan bertakwa kepada Allah ﷻ. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah ﷻ dalam hadis qudsi.
أنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ
“Sesungguhnya Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Hendaknya hamba-Ku berprasangka kepadaku menurut yang dia sukai.” ([12])
Disebutkan pula di dalam riwayat yang lain,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
“Sesungguhnya Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila dia berprasangka baik, maka baginya kebaikan dan apabila dia berprasangka buruk, maka baginya keburukan.”([13])
Bagaimana kita bisa berprasangka baik kepada Allah? Yaitu apabila kita mengikuti prosedur dengan kembali kepada Allah ﷻ, beristighfar dan bertakwa kepada-Nya. sehingga kita bisa berbaik sangka kepada-Nya bahwa itulah yang terbaik. Apa pun yang diberikan kepada kita, itulah yang terbaik. Allah memberikan kepada kita musibah yang tidak kita sukai, bisa jadi Allah menjauhkan dari kita keburukan-keburukan dan kesombongan.
Bayangkan, apabila apa saja yang kita inginkan bisa kita raih, baik kepemimpinan, harta maupun segala hal yang menyenangkan jiwa, maka bisa jadi hal itu akan mengakibatkan kita sombong dan angkuh. Namun, Allah ﷻ membuat kita gagal, menangis dan bersedih, supaya bisa kembali kepada-Nya. Di samping itu, tentunya terdapat banyak hikmah dibalik itu semua. Sehingga apabila kita mengikuti prosedur dengan senantiasa beristighfar dan bertakwa kepada Allah ﷻ, maka hal itu dapat mengantarkannya untuk selalu berbaik sangka kepada Allah ﷻ.
Ketiga: Sadar bahwa kehidupan dunia memang ujian. Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
Anak yang berada di dalam perut ibunya, telah membuat payah kedua orang tuanya. Sang ibu kepayahan, muntah-muntah, mengalami kesakitan di punggungnya, bahkan ada yang harus di opname. Selain itu, sang Ayah harus merawatnya, memijitnya, apalagi saat sang ibu mengidam, sedangkan sang ayah harus mencari nafkah.
Ketika lahir pun -meskipun ada kegembiraan- keduanya disibukkan dengan banyak hal untuk mengurusinya. Tentunya, semuanya itu akan terasa mudah jika dicukupkan materi bagi mereka. Akan tetapi, apabila tidak memiliki materi yang cukup, sehingga mengharuskannya untuk mencari pinjaman ke siapa saja orang yang dia jumpai, maka hal itu akan menambah beban bagi keduanya. Di samping itu sang bayi lahir dalam kondisi menangis, lalu tumbuh merangkak. Setelah itu, tumbuh dengan melewati berbagai macam penderitaan maupun kebahagiaan, dan semuanya tidak lepas dari kepayahan.
Ketika tumbuh dewasa dia harus diberikan pendidikan, khususnya dari kedua orang tuanya. Terkadang memiliki tabiat nakal, terkadang baik. Dalam menempuh pendidikannya pun membutuhkan biaya yang banyak.
Selain itu, ketika dia hendak menikah untuk membina rumah tangga pun dia memerlukan banyak materi yang harus dipersiapkan. Setelah menikah, dia akan banyak berinteraksi dengan pasangan hidupnya. Dia akan banyak bertemu dengan istri dan anak-anaknya, sedangkan untuk memberikan pendidikan kepada mereka tidaklah mudah.
Apalagi, ketika dia melewati masa tuanya. Pendengaran, penglihatan dan sebagian indra perasanya mulai lemah. Materi yang dimilikinya mulai berkurang, atau bahkan tidak memiliki penghasilan sama sekali. Belum lagi ketika ditimpa berbagai penyakit tertentu. Jalannya mulai tertatih-tatih, punggungnya membungkuk, tidak seperti masa mudanya dahulu. Suaranya pun melemah, tidak mampu berteriak-teriak. Tidak memiliki bawahan.
Ketika hendak meninggal dunia, di mana terkadang ada sebagian mereka yang ditimpa dengan sakit parah, nafas terengah-engah. Malaikat pencabut nyawa mendatanginya. Akhirnya, wafatlah dia meninggalkan dunia ini.
Begitulah kehidupan. Kehidupan ini selalu berputar dengan sedemikian rupa terus menerus, sedangkan manusia harus melewatinya, entah dengan kebahagiaan atau kesedihan dan penderitaan.
Oleh karenanya, apabila kita sadar dengan kehidupan ini, yang merupakan كَبَدٍ ‘kepayahan’. Maka dari itu, hendaknya kita lebih mudah menghadapi ketidaksukaan yang akan dihadapi. Tidak hanya kita saja, bahkan orang yang memiliki kedudukan tertinggi, orang yang memiliki harta terbanyak, orang yang paling sering mendapatkan banyak kenikmatan, orang yang namanya dikenal oleh banyak orang, mereka semua juga mengalami banyak hal yang tidak disukai. Mereka mendapatkan ujian, sebagaimana kita mendapatkan ujian. Masing-masing mendapatkan ujian dan Allah ﷻ akan bertanya bagaimana masing-masing makhluk-Nya menghadapi ujian tersebut.
Footnote:
____
([1]) HR. Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubraa, no. 19566, 19/526, Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, no. 8910 dan Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya no. 30020
([2]) Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i hal. 11
([4]) Kayu gaharu tidak diketahui wujudnya, kecuali setelah terbakar sehingga tercium aroma darinya
([5]) Raudhah Al-‘Uqalaa’ Wa Nuzhah Al-Fudhala’, karya Ibnu Hibban, 1/136
([8]) HR. Ibnu Majah no. 1869 dan disahihkan oleh Al-Albani
([9]) Abu Qilabah adalah seorang tabi’in, murid dari Anas bin Malik t.
([10]) Al-Muntadzim Fii Tariikh Al-Muluuk Wa Al-Umam, karya Ibnu Al-Jauzi, 7/92
([11]) Dzikraayaat, ‘Ali Ath-Thanthawi,
([12]) H.R. Ahmad no. 16980, Ibnu Hibban di dalam Sahihnya dan At-Thabrani no. 210 di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ As-Shaghir no. 4316 2/795
([13]) H.R. Ibnu Hibban no. 639 dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ As-Shaghir no. 4316 2/795