Ayat-ayat Pemberi Harapan Bagi Para Pelaku Dosa
Para ulama telah menjelaskan bahwa ada yang namanya أَرْكَانُ العِبَادَةِ القَلْبِيَّةِ yaitu rukun ibadah hati. Rukun tersebut terdiri atas tiga perkara:
- Rukun yang pertama adalah اَلمحَبَّةُ yaitu rasa cinta kepada Allah ﷻ.
- Rukun yang kedua adalah الخَوْفُ yaitu rasa takut kepada Allah ﷻ.
- Rukun ketiga adalah الرَّجَاءُ yaitu berharap hanya kepada Allah ﷻ.
Ketika seorang hamba beribadah kepada Allah ﷻ, maka dia harus menghadirkan ketiga perkara tersebut secara bersamaan di dalam hatinya. Para salaf menyebutkan bahwa jika ada seorang hamba hanya menghadirkan salah satu dari ketiga rukun ibadah hati tersebut, misalnya hanya menghadirkan rasa takut kepada Allah maka orang tersebut adalah khawarij. Kemudian jika ada yang hanya menghadirkan rasa harap kepada Allah, maka dia adalah seorang Murji’ah. Kemudian jika ada yang beribadah dengan hanya menghadirkan rasa cinta kepada Allah maka dia adalah seorang Zindiq. Adapun seorang ahlusunah waljamaah senantiasa menghadirkan ketiga perkara tersebut secara bersamaan tatkala beribadah kepada Allah ﷻ.
Ketiga makna perkara ibadah hati tersebut dapat kita rasakan ketika kita membaca awal dari surah Al-Fatihah di dalam salat. Misalnya tatkala kita membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam). Kata para ulama, makna kata اَلْحَمْدُ dan اَلْمَدْحُ berbeda. Di dalam bahasa Arab, اَلْمَدْحُ bermakna pujian, akan tetapi tidak disertai dengan rasa cinta. Seperti halnya ketika seseorang memuji dan mengakui kelebihan orang lain, meskipun dia membencinya. Sehingga kata اَلْمَدْحُ tidak selalu disertai dengan rasa cinta. Akan tetapi kata اَلْحَمْدُ adalah kata pujian yang disertai dengan rasa cinta. Oleh karenanya ketika kita membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam), maka kita sedang memuji Allah dengan disertai rasa cinta karena keagungan sifat-sifat-Nya, dan begitu luas rahmat dan karunia-Nya.
Kemudian tatkala seorang membaca الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka seorang hamba sedang mengingat rahmat Allah yang begitu banyak. Nabi Muhammad ﷺ telah mengatakan,
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Sesungguhnya kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang perempuan (ibu) terhadap anaknya.” ([1])
Ketika seorang hamba telah menyadari bahwa kasih sayang Allah sangat luas, bahkan lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, maka akan timbul di dalam hati rasa pengharapan kepada Allah ﷻ.
Kemudian ketika kita membaca مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (Yang menguasai hari pembalasan), maka akan tumbuh dalam hati kita rasa takut yang luar biasa. Karena di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa tidak ada raja pada hari kiamat kecuali Allah ﷻ. Sebagaimana telah disebutkan oleh Nabi Muhammad ﷺ tentang hari itu,
يَوْمَ يُحْشَرُ الْعِبَادُ – أَوْ قَالَ: النَّاسُ – حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ
“Pada hari itu seluruh hamba –atau bersabda dengan redaksi: para manusia- dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, belum dikhitan, dan tidak buhman. Tidak ada sesuatu pun yang mereka bawa.” ([2])
Pada hari itu semua orang akan menanggalkan jabatan, tidak membawa hartanya sedikit pun, meskipun hanya alas kaki atau pakaian. Tentunya dengan menyadari hal ini akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ telah berfirman,
ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ، يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infithar: 18-19)
Oleh karenanya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللهِ النِّسَاءُ وَالرِّجَالُ جَمِيعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ، قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
“Wahai Rasulullah, wanita-wanita dan lelaki-lelaki semua saling melihat satu sama lain? Beliau menjawab: “Wahai Aisyah, permasalahannya lebih sulit daripada saling melihat satu sama lain.” (HR. Muslim no. 2859)
Oleh karenanya ketika kita membaca empat ayat pertama dalam surah Al-Fatihah, maka telah terkumpul tiga perkara yang menjadi rukun ibadah hati yaitu Al-Mahabbah ‘rasa cinta’, Al-Khauf ‘rasa takut’, dan Raja’ ‘rasa harap’. Maka tidak boleh seseorang hanya menghadirkan rasa cinta atau rasa harap tanpa rasa takut, karena Allah telah berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 99)
Oleh karenanya orang yang hanya menghadirkan rasa harap tanpa rasa takut, maka mereka adalah orang-orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Begitu pula sebaliknya jika seseorang hanya menghadirkan rasa takut tanpa ada rasa harap kepada Allah, maka orang tersebut di cela oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)
Maka dari itu kita harus menghimpun tiga perkara tersebut tatkala beribadah kepada Allah ﷻ.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang ayat-ayat yang paling memberi harapan kepada orang-orang yang melakukan dosa. Sehingga yang kita bahas di antara tiga perkara ibadah hati pada kesempatan kali ini adalah الرَّجَاءُ ‘rasa harap’. Yaitu kita akan membahas bagaimana agar seorang hamba tidak berputus asa dari rahmat Allah ﷻ meskipun dia terjerumus dari kemaksiatan. Namun perlu diingat bahwa pembahasan ini bukan mengajarkan kepada seseorang untuk senantiasa bersandar kepada Allah dan juga tetap melakukan kemaksiatan. Melainkan agar seseorang bersegera kembali kepada Allah karenanya menyadari bahwa dosanya akan diampuni, sebagaimana seorang anak yang berbuat salah dan meminta maaf kepada orang tuanya karena meyakini bahwa orang tuanya mau memberi maaf. Sehingga ketika kita telah tahu bahwa Allah lebih sayang kepada seorang hamba melebihi sayang seorang ibu kepada anaknya, maka jangan kita ragu kembali kepada Allah ﷻ ketika telah melakukan kemaksiatan.
Para ulama khilaf tentang ayat mana di dalam Al-Al-Qur’an yang paling memberi harapan kepada kaum muslimin terutama bagi orang-orang yang berbuat dosa. Imam As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran dan Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Ulumil Quran menyebutkan bahwa ada belasan pendapat. Kita akan sebutkan dan jelaskan sebagian dari pendapat-pendapat yang menyebutkan ayat-ayat yang memberi harapan kepada kita kaum muslimin.
Imam As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan berkata,
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي أَرْجَى آيَةٍ فِي الْقُرْآنِ عَلَى بِضْعَةَ عَشَرَ قَوْلًا
“Sungguh telah diperselisihkan tentang ayat yang paling memberikan harapan di dalam Al-Qur’an atas belasan pendapat.” ([3])
- Az-Zumar : 53
Allah ﷻ berfirman,
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)
Sebagian para salaf mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling memberikan pengharapan kepada seorang hamba. Di antara sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang mengatakan demikian adalah sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu. Sebabnya adalah karena ayat ini khusus diturunkan kepada para pelaku maksiat. Bukan sembarang pelaku maksiat, melainkan orang yang telah tenggelam dalam kemaksiatan. Karena dalam ayat ini, makna أَسْرَفُوْا dalam bahasa Arab adalah mubazir, sehingga yang dimaksud adalah orang yang berlebih-lebihan dan benar-benar telah tenggelam dalam kemaksiatan.
Adapun sisi yang menjadikan ayat ini sebagai ayat yang paling memberikan harapan adalah, yang pertama Allah berfirman kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan mengatakan قُلْ (Katakanlah). Maksudnya adalah Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, kepada para ulama dan para dai untuk menyampaikan tentang rahmat Allah yang sangat luas. Kemudian sisi kedua Allah juga masih memanggil para pelaku maksiat dengan sebutan يَاعِبَادِيْ (Wahai Hamba-hamba-Ku), padahal mereka telah tenggelam dalam kemaksiatan. Karena tatkala seseorang tenggelam dalam kemaksiatan yang begitu banyak atau besar, maka akan datang iblis menggoda agar dia berputus asa dari rahmat Allah ﷻ. Kemudian sisi ketiga Allah ﷻ telah mengatakan إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا (Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya). Kalau sekiranya Allah hanya mengatakan “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa“, maka ini telah cukup bagi para hamba. Akan tetapi Allah menambahkan kata جَمِيْعَا (seluruhnya) untuk menegaskan bahwa Allah betul-betul akan mengampuni seluruh dosa. Kemudian sisi keempat yaitu di akhir ayat Allah menunjukkan sifat-Nya yang mulia dengan berfirman إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang). Sehingga ayat ini benar-benar memberikan harapan kepada seorang hamba.
Di dalam Al-Qur’an Allah juga banyak menyebutkan nama-nama-Nya di antaranya adalah أَلْغَفُوُرْ (Al-Ghafur). Allah ﷻ berfirman,
غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“(Allah) Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya. Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya-lah kembali (semua makhluk).” (QS. Ghafir : 3)
Kemudian juga Allah menyebutkan dengan sebutan غَفَّار (Ghaffar) dalam firman-Nya,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun’.” (QS. Nuh : 10)
Kata أَلْغَفُوُرْ (Al-Ghafur), غَفَّار (Ghaffar), dan غَافِرْ (Ghafir) memiliki sedikit perbedaan makna. Tentunya perlu pembahasan khusus kalau kita ingin membahasnya dari segi bahasa. Akan tetapi inti dari ketiga makna kata tersebut adalah kembali kepada makna bahwa Allah akan mengampuni segala dosa, sebanyak apa pun, dan sebesar apa pun. Maka barang siapa membaca ayat ini, maka akan membuka harapan baginya untuk segera kembali kepada Allah ﷻ.
Oleh karenanya kita mengetahui bagaimana kisah yang masyhur tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 99 orang, timbul di dalam hatinya untuk bertobat. Demikianlah kebanyakan dari para pelaku dosa, Allah mengetuk hatinya untuk bertobat ketika telah berada di puncak-puncak kemaksiatannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda tentang kisah tersebut,
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ، فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ، فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ.
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib (Ahli Ibadah). Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, “Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah tobatnya diterima?” Rahib (Ahli Ibadah) pun menjawabnya, “Orang seperti itu tidak diterima tobatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, “Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah tobatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, “Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan tobat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah ﷻ, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.” Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya.” ([4])
Lihatlah bagaimana ketika seseorang berfatwa berlandaskan ilmu, maka akan kita dapatkan jawaban yang tepat. Akan tetapi jika seseorang berfatwa dengan perasaan seperti ahli ibadah dalam hadits tersebut, maka akan tampak tidak mungkin dosa membunuh 99 orang untuk diampuni. Padahal mudah bagi Allah ﷻ untuk mengampuni.
Lihatlah juga firman Allah ﷻ yang bercerita tentang para raja yang menzalimi kaum mukminin dan mukminat dengan cara dibakar secara hidup-hidup. Jika sekiranya ada orang seperti itu hidup di zaman ini, kemudian kita menilai dengan perasaan, maka kita akan beranggapan bahwa orang tersebut pasti masuk neraka dan menempati neraka yang paling bawah, dan tobatnya tidak akan diterima. Akan tetapi meskipun dia sekejam itu, Allah ﷻ masih mungkin untuk menerima tobatnya jika dia bertobat. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS. Al-Buruj : 10)
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa jika sekiranya mereka itu bertobat kepada Allah atas apa yang mereka lakukan, maka Allah akan menerima tobat mereka.
Lihat juga bagaimana kisah orang yang paling bejat di muka Bumi ini yaitu Firaun yang mengaku sebagai Tuhan. Kita sangat kenal betapa sombongnya Firaun. Akan tetapi jika sekiranya dia bertobat kepada Allah sebelum nyawanya berada di kerongkongannya, maka masih mungkin bagi Allah untuk menerima tobatnya. Buktinya adalah Allah mengirim Nabi Musa ‘alaihissalam ditemani oleh Nabi Harun ‘alaihissalam untuk menasihati dan mendakwahi Firaun. Allah ﷻ berfirman kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam,
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut“. (QS. Taha : 44)
Jadi meskipun dia berkelakuan demikian, akan tetapi Allah akan menerima tobatnya jika saja Firaun mau bertobat kepada Allah ﷻ. Akan tetapi dia enggan untuk bertobat kepada Allah.
Sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas. Saking luasnya rahmat Allah, sampai-sampai nalar kita pun tidak bisa menjangkaunya. Lihatlah juga kisah tentang dua orang dari Bani Israil yang saling berteman. Rasulullah ﷺ bersabda,
كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ، وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ: أَقْصِرْ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ، فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ. فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِى عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِى يَدِى قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِى وَقَالَ لِلآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
“Ada dua orang laki-laki dari bani Israil yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat dalam beribadah. Orang yang giat dalam beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, “Berhentilah.” Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, “Berhentilah.” Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!” Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.” Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?” Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: “Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Pergilah kamu ke dalam neraka.” Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.” ([5])
Dalam riwayat Imam Muslim Allah ﷻ berkata kepada ahli ibadah tersebut,
مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ، فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ
“Barang siapa yang bersumpah atas nama-Ku bahwasanya aku tidak akan mengampuni si Fulan? Ketahuilah sesungguhnya aku telah mengampuni si Fulan dan telah memutuskan amal perbuatanmu.” ([6])
Oleh karenanya rahmat Allah sangat luas, sehingga Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling memberikan harapan kepada para pelaku dosa dengan beberapa sisi sebab yang telah kita sebutkan.
- Adh-Dhuha : 5
Allah ﷻ berfirman,
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5)
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuha : 5)
Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang sangat memberikan harapan bagi para pelaku dosa adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah bahwa beliau berkata,
إِنَّكُمْ يَا مَعْشَرَ أَهْلِ الْعِرَاقِ تَقُولُونَ: أَرْجَى آية في القرآن: {قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا} الآية. لَكِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ نَقُولُ: إِنَّ أَرْجَى آيَةٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ {وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى} وَهِيَ الشَّفَاعَةُ} الإتقان في علوم القرآن (4/ 150{(
“Sesungguhnya kalian wahai penduduk Irak berkata “Ayat yang paling memberi harapan di dalam Alquran adalah ayat ‘Qul yā ‘ibādiyallażīna asrafụ’.” Akan tetapi kami Ahlul Bait (keluarga Nabi) berkata “Sesungguhnya ayat yang paling memberi harapan adalah firman Allah di dalam Alquran ‘Wa lasaufa yu’ṭīka rabbuka fa tarḍā’ yaitu syafaat“. ([7])
Jadi yang dimaksud oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Dan tentunya syafaat Nabi Muhammad ﷺ sangatlah memberikan harapan bagi umat beliau. Kita juga tahu bahwa Allah tidak akan mengecewakan beliau pada hari kiamat. Oleh karenanya Nabi Muhammad ﷺ akan memberikan syafaat kepada umatnya. Dalam sebuah hadits beliau bersabda,
وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا
“Dan sesungguhnya aku menyembunyikan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat. Dan insya Allah syafaatku akan mencakup orang yang mati dari kalangan umatku yang tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun.” ([8])
Oleh karenanya barang siapa yang meninggal dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah ﷻ, maka dia adalah orang yang bisa meraih syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga semakin seseorang ikhlas, semakin mudah untuk mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karenanya Abu Hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ القِيَامَةِ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ
“Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini, karena aku lihat betapa perhatian dirimu terhadap hadits. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya“. ([9])
Maka yakinlah bahwa tatkala seseorang beribadah dan beramal saleh, namun tidak diceritakan, tidak mengharapkan sanjungan atau pengakuan orang lain, maka tentu orang tersebut akan semakin mudah untuk mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Adapun orang yang tatkala beramal saleh senantiasa memamerkan ibadah-ibadahnya melalui media-media offline ataupun online dengan niat riya’, maka tentu orang tersebut akan jauh dari syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Karena rasa ingin dipuji dan disanjung sangat bisa mengurangi keikhlasan seseorang.
Di antara orang-orang yang mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ adalah para pelaku dosa besar. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
“Syafaatku untuk umatku yang berbuat dosa-dosa besar.” ([10])
Tentunya dalil-dalil ini sangat memberi harapan bukan hanya kepada pelaku dosa kecil, melainkan juga kepada pada pelaku dosa besar. Akan tetapi perlu diingat bahwa syafaat tersebut bisa diraih dengan syarat seseorang harus ikhlas dan meninggal tanpa berbuat syirik kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya saya ingatkan kepada saudaraku sekalian bahwa hendaknya kita mempelajari tentang apa itu syirik dan jenis-jenis syirik secara detail. Sehingga dengan mempelajari hal tersebut membuat kita bisa menghindari perbuatan-perbuatan syirik. Sebagaimana pepatah arab mengatakan,
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri darinya. Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka dia akan terjerumus ke dalamnya.”
Selama seseorang meninggal dalam keadaan tidak memiliki dosa syirik, maka besar kemungkinan dia akan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ. Kita sangat tahu bagaimana sayangnya Nabi Muhammad ﷺ kepada umatnya. Tentu Nabi Muhammad ﷺ akan berusaha memberikan syafaatnya kepada umatnya meskipun tidak semua orang bisa mendapatkannya.
- An-Nisa’: 48
Pendapat yang ketiga ini dibawakan oleh Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai Zainal ‘Abidin rahimahullah. Beliau berpendapat bahwasanya,
وَأَرْجَى آيَةٍ فِي الْقُرْآنِ لِأَهْلِ التَّوْحِيدِ {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ} الْآيَةَ
“Dan Ayat yang paling memberi harapan bagi ahli tauhid adalah firman Allah, ‘ innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī’.” ([11])
Yaitu firman Allah ﷻ,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena menyekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa menyekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena menyekutukan -Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa : 116)
Artinya adalah jika ada orang yang meninggal dunia dalam keadaan berbuat syirik, maka tidak akan diampuni dosanya dan dia kekal di neraka Jahanam. Adapun jika ada orang yang meninggal dunia dan tidak pernah berbuat syirik, maka sangat mungkin baginya diampuni dosa-dosanya. Sehingga tidak bisa bagi seseorang memvonis orang lain masuk neraka meskipun orang tersebut mati di atas kemaksiatan. Karena menurut akidah Ahlusunah waljamaah, semua orang yang melakukan dosa besar selain syirik, maka mereka berada di bawah kehendak Allah ﷻ. Jika Allah berkehendak maka Allah akan mengazabnya, dan jika Allah berkehendak dia pun bisa diampuni.
Oleh karenanya selama seseorang bertauhid kepada Allah, maka masih ada kemungkinan dosa-dosanya akan diampuni meski sebesar apa pun. Kalaupun di antara mereka ada yang diazab, maka ketahuilah bahwa azab mereka tidaklah kekal. Pemahaman ini tentunya berbeda antara Ahlusunah dengan pemahaman orang-orang Khawarij dan Muktazilah. Akidah Ahlusunah tentang pelaku dosa-dosa besar adalah mereka berada di bawah kehendak Allah ﷻ. Jika Allah berkehendak maka akan di azab, dan jika Allah berkehendak maka akan diampuni. Sehingga meskipun seseorang mati dalam keadaan bermaksiat, tidak bisa seorang Ahlusunah memvonis orang tersebut masuk neraka, karena orang tersebut berada di bawah kehendak Allah ﷻ. Akan tetapi orang-orang Khawarij berkeyakinan bahwa pelaku dosa-dosa besar adalah kafir dan kekal di neraka. Juga orang-orang Muktazilah mengatakan bahwa pelaku dosa-dosa besar bukan muslim dan bukan kafir namun tempat kembalinya adalah neraka.
- An-Nur : 22
Pendapat ini dibawakan oleh Ibnul Mubarak, bahwa ayat yang paling memberi harapan adalah firman Allah ﷻ,
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur : 22)
Ayat ini asalnya turun kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dalam kisah dituduhnya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berzina dengan Shofwan bin Mu’atthal as-Sulamy. Ketika itu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha terlambat kembali ke Madinah dalam safar karena mencari kalungnya. Rombongan musafirin mengira bahwa ‘Aisyah telah berada di keranda untanya, namun ternyata beliau tidak berada di keranda. Karena pada waktu itu ‘Aisyah masih kurus sehingga ada atau tidaknya beliau di dalam keranda tidak jauh berbeda. Sehingga berangkatlah rombongan tanpa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Ketika ‘Aisyah telah kembali dari mencari kalungnya, ternyata dia mendapati rombongan telah pergi. Akhirnya ‘Aisyah menunggu hingga pagi di tempat tersebut. Kemudian ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditemukan oleh Shofwan al-Mu’aththal as-Sulamy yang memang bertugas di bagian belakang barisan untuk berjaga-jaga jika ada barang yang tertinggal. Ketika Shofwan menemui ‘Aisyah, maka dia menaikkan ‘Aisyah ke atas untanya dan menuntunnya masuk ke kota Madinah di siang hari.
Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha masuk ke kota Madinah di siang hari tidak ditemani oleh suaminya Rasulullah ﷺ, maka orang-orang munafik kemudian menuduhnya telah berzina dengan Shafwan al-Mu’atthal as-Sulamy. Fitnah ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan, dan Nabi Muhammad ﷺ sendiri bingung karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka orang-orang munafik kemudian memprovokasi orang-orang di Madinah dengan menyebarkan berita dusta tersebut. Ternyata sebagian para sahabat terprovokasi dengan fitnah tersebut, di antaranya adalah Misthah radhiallahu ‘anhu.
Misthah adalah sahabat yang mulia dan juga sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu Dia adalah salah seorang sahabat yang miskin, dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang senantiasa memberinya nafkah. Perbuatan Misthah terhadap keluarga Abu Bakar dalam bahasa kita dikenal dengan ungkapan “Air susu dibalas air tuba“. Hal ini karena selama itu Misthah diberikan nafkah oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, akan tetapi dia ternyata ikut mencela ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, anaknya Abu Bakar. Maka Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pun marah kepada Misthah karena mempercayai berita dusta tersebut. Ketika telah berlalu kurang lebih satu bulan, maka turunlah firman Allah ﷻ yang membela ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dan beliau pun bersih dari tuduhan zina tersebut.
Ketika tuduhan telah dibebaskan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka Abu Bakar radhiallahu ‘anhu karena masih marah kepada Misthah, maka dia berkata,
وَاللَّهِ لاَ أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ الَّذِي قَالَ لِعَائِشَةَ مَا قَالَ
“Demi Allah, aku tidak akan pernah memberi bantuan sedikit pun kepada Misthah selamanya setelah dia menuduh ‘Aisyah dengan apa yang dia katakan.” ([12])
Maka kemudian Allah menegur Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan firmannya,
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur : 22)
Di dalam ayat ini terjadi perubahan kata ganti orang ketiga menjadi kata ganti orang kedua. Sehingga meskipun ayat ini turun kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, akan tetapi ayat ini juga berlaku bagi seluruh umat Islam. Sisi dari ayat ini yang memberikan pengharapan adalah ketika seseorang mau memaafkan orang lain, berlapang dada, dan melupakan kesalahan orang lain, maka semoga Allah ﷻ juga akan memaafkannya. Dalam ayat ini juga Allah menjelaskan tingkatan dari memaafkan. Ada tingkatan sekedar memaafkan dan ada yang lebih darinya, yaitu memaafkan dan berlapang dada. Oleh karenanya akhlak mulia yang paling susah adalah berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepada kita. Memang benar bahwa memaafkan itu adalah sesuatu yang berat, akan tetapi jika seseorang bisa memaafkan dan melupakan (berlapang dada) maka tentu itu lebih baik.
Alasan lain yang menjadikan ayat ini memberikan harapan besar bagi pelaku dosa adalah karena kita sadar bahwa diri kita sendiri memiliki banyak dosa. Mungkin di antara kita ada yang senantiasa beristigfar di dalam salatnya, di dalam zikir pagi petang, di jalan, atau di mana pun, akan tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa dosa kita diampuni seluruhnya. Karena istigfar sendiri maknanya adalah seseorang meminta kepada Allah magfirah. Al-Maghfirah adalah seseorang memohon kepada Allah agar ditutup dosa-dosanya, dan dihilangkan dampak buruk dari dosa-dosa. Karena dosa sangat mudah dibongkar oleh Allah, dan memberikan dampak burik bagi pelakunya. Kata Al-Maghfirah diambil dari kata mighfar yang artinya adalah sebuah penutup kepala yang dipakai seorang prajurit yang memiliki fungsi menutup kepala dan menghalangi dari hantaman pedang musuh. Dan tidak semua penutup kepala disebut mighfar, karena mighfar memiliki syarat dua fungsi di atas. Maka demikianlah makna dari istigfar yaitu seseorang memohon kepada Allah untuk ditutup aib-aibnya di dunia maupun di akhirat, dan agar dijauhkan dari dampak buruk dosa-dosanya. Oleh karenanya istigfar belum menjamin dosa-dosa kita diampuni oleh Allah. Bisa jadi ada sebagian dosa-dosa yang belum Allah ampuni dengan istigfar namun Allah akan mengampuninya dengan cara-cara yang lain. Di antara bentuk pengampunan Allah ﷻ yang lain adalah dengan memaafkan orang lain. Jika Allah menakdirkan ada orang menzalimi diri kita, maka hendaknya kita memaafkannya. Karena hal tersebut bisa menjadi kesempatan untuk diampuni dosa-dosa kita yang sebelumnya belum terampuni dengan istigfar. Oleh karenanya Ibnul Mubarak mengatakan bahwa ayat ini paling memberi harapan kepada para pelaku dosa, karena dosa-dosa dapat diampuni dengan mengampuni orang lain.
- At-Taubah 102
Abu Utsman An-Nahdy rahimahullah menganggap bahwa ayat yang paling memberikan harapan di dalam Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ,
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah : 102)
Ayat ini bercerita tentang suatu kaum yang mencampur amal kebaikan dengan amal keburukan. Akan tetapi ayat ini mengajarkan bahwa selama seseorang mengakui dosa-dosanya, maka masih memungkinkan untuk Allah ﷻ mengampuni dosa-dosanya. Oleh karenanya Allah memulai ayat dengan menyebutkan bahwa ada sebagian orang yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka memiliki kebaikan-kebaikan, namun amal kebaikan tersebut tercampur dengan amal keburukan, dan kebanyakan manusia saat ini masuk dalam kategori ini. Hal ini dikarenakan tidak ada di antara kita yang bisa menjaga pendengarannya, pandangannya, lisan dan tangannya secara penuh. Bahkan terkadang kita menggunakan semua itu untuk sesuatu keburukan. Oleh karenanya ayat ini sangat memberi harapan karena selama seseorang mengakui dosa-dosanya, maka ada harapan dosa-dosanya diampuni oleh Allah. Bahkan Allah menutup firman-Nya dengan menyebutkan sifat dan nama-Nya yang agung.
- Ar-Ra’d : 6
Abu Ja’far An-Nahhas rahimahullah mengatakan bahwa ayat yang paling memberikan harapan bagi para pelaku dosa adalah firman Allah ﷻ,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ وَقَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمُ الْمَثُلَاتُ وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ لِلنَّاسِ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَإِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan mereka meminta kepadamu agar dipercepat (datangnya) siksaan, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksaan sebelum mereka. Sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia atas kez haliman mereka, dan sungguh, Tuhanmu sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Ar-Ra’d : 6)
Di bagian akhir ayat ini Allah mengatakan bahwa Dia memiliki ampunan bagi orang-orang yang berbuat zalim. Meskipun Allah menutup firman-Nya dengan penegasan akan azabnya yang pedih terhadap orang-orang zalim, akan tetapi Allah memiliki ampunan yang sangat luas bagi mereka. Oleh karenanya janganlah seseorang yang berbuat zalim baik terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain untuk berputus asa, karena sesungguhnya ayat ini menegaskan bahwa Allah ﷻ memiliki ampunan kepada mereka.
- Asy-Syura : 30
Allah ﷻ berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura : 30)
Terdapat dua sisi dalam ayat ini sehingga menjadi ayat yang paling bisa memberi harapan bagi para pelaku dosa. Sisi pertama adalah Allah mengatakan “Dan Allah memaafkan banyak kesalahan“. Ini menunjukkan bahwa banyak dosa kita yang tidak dianggap oleh Allah ﷻ. Allah sungguh Maha Baik kepada hamba-hamba-Nya. Ketika seorang melakukan satu kebaikan, maka Allah hitung menjadi sepuluh kali lipat kebaikan, atau tujuh puluh kali lipat, atau tujuh ratus kali lipat, atau tidak terhingga. Akan tetapi ketika seseorang bermaksiat, maka Allah hanya menghitung maksiat tersebut dengan satu dosa. Terlebih lagi sebagaimana dalam ayat ini bahwa Allah banyak mengampuni dosa-dosa. Sisi kedua adalah sebagian dosa yang belum diampuni, Allah menyegerakan hukumannya di dunia berupa musibah-musibah. Sehingga kelak seseorang tidak akan merasakan siksaan di akhirat.
Oleh karenanya tidak ada yang menimpa seorang muslim, baik itu kekhawatiran, gundah gulana, sakit, dan segala yang menyusahkannya kecuali akan mengurasi dosa-dosanya. Maka dari sebagian para salaf mengatakan bahwa ayat ini sangat memberi harapan kepada kita semua. Karena kita tahu bahwa terkadang kita merasakan kegelisahan, kekhawatiran, kesedihan, sakit. Sehingga dengan hal tersebut akan mengurangi dosa-dosa kita. Oleh karenanya dalam salah satu hadits Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat.” ([13])
Sebagian mungkin berpikir bahwa dari sisi manakah dalam ayat ini yang paling memberikan harapan? Sedangkan nas ayat seakan-akan memberikan ketakutan bagi seseorang yang telah berbuat dosa. Akan tetapi para salaf mengatakan bahwa sebagian dosa-dosa itu gugur dengan sebagian kesulitan yang kita hadapi tatkala di dunia.
- Al-Baqarah : 282
Ayat yang paling memberikan harapan adalah ayat tentang hutang. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apa-bila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
Al-Iman As-Suyuti rahimahullah berkata,
آيَةُ الدَّيْنِ وَوَجْهُهُ أَنَّ اللَّهَ أَرْشَدَ عِبَادَهُ إِلَى مَصَالِحِهِمُ الدُّنْيَوِيَّةِ حَتَّى انْتَهَتِ الْعِنَايَةُ بِمَصَالِحِهِمْ إِلَى أَمْرِهِمْ بِكِتَابَةِ الدَّيْنِ الْكَثِيرِ والحقير فمقتضى ذلك ترجى عَفْوُهُ عَنْهُمْ لِظُهُورِ الْعِنَايَةِ الْعَظِيمَةِ بِهِمْ.
“Ayat tentang hutang menunjukkan perhatian Allah ﷻ dalam menjelaskan kemaslahatan hamba-hamba tentang perkara yang bersifat duniawi kepada mereka sampai-sampai perhatian itu tercermin dalam perintah untuk menulis utang, baik yang sedikit maupun yang banyak. Hal itu menunjukkan bahwa besarnya pengharapan ampunan dari-Nya untuk mereka karena besarnya perhatian-Nya kepada mereka.” ([14])
Jadi maksud ayat ini adalah Allah memerintahkan seseorang tatkala di dunia untuk betul-betul memperhatikan urusan utang ini secara detail, sehingga kelak Allah ﷻ memperhatikan urusannya di akhirat. Tentunya hal tersebut memberikan pengharapan bagi para hamba.
- An-Nisa : 31
Di antara ayat yang memberikan harapan adalah firman Allah ﷻ,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa : 31)
Ayat ini menjelaskan bahwa syarat agar seseorang diampuni dosa-dosanya adalah dengan menjauhi dosa-dosa besar. Secara zahir ayat ini, Allah tidak mensyaratkan seseorang untuk dihapuskan dosanya dengan meminta maaf atau bertobat. Sehingga ketika ada orang yang selama ini terjerumus dalam dosa-dosa kecil dan dia senantiasa menjauhi dosa-dosa besar, maka -insya Allah- Allah ﷻ akan mengampuni dosa-dosanya meskipun dia tidak meminta ampunan. Oleh karenanya ayat ini dianggap menjadi ayat yang paling memberikan harapan kepada pelaku dosa.
Tentunya dosa-dosa besar sangat banyak. Sehingga ayat ini secara tidak langsung mensyaratkan agar seseorang mempelajari apa-apa saja yang termasuk dosa-dosa besar agar seseorang bisa menjauhinya. Di antara buku yang menjelaskan akan hal itu adalah kitab Al-Kabair karya Imam Adz-Dzhabi rahimahullah yang berisikan tujuh puluh dosa-dosa besar. Ketika seseorang telah mempelajari dan mengetahui, kemudian menjauhi dosa-dosa besar tersebut, maka insya Allah dosa-dosa kecil tidak akan dianggap oleh Allah ﷻ. Sehingga selama seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak melakukan dosa-dosa besar, maka masih ada kemungkinan besar Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil meskipun dia tidak meminta ampunan untuk hak tersebut.
- Fathir : 32-35
Di antara ayat yang paling memberikan pengharapan adalah firman Allah ﷻ,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ، جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ، وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ، الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلَا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (Mereka akan mendapat) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.” (QS. Fathir : 32-35)
Menurut Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwaul Bayan yang merupakan buku tafsir yang sangat indah mengatakan bahwa ayat ini paling memberi harapan kepada pelaku dosa([15]). Karena di dalam ayat ini, Allah bercerita tentang tiga golongan para penghuni surga. Yang pertama adalah orang-orang yang menzalimi diri sendiri, yang kedua adalah Al-Muqtashid (orang-orang pertengahan), dan yang ketiga adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.
Di ayat ke-32 Allah memulai firmannya ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami“. Maksudnya adalah Allah ﷻ menahan Al-Qur’an untuk diturunkan kepada umat selain umat Islam. Sehingga Allah tidak menurunkan Al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun hamba-hamba yang dipilih untuk diberikan kitab Al-Qur’an dibagi menjadi tiga golongan yaitu, pertama adalah orang-orang yang menzalimi diri sendiri (para pelaku dosa), yang kedua adalah Al-Muqtashid (orang-orang pertengahan), dan yang ketiga adalah orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.
Dari sini kemudian para ulama mengatakan bahwa model orang itu terbagi atas tiga model,
Pertama, Orang yang menzalimi diri mereka sendiri. Yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan maksiat. Baik dengan meninggalkan kewajiban ataupun melakukan yang dilarang.
Kedua, Orang-orang pertengahan. Yaitu orang yang mencukupkan diri dengan hal yang wajib dan menjauhi yang dilarang, sehingga hal-hal sunah mereka tinggalkan dan yang makruh mereka kerjakan.
Ketiga, Orang-orang berlomba-lomba berbuat kebaikan. Yaitu orang-orang yang mengerjakan yang wajib dan sunah, dan meninggalkan yang haram dan yang makruh. Sehingga mereka senantiasa berlomba-lomba beramal saleh dengan izin Allah.
Inti ayat ini adalah firman Allah ﷻ, جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا “(Mereka akan mendapat) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya“. Para ulama berkata tentang huruf و dalam kata يَدْخُلُونَهَا
حُقَّ لِهَذِهِ الْوَاوِ أَنَّ تُكْتَبَ بِمَاءِ الْعَيْنَيْنِ
“Huruf و ini berhak ditulis dengan air mata.” ([16])
Alasannya adalah karena Allah mengatakan bahwa mereka semua akan masuk surga. Ini artinya ketiga-tiga golongan orang tersebut akan masuk surga, termasuk orang yang menzalimi dirinya sendiri (para pendosa). Itu menunjukkan bahwa ayat tersebut benar-benar memberikan harapan bagi para pelaku dosa.
Beberapa sisi yang membuat ayat ini sangat memberikan harapan antara lain, sisi pertama adalah Allah mendahulukan penyebutan orang-orang zalim (pelaku dosa) sebagai penghuni surga. Mengapa Allah tidak menyebutkan terlebih dahulu orang-orang yang berlomba dalam kebaikan? Para ulama mengatakan bahwa karena kebanyakan model manusia adalah model yang pertama yaitu zalim terhadap diri sendiri. Bahkan ketika Allah menyebutkan tentang golongan orang-orang yang berlomba dalam kebaikan, Allah menyebutkan dengan lafal “Dengan izin Allah” agar orang-orang dengan model tersebut tidak ujub, karena sejatinya Allah-lah yang membuat mereka bisa melakukan itu semua.
Para ulama khilaf tentang siapakah orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang bermaksiat namun tidak melakukan dosa-dosa besar, sebagian mengatakan bahwa mereka adalah pelaku dosa-dosa kecil dan besar, dan sebagian mengatakan bahwa mereka adalah orang yang tidak menzalimi orang lain.
Sisi yang kedua adalah tatkala mereka masuk surga, dengan seketika mereka akan memakai gelang-gelang dari emas dan mutiara, kemudian memakai pakaian dari sutra. Padahal, laki-laki di dunia diharamkan mengenakan hal-hal tersebut. Dari sini para ulama seperti Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadhir menyimpulkan bahwa tatkala seseorang masuk surga, maka dia akan mendapatkan kenikmatan langsung tanpa tertunda sedikit pun([17]). Oleh karenanya Imam Ahmad juga pernah ditanya,
متى يجدُ العبدُ طعْمَ الراحه؟ قل: عند أول قدم يضعها في الجنة
“Kapan seorang hamba dapat (waktu) istirahat? Beliau menjawab: “saat pertama kali kaki dia menginjak surga“. ([18])
Kemudian sisi yang ketiga adalah seseorang tidak akan merasakan lagi kesedihan sebagaimana yang dirasakannya di dunia. Di dunia sangat banyak sebab-sebab datangnya kesedihan. Akan tetapi ketika seorang hamba telah masuk surga, maka akan hilang segala kesedihan. Oleh karenanya mereka mengatakan,
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ، الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلَا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
“Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri (Maha memberi balasan), yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.” (QS. Fathir : 34-35)
Di dalam ayat ini juga menjelaskan bahwasanya tempat tinggal yang sebenarnya bagi para hamba adalah di akhirat. Sehingga dunia ini pasti akan kita tinggalkan. Orang-orang yang telah masuk surga tidak akan merasakan lelah dan lesu. Kata نَصَبٌ dalam bahasa Arab maknanya adalah kesusahan tatkala sedang berbuat, sedangkan لُغُوبٌ maknanya adalah kesusahan setelah berbuat. Dua model kesusahan ini tidak akan dialami oleh penghuni surga.
Demikianlah pembahasan kita tentang beberapa ayat-ayat pemberi harapan bagi para pelaku dosa dan kepada kita semua. Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam surga-Nya dengan karunia dan ampunan-Nya.
FOOTNOTE:
_________
([1]) HR. Bukhari 8/8 no. 5999
([2]) HR. Al-Hakim 4/618 no. 8715
([3]) Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran 4/149
([4]) HR. Muslim 4/2118 no. 2766
([5]) HR. Abu Daud 4/276 no. 4901
([6]) HR. Muslim 4/2023 no. 2621
([7]) Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran 4/150
([8]) HR. Muslim 1/189 no. 199)
([10]) HR. Tirmidzi 4/625 no. 2436
([11]) Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran 4/150
([12]) HR. Bukhari 6/105 no. 4750)
([13]) HR. Muslim 4/1993 no. 2575
([14]) Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran 4/152
([15]) Lihat: Adwaul Bayaan, as-Syinqithy 5/489-490
([16]) Lihat: Adwaul Bayaan, as-Syinqithy 5/490