Mengusap Jabīrah (Perban atau Semisalnya)
Pada asalnya yang disebut sebagai jabīrah adalah sesuaatu yang digunakan untuk membalut tulang yang patah. Adapun menurut ‘urf (umumnya anggapan) ulama ahli fiqh adalah sesuatu yang diletakan pada anggota ibadah bersuci (seperti wudhu), karena adanya suatu kebutuhan tertentu. Misalnya gips yang digunakan untuk menambal tulang yang patah atau dapat pula berupa perban yang digunakan pada anggota badan yang terluka. Maka mengusap yang semacam ini dapat menggantikan kewajiban membasuh. Sebagai contoh, seandainya ada seseorang yang akan berwudhu, sedang di tangannya ada perban yang digunakan untuk menutupi luka pada tangannya tersebut, maka mengusap perban dapat menggantikan membasuh tangan bagi orang tersebut. ([1]) Demikian juga jika ia mandi junub, maka cukup mengusap bagian perban tersebut sebagai ganti dari membasuh tangannya.
Adapun dalil yang menyebutkan bolehnya mengusap jabiirah (perban) adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu:
خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ: «قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ علَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا »
“Kami keluar untuk bersafar, kemudian salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian orang tersebut mimpi basah, lalu orang tersebut bertanya kepada para sahabatnya: “Apakah kalian mendapati keringanan bagiku untuk melakukan tayamum?” Mereka menjawab: “Kami tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu sementara kamu mampu untuk menggunakan air.” Kemudian orang tersebut mandi, lalu meninggal. Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau diberi tahu tentang hal ini, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya jika mereka tidak tahu, sesungguhnya obat tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum dan menutup lukanya tersebut dengan potongan kain, kemudian dia mengusap di atasnya” ([2])
Luka pada anggota wudhu
Terdapatnya luka pada anggota wudhu terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Pertama: Luka tersebut dalam keadaan terbuka dan tidak membahayakan baginya jika terkena air. Dalam keadaan ini tetap wajib untuk membasuh anggota badan yang luka tersebut.
Kedua: Luka tersebut terbuka akan tetapi dapat membahayakan jika terkena air. Dalam keadaan ini wajib untuk mengusap anggota badan tersebut tanpa harus membasuhnya.
Ketiga: Luka tersebut terbuka dan dapat membahayakan jika dibasuh maupun diusap, dalam keadaan ini maka cukup dengan diberi tayamum([3])
Keempat: Luka tersebut tertutup oleh perban atau semacamnya, dalam keadaan ini maka yang diusap adalah penutup luka, sebagai ganti membasuh anggota badan yang di bawahnya. ([4])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Buhuuts wa Fatawa fii Mashi ‘alal-Khuffain 1/ 49
Pertama : Jika ada anggota wudhu yang tidak mungkin dibasuh tatkala wudhu atau mandi namun masih mungkin untuk diusap maka usapan tersebut menggantikan basuhan. Contoh ada luka yang terbuka masih mungkin untuk diusap namun tidak bisa dibasuh, maka tatkala itu cukup diusap. Demikian juga jika ada luka yang dibalut dengan perban atau gips maka cukup diusap sebagai pengganti basuhan.
Kedua : Jika anggota tubuh tersebut tidak mungkin untuk diusap (apalagi dibasuh), seperti luka parah yang terbuka, maka ada dua pendapat di kalangan para ulama :
- Mayoritas ulama berpendapat bahwa “pembasuhan”bagian tubuh tersebut diganti dengan tayammum. Contoh dia ingin berwudhu, maka dia berwudhu seperti biasa hanya saja bagian yang terluka tidak terkena air sama sekali, maka sebagai penggantinya ia bertayammum. Maka dengan demikian ia menggabungkan wudhu dan tayammum. Demikian juga misalnya ia ingin mandi janabah, sementara bagian lukanya tidak boleh tersentuh air dan tidak boleh diusap. Maka ia mandi dengan membasuh bagian tubuh yang mungkin untuk dibasuh, sementara bagian yang terluka diganti dengan tayammum. Maka ia telah menggabungkan antara mandi dan tayammum. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dan dalam hal ini boleh mendahulukan tayammum sebelum wudhu/mandi, atau sebaliknya mendahulukan wudhu/mandi sebelum tayammum.
- Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban mengusap bagian tubuh tersebut gugur, dan tidak perlu diganti dengan tayammum. Maka dalam contoh yang sebelumnya ia cukup wudhu saja dengan membasuh bagian tubuh yang mungkin ia basuh tanpa tayammum. Demikian juga ketika mandi ia cukup membasuh anggota tubuh yang mungkin untuk dibasuh tanpa tayammum. Dan pendapat ini lebih kuat wallahu a’lam karena tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan digabungkannya dua cara berthaharah dalam sekali waktu. Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama (tentang menggabungkan antara tayammum dan mandi junub) maka haditsnya dhoif (Lihat https://almosleh.com/ar/16714)