Berkumur-kumur, menghirup air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkan air tersebut (istintsar) ([1])
Hukum madhmadhoh, istinsyaq dan istinstar adalah sunnah. ([2])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Perselisihan ulama dalam masalah (berkumur-kumur) dan istinsyaq.
Ada dua pendapat yang kuat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Tidak wajib berkumur-kumur dan istinsyaq, tetapi sunnah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama,
Ibnu al-Humam (ulama madzhab Hanafi) ketika menjelaskan sunah-sunah thoharoh menyebutkan beberapa perkara di antaranya adalah berkumur dan istinsyaq. (Lihat: Fathul Qodir 1/25)
Al-Qorrofi (ulama madzhab Maliki) mengatakan ketika menjelaskan sunnah-sunah wudhu di antaranya menyebutkan berkumur dan istinsyaq. (Lihat: Adz-Dzakhiroh 1/174-175)
Hal serupa juga dikatakan oleh imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa dalam madzhab syafi’i berkumur dan istinsyaq adalah sunnah, ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat: al-Majmu; 1/362)
Dalil-dalil yang menjelaskan tidak wajibnya berkumur dan istinsyaq sangat banyak, di antaranya adalah:
Pertama: Firman Allah Ta’āla:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak berwudhu maka basuhlah wajah kalian.” (Al-Maidah 6)
Ayat ini merupakan dalil wajibnya berwudhu, di dalamnya terdapat penyebutan membasuh wajah, tetapi tidak ada penyebutan berkumur dan istinsyaq. Jika dikatakan keduanya termasuk bagian wajah, maka kurang tepat, karena wajah tidaklah dinamakan dengan wajah kecuali untuk muwaajahah (berhadapan), sedangkan yang ada di dalam mulut dan hidung bukanlah untuk muwajahah, maka tidak bisa dinamakan wajah.
Kedua: Adapun dari sunnah maka ada hadits dari Ibnu Abbas:
الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ سُنَّةٌ
“Berkumur dan istinsyaq adalah sunnah” (HR. Ad-Daruquthni No. 282)
Akan tetapi dikatakan bahwa hadits ini lemah, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Ismail bin Muslim dan Al-Qoshim bin Ghusn, mereka dikatakan lemah. (Lihat: Al-Khilafiyyat Bainal Imamain Asy-Syafi’i Wa Abi Hanifah 1/158)
Ketiga: Dan juga riwayat:
«فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ»
“Berwudhulah sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkanmu”. (HR. Abu Dawud No. 861)
Sisi pendalilannya bahwa sabda Rasulullah “Sebagaimana Allah memerintahkanmu”, yaitu menunjukkan perintah yang ada pada surat al-Maidah ayat 6 dan seperti yang dijelaskan dalam pendalilan pertama bahwa di dalamnya tidak ada penyebutan berkumur dan istinsyaq, karena di dalamnya hanya disebutkan wajah, hal ini dikuatkan dengan riwayat Rifa’ah bin Rafi’:
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ،
“Tidak sempurna shalat salah satu di antara kalian sampai menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla. Dengan membasuh wajah dan kedua tangan sampai siku. Dan mengusap kepala. Dan (membasuh) kedua kaki sampai mata kaki” (HR. Abu Dawud No. 858)
Dan di sini tidak disebutkan berkumur dan istinsyaq.
Keempat: Dan juga diklaim bahwa ini adalah ijma’. Berkata Imam Syafi’i mengklaim hal ini adalah suatu yang disepakati dan tidak ada perselisihan, walaupun beliau sangat menyukai berkumur dan istinsyaq:
وَلَمْ أَعْلَمْ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ عَلَى الْمُتَوَضِّئِ فَرْضًا وَلَمْ أَعْلَمْ اخْتِلَافًا فِي أَنَّ الْمُتَوَضِّئَ لَوْ تَرَكَهُمَا عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا وَصَلَّى لَمْ يُعِدْ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَبْدَأَ الْمُتَوَضِّئُ بَعْدَ غَسْلِ يَدَيْهِ أَنْ يَتَمَضْمَضَ وَيَسْتَنْشِقَ ثَلَاثًا
“Aku tidak mengetahui wajibnya berkumur dan istinsyaq bagi orang yang berwudhu, aku juga tidak mengetahui ada perselisihan bahwa orang yang berwudhu jika meninggalkannya secara sengaja dan lupa kemudian shalat maka tidak perlu mengulangi. Dan lebih aku sukai orang yang berwudhu untuk memulai dengan berkumur dan istinsyaq setelah membasuh kedua telapak tangannya” (Al-Umm 1/39)
Berkata Ibnu Hajar tentang perkataan Imam Syafi’i tersebut:
“وهذا دليل قوي، فإنه لا يُحْفَظ ذلك عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين، إلاَّ عن عطاء، وثبَت عنه أنه رجَع عن إيجاب الإعادة”
“Ini adalah dalil yang kuat, karena hal tersebut tidak diketahui dari satupun dari kalangan sahabat dan tabi’in, kecuali dari ‘Atho. Yang benar, beliau rujuk dari pendapat wajibnya mengulang wudhu (jika meninggalkan berkumur dan istinsyaq)”. (Fathul Bari 1/262)
Berkata Ibnu Jarir:
وأنْ لا خبر عن واحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أوجب على تارك إيصال الماء في وضوئه إلى أصول شعر لحيته وعارضيه، وتارك المضمضة والاستنشاق إعادةَ صلاته إذا صلى بطهره ذلك.
“Tidak ada riwayat dari seorang pun sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mewajibkan bagi orang yang tidak memasukkan air ketika wudhunya sampai pada pangkal janggutnya dan kedua jambangnya, dan atas orang yang meninggalkan berkumur dan istinsyaq, untuk mengulangi shalatnya jika ia shalat dengan bersucinya itu.”
Kemudian beliau juga berkata:
فإن ظن ظان أن في الأخبار التي رويت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “إذا توضأ أحدكم فليستنثر”. دليلا على وجوب الاستنثار، فإن في إجماع الحجة على أن ذلك غيرُ فرض واجب
“Jika ada yang menyangka bahwa riwayat-riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: Jika salah satu dari kali berwudhu maka ber-istintsar-lah, dijadikan dalil atas wajibnya istintsar, maka sesungguhnya dalam ijma’ terdapat hujjah bahwa hal itu bukanlah wajib.” (Jami’ul Bayan Fii Takwil Al-Quran 10/45)
Akan tetapi pernyataan ijma’ dalam masalah ini kuranglah tepat, sebab sudah ada perselisihan.
Pendapat kedua: Wajibnya berkumur-kumur dan ber-istinsyaq, ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang lain dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq.
Dalil-dalil mereka:
Pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
Sanggahan: Akan tetapi dalil ini dijawab bahwa sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Nabi tidak selalu menunjukkan wajib.
Jawaban: Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini adalah bentuk penjelasan dari perintah Allah dalam berwudhu, maka perintah membasuh wajah di dalam ayat yang masih mujmal (global), dijelaskan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa membasuh wajah termasuk juga berkumur dan istinsyaq.
Kedua:
Allah Ta’ala berfirman (Dan basuhlah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah, sehingga termasuk dalam keumuman perintah Allah ta’ala.
Sanggahan: Seperti yang dijelaskan dalam dalil pertama dalam pendapat pertama, karena wajah tidak dinamakan dengan wajah kecuali untuk muwaajahah (berhadapan) dan ini tidak terjadi kecuali untuk sesuatu yang zhohir (tampak) saja, sedangkan yang ada di dalam mulut dan hidung bukanlah untuk muwajahah, sehingga tidak bisa dinamakan wajah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh at-Thobari:
وَالْعَرَبُ لَا تُسَمِّي وَجْهًا إِلَّا مَا وَقَعَتْ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ
“Orang Arab tidaklah menamakan wajah kecuali pada sesuatu yang digunakan untuk berhadapan.” (Tafsir At-Thobari 6/84)
Jawaban: Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa wajah pada asalnya adalah “bagian yang hanya digunakan untuk berhadap-hadapan” hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dengan perbuatan beliau bahwa wajah dalam berwudhu tidak seperti wajah yang dipahami sesuai makna asal, akan tetapi sudah berubah dan mencakup berkumur dan istinsyaq.
Ketiga:
Dan juga terdapat riwayat-riwayat dari Nabi yang semuanya datang dalam bentuk perintah
- Di antaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
«إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ»
“Jika salah satu di antara kalian berwudhu maka masukkan air ke dalam hidungnya kemudian keluarkan” (HR. Muslim No. 1/212)
- Juga dari beliau:
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ
“Siapa yang berwudhu maka beristintsarlah.” (HR Ahmad no. 10718)
- Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Laqith bin Sobiroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau berwudlu maka berkumur-kumurlah” (HR Abu Daud no 144 dan Al-Baihaqi no 237, dan dishahihkan oleh Mugholthoy di Syarh Sunan Ibni Maajah 1/270 dan Al-Albani)
Sisi pendalilannya adalah semua dalil-dalil ini menggunakan perintah, sedangkan perintah menunjukkan hukum wajibnya sesuatu yang diperintahkan, kecuali ada sesuatu yang memalingkannya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar berwudhu sesuai dengan perintah Allah azza wa jalla, sedangkan termasuk dalam perintah Allah azza wa jalla adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka perintah-perintah di atas bisa dipahami makna wajib.
Sanggahan: Akan tetapi hal ini dapat dijawab seperti hal yang telah lalu oleh Ibnu Jarir:
فإن في إجماع الحجة على أن ذلك غيرُ فرض واجب
“Maka sesungguhnya dalam ijma’ terdapat hujjah bahwa hal itu bukanlah wajib.” (Jami’ul Bayan Fii Takwil Al-Quran 10/45)
Jawaban: Selagi ada perselisihan, maka tidak bisa dikatakan ijma’.
Dari semua pemaparan yang ada maka yang tampak kuat adalah pendapat tidak wajibnya berkumur dan istinsyaq.
([2]) Adapun cara melakukannya maka ada dua cara:
Pertama: Dengan menggabungkan madhmadhoh dengan istinsyaq
Maka ada dua cara:
- Melakukannya dengan 3 kali cidukan air (dengan tangan) untuk 3 kali madhmadhoh dan 3 kali istinsyaq , yaitu dengan mengambil 1 cidukan lalu berkumur dan sisanya untuk istinsyaq (memasukkan ke hidung), lalu mengambil cidukan ke 2 dan ke 3 dan melakukan hal yang sama seperti cidukan pertama.
- Melakukan hanya dengan 1 kali cidukan untuk 3 kali madhmadhoh dan 3 kali istinsyaq, maka disini ada dua cara:
- Mengambil air dengan 1 cidukan lalu melakukan madhmadhoh 3 kali dan sisanya untuk melakukan istinsyaq 3 kali.
- Mengambil air dengan 1 cidukan lalu melakukan madhmadhoh lalu istinsyaq lalu madhmadhoh lalu istinsyaq lalu madhmadhoh lalu istinsyaq.
Kedua: Memisahkan antara madhmadhoh dengan istinsyaq
Maka ada dua cara juga:
- Dengan 6 kali cidukan, 3 kali cidukan untuk madhmadhoh dan 3 kali cidukan untuk istinsyaq.
- Dengan 2 kali cidukan, 1 kali cidukan untuk 3 kali madhmadhoh dan 1 kali cidukan lagi untuk 3 kali istinsyaq.
Maka dari sini totalnya ada lima cara dalam madhmadhoh dan istinsyaq. (Lihat: al-Majmu’ 1/360-361)