Tata Cara Shalat Para Nabi Terdahulu
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Mengenai bilangan dan tata cara shalat yang dikerjakan oleh para nabi terdahulu maka para Nabi terdahulu senantiasa mendirikan shalat lima waktu sebagaimana shalat yang dikerjakan dan diajarkan oleh Jibril kepada Nabi. Hal ini berdasarkan riwayat berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حُرِّمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَاةَ بَعْدَمَا أَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتْ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، الْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَكَ
Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah bersabda: Jibril mengimamiku shalat di Baitul Haram dua kali. Dia mengimamiku shalat dzuhur ketika matahari tergelincir (dan bayang-bayang) seperti tali sendal dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika mega merah menjadi hilang dan shalat shubuh ketika diharamkan bagi oang yang puasa untuk makan dan minum. Kemudian dia mengimamiku shalat dzuhur pada keesokan harinya ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika lewat sepertiga malam dan shalat shubuh setelah waktu isfar. Kemudian dia menoleh ke arahku, seraya berkata: “Wahai Muhammad! Waktu shalat adalah antara dua waktu ini yang merupakan waktu shalat para Nabi sebelum engkau.” ([1])
Adapun umat-umat para nabi terdahulu, maka telah datang dalil yang menunjukan bahwa bani Israil shalatnya kurang dari lima waktu dalam sehari semalam. Disebutkan dalam hadits yang panjang tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ketika Nabi turun dengan membawa perintah shalat lima waktu, kemudian bertemu dengan Nabi Musa, lalu Nabi Musa menyarankan kepada beliau agar tetap meminta keringanan lagi kepada Allah agar kurang dari 5 waktu. Ibnu Rajab mengomentari hadits tersebut dengan berkata :
وفي رواية شريك، عن أنس المتقدمة: أن موسى قال لمحمد – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بعد أن صارت خمسا: (قد – والله – رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ فَتَرَكُوْهُ) وهو يدل على أن الصلوات الخمس لم تفرض على بني إسرائيل، وقد قيل: أن من قبلنا كانت عليهم صلاتان كل يوم وليلة وقد روي عن ابن مسعود، أن الصلوات الخمس مما خص الله به هذه الأمة.
Riwayat Syarik menyebutkan, dari Anas: bahwa setelah ditetapkan perintah shalat lima waktu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad, “Demi Allah, aku telah membujuk Bani Isra’il agar mengerjakan shalat yang kurang dari lima waktu, namun mereka meninggalkannya”.
Ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu tidaklah diwajibkan kepada Bani Isra’il. Dan dikatakan: sesungguhnya kaum sebelum kita diperintahkan dua shalat dalam sehari semalam. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud bahwa shalat lima waktu merupakan ibadah yang dikhususkan bagi umat ini. Wallahu a’lam. ([2])
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya: Apakah umat terdahulu diwajibkan shalat sebagaimana diwajibkannya kepada kita seperti halnya waktu dan teta cara pelaksanaannya ataukah tidak?
Maka beliau menjawab: Mereka diwajibkan shalat sebagaimana kita mendirikannya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Namun, tidak sama dengan waktu dan tatacara shalat kita. Wallahu a’lam. ([3])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar IsiPanduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) H.R. Ahmad no. 3322, Abu Dawud no. 393, Tirmidzi no. 149 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1402.
([2]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/321.
([3]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/5 dan Fatawa Al-Kubra 2/5.