مَا جَاءَ فِيْ كَثْرَةِ الْحَلِف
Tercelanya Kebanyakan Bersumpah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Maksudnya di antara adab kepada Allah ﷻ adalah seseorang tidak banyak bersumpah dengan menyebut nama-nama Allah ﷻ kecuali kepada perkara-perkara yang penting.
Adab Bersumpah:
Pertama: bersumpah dengan nama Allah ﷻ. Hal ini dikarenakan bersumpah dengan selain nama Allah adalah kesyirikan. ([1])
Kedua: harus jujur dalam bersumpah. ([2])
Ketiga: tidak bersumpah kecuali pada perkara yang penting.
Kaitan bab ini dengan tauhid adalah bahwa di antara kesempurnaan tauhid seorang hamba adalah mengagungkan Allah ﷻ. Sehingga dia tidak akan sembarangan dalam bersumpah kecuali memang penting.
Matan
Firman Allah ﷻ :
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ
“Dan jagalah sumpah kalian.” (QS. Al-Maidah: 89).
Syarah
Terdapat tiga tafsir di kalangan para ulama tentang ayat ini:([3])
Pertama: فَلَا تَحْنثُوْا jangan batalkan sumpah kalian. Artinya: jagalah sumpah kalian dengan tidak membatalkan sumpah kalian.
Kedua: janganlah kalian membatalkan sumpah kalian tanpa membayar kaffaroh([4]). Ini adalah pendapat Ibnu Jarir Ath-Thobari. ([5]) Hal ini dikarenakan ayat وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ “dan jagalah sumpah kalian” adalah akhir dari penghujung dari surah Al-Maidah ayat 89,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa jika seseorang melanggar sumpahnya adalah salah satu di antara 3 pilihan:
- Memberi makan kepada 10 fakir miskin.
- Memberi pakaian kepada mereka.
- Membebaskan budak.
Jika dia tidak mampu untuk melakukan ketiganya maka dia harus berpuasa selama 3 hari. Kemudian ketika Allah berfirman وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ “dan jagalah sumpah kalian” maka Ibnu Jarir mengatakan bahwa maksudnya adalah jangan kalian membatalkan sumpah kalian tanpa membayar kaffaroh. Karena di antara bentuk penjagaan sumpah adalah jika kalian membatalkan sumpah maka kalian harus membayar kaffaroh.
Ketiga: لاَ تَحْلِفُوا jangan kalian (sering) bersumpah. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu. Karena jika seseorang sering bersumpah maka dia akan terjatuh ke salah satu dari 2 perkara:
- Dia akan sulit untuk menunaikannya
- Mudah terjatuh ke dalam kebohongan.
Ketiga tafsiran semuanya benar([6]) akan tetapi yang dimaksud oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab adalah tafsiran yang ketiga.
Matan
Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu dapat melariskan barang dagangan namun dapat menghapus keberkahan usaha.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarah
Ini menunjukkan bahwa orang yang melariskan dagangannya dengan bersumpah maka ini tercela. Jika seseorang ingin menjelaskan dagangannya maka tidak perlu ia bersumpah. Karena orang yang sering bersumpah ketika berdagang walaupun ia jujur maka ini tetap tercela. Jadi orang yang sering bersumpah ada 2 kemungkinan:
- Dia jujur dalam sumpahnya, maka ini tercela.
- Dia berdusta dalam sumpahnya maka ini biasa disebut dengan اليَمِيْنُ الْغَمُوْس yaitu sumpah dusta untuk mengambil hak orang([7]). Hukum sumpah seperti ini adalah dosa besar. Contohnya: seseorang bersumpah “demi Allah saya hanya mendapat untung 10%” padahal ternyata dia mendapatkan untung 30%, maka dia telah menipu orang lain dan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Karena pembeli ketika mendengar bahwa penjual hanya mendapatkan 10% namun ternyata untungnya 30% maka penjual telah mengambil 20% keuntungan dengan cara dusta. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya karena orang yang berdusta dalam sumpahnya untuk mengambil hak orang lain maka dia terancam dengan neraka Jahannam, oleh karenanya dalam hadits Rasulullah ﷺ bersabda meskipun dia bersumpah hanya untuk mengambil satu batang siwak maka dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka Jahannam. Oleh karenanya jika seseorang jika ingin barang dagangannya laris maka hendaknya dia menjual dengan penjelasan seadanya dan tidak perlu berdusta. Dan jika ia jujur maka jangan memperbanyak dalam bersumpah. Karena keduanya terlarang terlebih lagi jika berbohong dan disertai dengan sumpah. Hal ini sering terjadi di pasar, oleh karenanya Rasulullah bersabda:
البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila keduanya berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan pada transaksi mereka berdua” ([8])
Seseorang jika menjual sebuah barang lalu dia menutupi kekurangan barangnya agar mendapatkan harga jual yang tinggi maka perbuatan tersebut bisa menghilangkan keberkahan transaksinya. Namun jika ia jujur dan menjelaskan kekurangan barang tersebut meskipun harganya turun akan tetapi hal tersebut akan diberkahi oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya seseorang jangan terpedaya dengan banyaknya keuntungan, akan tetapi hendaknya dia memperhatikan keberkahan dari jual belinya.
Matan
Diriwayatkan dari Salman Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ؛ أشيمط زَانٍ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَرَجُلٌ جَعَلَ اللهَ بِضَاعَتَهُ لاَ يَشْتَرِيْ إِلاَّ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَبِيْعُ إِلاَّ بِيَمِيْنِهِ
“Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat), dan mereka menerima adzab yang pedih, yaitu: orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual kecuali dengan bersumpah.” (HR. Thabrani dengan sanad yang shahih).”
Syarah
3 golongan yang tidak diajak berbicara oleh Allah ﷻ, tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih:
Pertama: orang tua yang berzina.
Zina secara umum adalah dosa yang besar entah itu dilakukan orang yang muda atau tua. Akan tetapi orang tua yang berzina lebih besar dosanya daripada anak muda. Hal ini dikarenakan faktor untuk dia berzina sudah berkurang yaitu dia sudah tua, syahwatnya telah menurun, dan seharusnya di usia tua seharusnya dia lebih dekat kepada Allah ﷻ([9])
Kedua: orang miskin yang sombong.
Hal ini dikarenakan sebab untuk dia menyombongkan dirinya sudah tidak ada. Orang yang kaya kemudian sombong maka ini wajar karenadia emmiliki sesuatu untuk dia sombongkan. Akan tetapi orang yang miskin maka apa yang mau ia sombongkan? Sebagian ulama mengatakan bahwa kesombongan (merasa tinggi) ada dua sebab:
- Faktor luar. Seperti jabatan, harta dan lainnya.
- Faktor internal (diri sendiri). Dia miskin akan tetapi tetap merasa tinggi
Keduanya tercela namun yang kedua ini lebih parah dari yang pertama. Dia tidak memiliki apa-apa saja sombong maka bagaimana lagi jika memiliki seusatu?
Ketiga: orang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya. Yaitu membeli dengan bersumpah dan menjual dengan bersumpah.
Ketiga perbuatan ini menunjukkan bahwa pelakunya akan mendapatkan dosa besar karena mereka mendapatkan ancaman tidak diajak berbicara oleh Allah ﷻ, tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih. Akan tetapi golongan yang ketiga inilah yang dibahas karena ini yang berkaitan dengan bab ini. Yaitu orang yang tidak membeli atau menjual sesuatu kecuali dia akan bersumpah. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak mengagungkan Allah ﷻ karena seakan-akan dia menjadikan Allah sebagai barang jualan. Ini menunjukkan bahwa orang ini imannya lemah dan dia berdosa dengan dosa yang besar.
Matan
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Imran bin Husain radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. قال عمران: فَلاَ أَدْرِيْ أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنَهُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً؟ ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُوْنَ، وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ، وَيَنْذُرُوْنَ وَلاَ يُوْفُوْنَ وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ
“Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku (para sahabat), kemudian generasi berikutnya (generasi tabi’in), kemudian generasi berikutnya lagi (generasi tabi’ut tabi’in)” – Imran berkata: “Aku tidak ingat lagi apakah Rasulullah ﷻ menyebutkan generasi setelah masa beliau dua kali atau tiga?” – “Kemudian akan ada setelah masa kalian orang-orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar tapi tidak memenuhi nadzarnya, dan badan mereka tampak gemuk-gemuk”.
Diriwayatkan pula dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِيْءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi yang datang berikutnya, kemudian generasi yang datang berikutnya lagi, kemudian akan datang orang-orang dimana di antara mereka kesaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
Syarah
Pada hadits-hadits ini Nabi ﷺ menyebutkan tiga generasi yang mulia yaitu generasi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ini adalah tiga generasi yang diberikan tazkiyah atau rekomendasi oleh Nabi ﷺ yang biasa disebut dengan القُرُوْنُ الثَّلَاثَةُ المُفَضَّلَة (tiga generasi mulia). Inilah yang biasa dikatakan sebagai para ulama salaf, dan para imam madzhab masuk ke dalam generasi ulama salaf yang Nabi ﷺ memuji mereka sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
Kemudian setelah generasi terbaik Nabi menyebutkan generasi setelah mereka yang tercela yaitu:
Pertama: orang-orang yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta. Artinya mereka bermudah-mudahan dalam bersumpah dalam segala hal sehingga menjadi kebiasaan mereka, akhirnya salah seorang dari mereka bersumpah pada perkara yang dia tidak diminta dan tidak perlu untuk bersumpah dan bersumpah sebelum diminta untuk bersumpah.([10]) Perbuatan ini adalah perbuatan yang tercela kecuali dalam kondisi yang memaksa dia untuk bersaksi maka ini diperbolehkan. Akan tetapi jika diperlukan dan tidak diminta maka untuk apa dia bersaksi.
Kedua: berkhianat dan tidak amanah.
Ketiga: bernadzar namun tidak menunaikannya.
Yang berkaitan dengan bab ini adalah kelompok pertama yaitu orang yang bermudah-mudah untuk bersumpah dalam persaksiannya dan kelompok ketiga ini yaitu orang yang bernadzar. Karena nadzar termasuk sumpah.
Keempat: tampak kegemukan pada diri mereka.
Timbul pertanyaan, apakah gemuk tercela secara dzatnya? Maka para ulama mengatakan maksud hadits ini adalah gemuk yang menunjukkan seseorang lalai dari akhirat dan terlena dengan dunia. ([11]) Ini adalah gemuk yang tercela yang dimaksud dalam hadits. Juga Nabi ﷺ di masa tuanya beliau mulai gemuk akan tetapi bukan karena dunia. Karena sebagian orang ada dari mereka yang mulai gemuk dikarenakan usia mereka yang mulai tua atau mungkin juga karena kurang banyak bergerak atau juga bisa karena faktor keturunan. Berkata Imam An-Nawawi menukilkan perkataan jumhur ulama tentang makna hadits ini,
الْمُرَادُ بِالسِّمَنِ هُنَا كَثْرَةُ اللَّحْمِ وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَكْثُرُ ذَلِكَ فِيْهِمْ …. قَالُوْا وَالْمَذْمُوْمُ مِنْهُ مَنْ يَسْتَكْسِبُهُ وَأَمَّا مَنْ هُوَ فِيْهِ خِلْقَة فَلَا يَدْخُلُ فِيْ هَذَا وَالْمُتَكَسِّبُ لَهُ هُوَ الْمُتَوَسِّعُ فِيْ الْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ زَائِدًا عَلَى الْمُعْتَادِ
“yang dimaksud السِّمَنُ di sini adalah badannya gemuk. Dan maknanya adalah banyak di antara mereka yang gemuk …. para ulama berkata: yang tercela dari gemuk adalah orang yang sengaja untuk menggemukkan dirinya. Adapun orang yang memang penciptaan bentuk tubuhnya gemuk maka tidak termasuk dalam celaan ini. Orang yang berusaha untuk menggemukkan dirinya adalah orang yang sengaja banyak makan dan minum melebihi dari yang seharusnya.” ([12])
Ibnu Hajar juga menjelaskan tentang hadits ini, ia berkata:
أيْ يُحِبُّونَ التَّوَسُّعَ فِي الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَهِيَ أَسْبَابُ السِّمَنِ
“yaitu mereka suka untuk banyak makan dan minum dan itu adalah sebab gemuk.” ([13])
Datang dalam riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi yang dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani, Nabi bersabda tentang generasi keempat,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ يَتَسَمَّنُونَ وَيُحِبُّونَ السِّمَنَ يُعْطُونَ الشَّهَادَةَ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلُوهَا
“Manusia terbaik adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya, setelah itu datanglah kaum yang kegemarannya mempergemuk dan suka kegemukan, mereka memberikan kesaksian sebelum mereka diminta.” ([14])
Adapun Nabi ﷺ ketika di masa tua maka badan beliau mulai agak gemuk sebagaimana disebutkan dalam sunan Ibnu Majah, Nabi bersabda :
إِنِّي قَدْ بَدَّنْتُ، فَإِذَا رَكَعْتُ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعْتُ فَارْفَعُوا، وَإِذَا سَجَدْتُ فَاسْجُدُوا، وَلَا أُلْفِيَنَّ رَجُلًا يَسْبِقُنِي إِلَى الرُّكُوعِ، وَلَا إِلَى السُّجُودِ
“Sesungguhnya aku telah gemuk, jika aku rukuk maka rukuklah, jika aku mengangkat kepala maka angkatlah kepala kalian, dan jika aku sujud maka sujudlah. Aku tidak ingin ada orang yang mendahului aku dalam rukuk dan sujud. “ ([15])
Begitu juga dalam riwayat Ummu Qois binti Mihshon
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ، اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah berusia lanjut dan badannya bertambah berat beliau memasang tiang di tempat shalatnya untuk menjadi sandaran” ([16])
Ini tentunya tidak tercela bagi Nabi ﷺ karena gemuknya beliau bukan karena faktor cinta dunia akan tetapi gemuknya beliau karena faktor usia yang tua. Adapun jika seseorang gemuknya dikarenakan kebanyakan tidur, banyak bermain, banyak makan dan minum, dan lupa akhirat maka ini tercela. Di antara perkataan menarik dari Al-Imam Syafi’i berkaitan dengan perkara ini adalah perkataan beliau,
مَا رَأَيْتُ سَمِيناً عَاقِلا إِلَّا مُحَمَّد بن الحَسَن
“aku tidak pernah melihat orang yang gemuk yang pintar kecuali Muhammad bin Al-Hasan.” ([17])
Jadi kebanyakan orang gemuk yang dijumpai oleh beliau di zamannya adalah orang-orang yang bodoh kecuali Muhammad bin Al-Hasan Asy Syaibani. Dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani adalah guru dari Imam Asy-Syafi’i juga beliau adalah muridnya Imam Abu Hanifah. Di antara ulama yang gemuk adalah Imam Waqi bin Al-Jarroh Ar-Ruasi yang beliau adalah seorang ahli hadits. Beliau adalah guru dari Sufyan At-Tsauri dan lainnya. Disebutkan dalam biografi beliau,
كانَ وَكِيعٌ أَسْمَرَ ضَخْمَاً سَمِينَاً
“bahwasanya Waki’ adalah orang yang berkulit hitam (coklat), besar, dan gemuk.” ([18])
Hingga suatu hari beliau bertemu dengan Fudhail bin ‘Iyadh dan Fudhail bin ‘Iyadh dikenal dengan orang yang sangat zuhud. Sementara Waqi bin Al-Jarroh Ar-Ruasi meskipun beliau gemuk namun beliau dikenal dengan ibadahnya yang luar biasa sampai disebutkan bahwa ada seorang ulama yang menemaninya dalam perjalanannya dan mendapati Waqi bin Al-Jarroh Ar-Ruasi senantiasa berpuasa ad-dahr (yaitu berpuasa setiap hari). Ini menunjukkan ibadahnya yang luar biasa bahkan beliau biasa mengkhatamkan Al-Quran setiap harinya. Ketika Waqi bin Al-Jarroh Ar-Ruasi bertemu dengan Fudhail bin ‘Iyadh maka Fudhail bin ‘Iyadh bertanya kepada Waki’:
مَا هَذَا السِّمَنُ وَأَنْتَ رَاهِبُ العِرَاقِ؟
“gemuk apa ini sedangkan engkau adalah Ahli Ibadahnya Iraq.”
Lalu ia menjawab dengan jawaban yang sangat indah, ia berkata:
هَذَا مِنْ فَرَحِي بِالإِسْلاَمِ،
“ini karena kebahagiaanku dengan agama Islam.” ([19])
Intinya setelah 3 generasi akan muncul orang-orang yang tidak amanah, suka berkhianat, bermudah-mudahan dalam bersumpah, bernadzar namun tidak ditunaikan, dan memberi saksi sebelum diminta.
Matan
Ibrahim (An Nakhai) berkata:
كَانُوا يَضْرِبُوْنَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ وَنَحْنُ صِغَارٌ
“mereka dahulu (para sahabat) memukul kami dalam urusan persaksian dan janji padahal kami masih kecil.”
Syarah:
Artinya mereka mengajarkan kami agar tidak sembarangan dalam bersumpah atau bersaksi dan berjanji. Jika kami berjanji maka diajarkan agar menunaikannya padahal saat itu kami masih kecil dan mereka memukul kami dalam urusan ini. Hal ini diperbolehkan dalam mengajarkan anak-anak agar mereka terbiasa untuk mengagungkan Allah ﷻ. Karena persaksian dan janji dibangun di atas pengagungan terhadap Allah ﷻ. Jika ia tidak memiliki pengagungan kepada Allah ﷻ maka ia akan asal-asalan dalam bersumpah atau bersaksi dan berjanji. Ia juga tidak tahu bahwa ia akan bertanggung jawab di hadapan Allah atas apa yang ia persaksikan dan janjikan.
Dengan demikian tidak mengapa bagi seseorang untuk mendidik anak-anaknya sesekali dengan pukulan sebagaimana Nabi ﷺ mengatakan,
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” ([20])
Jadi mereka boleh dipukul dengan pukulan didikan bukan pukulan balas dendam, mematikan atau membuat luka yang pukulan didikan tersebut ada aturannya.
Matan
Kandungan bab ini:
- Adanya wasiat dari Allah untuk menjaga sumpah.
- Penjelasan Rasulullah ﷺ bahwa sumpah itu dapat melariskan barang dagangan, tapi ia juga dapat menghapus keberkahan usaha itu.
- Ancaman berat bagi orang yang selalu bersumpah, baik ketika menjual atau membeli.
- Peringatan bahwa dosa itu bisa menjadi besar walaupun faktor yang mendorong untuk melakukannya itu kecil.
- Larangan dan celaan bagi orang yang bersumpah tanpa diminta.
- Pujian Rasulullah untuk ketiga generasi atau keempat generasi (sebagaimana tersebut dalam suatu hadits), dan memberitakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
- Larangan dan celaan bagi orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta.
- Orang-orang salaf (terdahulu) memukul anak-anak kecil karena memberikan kesaksian atau bersumpah.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ كَانَ حَالِفًا، فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barang siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan nam Allah ‘Azza wa Jalla atau dia diam” (H.R. Bukhori, No.2679, Muslim, No.1646)
([2]) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
” الكَبَائِرُ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَاليَمِينُ الغَمُوسُ “
“Dosa-dosa besar adalah: “Mensekutukan Allah ‘Azza wa Jalla, dan durhaka kepada orang tua, dan membunuh jiwa, dan bersumpah sedang ia tahu ia berdusta” (HR. Bukhori, No.6675)
([3]) Lihat: Zadu Al-Masir, Ibnu Al-Jauzi, 1/581
([4]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/177
([5]) Lihat: Tafsir At-Thobari, 10/562
([6]) Karena khilaf ini termasuk khilaf tanawwu’, bukan khilaf tadhodh. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa semua benar. Berbeda jika khilaf itu khulaf tadhodh.
Dan ciri-ciri khilaf tanawwu’ adalah sebagai berikut:
- Berbeda dalam mengungkapkan, hanyasaja maknanya sebenarnya sama.
- Menafsirkan ayat yang mencakup beberapa hal, dan mereka menafsirkannya berbeda beda. Akan tetapi mereka menyebutkannya sebagai contoh, bukan pembatasan. Yang mana sebenarnya ayat itu mencakup semua contoh yang mereka sebutkan.
(Lihat Muqoddimah Fi Ushul At-Tafsir, Ibnu Taimiyyah, hal 14)
([7]) Lihat: Fathul Qodir 2/82
([8]) HR. Bukhori No. 2110 dan Muslim No. 1532
([9]) Lihat Ikmaal Al-Mu’lim, Al-Qodhi ‘Iyadh, 1/383
([10]) Lihat : Syarh Shohihu Al-Bukhori, Ibnu Batthol, 6/113-114, Fathu Al-Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, 5/260-261
([11]) Lihat : Syarh Shohihu Al-Bukhori, Ibnu Batthol, 6/156, Fathu Al-Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, 5/260
([13]) Lihat Fathul Bari 5/260
([14]) HR. At-Tirmidzi No. 2221
([15]) HR. Ibnu Majah No. 962. Al-Albani mengatakan hadits ini shohih
([16]) HR. Abu Dawud No. 948. Al-Albani mengatakan hadits ini shohih
([17]) Lihat: Mnaqib Asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/159
([18]) Lihat: Hayatu At-Tabi’in hal: 188, Siyar A’lami An-Nubala, Adz-Dzahabi, 7/562