مَا جَاءَ فِيْ حِمَايَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَى التَوْحِيْدِ وَسَدِّهِ طُرُقَ الشِّرْكِ
Tentang Penjagaan Nabi ﷺ Terhadap Pagar Atau Sekitar Tauhid Dan Penutupan Pintu-Pintu Syirik
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Sebelumnya ada bab yang mirip dengan bab ini yaitu,
بَابُ (21) مَا جَاءَ فِيْ حِمَايَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَابَ التَوْحِيْدِ
“Bab 21 – Tentang Penjagaan Nabi ﷺ Terhadap sisi tauhid”
Apa perbedaan antara kedua bab ini? Perbedaannya adalah bahwa kata جَنَابَ “sisi” adalah bagian dari tauhid. Adapun حِمَى “pagar atau sekitar” bukan bagian dari substansi tauhid akan tetapi dia hanya bagian sekitar tauhid. Perbedaan ini dibahas agar tidak terjadi salah paham seakan-akan bab ini terulang. Sebenarnya kedua bab ini berbeda. Agar lebih jelas, perhatikan perbandingan tentang 2 hadits yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam dua bab tersebut.
Pertama: Pada bab sebelumnya (bab 21) Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab membawakan hadits berikut :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا
“jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai hari raya.” ([1])
Kedua: Adapun pada bab ini (bab 65) hadits yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab adalah tentang larangan Rasulullah kepada para sahabat yang mereka berkata kepada Nabi ﷺ أَنْتَ سَيِّدُنَا “engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)”.
Persamaan antara kedua hadits ini adalah keduanya sama-sama sarana yang menghantarkan kepada kesyirikan. Yang pertama bisa menghantarkan seseorang kepada pengagungan terhadap kuburan sehingga bisa menghantarkan kepada menyembah penghuni kubur atau memiliki keyakinan tertentu kepada penghuni kubur. Adapun yang kedua bisa menghantarkan kepada sikap berlebihan kepada Nabi ﷺ sehingga meninggikan Nabi ﷺ dari kedudukan yang sesungguhnya.
Adapun perbedaannya adalah bahwa hadits pertama menyebutkan perbuatan yang hukum asalnya adalah haram. Yaitu tidak boleh seseorang beribadah dikuburan dan dilarang menjadikan kuburan Nabi ﷺ sebagai ‘ied dengan sering mendatangi kuburannya. Adapun hadits kedua maka ia menyebutkan sebuah perbuatan yang hukum asalnya adalah boleh. Jadi hadits pertama menyebutkan perbuatan yang langsung bersinggungan dengan kesyirikan adapun yang kedua perbuatan yang tidak bersinggungan langsung dengan kesyirikan. Artinya pada hadits kedua Nabi ﷺ bukan hanya melarang seseorang dari menuju kepada kesyirikan bahkan Nabi ﷺ juga melarang dari jauh untuk menuju kepada kesyirikan. Pada asalnya perkataan seseorang أَنْتَ سَيِّدُنَا “engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)” diperbolehkan akan tetapi Nabi ﷺ melarangnya karena beliau khawatir bisa menghantarkan seseorang kepada kesyirikan. Jadi bab ini adalah penekanan dari bab sebelumnya bahwa bab ini lebih kuat pelarangannya dari bab sebelumnya.
Matan
Dari Abdullah bin Asy Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu ([2])berkata:
انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: «السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى» قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ»
“Aku datang bersama suatu delegasi Bani Amir([3]) kepada Rasulullah ﷺ, kami berkata: ‘Engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)’, maka beliau bersabda: ‘Sayyid yang sebenarnya adalah Allah tabaroka wa ta’ala’, kemudian kami berkata: ‘Engkau adalah yang paling mulia di antara kami dan paling memiliki kemampuan di antara kami’. Beliau bersabda: “Ucapkanlah semua atau sebagian kata-kata yang wajar bagi kalian, dan janganlah kalian digelincirkan oleh syaithan([4]).” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik).
Dikatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ada sebagian orang berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا، وَسَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَان، أَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ»
“Ya Rasulullah, wahai orang yang paling baik di antara kami, dan putra orang yang terbaik di antara kami, wahai pemimpin kami dan putra pemimpin kami”, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “wahai manusia sekalian! Ucapkanlah kata-kata yang wajar saja bagi kalian, dan janganlah sekali-kali kalian disesatkan oleh syaithan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya, aku tidak senang kalian mengangkatku melebihi kedudukanku yang telah diberikan Allah kepadaku.” (HR. An Nasai dengan sanad yang jayyid).”
Syarah
Dalam hadits Abdullah bin Syikhkhir dijelaskan bahwa ada sebagian orang yang datang kepada Nabi ﷺ lalu mengatakan أَنْتَ سَيِّدُنَا “engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)”. Sehingga Nabi menjawab perkataan mereka dengan mengatakan “Sayyid yang sebenarnya adalah Allah tabaroka wa ta’ala”. Seakan-akan Nabi ﷺ mengingkari perkataan mereka tersebut. Begitu juga dalam hadits Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa ada sebagian orang yang berkata وَسَيِّدَنَا “engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)”. Kemudian Nabi ﷺ juga menegur mereka dengan berkata “dan janganlah sekali-kali kalian disesatkan oleh syaithan”. Pujian yang mulia kepada beliau adalah ucapan “hamba Allah dan utusan-Nya”. Juga beliau tidak suka untuk diberikan kedudukan lebih dari apa yang Allah ﷻ tetapkan untuk dirinya.
Dalam hadits Anas disebutkan bahwa pujian terbaik untuk Nabi ﷺ adalah dari 2 sisi:
- Sebagai hamba Allah ﷻ. Maksudnya Nabi ﷺ adalah orang terbaik yang merealisasikan atau mewujudkan peribadatan atau penghambaan kepada Allah. tidak ada seorang pun yang bisa beribadah seperti ibadahnya Rasulullah ﷺ. Disebutkan bahwa beliau ketika beribadah hingga kakinya bengkak dan pecah-pecah,
إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ – أَوْ سَاقَاهُ – فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ: أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki atau betis, Beliau dimintai keterangan tentangnya. Maka Beliau menjawab: “Apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?” ([5])
Oleh karenanya dalam ayat Allah ﷻ banyak memuji Nabi ﷺ dalam kondisi yang genting sebagai hambanya, contohnya,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Dalam kondisi genting Allah ﷻ menunjukkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba yang terbaik. Contoh yang lainnya adalah dalam kisah isra’ mi’raj ketika orang-orang musyrikin mencela dan mengingkari isra’ mi’raj Nabi ﷺ maka Allah ﷻ mengatakan,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1)
- Sebagai rasul Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷻ adalah rasul yang terbaik dan penutup para nabi. Dimana beliau pernah sampai tempat tertinggi yaitu sidratul muntaha. Dimana pintu surga tidak akan terbuka kecuali beliau yang membukanya. Dimana Allah menggandengkan ketaatan kepada-Nya dengan ketaatan kepada rasul-Nya. Bahkan Allah bersumpah dengan umurnya. Sangat banyak pujian Allah kepada Rasulullah ﷻ sebagai hamba dan sebagai rasul. Inilah yang diakui oleh para sahabat, sehingga mereka ketika memanggilnya maka dengan panggilan يا رسولَ الله “wahai Rasulullah”. Mereka tidak memanggil beliau dengan sebutan يا سيدَنَا “wahai pemimpin kami”. Karena mereka memilih memanggilnya dengan pujian terbaiknya yaitu عَبْدُ الله dan رَسُوْلُ الله.
Hukum Mengucapkan سَيِّدُنَا (Sayyidinaa) Untuk Rasulullah ﷺ.
Terdapat khilaf di kalangan para ulama:
Pendapat pertama: hukumnya makruh. Ini berdasarkan hadits Abdullah bin Syikhkhir dan hadits Anas yang sedang dibahas dimana ketika ada yang mengatakan kepada Rasulullah ﷺ أَنْتَ سَيِّدُنَا “engkau adalah sayyiduna (pemimpin kami)” maka beliau menjawab,
السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Sayyid yang sebenarnya adalah Allah tabaroka wa ta’ala”
Hadits ini terjadi pada tahun 9 H. Ini menunjukkan bahwa hadits ini terjadi di waktu dekat wafatnya Rasulullah ﷺ. Sehingga dalil-dalil sebelumnya yang membolehkan pengucapan أنتَ سَيِّدُنَا kepada Rasulullah ﷺ semuanya mansukh sehingga hukumnya menjadi makruh. Dalam pendapat ini juga terdapat perbedaan pendapat: ([6])
- Makruh secara mutlak
- Makruh jika diucapkan di hadapan Nabi ﷺ. Karena Nabi ﷺ mengingkarinya ketika mereka memujinya di hadapannya. Sehingga ketika memuji Nabi ﷺ dengan sebutan أنتَ سَيِّدُنَا tidak di hadapannya maka tidak menjadi masalah.
Pendapat kedua: boleh. Ini adalah pendapat yang kuat. Dalil akan bolehnya sangat banyak:
Dalil dari Al-Quran yang menunjukan bolehnya menggunakan “sayyid”, diantaranya :
- Firman Allah ﷻ,
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“dan kedua-duanya (Nabi Yusuf dan Zulaikha) mendapati suami wanita itu di muka pintu” (QS. Yusuf: 25)
- Firman Allah ﷻ,
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.” (QS. Ali Imran: 39)
Dari hadits,
- Sabda Nabi ﷺ,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ، وَلَا فَخْرَ
“aku adalah pemimpin anak-anak Adam dan aku tidak sombong.” ([7])
- Sabda Nabi ﷺ tentang Abu Bakar dan ‘Umar,
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Abu Bakar dan ‘Umar pemimpin para orang tua di surga.” ([8])
- Sabda Nabi ﷺ tentang Hasan dan Husain,
الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Hasan dan Husain pemimpin para pemuda di surga.” ([9])
- Sabda Nabi ﷺ,
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“bangkitlah kalian kepada pemimpin kalian.” ([10])
- Sabda Nabi ﷺ kepada Bani Salimah
مَنْ سَيِّدُكُمْ يَا بَنِي سَلِمَةَ؟
“siapa pemimpin kalian wahai Bani Salimah?” ([11])
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa bolehnya kita mengucapkan kata سَيِّدُ, jangankan kepada Nabi ﷺ bahkan kepada selain Nabi pun diperbolehkan. Akan tetapi bolehnya hal ini dengan 2 syarat:
- Tidak boleh diucapkan kepada orang munafik atau fasik. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah kalian mengatakan kepada orang munafik sebagai sayyid, karena jika dia menjadi sayyid maka kalian telah menjadikan Rabb kalian marah.” ([12])
- Tidak boleh berlebih-lebihan. Inilah yang dilarang dalam hadits Abdullah bin Syikhkhir. ([13]) Karena apa yang diucapkan dalam hadits Abdullah bin Syikhkhir berupa ucapan “Engkau adalah pemimpin kami atau engkau adalah yang paling utama di antara kami” dari segi maknanya semuanya benar. Akan tetapi Nabi ﷺ ketika mendengar pujian ini secara berlebihan terlebih lagi itu terjadi ketika ‘aamul wufuud dimana orang-orang baru masuk Islam dikhawatirkan tauhid mereka masih lemah maka Nabi ﷺ mengingatkan mereka. ([14]) Jadi jika ada orang yang memuji kita secara berlebihan maka hendaknya kita tegur, sebagaimana yang Rasulullah ﷺ sabdakan,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ
“jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji maka lemparkan tanah ke wajah-wajah mereka.” ([15])
Hal ini dikarenakan pujian bisa menyebabkan seseorang bisa menjadi ujub dan bangga sehingga pahalanya sirna.
Begitu juga hadits Anas ketika ada orang-orang datang lalu mengatakan kepada Rasulullah “wahai orang yang terbaik di antara kami dan putra terbaik di antara kami” maka semua ini maknanya benar. Karena Nabi ﷺ berasal dari Quraisy dari Bani Hasyim yang ini adalah kabilah terbaik. Akan tetapi ketika mereka berlebihan maka Nabi ﷺ menegur mereka “wahai manusia sekalian! Ucapkanlah kata-kata yang wajar saja bagi kalian, dan janganlah sekali-kali kalian disesatkan oleh syaithan”. Semua pujian ini benar akan tetapi ketika dikhawatirkan akan timbul ghuluw/berlebih-lebihan maka Nabi ﷺ menegur mereka. Lalu menjelaskan bahwa pujian terbaik adalah “aku adalah Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya”. Sehingga ketika kita memuji seseorang jangan sampai kita berlebihan seperti kasidah yang terkadang dibacakan diacara maulid
فإن مِنْ جُودِكَ الدُنْيَا وَضَرَّتَهَا … وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالقَلَمِ
“sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat …. dan di antara keilmuanmu adalah ilmu laih dan ilmu qolam.”
Ini tidak benar, karena ini pemberian kedudukan kepada Nabi ﷺ melebihi kedudukannya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi ﷺ dalam sabdanya,
مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ
“aku tidak senang kalian mengangkatku melebihi kedudukanku yang telah diberikan Allah kepadaku.” ([16])
Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa di antara kedermawanan Nabi ﷺ adalah dunia dan akhirat, lalu kedermawanan Allah ﷻ yang mana? Jika semuanya dinisbatkan kepada Nabi ﷺ lalu mana kedermawanan Allah? Dalam hadits di atas kita dapati ketika sahabat mengatakan أنتَ سَيِّدُنَا maka Nabi ﷺ langsung menjawab السَّيِّدُ اللَّهُ “Sayyid sesungguhnya adalah Allah”. Untuk memberikan pelajaran kepada mereka karena mereka baru masuk Islam. Sehingga ucapan mereka “kedermawanan Nabi ﷺ adalah dunia dan akhirat” adalah salah. Kita tahu bahwa dunia yang kita dapat, rezeki yang kita peroleh, juga hidayah untuk mengingat akhirat semuanya dari Allah ﷻ bukan Nabi ﷺ. Allah berfirman,
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“akan tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-Hujurat: 7)
Nabi hanyalah sebab untuk seseorang mendapatka hidayah, akan tetapi beliau tidak bisa memberikan hidayah. Allah ﷻ berfirman tentang Nabi ﷺ yang tidak bisa memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat ia cintai,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qasas: 56)
Kita tetap harus berterimakasih kepada Nabi ﷺ akan tetapi perlu kita ketahui bahwa semua kedermawanan berasal dari Allah ﷻ. Jangan sampai kita memuji Nabi ﷺ dengan pujian yang berlebihan. Sampai seorang ulama mengatakan tentang pujian “kedermawanan Nabi ﷺ adalah dunia dan akhirat” jika diberikan kepada Allah ﷻ maka sungguh bagus pujian ini. Juga ucapan “dan di antara keilmuanmu adalah ilmu laih dan ilmu qolam” jika diberikan kepada Allah sangat sesuai. Adapun jika diberikan kepada Nabi ﷺ maka sangat tidak sesuai karena Nabi ﷺ tidak mengetahui ilmu gaib. Bahkan ketika istrinya yaitu ‘Aisyah dituduh berzina saja Nabi ﷺ tidak mengetahuinya hingga turun ayat yang memberitahukan bahwa ‘Aisyah tidak berzina. Sehingga ketika kita mengatakan bahwa Nabi ﷺ mengetahui ilmu gaib maka ini pujian yang berlebihan yang isinya kesyirikan. Oleh karenanya seseorang tidak boleh membaca kasidah ini. Adapun jika pujian tersebut bagus maka tidak masalah untuk seseorang memuji Rasulullah ﷺ dan kita semua suka untuk memuji Nabi ﷺ karena beliau orang yang paling utama untuk kita puji.
Matan
Kandungan bab ini:
- Peringatan kepada para sahabat agar tidak bersikap berlebih-lebihan terhadap beliau.
- Orang yang dipanggil dengan panggilan “Engkau adalah tuan kami” hendaknya ia menjawab: “Tuan yang sebenarnya adalah Allah.
- Rasulullah ﷺ memperingatkan kepada para sahabat agar tidak terseret dan terbujuk oleh syetan, padahal mereka tidak mengatakan kecuali yang sebenarnya.
- Rasulullah ﷺ (tidak menginginkan sanjungan dari para sahabat yang melampaui kedudukan yang sebenarnya), dengan sabdanya: “Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukan (yang sebenarnya) yang telah diberikan kepadaku oleh Allah ﷻ.”
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Abu Dawud No. 2042. Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani
([2]) Dia adalah seorang sahabat yang dia memiliki seorang anak yang bernama Muttharif bin Abdullah bin Asy Syikhkhir yang ia adalah seorang tabi’in. Muttharif bin Abdullah bin Asy Syikhkhir sering disebutkan namanya dalam masalah-masalah fikih yang terkadang beliau memiliki pendapat tertentu, yang terkadang sepakat dengan para ahli fikih dan terkadang menyelisihi mereka.
([3]) Pada tahun 9 H setelah Nabi ﷺ menaklukan kota Mekkah kemudian beliau kembali ke kota Madinah. Kemudian beliau banyak menjamu banyak tamu yang datang untuk masuk ke dalam agama Islam, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
“dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” (QS. An-Nashr: 2)
Maka banyak orang-orang yang datang secara berbondong datang ke kota Madinah untuk bertemu dengan Nabi ﷺ, mempelajari lebih dalam tentang Islam, dan untuk menyatakan keislaman mereka. Sehingga pada tahun tersebut yang dikenal dengan ‘aamul wufuud yaitu tahun datangnya para utusan/delegasi dari berbagai macam kabilah kepada Nabi ﷺ.
([4]) Syaithan masuk ke dalam aliran darah kalian sehingga kalian digeincirkan oleh syaithan.
([6]) Lihat Fathu Al-Bari, Ibnu Hajar, 5/179-180
([7]) HR. Ibnu Majah 4308. Al-Albani menshohihkan hadits ini
([8]) HR. Ibnu Majah 95. Al-Albani menshohihkan hadits ini
([9]) HR. Ibnu Majah 118. Al-Albani menshohihkan hadits ini
([11]) HR. Bukhori dalam Al-Adabul Mufrad No. 296
([12]) HR. Abu Dawud No. 4977. Al-Albani menshohihkan hadits ini.
([13]) Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam An-Nawawi rahimahullahu Ta’ala di dalam Syarah shohih Muslim, 15/7
وإِنَّمَا منَعَهم – فيما نُرَى – أنْ يَدْعوه سَيِّدًا، مع قولِهِ: «أنا سيِّدُ ولدِ آدمَ» وقولِه لِبَنِي قُريظة: «قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ» يريدُ سعدَ بنَ مُعاذٍ، مِنْ أجلِ أنَّهم قومٌ حديثٌ عهدُهم بالإسلامِ، وكانوا يحسَبونَ أَنَّ السِّيادةَ بالنبوةِ كَهِيَ بأسبابِ الدُّنيا، وكان لهم رؤساءُ يُعظِّمونهم، ويَنقادون لأمرِهم، ويُسمُّونَهم الساداتِ، فعلَّمهم الثناءَ عليه وأرشدَهُم إلى الأدبِ في ذلك فقال: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ»؛ يريدُ: قولوا بقولِ أهلِ دينِكم وملَّتِكُمْ، وادعوني نبيًّا ورسولًا، كما سمَّاني اللهُ عز وجل في كتابِهِ…ولا تُسمُّوني سيِّدًا كما تُسمُّون رؤساءَكم وعُظَماءكم، لا تجعلوني مثلَهم فإني لستُ كأحدِهم، إذْ كانوا يَسُودونكُمْ بأسبابِ الدُّنيا، وأنا أَسُودُكم بالنبوَّةِ والرِّسالةِ فسمُّوني نبيًّا ورسُولًا.
“Menurut kami, beliau melarang mereka dari memanggilnya dengan sayyid, sedangkan beliau bersabda: “Aku adalah pemimpin para manusia”, dan sabda beliau kepada bani Quroizhoh: “Berdirilah dan sambutlah pemimpin kalian” dan yang beliau maksud adalah Sa’d bin Mu’adz, tidak lain keculai karena mereka adalah orang-orang yang baru saja masuk islam, dan mereka menganggap bahwa siyadah (kepemimpinan) dengan kenabian sama saja dengan sebab-sebab kepemimpinan duniawi. Yang mana mereka memiliki pemimpin yang mreka agungkan, dan mereka tunduk dengan perintah-perintahnya, dan mereka menamai pemimpin mereka dengan sadaat (para sasyyid). Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada mereka adab dalam hal itu, dan beliau bersabda: “Ucapkanlah dengan ucapan kalian”, yang beliau maksud adalah: “Ucapkanlah sesuai dengan ucapan para pemeluk agama kalian, dan panggillah aku dengan panggilan nabi dan Rasul, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla menamiku dengannya di dalam Al-quran… Dan janganlah kalian namakan aku dengan sayyid, sebagaimana kalian menamai para pemuka-pemuka kalian dan pembesar-pembesar kalian. Janganlah kalian jadikan aku seperti mereka, karena aku tidaklah sama dengan satupun dari mereka. Karena mereka memimpin kalian dengan sebab-sebab dunawi, sedangkan aku memimpin kalian dengan sebab kenabian dan kerasulan. Maka namailah aku dengan nabi dan Rasul” (Ma’alim As-Sunan, Al-Khotthobi, 4/112)
([16]) HR. Ahmad, No.12551, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubro, 10006