قول الله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ}
Menetapkan Al-Asma’ Al-Husna Hanya Untuk Allah dan Tidak Menyelewengkannya
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
“Dan Allah memiliki Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya.” (QS. Al-Isra’: 180)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu tentang maksud firman Allah يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ,
يُشْرِكُوْنَ
“(maksudnya) mereka berbuat syirik.”
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu juga berkata,
سَمَّوْا اللَّاتَّ مِنَ الإِلَهِ، وَالْعُزَّى مِنَ الْعَزِيْزِ
“Mereka menamakan berhala mereka (perubahan dari nama Allah) seperti Lata dari Al-Ilah, dan berhala mereka Al-‘Uzza dari Al-‘Aziz.”
Dan diriwayatkan dari Al-A’masy dalam menafsirkan ayat tersebut, dia mengatakan,
يُدْخِلُوْنَ فِيهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا
“(Yaitu maksudnya) Mereka memasukkan ke dalam nama-nama Allah nama-nama yang bukan dari nama-nama-Nya.”
Syarah
Pembahasan pada bab ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memasukkan bahasan tentang tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Dan kita tahu bahwasanya Kitab Tauhid ini pokok pembahasannya adalah tentang Tauhid Uluhiyah, namun dalam sebagian pembahasannya terkadang beliau menyebutkan tentang tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Namun demikian, pembahasan ini pun masih ada hubungannya dengan Tauhid Uluhiyah, karena siapa yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma wa Shifat maka dia pasti akan menyimpang dalam Tauhid Uluhiyah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membahas tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-A’raf,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
“Dan Allah memiliki Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya.” (QS. Al-Isra’: 180)
Penyebutan kalimat Al-Asma’ Al-Husna dalam Al-Quran disebutkan empat kali. Pertama pada ayat yang kita sebutkan di atas, kedua ada pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma‘ul husna)’.” (QS. Al-Isra’: 110)
Penyebutan ketiga ada dalam surah Thaha, di aman Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“(Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik.” (QS. Thaha: 8)
Penyebutan keempat ada pada akhir surah Al-Hasyr, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 24)
Nama-nama Allah dan bentuk penyimpangan terhadapnya
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-husna itu.” (QS. Al-Isra’: 180)
Apa yang dimaksud dengan Al-Asma’ Al-Husna? Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kata الْأَسْمَاءُ dengan alif lam, dan alif lam tersebut adalah alif lam lil-‘ahd yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia memberi makna “tersebut”. Maksudnya adalah nama-nama Allah tersebut sudah diketahui atau sudah jelas nama-nama tersebut dalam Al-Quran dan Sunnah. Adapun kata الْحُسْنَى merupakan bentuk muannats dari الأَحْسَنُ yang keduanya memiliki makna yang sama yaitu “Yang terindah”. Jadi, nama-nama Allah itu bukan hanya nama-nama yang indah, akan tetapi terindah. Dengan demikan, pada dasarnya semua nama-nama Allah secara sendirinya menunjukkan keindahan. Maka dari itu, tidak boleh kemudian kita menamakan Allah dengan Al-Makir sebagaimana dalam ayat disebutkan,
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Ali-‘Imran: 54)
Al-Makir tidak menunjukkan keindahan, bahkan maknanya adalah keburukan, maka tidak benar kita menamakan Allah dengan Al-Makir. Dalam ayat di atas Allah mensifati dirinya dengan makar dalam kondisi khusus, yaitu dalam rangka membalas orang-orang yang berbuat makar buruk.
Contoh yang lain adalah As-Shani’, sebagaimana dalam firman-Nya,
صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
“Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 93)
Ash-Shani’ (Yang membuat) dengan sendirinya tidak menampakkan makna keindahan, maka tidak tepat kita menamakan Allah dengan Ash-Shani’, mekipun diantara perbuatan Allah adalah as-shonú (membuat).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengambil dari ayat ini nya tentang definisi dari Al-Asma Al-Husna, yaitu yang memenuhi tiga persyaratan yaitu:
- Bisa berdoa dengan nama-nama tersebut
Di antara syarat Al-Asma’ Al-Husna adalah bisa berdoa dengan nama-nama tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-husna itu.” (QS. Al-Isra’: 180)
Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang maksud dari فَادْعُوهُ بِهَا yaitu:
Tafsiran pertama: Yaitu namakanlah Allah dengan nama-nama tersebut. Maksudnya adalah kita menyeru Allah dengan nama-nama tersebut. Misalnya ada orang yang bernama Agus, maka kita diperintahkan untuk menyeru dia dengan nama Agus, sehingga maknanya adalah kita menamakan orang tersebut dengan nama Agus. Jadi, kita diperintahkan untuk memberi nama Allah dengan nama-nama yang sudah Allah tentukan. Allah memiliki nama-nama yang terindah, maka serulah Allah dengan nama-nama tersebut.
Tafsiran kedua: Yaitu berdoalah dengan nama-nama tersebut. Pendapat ini merupakan dzahir dari ayat ini, sehingga maksud فَادْعُوهُ بِهَا bukan berkaitan dengan penamaan, akan maksudnya adalah berdoa dengan nama-nama Allah. Berdoa ada dua model:
- دُعَاءُ الْمَسْأَلَة (Memohon), yaitu memohonlah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama tersebut. Tatkala kita berdoa, maka kita berdoa dengan menyebut nama Allah yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Misalnya kita minta rezeki, maka kita katakan “Ya Razzaq” (Wahai Dzat Maha Pemberi Rezeki). Jika misalnya kita meminta rahmat, maka kita mengatakan “Ya Rahman Ya Rahiim”. Jika misalnya kita meminta ampun, maka kita mengatakan “Ya Ghafur” (Wahai Dzat Yang Maha Pengampun). Jika misalnya kita meminta agar aib ditutup, maka kita mengatakan “Ya Sittir” (Wahai Dzat Yang Maha Menutup aib). Jika misalnya kita meminta tolong, kita mengatakan “Ya Qoawiyyu” (Wahai Dzat Yang Maha Kuat). Maka tatkala kita berdoa, kita menyebut nama-nama Allah yang pas dan sesuai dengan apa yang kita minta, sehingga menunjukkan bahwa kita bertawasul dengan nama-nama Allah tersebut. Inilah di antara maksud tafsiran فَادْعُوهُ بِهَا.
- دُعَاءُ الْعِبَادَة (Beribadah), yaitu maksudnya adalah beribadahlah kepada Allah dengan nama-nama tersebut. Bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut? Di antara cara-caranya adalah,
Pertama: Meyakini kandungan nama-nama tersebut. Contoh, tatkala kita mencari rezeki, kita tahu bahwa di antara nama Allah adalah Ar-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki), dengan mengetahui hal itu maka hati kita akan terikat kepada Ar-Razzaq, dan bukan kepada sebab-sebab. Contoh lain, tatkala kita merasa putus asa, kita kemudian ingat bahwasanya di antara nama-nama Allah adalah Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), kita yakin bahwasanya Allah lebih sayang kepada kita daripada ibu kita sendiri, sehingga dengan meyakini Allah itu Ar-Rahim maka kita tidak akan pernah putus asa. Contoh lain, tatkala kita melakukan maksiat, kita mengetahui bahwasanya di antara nama-nama Allah adalah Al-Ghaffar (Ya Maha Pengampun), maka sebesar apa pun maksiat yang kita lakukan, kita yakin bahwa Allah maha pengampun, dan kita pun bertaubat kepada-Nya.
Inilah beberapa contoh cara kita beribadah kepada Allah dengan meyakini kandungan nama-nama Allah tersebut.
Kedua: Melihat dampak atau atsar nama-nama tersebut. Di antara cara beribadah dengan nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala adalah dengan melihat dampak dari nama-nama tersebut. Contohnya seperti Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
“Maka perhatikanlah dampak rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah mati (kering).” (QS. Ar-Rum: 50)
Ini adalah di antara cara kita beribadah kepada Allah, yaitu dengan merenungkan bagaimana dampak dari nama Allah Subhanhu wa ta’ala terhadap alam semesta. Di antara dampak dari rahmat Allah adalah Allah menurunkan hujan kepada bumi yang tadinya mati lalu kemudian hidup kembali. Merenungkan dampak dari rahmat Allah ini adalah bentuk ibadah kepada Allah dengan nama-nama-Nya. Contoh lain misalnya nama Allah Al-Qawiyyu, bahwasanya kita lihat Allah Maha Kuat, adapun manusia sangat lemah, bahkan sekuat apa pun manusia jika telah diberi musibah oleh Allah maka mereka tidak bisa berkutik, bahkan negara adidaya apabila telah Allah beri sesuatu musibah maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa, secanggih apa pun teknologi mereka, ini menunjukkan bahwa Allah Al-Qowiyyu. Inilah contoh kita beribadah kepada Allah dengan memandang kepada dampak-dampak dari nama-nama Allah tersebut.
Tafsiran kedua ini menampakkan keterkaitan antara tauhid Al-Asma’ wa Shifat dengan Tauhid Uluhiyah. Kita tidak mungkin beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sempurna kecuali kita juga bertauhid dengan tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Contoh, orang yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat akan susah baginya beribadah kepada Allah dengan benar. Misalnya seperti orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah tidak mencintai dan Allah tidak bisa dicintai. Jika demikian, keyakinan akan hal itu pasti membuat kita susah beribadah kepada Allah dengan benar. Berbeda dengan kita Ahlussunnah yang meyakini bahwa Allah bisa dicintai dan Allah bisa mencintai, sehingga kita berusaha untuk dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan melakukan perbuatan-perbuatan atau ibadah-ibadah yang dicintai oleh Allah. Contoh seperti firman Allah dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Senantia hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah, sampai Aku mencintai dia.”([1])
Ketika kita melihat firman Allah ini, maka akan timbul rasa di dalam benak kita bahwa kita ingin dicintai oleh Allah, sehingga kita kemudian melakukan hal-hal yang sunnah. Lain halnya jika berkeyakinan seperti keyakinan Jahmiyah bahwasanya Allah tidak bisa mencintai, akhirnya kita tidak memiliki harapan untuk dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Contoh lain seperti sifat Rahmat, akidah Ahlussunnah meyakini bahwa Allah Maha Penyangan, dan kita ingin disayang oleh Allah, dan keyakinan ini juga merupakan keyakinan orang-orang awam bahwasanya Allah menyayangi hamba-Nya. Lain halnya bagi orang-orang Ahlul Bid’ah seperti Asya’irah yang mengatakan bahwa tidak ada sifat menyayangi bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka mengatakan bahwa sifat menyayangi tidak layak bagi Allah, dan menyayangi maksudnya Allah ingin kebaikan bagi hamba-Nya. Kalau demikian, maka kita akan susah beribadah kepada Allah karena kita tidak bisa merasakan kasih sayang Allah. Ketahuilah bahwa tentu berbeda antara ingin kebaikan dengan menyayangi, sayang adalah hal yang berbeda dan bukan hanya sekedar ingin kebaikan, dan ketika kita meyakini Allah menyayangi maka pasti timbul dalam hati kita ibadah yang berbeda daripada ibadah yang dilandasi dengan keyakinan bahwa Allah hanya sekadar memberi kebaikan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, ini menunjukkan bahwasanya kaitannya antara Tauhid Asma’ wa Shifat dengan Tauhid Uluhiyah sangat penting.
- Nama-nama tersebut datang dalam Al-Quran dan Sunnah
Ada beberapa dalil yang menunjukkan bahwa nama-nama Allah itu datang dalam Al-Quran dan Sunnah
Dalil pertama:
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ
“Dan milik Allah nama-nama.” (QS. Al-Isra’: 180)
Telah kita sebutkan bahwasanya alif lam pada kata الْأَسْمَاءُ merupakan alif lam lil-‘ahd yang menunjukkan bahwa nama-nama Allah tersebut telah ada dan bukan buatan-buatan.
Dalil kedua
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Bertasbilah kepada nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1)
Ayat ini juga menunjukkan bahwa nama-nama Allah itu asalnya telah ada dan telah ditentukan.
Dalil ketiga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata dalam sebuah hadits tentang doa menghilangkan kesedihan,
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu dan anak hamba wanita-Mu, ubun-ubunku berada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku dan ketetapan-Mu padaku adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu gaib di sisi-Mu.”([2])
Hadits ini menunjukkan bahwa nama-nama Allah itu diberi oleh Allah sendiri, tidak ada makhluk yang memberi nama kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena tidak ada yang tahu apa yang pantas buat Allah kecuali dirinya sendiri. Maka dari itu, dalil ini menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan karya makhluk, bukan karya manusia, tapi Allah sendiri yang menamakan dirinya sendiri.
Inilah syarat kedua dari definisi Al-Asma’ Al-Husna, yaitu harus datang dari Al-Quran dan Sunnah, yang dalam istilah kita disebut dengan “Tauqifiyah”, yaitu harus dengan dalil. Maka dari itu, tidak boleh seorang memberi nama bagi Allah Subhanahu wa ta’ala tanpa dalil.
Tauqifiyah dari nama-nama Allah tersebut memberikan beberapa keaziman di antaranya,
- Semua nama yang datang dalam dalil harus kita tetapkan
- Tidak boleh menolak satu pun dari nama-nama tersebut
- tidak boleh memberi nama kepada Allah tanpa dalil
- Nama-nama tersebut secara dzatnya menunjukkan keindahan dan pujian
Telah kita sebutkan sebelumnya bahwa nama-nama Allah adalah Al-Husna yang artinya adalah yang terindah. Maksudnya adalah nama-nama Allah tersebut menunjukkan puncak keindahan. Oleh karenanya tatkala kita mengartikan nama-nama Allah, kita selalu menggunakan kata “Maha”. Seperti nama Ar-Rahiim kita mengartikannya dengan “Maha pemberi Rahmat”. Penggunaan kata “Maha” di sini adalah untuk membedakan Allah dengan makhluk. Manusia juga memiliki sifat Rahiim (penyayang), akan tetapi sifat penyayangnya makhluk tidak sama dengan sifat penyayangnya Allah, sehingga tatkala kita menerjemahkan nama Allah kita menggunakan kata “Maha”. Penggunaan kata “Maha” dalam menerjemahkan nama-nama Allah tidak menunjukkan bahwa kita tahu seberapa besar “Maha” tersebut, akan tetapi penggunaan kata tersebut untuk menunjukkan ke-Maha-an.
Mengapa nama-nama Allah adalah nama yang terindah? Karena setiap nama-nama Allah menunjukkan sifat-sifat yang terindah. Contoh, dikatakan nama Allah Ar-Rahim karena menunjukkan sifat rahmat, seperti nama Allah Al-Ghaffar menunjukkan sifat pengampun, nama Ar-Razzaq menunjukkan sifat pemberi rezeki, dan nama-nama yang lainnya. Oleh sebab nama Allah mengandung sifat, maka menunjukkan nama atau makna yang terindah.
Syarat ketiga ini pula kita mengetahui bahwasanya tidak semua sifat atau perbuatan Allah bisa dijadikan nama. Kita memiliki kaidah dalam hal ini di antaranya,
Pertama: Setiap nama pasti mengandung sifat
Kedua: Tidak semua sifat atau semua perbuatan Allah bisa dijadikan nama, karena tidak semua sifat atau perbuatan tersebut tidak memenuhi persyaratan “Al-Husna” (Yang terindah). Dan ini sebagaimana contoh yang telah kita sebutkan bahwa Allah tidak bisa dinamakan dengan Al-Makir atau Ash-Shani’. Contoh lain seperti dalam firman-Nya,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Berkehendak bisa mengarah kepada kebaikan dan bisa pula kepada keburukan. Namun Allah tidak bisa dinamakan dengan Al-Murid karena tidak memenuhi persyaratan bahwa nama itu dengan sendirinya menunjukkan keindahan. Contoh lain seperti Allah berfirman,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (QS. An-Nisa’: 164)
Kita tahu bahwa berbicara bisa dengan kebaikan dan bisa pula dengan keburukan. Maka sifat berbicara di sini tidak bisa secara langsung menunjukkan akan keindahan, sehingga Allah tidak dinamakan dengan Al-Mutakallim. Dan masih banyak lagi sifat yang disebutkan dalam Al-Quran namun tidak melazimkan bahwa sifat tersebut merupakan nama Allah karena tidak memenuhi syarat yaitu tidak menunjukkan keindahan dengan sendirinya, nama-nama seperti ini hanya bisa menjadi indah jika dipasangkan dengan syarat lainnya. Berbeda dengan nama Allah seperti Ar-Rahiim, Al-Ghafur, Al-Halim, nama-nama tersebut dengan sendirinya langsung menunjukkan keindahan.
Ketiga: Khabar tentang Allah tidak harus memakai dalil, yang penting maknanya tidak buruk, namun tidak boleh dijadikan sebagai nama Allah. Contoh kita mengatakan bahwa Allah adalah الْمَذْكُوْرُ Al-Madzkur (sesuatu yang disebut). Nama ini tidak ada dalilnya, akan tetapi hal ini adalah khabar yang benar tentang Allah, akan tetapi itu bukanlah nama Allah. Contoh lainnya kita mengkhabarkan tentang Allah dengan الْمَوْجُوْدُ Al-Maujud (sesuatu yang wujud), namun Al-Maujud bukanlah nama Allah. Contoh lain kita mengkhabarkan bahwa Allah adalah الشَّيْءُ Asy-Syaii’ (sesuatu), hal itu benar bahwa tetapi itu bukan nama Allah. Semua ini adalah khabar tentang Allah, namun bukanlah nama Allah Subhanhu wa ta’ala karena juga tidak menunjukkan keindahan.
Jumlah Al-Asma’ Al-Husna
Para ulama khilaf dalam menentukan jumlah Al-Asma’ Al-Husna,
Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa jumlahnya tertentu. Para ulama dalam hal ini juga kemudian khilaf, ada yang mengatakan bahwa jumlahnya 99, ada yang mengatakan jumlahnya seribu, ada yang mengatakan jumlahnya 1001, ada yang mengatakan 300, dan yang lainnya. Dalil yang paling kuat dari pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat yang mengtakan bahwa nama-nama Allah hanya berjumlah 99. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا، لاَ يَحْفَظُهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَ الجَنَّةَ
“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, tidaklah seseorang menghafalnya melainkan ia akan masuk surga.”([3])
Kedua: Pendapat yang mengatakan bahwa tidak diketahui jumlahnya.
Pendapat yang benar adalah yang menyebutkan bahwa jumlah Al-Asma’ Al-Husna tidak terbatas jumlahnya. Ada beberapa dalil yang mendukung pendapat ini di antaranya:
Dalil pertama: Sebagaimana hadits tentang doa menghapus kesedihan yang telah kita sebutkan di awal, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dengan mengatakan,
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, , atau yang Engkau simpan dalam ilmu gaib di sisi-Mu.”([4])
Hadits ini menggambarkan bagaimana perincian jumlah nama-nama Allah. Pertama, ada nama-nama yang Allah turunkan dalam Al-Quran. Kedua, ada yang Allah ajarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga, ada nama-nama yang Allah simpan (sembunyikan) dalam ilmu-ilmu gaib-Nya. Nama-nama Allah pada kategori yang ketiga tidak mungkin ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri, sehingga nama-nama Allah tidak terbatas jumlahnya.
Dalil kedua: Sebagaimana di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunutnya mengatakan,
اللهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari bahaya murka-Mu, dan berlindung dengan ampunan-Mu dari bahaya hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu, aku tidak bisa pujian atas-Mu (dengan sempurna) sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.”([5])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menguasai nama-nama Allah seluruhnya, karena jika seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menguasai seluruh nama-nama Allah maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pasti mampu untuk memuji Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi kenyataannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa beliau tidak mampu memuji Allah, dan hanya Allah sendiri yang mampu memuji diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa ada nama-nama Allah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ketahui.
Dalil ketiga: Ketika di padang Mahsyar kelak tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memberikan syafaat, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sujud kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan memuji dengan nama-nama yang tidak ada seorang pun mengetahui nama-nama itu sebelumnya. Dalam hadits beliau bersabda,
ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا، لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِي
“Kemudian Allah membukakan bagiku pujian-pujian dan sanjungan yang baik (kepada Allah) yang belum pernah dibukakan kepada seorang pun sebelumku.”([6])
Jadi, ketika di Padang Mahsyar kelak Nabi sujud dan memuji Allah dengan pujian yang saat itu beliau tidak bisa menmuji Allah dengan pujian tersebut karena beliau belum diajarkan. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa kelak di padang mahsyar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan diajarkan oleh Allah dari nama-nama-Nya yang lain, yang sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun dia tidak tahu.
Inilah semua dalil yang menunjukkan bahwasanya nama-nama Allah itu tidak terbatas.
Dalil yang menunjukkan bahwa nama Allah bilangannya tertentu sebagaimana telah kita sebutkan di atas, hadits tersebut dipahami oleh sebagian orang bahwasanya Allah hanya memiliki 99 nama, dan ini adalah kesalahan. Padahal maksudnya jumlah nama-nama tersebut adalah 99 nama Allah itu spesial, namun bukan berarti sudah tidak ada lagi nama yang lainnya. Jika kita ingin melogikakan, hal ini seperti misalnya saya memiliki mobil sepuluh, kemudian saya mengatakan “Saya memiliki tiga mobil berwarna putih”, maka perkataan saya tersebut tidak membatasi bahwa saya hanya memiliki mobil tiga, akan tetapi saya menyebutkan tiga mobil karena dia spesialnya berwarna putih. Maka tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa Allah punya 99 nama, dan barangsiapa menguasai nama-nama tersebut akan masuk surga, hal itu menunjukkan bahwasanya nama Allah lebih daripada itu, akan tetapi 99 nama itu dispesialkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara bukti bahwasanya nama Allah bukan hanya 99 nama adalah para ulama khilaf tentang penentuan 99 nama tersebut. Khilaf tersebut terjadi karena jika dikumpulkan nama-nama Allah dari Al-Quran dan As-Sunnah saja ternyata jumlahnya lebih dari 99. Oleh karena dalil yang menunjukkan nama-nama Allah itu lebih dari 99, maka mereka khilaf yang mana di antara nama-nama tersebut yang termasuk 99 nama yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits yang datang dari riwayat At-Tirmidzi dari Jalan Al-Walid bin Muslim yang menyebutkan 99 nama Allah secara berurutan, hadits tersebut dha’if. Oleh karenanya, para ulama kemudian tidak membatasi nama-nama Allah pada hadits tersebut, dan akhirnya merka khilaf tentang penentuan 99 nama tersebut. Inilah yang menunjukkan bahwasanya nama Allah lebih daripada 99 nama, karena dalam Al-Quran dan As-Sunnah saja disebutkan lebih daripada 99 nama. Adapun metode para ulama dalam menentukan nama-nama Allah adalah pembahasan tersendiri yang tidak kita bahas pada kesempatan ini.
Penyimpangan terhadap nama-nama Allah (الْإِلْحَاد فِيْ الْأَسْمَاءِ)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman pada ayat di atas,
وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya.” (QS. Al-Isra’: 180)
Para ulama mengatakan bahwa firman Allah وَذَرُوا (biarkanlah/tinggalkanlah) adalah bentuk ancaman dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam ayat yang lain,
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Hijr: 3)
Oleh karena itu, maksud firman Allah وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ adalah Allah mengancam mereka atas penyimpangan yang mereka lakukan terhadap nama-nama Allah.
Penyimpangan terhadap nama-nama Allah ada dalam beberapa bentuk, antara lain,
- الْإِلْحَاد الشِّرْكِي (Penyimpangan Yang Syirik)
Penyimpangan yang syirik adalah penyimpangan yang syirik. Di antara bentuknya adalah seperti perlakuan orang-orang musyrikin yang menamakan berhala-berhala mereka dengan nama-nama Allah. Telah kita sebutkan di awal pembahasan riwayat dari salaf bahwa di antara nama berhala mereka adalah اللاَّتَ (Lata) yang berasal dari nama الْإِلَه (Al-Ilah). Contohnya pula الْعُزَّى (Al-‘Uzza) yang berasal dari nama Allah الْعَزِيْز (Al-‘Aziz). Oleh karena mereka mengambil nama-nama Allah kemudian dirubah menjadi nama-nama utnuk berhala mereka, maka ini adalah kesyirikan.
- إِلْحَاد النُّكْرَان (Penyimpangan dengan mengingkari)
Ilhad An-Nukron artinya adalah penyimpangan terhadap nama-nama Allah dengan cara mengingkari nama-nama Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih’, mereka menjawab, ‘Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?’ Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran).” (QS. Al-Furqan: 60)
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka mengingkari nama Allah Ar-Rahman. Pada dasarnya mereka tahu bahwa nama Allah adalah Ar-Rahman, hanya saja mereka berkata demikian untuk mengingkari nama tersebut. Oleh karena itu, semua bentuk mengingkari nama-nama Allah adalah penyimpangan, karena seharusnya semua nama-nama yang datang harus kita tetapkan.
- إِلْحَاد التَّعْطِيْل (Penyimpangan dengan mentakwil)
Penyimpangan terhadap nama-nama Allah dengan cara mentakwil, maka kita bisa bagi menjadi tiga kelompok:
Pertama: Jahmiyah. Jahmiyah mengatakan bahwa semua nama Allah adalah tidak ada, kecuali nama Allah cuma الْخَالِقُ(Al-Khaliq) dan الْقَدِيرُ (Al-Qadir). Mereka mengatakan bahwasanya jika ditetapkan nama Allah seperti Ar-Rahim, maka Allah sama dengan manusia yang juga memiliki sifat rahiim. Jika Allah memiliki nama Al-Ghafur maka Allah juga sama dengan manusia yang juga bisa memaafkan. Oleh karena itu, semua nama mereka tolak, dan yang ditetapkan hanyalah Al-Khaliq dan Al-Qadir, karena manusia tidak bisa melakukan keduanya.
Kedua: Al-Mu’tazilah. Orang-orang Mu’tazilah mengatakan bahwa nama-nama Allah tidak memiliki makna. Nama Allah Ar-Rahim, Al-Ghafur, Asy-Syakur, dan yang lainnya tidak memiliki makna, dan semuanya sama yaitu Allah. Mereka mengatakan bahwasanya menetapkan nama bagi Allah itu berarti kita menetapkan sifat bagi Allah, dan mereka sejak awal sudah menolak sifat-sifat Allah, sehingga konsekuensinya adalah seluruh nama-nama mereka katakan tidak memiliki makna. Adapun Ahlussunnah meyakini bahwa masing-masing nama Allah memiliki makna yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Ketiga: Al-Asya’irah. Orang-orang Asya’irah menakwil makna sebagian nama-nama Allah. Contoh pada nama Allah Ar-Rahim. Bagi Ahlussunnah mudah untuk memahami nama tersebut, yaitu Allah Maha Penyayang. Adapun bagi orang-orang Asya’irah, mereka tidak meyakini bahwa Allah Maha Penyayang, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Ar-Rahim maksudnya adalah Allah menghendaki kebaikan. Akhirnya, Ar-Rahim ditakwil menjadi sifat Al-Iradah (berkehendak untuk melakukan kebaikan). Contoh lain misalnya nama Allah Al-Wadud (Yang Maha Mencintai), orang-orang Asya’irah mengatakan bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula bisa dicintai. Intinya, mereka menakwil nama-nama Allah.
- تَسْمِيةُ اللهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ (Menamakan Allah dengan selain nama-Nya)
Di antara bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah Allah adalah menamakan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan selain nama-Nya. Contoh seperti yang dikatakan oleh orang Ahli Filsafat, mereka menamakan Allah dengan الْعِلة الفَاعِلَةُ (Sebab yang melakukan) atau العِلَّةُ الأُوْلَى (Sebab yang pertama). Tentu kita yang melihat cara menemakan Allah pasti bingung, bagaimana bisa pantas nama seperti itu disandarkan kepada Allah? Apakah kita berdoa dengan mengatakan “Wahai Sebab yang pertama”, sangat tidak cocok sama sekali.
Demikian pula dengan orang-orang Nasrani yang menamakan Allah dengan الأَبُ (Tuhan Bapak).
Kesimpulannya, menamakan Allah atau menyebut Allah itu tidak boleh dengan cara sembarangan. Tidak boleh kita memberi nama dengan nama yang salah, dan tidak boleh pula kita mengkhabarkan tentang Allah dengen cara yang salah. Misalnya dikatakan “Allah bermesraan”, “Allah keren”, sebaiknya bahasa-bahasa seperti ini harus kita hindari karena dikhawatirkan makna konotasinya buruk. Sesungguhnya kita tidak perlu dengan nama-nama atau sebutan-sebutan seperti itu, karena nama-nama yang ada sudah sangat indah dan tidak perlu kita ganti-ganti dengan nama-nama yang terkadang mengandung konotasi yang tidak baik.
Matan
Kandungan bab ini:
- Wajib menetapkan nama-nama Allah
- Semua nama-nama Allah adalah Al-Husna (yang terindah)
- Diperintahkan untuk berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang terindah
- Meninggalkan orang-orang yang mengingkari nama-nama Allah dan menyelewengkannya
- Penjelasan tentang bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah
- Ancaman terhadap orang-orang yang melakukan penyimpangan terhadap nama-nama Allah dari kebenaran
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Bukhari no. 6502
([2]) HR. Ahmad no. 4318, Ibnu Hibban dan yang lainnya