قول الله تعالى: {فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}
Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Maka setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang saleh, mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-A’raf: 190)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
اِتَّفَقُوْا عَلَى تَحْرِيْمِ كُلِّ اسْمٍ مُعَبَّدٍ لِغَيْرِ اللهِ كَعَبْدِ عَمْرُو، وَعَبْدِ الْكَعْبَةِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ حَاشَى عَبْدَ الْمُطَّلِب
“Para ulama telah sepakat mengharamkan seluruh nama yang dita’bid (diperhambakan) kepada selain Allah seperti Abdu Umar (hambanya Umar), Abdul Ka’bah (hambanya Ka’bah) dan yang semisalnya kecuali nama Abdul Muthalib([1]).”
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan ayat di atas,
لَمَّا تَغَشَّاهَا آدَمُ حَمَلَتْ فَأَتَاهُمَا إِبْلِيْسُ فَقَالَ: إِنَّيْ صَاحِبُكُمَا الَّذِيْ أَخْرَجْتُكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ لَتُطِيْعَانِّي أَوْ لَأَجَعَلَنَّ لَهُ قَرْنَيْ إِبِل، فَيَخْرُجُ مِنْ بَطْنِكِ فَيَشُقَّهُ، وَلَأَفْعَلَنَّ وَلَأَفْعَلَنَّ يُخَوِّفُهُمَا، سَمِّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِث. فَأَبَيَا أَنْ يُطِيْعَاهُ فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتْ فَأَتَاهُمَا فَقَالَ مِثْلَ قَوْلِهِ، فَأَبَيَا أَنْ يُطِيْعَاهُ، فَخَرَجَ مَيِّتًا. ثُمَّ حَمَلَتْ فَأَتَاهُمَا فَذَكَرَ لَهُمَا فَأَدْرَكَهُمَا حب الوَلَدِ فَسَمَّيَاهُ عَبْدَ الحَارِثِ، فَذَلِكَ قوله {جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا}
“Setelah Adam menggauli Hawwa, Hawwa pun hamil, kemudian Iblis pun mendatangi mereka berdua seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah kawan kalian yang pernah mengeluarkan kalian berdua dari surga, maka hendaknya kalian berdua taat kepadaku, jika tidak maka aku akan membuat bayimu yang ada dalam perutmu (Hawwa) keluar dengan dua tanduk, kemudian janin tersebut akan keluar dari perutmu dan akan merobek perutmu, sungguh aku akan melakukan ini dan aku akan melakukan itu’. Iblis menakut-nakuti Adam dan Hawwa. Kemudian Iblis berkata: ‘Namakanlah anakmu (kelak) dengan Abdul Harits’. Maka Adam dan Hawa tidak mau menaati perintah Iblis, dan ternyata janinnya keluar dalam kondisi mati. Kemudian Hawwa hamil (yang kedua kali), maka iblis kembali mendatangi keduanya dan berkata sebagaimana perkataan sebelumnya, namun ternyata Adam dan Hawa tidak menaati perintah Iblis, maka janinnya kembali keluar dalam keadaan mati. Kemudian Hawwa hamil (yang ketiga kalinya), Iblis kembali mendatangi keduanya, Iblis kemudian mengingatkan mereka dengan apa yang dia katakan sebelumnya. Karena keduanya cenderung mencintai keselamatan anaknya maka ia menamakan anaknya dengan Abdul Harits, maka itulah tafsiran firman Allah: ‘Mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu’.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dengan sanad yang sahih dari Qatadah, dia berkata,
شُرَكَاءُ فِيْ طَاعَتِهِ وَلَمْ يَكُنْ فِيْ عِبَادَتِهِ
“Yaitu menyekutukan Allah dengan taat kepada Iblis, bukan dengan beribadah kepadanya.”
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Mujahid, bahwa Mujahid berkata,
{لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً}: “أَشْفَقَا أَنْ لَا يَكُوْنَ إِنْسَانًا” وَذَكَرَ مَعْنَاهُ عَنْ الحَسَنِ وَسَعِيْدٍ وَغَيْرِهِمَا
“Tafsir Firman Allah: ‘Jika engkau mengaruniakan anak laki-laki yang sempurna’, Adam dan Hawwa khawatir kalau anaknya lahir tidak dalam wujud manusia.”
Penafsiran yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Bashri, Sa’id, dan yang lainnya.
Syarah
Hukum Pemberian Nama “Abdun” Kepada Selain Allah
Pembahasan kita tentang pada bab ini adalah tentang bagaimana hukum pemberian nama kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa terkadang ada nama yang disandarkan kepada tempat seperti Abdul Ka’bah, kepada sesembahan seperti Abdul ‘Uzza. Maka para ulama memberikan perincian terkait hukum tersebut:
Pertama: Syirik Akbar
Memberi nama kepada selain Allah hukumnya bisa syirik akbar apabila maksudnya adalah penghambaan karena rububiyah. Contoh menamakan seseorang dengan Abdussyams (عَبْدُ الشَّمْسِ) dengan meyakini dengan meyakini bahwa matahari juga ikut mengatur alam semesta, atau seperti menamakan seseorang dengan Abdurrasul dengan meyakini bahwasanya Rasul juga ikut mengatur alam semesta. Maka jika pemberian nama tersebut didasari keyakinan bahwa penyandaran nama tersebut berkaitan dengan rububiyah maka hal tersebut adalah syirik akbar.
Pemberian nama kepada selain Allah juga bisa menjadi syirik akbar apabila maksudnya adalah penghambaan dalam uluhiyah (peribadatan). Contoh seperti menamakan seseorang dengan Abdul ‘Uzza([2]) dengan meyakini bahwa berhala Al-Uzza juga berhak disembah selain Allah, maka yang demikian juga termasuk syirik akbar. Demikian pula jika menamakan dirinya dengan ‘Abdurrasul’ dan meyakini bahwa Rasul juga berhak disembah maka yang demikian juga merupakan syirik akbar. ([3])
Kedua: Syirik Ashghar
Pemberian nama kepada selain Allah bisa hukumnya syirik kecil apabila maksudnya adalah menyandarkan kenikmatan atau anugerah kepada selain Allah. Para ulama menyebutkan bahwa contoh dalam hal ini adalah seperti memberikan nama dengan Abdul Harits. Harits adalah nama iblis, dan menurut sebagian tafsiran bahwa nama Harits bukan berarti hamba tersebut menyembah Harits atau dia juga ikut mengatur alam semesta, akan tetapi sebab nama Al-Harits tersebut sehingga anaknya selamat, maka yang demikian adalah syirik kecil. Contoh yang lain seperti Abdul Ka’bah dengan niat agar hamba tersebut benar-benar berkhidmat kepada Ka’bah atau bentuk pengagungan terhadap Ka’bah, meskipun tidak meyakini bahwa Ka’bah mengatur alam semesta atau tidak pula untuk menyembah Ka’bah, namun sekedar pengagungan terhadap Ka’bah, maka ini juga syirik kecil.
Ketiga: Boleh
Pemberian nama kepada selain Allah hukumnya menjadi boleh apabila maksud dari penyandaran tersebut (nama ‘Abdun) adalah untuk nama budak. Di antara Contohnya adalah seperti Abdul Muthalib. Abdul Muthalib maksudnya adalah dia merupakan budaknya Muthalib.
Abdul Muthalib adalah kakeknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri namanya adalah Muhamad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Nama asli dari Abdul Muthalib adalah Syaibah karena lahir dengan ada uban di kepalanya, sehingga asal namanya adalah Syaibah bin Hasyim. Hasyim adalah anak tertua dari Abdu Manaf, dialah yang harusnya memegang kepemimpinan di Kota Mekah. Suatu hari Hasyim hendak pergi ke Syam untuk berdagang, kemudian dalam perjalanannya dia mampir di kota Madinah dan menikahi seorang wanita dari Bani Najjar. Ketika Hasyim pergi ke negeri Syam, di sana dia meninggal dunia, dan wanita yang dinikahinya di kota Madinah hamil dan punya anak bernama Syaibah (Abdul Muthalib). Berita meninggalnya Hasyim di Syam sampai kepada adiknya Muthalib di Mekah, akhirnya dialah yang memegang kepemimpinan di Kota Mekah. Setelah Syaibah berumur kurang lebih tujuh atau delapan tahun, sampai berita kepada Muthalib bahwa dia memiliki keponakan di Madinah dari Hasyim. Akhirnya berangkatlah Muthalib ke Madinah merayu ibunya Syaibah agar menyerahkan keponakannya tersebut untuk dibawa ke kota Mekah dengan janji bahwasanya Syaibah akan mewarisi bapaknya Hasyim menjadi pemimpin di Kota Mekah. Akhirnya Syaibah diserahkan kepada Muthalib, dan dibawalah keponakannya tersebut menuju kota Mekah. Tatkala keduanya (Muthalib dan Syaibah) masuk ke kota Mekah, orang-orang menyangka Syaibah adalah budaknya Muthalib karena mungkin masih kecil dan tampangnya kusut karena terkena debu dalam perjalanan, atau yang lainnya. Orang-orang Mekah kemudian memanggil Syaibah dengan sebutan Abdul Muthalib karena menyangka Syaibah adalah budaknya Muthalib. ([4])
Nama Abdul Muthalib menunjukkan bahwa maksudnya bukanlah bentuk penghambaan, bukan pengagungan, bahkan bukan pula maksudnya adalah ikut mengatur alam semesta, akan tapi sekedar penisbahan karena perbudakan yaitu Abdul Muthalib maksudnya adalah hamba milik Muthalib. Maka sebagian ulama menyebutkan bahwa pemberian nama yang seperti ini hukumnya boleh karena secara bahasa Arab boleh, hanya saja hendaknya dijauhi juga karena masih menyisakan kesan penghambaan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Hunain masuk pertama kali di awal peperangan dengan para sahabat yang berjumlah sekitar 12 ribu pasukan, dan pada waktu itu sebagian para sahabat sesumbar dengan mengatakan bahwa pada hari itu mereka tidak akan kalah karena memiliki jumlah pasukan yang banyak. Mendengar perkataan tersebut maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa berat. Akan tetapi kenyataannya jadi berbeda, tatkala mereka masuk di dalam perang Hunain, tiba-tiba kabilah Hawazin berkumpul dan menyerang kaum muslimin dengan tiba-tiba, sehingga para sahabat kemudian mundur. Di antara yang tidak mundur dan tetap maju adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berkata,
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ المُطَّلِبْ
“Aku adalah Nabi yang tidak berdusta, aku cucu dari Abdul Muthalib.”([5])
Zaman sekarang ini, banyak orang-orang yang terjerumus dalam kesyirikan ketika memberikan nama, karena kebanyakan dari mereka memberikan nama untuk pengagungan. Di antara contohnya seperti orang yang namanya Abdul Husein sebagaimana banyak dijumpai pada orang-orang Syiah. Lantas bagaimana hukum nama tersebut? Maka jawabannya adalah jika dia meyakini bahwa Husein ikut mengatur alam semesta atau meyakini bahwa Husein berhak untuk disembah dan diibadahi maka syirik akbar, adapun jika maksudnya adalah pengagungan terhadap Husein maka merupakan syirik kecil. Adapun jika nama tersebut merupakan panggilan atas budak Husein maka tidak mengapa, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin lagi saat ini. Oleh karena itu, nama-nama seperti Abdul ‘Uzza, Abdurrasul, Abdul Husein, atau Abdul Ka’bah hukumnya bisa syirik akbar dan bisa syirik kecil, tergantung niatnya.
Tafsir Surah Al-A’raf ayat 189-190
Ayat dalam surah Al-A’raf ini dijadikan judul bab oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ، فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata): ‘Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur’. Maka setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang saleh, mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-A’raf: 189-190)
Para ulama khilaf terkait ayat ini, dan secara umum terbagi menjadi tiga pendapat:
Pertama: Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Adam dan Hawwa
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur mufassirin (mayoritas ahli tafsir), di antaranya adalah Ath-Thabari, riwayat dari Ibnu Abbas dan murid-muridnya seperti Ikrimah dan Mujahid, dan pendapat ini juga dipilih Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah.
Ulama yang memilih pendapat ini Para ulama yang memilih pendapat ini berdalil dengan hadits marfu’, atsar Ibnu Ábbas (sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab di awal bab), serta ijma’.
Namun pendalilan tersebut mendapat kritikan-kritikan, antara lain:
- Adapun hadits yang dijadikan dalil adalah sebagai berikut :
عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَمَّا حَمَلَتْ حَوَّاءُ طَافَ بِهَا إِبْلِيسُ، وَكَانَ لَا يَعِيشُ لَهَا وَلَدٌ، فَقَالَ: ” سَمِّيهِ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَإِنَّهُ يَعِيشُ، فَسَمَّوْهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَعَاشَ، وَكَانَ ذَلِكَ مِنْ وَحْيِ الشَّيْطَانِ، وَأَمْرِهِ
Dari al-Hasan dari Samuroh dari Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda, “Ketika Hawwa hamil maka Iblis pun mengitarinya selalu, dan tidaklah ada anaknya yang hidup (semuanya wafat). Maka Iblis berkata, “Namakanlah anakmu dengan Abdul Harits, maka dia akan hidup”. Maka merekapun menamakan anak tersebut dengan Abdul Harits maka anak itupun hidup. Dan itu adalah dari wahyu syaitan dan perintahanya” ([6])
Hadits ini marfu’ namun derajatnya dhaif karena datang dari riwayat Al-Hasan dan dari Samurah bin Jundub. Adapun Hasan Al-Bashri tidak bertemu dengan Samurah bin Jundub sehingga haditsnya terputus (dha’if) ([7]), selain itu beliau juga termasuk perawi mudallis([8]). Selain itu ternyata al-Hasan ketika menafsirkan QS Al-A’rof : 190 ternyata beliau tidak bersandar dengan periwayatan ini, bahkan beliau berpendapat bahwa yang dimaksud bukanlah Adam dan Hawwa, akan tetapi anak keturunan mereka yang taat kepada Iblis([9]).
- Atsar dari Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dikritik oleh Ibnu Katsir. Beliau berkata bahwa bisa jadi riwayat tersebut datang dari israiliyat, dan juga disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa Ibnu Abbas menukil dari Ubay bin Ka’ab di mana Ubay bin Ka’ab juga mengambil dari israiliyat, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Kemudian di sana terdapat sebagian riwayat dari Ibnu Abbas yang cocok dengan pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut bukan Adam dan Hawa melainkan anak keturunannya.
- Pendapat ini dikatakan ijma’ oleh Ath-Thabari, namun yang benar adalah pendapat ini bukanlah ijma’ akan tetapi pendapat mayoritas, karena pendapat ini diselisihi oleh Hasan Al-Bashri. ([10])
Kedua: Yang dimaksud bukanlah Adam dan Hawa, akan tetapi keturunan mereka (anak-anak Adam)
Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Katsir, dan kemudian dipilih oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahumullah.
Ketiga: Sebagian ulama yang lain tawaqquf dalam masalah ini, yaitu mereka mengatakan bahwa Allah yang lebih tahu siapa yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Pendapat ini dipilih oleh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitab beliau Adwaul Bayan.
Pendapat mana yang lebih dari ketiga pendapat di atas? Penulis sendiri lebih condong kepada pendapat kedua, yaitu yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan Adam dan Hawa. Mari kita coba renungkan kisah yang datang dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Adam dan Hawa turun ke bumi karena telah melanggar perintah Allah untuk tidak mendekati pohon yang dilarang. Mereka melanggar larangan Allah tersebut karena digoda oleh Iblis, dan kita tahu bahwa Iblis menggoda dengan sangat luar biasa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
“Dan dia (Iblis) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu’.” (QS. Al-A’raf : 21)
Godaan tersebut adalah godaan pertama yang dialami oleh Adam dan Hawwa, dan keduanya tidak memiliki pengalaman dalam hal itu sehingga larut dalam godaan tersebut, terlebih lagi yang menggodanya langsung adalah Iblis. Intinya Iblis banyak memberikan hasutan-hasutan kepada Adam dan Hawwa sehingga akhirnya mereka makan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Setelah itu, Adam dan Hawwa bertaubat kepada Allah karena telah melanggar perintah-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi’.” (QS. Al-A’raf: 23)
Kalimat ini Allah Subhanahu wa ta’ala ajarkan kepada Nabi Adam ‘alaihissalam ketika dia hendak bertaubat dan tidak tau bagaimana cara bertaubat, karena itu adalah kesalahannya yang pertama kali. Intinya, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menerima taubat keduanya. Pada ayat yang lain juga disebutkan,
وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى، ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى
“Dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 121-122)
Tatkala keduanya turun ke atas muka bumi, mereka mendapati di atas muka bumi hanya hewan-hewan, sehingga tidak ada manusia kecuali mereka berdua. Kemudian Nabi Adam ‘alaihissalam menggauli Hawwa, namun dia takut bahwa jangan-jangan yang keluar kelak bukan manusia seperti mereka, namun seperti hewan-hewan yang mereka lihat. Dari situlah kemudian mereka berdoa kepada Allah, lalu datanglah Iblis kembali menggoda mereka sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Abbas yang telah kita sebutkan. Dan itu adalah kesyirikan karena mereka akhirnya taat kepada Iblis dengan menamakan janinnya dengan nama Abdul Harits.
Iblis namanya adalah Al-Harits. Harits adalah nama yang baik, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقُهَا حَارِثٌ، وَهَمَّامٌ، وَأَقْبَحُهَا حَرْبٌ وَمُرَّةُ
“Nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Dan Yang paling benar adalah Hammam dan Harits, dan yang paling jelek adalah Harb dan Murrah.”([11])
Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa yang paling tepat nama seorang hamba adalah Harits dan Hammam? Harits artinya adalah yang berusaha dan hammam artinya adalah yang semangat, dan kedua sifat tersebut selalu ada pada manusia sehingga nama tersebut adalah paling tepat bagi seseorang. Dikatakan oleh sebagian ulama bahwasanya Harits merupakan namanya Iblis ketika dia masih bergaul dengan malaikat (masih menjadi hamba yang taat), waktu itu dia dikenal dengan Al-Harits. Ketika dia sudah tersesat maka dia kemudian dipanggil dengan sebutan Iblis.
Riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu tersebut asalnya terlihat aneh. Adapun para ulama memberikan beberapa bantahan terhadap kisah tersebut di antaranya:
Bantahan pertama: Ijma’ ulama bahwasanya para nabi ma’sum (terjaga dari dosa besar). Jika sekiranya ayat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ditafsirkan bahwa itu adalah Adam dan Hawa maka kesimpulannya adalah mereka telah melakukan kesyirikan. Maka tafsiran bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Adam dan Hawwa adalah penafsiran yang tidak tepat, karena syirik merupakan dosa besar baik itu dikatakan sebagai syirik ashghar maupun akbar. ([12])
Bantahan kedua: Dosa ini tidak disebutkan oleh Adam di padang mahsyar, padahal dosa ini lebih parah daripada dosa yang dilakukannya di surga. Adam di surga bermaksiat kepada Allah namun dia tidak melakukan kesyirikan. Adapun kisahnya di dunia menunjukkan bahwa dia melakukan kesyirikan dengan menamakan anaknya dengan nama Abdul Harits. Tetapi ketika di padang mahsyar, ketika orang-orang datang minta syafaat, maka Adam berkata kepada mereka,
إِنَّ رَبِّي قَدْ غَضِبَ اليَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وَإِنَّهُ قَدْ نَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي، اذْهَبُوا إِلَى نُوحٍ
“Sesungguhnya Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya, dulu Ia melarangku mendekati pohon tapi aku durhaka. Oh diriku, Oh diriku, Oh diriku. Pergilah pada selainku, pergilah ke Nuh.”([13])
Seandainya dosa kesyirikan dalam kisah yang datang dari Ibnu Abbas tersebut pernah dilakukan oleh Adam dan Hawwa, maka sudah pasti mereka akan sebutkan dosa tersebut tatkala di Padang Mahsyar, namun kenyataannya mereka tidak menyebutkannya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sendiri pernah berdusta tiga kali dan semuanya karena Allah Subhanahu wa ta’ala, namun dia tetap tidak merasa percaya diri, karena meskipun itu karena Allah tapi itu tetaplah suatu kedustaan. Maka tatkala Nabi Adam ‘alaihissalam tidak pernah menyebutkan tentang dosa kesyirikan tersebut maka menunjukkan bahwa dia tidak pernah melakukannya.
Bantahan ketiga: Cara iblis menggoda Adam dan Hawwa aneh. Dalam riwayat yang datang, Iblis berkata dengan lafal: ‘Sesungguhnya aku adalah kawan kalian yang pernah mengeluarkan kalian berdua dari surga, maka hendaknya kalian berdua taat kepadaku’. Bukankah seharusnya untuk menggoda untuk kedua kalinya seseorang itu tidak membocorkan keberhasilannya dalam menggoda saat pertama kali? Namun ketika datang dan mengaku bahwa dirinya adalah Iblis, maka secara logika Adam tidak bakalan taat kepadanya. Jangankan Adam, orang seperti kita yang memiliki keimanan yang pas-pasan ketika dihadapkan dengan Iblis yang seperti itu maka pasti kita tidak akan menaatinya. Oleh karena itu, cara Iblis menggoda Adam dan Hawwa dalam riwayat tersebut adalah aneh, dan seharusnya tidak seperti itu.
Bantahan keempat: Ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah Adam dan Hawwa. Mereka berdalil dengan mengatakan bahwa kata جَعَلَا (mereka berdua) maksudnya adalah menunjukkan jenis laki-laki dan perempuan, dan kata شُرَكَاء merupakan bentuk jamak dari شَرِيْك yang artinya sekutu-sekutu. Jika yang dimaksud adalah antara Adam dan Iblis, maka tidak perlu menggunakan kata jamak شُرَكَاء dan cukup menggunakan kata شَرِيْكًا untuk menunjukkan satu sekutu yaitu Iblis. Adapun Allah menyebut شُرَكَاء menunjukkan bahwa banyak yang dijadikan sekutu-sekutu terhadap Allah banyak, sehingga menunjukkan pula bahwa kesyirikan tersebut dilakukan oleh banyak orang. Dan demikian pula di akhir ayat Allah mengatakan,
فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-A’raf: 190)
Allah tidak mengatakan فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكَان (Mahatinggi Allah dari apa yang mereka berdua persekutukan), namun Allah menggunakan kata يُشْرِكُونَ menunjukkan bahwa mereka itu banyak, yaitu bukan Adam dan Hawwa yang dimaksud melainkan anak keturunan mereka berdua.
Wallahu a’lam bishshawwab, dari sini kemudian kita pahami bahwa pendapat yang lebih kuat bahwasanya yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah Adam dan Hawwa, melainkan anak keturunannya.
Matan
Kandungan bab ini:
- Dilarang memberi nama yang diperhambakan kepada selain Allah
- Penjelasan tentang maksud ayat di atas
- Kemusyrikan ini disebabkan hanya karena sekadar pemberian nama saja, tanpa bermaksud sebenarnya
- Pemberian anak perempuan dengan wujud yang sempurna merupakan nikmat Allah yang wajib disyukuri
- Ulama salaf menyebutkan perbedaan antara kemusyrikan dalam taat dan kemusyrikan dalam beribadah
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Nama Abdul Muthalib ada perselisihan di kalangan para ulama tentang boleh atau tidaknya. Marotib Al-Ijma’ Ibnu Hazm, 154
([2]) Contoh Abu Lahab paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namanya adalah Ábdul Úzza, hanya saja Allah tidak menyebutkan namanya di dalam Al-Quran karena hal itu adalah nama yang buruk dan tidak pantas diabadikan dalam Al-Quran Al-Kariim.
([3]) Adapun yang diperselisihkan ‘ulama adalah: jika penamaan ‘Abdunnabi, atau ‘Abdurrosul, seperti nama ‘Abdul Mutthalib, yaitu bukan dalam rangka penghambaan, akan tetapi hanya penisbatan atau pengkhidmatan diri, atau ketaatan kepada perintah-perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mayoritas ‘ulama mengharamkannya.
Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh ‘ulama yang membolehkan hanya berputar pada pengkhabaran, bukan penamaan. Seperti “hamba sahayamu”, atau ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Saya adalah anaknya ‘Abdu Al-Mutthalib”, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Celakalah hamba dinar, dan hamba dirham”, semua itu tidak bermaksud penamaan, akan tetapi hanya pengkhabaran/hikayah. Wallahu a’lam.
([4]) Siroh Ibnu Hisyam, 1/127
([5]) HR. Bukhari no. 4316, dan yang lainnya.
([6]) HR Ahmad no 20117, at-Tirmidzi no 3077, At-Thobari dalam tafsirnya 10/623, dan al-Hakim no 4003.
Hadits ini dinilai dhoíf oleh para pentahqiq al-Musnad, dan juga oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 3/526
([7]) Adapun dalam masalah periwyatan Al-Hasan dari Samuroh, maka para ‘ulama berselisih menjadi tiga pendapat:
- Beliau mendengar dan meriwayatkan langsung dari Samuroh. Dan ini adalah pendapat Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, No.9754), Ali bin Al-Madini (Al-‘Ilal, Ibnu Al-Madini, 1/53, Sunan At-Tirmidzi, No.182), Zhohir dari pendapat Al-Hakim (Al-Mustadrok, No.780), Zhohir penukilan At-Tirmidzi dari Al-Bukhori -karena ia memuthlakkan penukilan- (Al-‘Ilal Al-Kabir, At-Tirmidzi, 1/386), dan pilihan Ibnu Al-Qoyyim (I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnu A-Qoyyim, 2/96).
- Beliau tidak mendengar/meriwayatkan langsung dari Samuroh. Dan ini adalah pendapat Abu Hatim (menurut penukilan Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Hibban, No.1807), Yahya bin Ma’In (Tarikh Ibnu Ma’in, 4/229 ), Syu’bah (Tarikh Ibni Ma’in, riwayat Ad-Dauri, 4/220)
- Beliau tidak mendengar kecuali satu hadits, yaitu bab aqiqoh saja. Dan ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama.
Al-Baihaqi berkata :
إِلَّا أَنَّ أَكْثَرَ الْحُفَّاظِ لَا يُثْبِتُونَ سَمَاعَ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ مِنْ سَمُرَةَ فِي غَيْرِ حَدِيثِ الْعَقِيقَةِ
“Hanya saja, mayoritas huffazh (para ahli hadits) tidak menshohihkan riwayat Al-Hasan Al-Bashri dari Samuroh, pada selain hadits ‘aqiqoh” (As-Sunan Al-Kubro, Al-Baihaqi, No.10532)
Dan yang demikian, berdasarkan cerita yang diriwayatkan Habib Bin As-Syahid:
أَمَرَنِي ابْنُ سِيرِينَ: أَنْ أَسْأَلَ الحَسَنَ: مِمَّنْ سَمِعَ حَدِيثَ العَقِيقَةِ؟ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: «مِنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ»
“Ibnu Sirin memerintahkanku untuk bertanya kepada Al-Hasan, dari siapa dia mendengar hadits tentang aqiqah? Dan aku bertanya kepadanya, dan ia menjawab, “Dari Samuroh bin Jundab/Jundub” (H.R. Bukhori, No.5471)
([8]) Al-Hasan Al-Bashri adalah termasuk perowi mudallis. Dan sebagaimana yang tertera dalam ilmu hadits, bahwa periwyatan perowi mudallis, tidak diteriman kecuali jika ia meriwayatkan dengan lafazh “sami’na” (tashrih bissama’) atau yang semisalnya. Dan hadits ini beliau meriwayatkannya dengan lafazh “عَنْ”. Maka, meskipun kita tetapkan bahwa Samuroh adalah salah satu sahabat yang Al-Hasan sempat mendengar darinya, maka ia tidak terlepas dari shifat tadlisnya. Dan yang demikian menjadikan hadits ini tidak diterima. Wallahu a’lam.
Ibnu Hajar al-‘Asqolani berkata :
الحَسن بن أبي الحسن البَصْريُّ…ثقةٌ فقيةٌ فاضلٌ مشهورٌ، وكان يُرسل كثيرًا ويُدَلِّسُ
“Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Al-Bashri…Tsiqoh, faqih, fadhil, masyhur, dan ia banyak meriwayatkan hadits secara mursal, dan ia melakukan tadlis” (Taqrib At-Tahdzib, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, No.1227).
([9]) Lihat penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya 3/526
([10]) Dan yang demikian adalah wajar bagi Ibnu Jarir At-Thabari, karena pendapat beliau adalah: “tidak dianggapnya perselisihan satu dua orang”, sehingga beliau menyatakan yang demikian itu ijma’ padahal ada satu dua yang menyelisihi. (Lihat Syarhu Al-Kaukab Al-Munir, Ibnu Najjar Al-Futuhi, 2/230)
([11]) HR. Bukhari no. 814 dalam Adabul Mufrad, dan HR. Abu Daud no. 4950
([12]) Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 15/147-148, Mukhtashor As-Showa’iq Al-Mursalah, Ibnu Al-Qoyyim, 1/571