التَّسَمِّي بِقَاضِي القُضَاةِ وَنَحْوِهِ
Penggunaan Gelar Qadhil Qudhat (Hakimnya para hakim) dan yang semisalnya
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Matan
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَخْنَعَ اسْم عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاك، لَا مَالِكَ إِلَّا الله
“Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang menamakan dirinya ‘Rajanya para raja’. (padahal) tidak ada raja selain Allah.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata bahwa seperti ungkapan,
شَاهَان شَاه
“Syahan Syah([1]).”
Dalam riwayat yang lain dikatakan,
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ
“Dia adalah orang yang paling dimurkai dan paling jahat di sisi Allah pada hari kiamat.”
Syarah
Bab ini dibawakan oleh penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk menjelaskan bahwasanya di antara kesempurnaan tauhid adalah menjauhi ungkapan seperti “Rajanya para raja”, “Hakimnya para hakim”, atau “Pemimpin seluruh manusia”. Ungkapan gelar-gelar seperti ini perlu untuk dihindari karena mengandung dua hal, yang pertama adalah gelar tersebut adalah kebohongan karena rajanya para raja atau hakimnya para hakim adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, yang kedua adalah karena gelar-gelar tersebut berisi pengagungan dan menunjukkan kesempurnaan yang seharusnya hal itu hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah bahwa orang yang menamakan atau memberi gelar dirinya dengan gelar-gelar seperti itu, maka itu menunjukkan bahwa di dalam dirinya terdapat kesombongan, padahal kita tahu bahwa sombong adalah dosa besar dan terlalu banyak hadits-hadits yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun hanya sebesar zarrah. ([2])”([3])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، مَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، أَلْقَيْتُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Kesombongan adalah pakaian-Ku, dan kebesaran adalah selendang-Ku, siapa saja yang mencabut salah satu dari keduanya dari-Ku, maka akan Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam.”([4])
Penamaan “Rajanya para raja-raja” atau “Hakimnya para hakim” terdapat kesombongan, terlebih lagi jika seseorang yang menamakan dirinya sendiri dengan gelar-gelar tersebut maka itu adalah kesombongan, bahkan jika ada orang lain yang menamakan dirinya dengan gelar-gelar tersebut dan dia ridha maka dia telah berbuat sombong. Adapun jika dia tidak suka dengan sikap orang-orang yang menamakan dirinya dengan gelar-gelar tersebut maka dia tidak dikatakan sombong, hanya saja orang-orang yang memberi gelar tersebut memiliki tanggung jawab yang besar di hadapan Allah kelak. Oleh karena itu tidak ada yang berhak untuk sombong di alam semesta ini kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia-lah Al-Mutakabbir (Yang Maha Memiliki Kesombongan).
Manusia tidak berhak untuk sombong di alam semesta ini karena manusia di alam semesta tidak memiliki apa-apa, semuanya hanya diberi titipan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika ada orang yang kaya di alam semesta ini maka yang membuatnya kaya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, jika dia orang yang paling pintar di alam semesta ini maka yang membuatnya pintar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, orang yang paling tampan juga merupakan pemberian dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bahkan orang yang berkuasa di suatu daerah itu juga karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang memberikan kekuasaan kepadanya. Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-‘Imran : 26)
Oleh karena itu, tidak ada Rajanya para raja kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Manusia tidak berhak sama sekali untuk berlaku sombong di alam semesta ini. Sungguh, jika seseorang mau sombong di atas muka bumi ini, apa yang mau dia sombongkan? Lihatlah betapa lemahnya kita sebagai manusia, betapa banyak kita menjumpai orang yang sebelumnya sehat namun tiba-tiba sakit tidak jelas apa penyakitnya. Bahkan dengan nyamuk malaria yang sangat kecil pun manusia bisa mati begitu saja. Sungguh manusia sangat lemah sekali, lantas apa yang mau dia sombongkan? Oleh karena itu tidak heran jika orang yang sombong itu dikatakan telah melakukan dosa besar.
Sebagaimana kita ketahui kaidah Al-Jazaa’ min Jinsil ‘Amal, maka orang yang dahulunya di dunia sombong, maka di akhirat dia akan mendapatkan balasan berupa dihinakan Allah Subhanahu wa ta’ala. dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُحْشَرُ المُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ، فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الخَبَالِ
“Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut bermuka manusia, mereka diliputi kehinaan dari segala penjuru, mereka digiring menuju penjara di neraka Jahannam yang bernama Bulas, di atas mereka ada api paling panas, mereka di minumi muntahan dan darah penduduk neraka yang namanya thinatul khabal.” ([5])
Orang-orang yang sombong di dunia akan diliputi kehinaan dari seluruh penjuru. Kelak pada hari kiamat dia akan dihinakan oleh Allah dengan badannya yang kecil, dan karena badannya yang kecil hampir-hampir dia terinjak oleh manusia lain dan hewan-hewan yang dibangkitkan di padang mahsyar. Oleh karena itu, jika seseorang telah menamakan dirinya dengan Malikul Amlak (rajanya para raja) atau Qadhil Qudhat (hakimnya para hakim), maka dia telah berbuat sombong padahal hal itu tidak diperbolehkan.
Gelar قَاضِي الْقُضَاةِ
Nash (dalil) yang datang berkaitan dengan bab ini adalah sebagaimana yang telah kita sebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ أَخْنَعَ اسْم عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاك، لَا مَالِكَ إِلَّا الله
“Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang menamakan dirinya ‘Rajanya para raja’. (padahal) tidak ada raja selain Allah.”([6])
Siapakah rajanya para raja di muka bumi ini? Sungguh tidak ada, masing-masing pemimpin menguasai daerahnya masing-masing. Lihatlah presiden Amerika Serikat, dia bisa saja dimakzulkan (dilengserkan) oleh anggota parlemennya, lantas siapa rajanya para raja? Orang yang paling berpengaruh bagi negara atau bahkan dunia sekali pun bisa digulingkan oleh orang-orang yang memberontak kepadanya. Lantas siapa yang bisa dinamakan dengan rajanya para raja? Kalau di dunia saja tidak ada yang namanya Rajanya para raja, maka terlebih lagi di akhirat tidak ada raja selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“(Allah) Pemilik hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah : 4)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman bahwa Dia akan menyeru pada hari kiamat kelak,
يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“(yaitu) pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tidak sesuatu pun keadaan mereka yang tersembunyi di sisi Allah. (Lalu Allah berfirman), ‘Milik siapakah kerajaan pada hari ini?’ Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan.” (QS. Ghafir : 16)
Ketika ditanya tentang siapa yang memiliki kerajaan pada hari kiamat, tidak ada yang berani menjawab tatkala itu, lalu Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa pemilik kerajaan adalah Dia Al-Wahid Al-Qahhar. Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa kelak Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَنَا المَلِكُ، أَيْنَ مُلُوكُ الأَرْضِ
“Akulah Sang Raja, di mana orang yang menamakan dirinya sebagai raja-raja bumi?”([7])
Sungguh orang-orang yang dahulu bergelar raja di dunia tidak lagi menjadi raja di akhirat kelak. Semua yang dahulunya bergelar raja di dunia datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak berpakaian, semua atributnya di dunia dilepaskan, dia akan datang sendirian tanpa ada pengawal satu orang pun. Maka kalau yang dahulunya raja di dunia saja datang dan di bangkitkan dalam kondisi telanjang, tidak memakai alas kaki, kemudian tidak membawa apa-apa, maka bagaimana lagi yang jika di dunia dia hanya berpangkat panglima, jenderal, dan yang lainnya. Oleh karena itu, janganlah siapa pun di antara kita untuk bersifat sombong dengan gelar-gelar “Rajanya para raja”, karena sesungguhnya tidak ada Rajanya para raja kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala, Dialah yang memberikan kerajaan di dunia bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Dia pula yang mencabut kekuasaan dari siapa yang Dia kehendaki.
Rajanya para raja di dunia adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, dan di akhirat Rajanya para raja adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, orang yang menamakan dirinya dengan Malikul Amlak atau Malikul Muluk, atau dengan kata lain yang semakna dengan itu seperti “Syahan Syah” atau yang dalam bahasa Indonesia “Rajanya para raja”, maka balasannya adalah di akan dihinakan pada hari kiamat kelak. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَخْنَعَ اسْم عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاك
“Nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang menamakan dirinya ‘Rajanya para raja’.”([8])
Bahkan sebagaimana pula telah kita sebutkan,
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ
“Dia adalah orang yang paling dimurkai dan paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat.”([9])
Sesungguhnya Al-Jazaa’ min Jinsil ‘Amal (balasan sesuai dengan perbuatan), maka demikianlah balasan bagi orang yang sombong di atas muka bumi dengan gelar-gelar seperti itu.
Begitu banyak dalil-dalil yang mengancam seseorang untuk tidak bersifat sombong di dunia ini. Dalam Sunan At-Tirmidzi, dari Abi Mijlaz dia berkata,
خَرَجَ مُعَاوِيَةُ، فَقَامَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ وَابْنُ صَفْوَانَ حِينَ رَأَوْهُ. فَقَالَ: اجْلِسَا، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Mu’awiyah pergi menemui Ibnu Zubair dan Ibnu Shafwan, Maka Abdullah bin Zubair dan Ibnu Shafwan berdiri ketika melihat Mu’awiyah. Mu’awiyah lalu berkata, ‘Duduklah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa senang melihat orang lain berdiri karenanya, maka hendaklah menyiapkan tempat duduknya di neraka’.”([10])
Kebiasaan orang Arab Jahiliah dahulu adalah berdiri untuk menghormati orang yang lewat, kemudian duduk kembali setelah orang tersebut lewat. Sesungguhnya yang demikian tidak dibolehkan dalam Islam.
Seorang menjadi raja atau pemimpin bukan untuk menyombongkan diri, karena ancamannya sangat berat yaitu dia diminta untuk menyiapkan tempatnya di neraka Jahannam. Oleh karena itu, janganlah seseorang bersifat sombong dengan kesombongan apa pun, karena kesombongan dapat mengantarkan dia kepada neraka Jahannam.
Dalil-dalil yang datang ini berbicara tentang contoh ucapan Malikul Amlak, akan tetapi penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengqiaskan dalil ini kepada nama-nama yang menunjukkan kesombongan, yang di antaranya adalah gelar Qadhil Qudhat (Hakimnya para hakim), atau Sulthanul Salathin (Sultannya para sultan), dan gelar-gelar yang semakna dengannya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang menjauhi nama-nama dan gelar-gelar tersebut, karena nama-nama tersebut menunjukkan kesombongan dan keangkuhan, dan tidak pantas disandarkan kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Para ulama khilaf tentang gelar قَاضِي الْقُضَاةِ, yaitu tentang apakah gelar seperti ini dibolehkan atau tidak. ([11]) Khilaf ini terbagi menjadi tiga,
Pendapat pertama hukumnya haram. Di antara ulama yang berpendapat bahwa ungkapan قاضي القضاة adalah haram adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa beliau berdalil dengan mengiaskan ungkapan قاضي القضاة dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa tidak boleh menggunakan gelar مَلِكَ الْأَمْلَاك.
Pendapat kedua hukumnya boleh. Ulama yang berpendapat boleh berpendapat dengan dalil hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ، وَأَشَدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهُ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ، وَأَقْضَاهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَأَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا، وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam agamanya di antara mereka adalah Umar, yang paling pemalu di antara umatku adalah ‘Utsman, yang paling tepat dalam berhukum adalah Ali bin Abu Thalib, yang paling mahir membaca kitabullah adalah Ubai bin Ka’ab, yang paling mengerti perkara halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, dan yang paling paham terhadap ilmu Fara’idh adalah Zaid bin Tsabit. Ketahuilah bahwa setiap umat itu mempunyai orang yang terpercaya, dan orang terpercaya umat ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah.”([12])
Pendapat ketiga hukumnya makruh.
Wallahu a’lam bishshawwab, penulis sendiri lebih condong kepada pendapat bahwa ungkapan قاضي القضاة hukumnya merupakan haram. Di antara alasan mengapa ungkapan tersebut penulis pilih haram adalah karena dalil yang dibawakan oleh para ulama yang membolehkan yaitu pujian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Tholib, ternyata Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak sedang menamakan/menggelari Ali bin Abi Thalib dengan قَاضِي الْقُضَاةِ (Hakimnya para hakim), akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengatakan أَقْضَاهُمْ (yang paling tepat berhukum diantara umatku), yaitu Nabi shallallahu álaihi wasallam hanya mengabarkan bahwa yang paling pandai berhukum di antara umatnya adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, bagaimana pun hebatnya seseorang, kita tetap tidak boleh mengatakannya sebagai قاضي القضاة. Akan tetapi para ulama mengecualikan hal tersebut jika penyebutan tersebut dibatasi dalam suatu instansi atau tempat kecil, seperti ungkapan “Hakimnya para hakim di kantor ini adalah si fulan”, atau ungkapan “Saya adalah hakimnya para hakim di rumah saya”. Kalimat-kalimat seperti ini adalah hal yang tidak mengapa karena maknanya akan membatasi pada ruang lingkup tertentu. ([13])
Matan
Kandungan bab ini:
- Larangan menggunakan gelar “Rajanya para raja”
- Larangan menggunakan gelar lain yang sejenis dengan gelar di atas, seperti yang dikemukakan oleh Sufyan “Syahan Syah”
- Ungkapan seperti itu dilarang meskipun hati tidak bermaksud demikian
- Larangan ini tidak lain hanya untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Ungkapan ini semakna dengan ungkapan “Rajanya para raja”
([2]) Adz-Dzarrah adalah semut yang sangat kecil, bukan biji sawi ataupun atom. (Lihat Tahdzib Al-Lughoh, Al-Azhari, 5/42, dan lihat Lisan Al-‘Arab, Ibnu Manzhur, 4/304)
([5]) H.R. At-Tirmidzi, dan beliau hasankan, No.2492, Ahmd, No.6677.
([10]) HR. At-Tirmidzi no. 2755
([11]) Lihat Fathu Al-Bari, Ibnu Hajar, 10/589-591,