مَنْ سَبَّ الدَّهْرَ فَقَدَ آذَى اللهَ
Barangsiapa Yang Mencela Masa (zaman) Maka Dia Telah Mengganggu Allah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Pada bab ini, kita masih melanjutkan pembahasan tentang syirik-syirik yang berkaitan dengan lafal, sebagaimana yang telah kita bahas pada beberapa bab-bab sebelumnya. Di antara syirik lafal tersebut yang akan kita bahas dalam bab ini adalah mencela masa. Akan tetapi perlu kembali untuk kita ingatkan bahwa syirik lafal hukum asalnya adalah syirik kecil, namun dia bisa berubah menjadi syirik akbar jika memenuhi persyaratan tertentu.
Kata الدَّهْرُ secara bahasa memiliki tiga makna:
Makna pertama adalah الأَبَد (abadi). ([1]) Di antara bentuk kalimat Ad-Dahr yang memiliki makna abadi adalah sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ
“Dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al-Jatsiyah : 24)
Masa dalam ayat ini menunjukkan keabadian waktu, dimana kita meninggal di waktu tersebut namun waktu terus berjalan. Oleh karenanya Ad-Dahr dalam bahasa Arab bisa bermakna abadi atau dengan kata lain seluruh umur kehidupan.
Makna kedua adalah الوَقْتُ الطَّوِيْلُ (waktu yang panjang). ([2]) Di antara bentuk kalimat Ad-Dahr memiliki makna waktu yang panjang adalah seperti firman Allah,
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
“Bukankah telah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan : 1)
Demikian pula seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka (istri kalian) sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu’.”([3])
Ini menunjukkan bahwa Ad-Dahr dalam ayat dan hadits ini maknanya adalah waktu yang panjang. Waktu tersebut bisa menunjukkan satu atau dua bulan, atau bahkan beberapa tahun.
Makna ketiga adalah السَّنَةُ (satu tahun). Ad-Dahr juga bisa bermakna waktu selama satu tahun. Di antara bentuk kalimat yang menunjukkan hal tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah dia telah berpuasa satu tahun.”([4])
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Dan barangsiapa berbuat satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh pahala yang semisal.”([5])
Artinya, seseorang yang puasa satu bulan ramadhan, maka berarti dia seperti puasa selama sepuluh bulan. Adapun jika ditambah puasa enam hari di bulan syawal maka seperti puasa dua bulan, sehingga jika ditotal seseorang diibaratkan puasa selama dua belas bulan atau satu tahu penuh. ([6])
Inilah beberapa makna Ad-Dahr. Adapun makna Ad-Dahr dalam pembahasan kita bisa bermakna abadi atau waktu yang panjang.
Pembahasan kita pada bab ini menyebutkan bahwa barangsiapa yang mencela masa (waktu) maka dia telah mengganggu Allah Subhanahu wa ta’ala. Perlu untuk kita ketahui bahwa mengganggu disini maksudnya bukanlah membuat Allah terzalimi atau memberikan mudharat kepada Allah, tentu tidak demikian. Akan tetapi maksud dari mengganggu Allah adalah Allah tidak suka dengan perkataan tersebut.
Oleh karena itu perlu untuk kita bisa membedakan antara آذى (mengganggu) dan ضَرَّ (memberi mudhorot). ([7]) Makhluk tidak mungkin bisa memberi kemudharatan kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
“Sesungguhnya sedikit pun mereka tidak dapat memudharatkan Allah.” (QS. Ali-‘Imran : 176)
Demikian pula firman Allah dalam hadits qudsi,
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي
“Wahai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mara bahaya sedikit pun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya.”([8])
Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mungkin diberi kemudharatan. Akan tetapi terkadang Allah Subhanahu wa ta’ala merasa terganggu dengan hal-hal yang diucapkan oleh Bani Adam, yang ucapan tersebut Allah tidak sukai, akan tetapi gangguan tersebut tidak memberikan kemudharatakan bagi Allah. Contoh Allah Subhanahu wa ta’ala merasa terganggu adalah seperti firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.” (QS. Al-Ahzab : 57)
Demikian pula seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Siapakah yang dapat menangani Ka’b bin Asyraf, sesungguhnya dia telah mengganggu Allah dan Rasul-Nya?” Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sukakah Anda jika aku yang akan membunuhnya?’ beliau menjawab: ‘Ya’.”([9])
Seperti juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ، إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا، وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada siapa pun yang lebih bersabar atas gangguan yang ia dengar melebihi Allah, Sesungguhnya mereka menganggap Dia punya anak namun Dia memaafkan dan memberi mereka rezeki.”([10])
Ini menunjukkan bahwa Allah terganggu dengan ucapan orang-orang bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki anak. Meskipun Allah terganggu, hal tersebut tidak memberikan kemudharatan bagi Allah, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala membiarkan mereka hidup dan memberi mereka rezeki, padahal Allah mampu untuk mematikan mereka. Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala membiarkan mereka hidup karena hikmah yang Allah kehendaki.
Hal ini semisal banyak perkara yang menjadikan Allah murka dan marah akan tetapi itu semua tidak memberi kemudorotan kepada Allah.
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَزَعَمَ أَنِّي لاَ أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ، فَقَوْلُهُ لِي وَلَدٌ، فَسُبْحَانِي أَنْ أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا
“Sebagian keturunan Adam telah mengatakan kebohongan tentang Aku padahal mereka sama sekali tidak berhak melakukan demikian. Dan mereka mencelaku, padahal mereka tidak punya hak untuk mencelaku. Kebohongan yang mereka perbuat tentang-Ku adalah mereka menganggap Aku tidak mampu menciptakan kembali sebagaimana dulu telah ciptakan. Adapun celaannya kepada-Ku, yaitu mereka mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Maha Suci Aku, Aku sama sekali tidak mengambil istri dan tidak mempunyai anak.”([11])
Jadi, ketika ada lafal-lafal dalam Al-Quran yang menyebutkan tentang gangguan terhadap Allah, maka jangan pernah terlintas dalam benak kita bahwasanya Allah mendapat kemudharatan karena Allah tidak mungkin mendapat kemudharatan, akan tetapi sebutan gangguan tersebut menandakan bahwa Allah tidak menyukai hal tersebut dan Allah marah disebabkan gangguan tersebut. Berbeda dengan manusia, gangguan yang diterima oleh manusia seringnya menghasilkan kemudharatan.
Kembali kepada judul bab, barangsiapa yang mencela masa maka dia telah mengganggu Allah. Mengapa demikian? Karena masa (waktu) tidak bisa berbuat apa-apa. Masa (waktu) diciptakan oleh Allah tanpa memiliki iradah (kehendak), tidak punya kekuatan, dan bahkan tidak punya apa-apa. Masa diciptakan oleh Allah sebagai suatu zaman tempat bergulirnya berbagai macam kejadian. Maka tatkala seorang anak cucu Adam mencaci-maki masa (waktu) sementara masa tidak punya sebab apa-apa, maka seakan-akan dia telah mengganggu Allah, Dzat yang mengatur zaman tersebut. ([12]) Oleh karena itu, Imam Syafi’i memiliki perkataan yang indah, ([13]) beliau mengatakan,
نَعِيْبُ الزَمَانَ وَالْعَيْبُ فِيْنَا وَمَا لِزَمَانِنَا عِيْبٌ سِوَانَا
“Kita mencela waktu sedangkan yang tercela adalah kita, tidak ada aib bagi zaman selain diri kita.”
Gambaran sederhana, seperti seseorang pegawai yang dipecat oleh manajernya. Manajernya mengatakan bahwa itu adalah keputusan direktur perusahaan. Kemudian sang pegawai tersebut marah dan mencela-cela manajernya tersebut, padahal dia tahu bahwa keputusan itu datangnya dari direktur. Maka ketika dia mencela manajernya, pada hakikatnya dia mencela direkturnya, karena manajernya hanya sekedar menjalankan tugas. Demikian pula dengan zaman yang hakikatnya tidak berbuat apa-apa, bahkan yang mengatur zaman itu adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jika ada seseorang yang mencela zaman (waktu) maka hakikatnya dia telah mengganggu Allah Subhanahu wa ta’ala. Inilah maksud dari judul bab ini.
Di zaman sekarang ini banyak sekali orang yang mencela zaman, dan hal itu telah terjadi sejak zaman dahulu di zaman Arab Jahiliah, dimana mereka dahulu suka mencela zaman. Ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan yang mereka kehendaki, maka orang Arab Jahiliah akan mengatakan “Kejahatan masa telah menyerang kita” atau dengan perkataan “Si Fulan telah dibinasakan oleh masa”. Demikianlah ucapan-ucapan mereka tersebut, seakan-akan waktu bisa menelan dan membinasakan mereka, dan mereka mengisbatkan keburukan kepada zaman. ([14]) Adapun bentuk kata yang banyak kita dengar di zaman ini adalah perkataan orang “Sungguh edan zaman ini”, ini adalah bentuk mencela masa. Intinya, banyak sekali orang yang mencela masa, padahal masa tidak berbuat apa-apa. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela zaman, maka sejatinya dia sedang mencela Dzat yang mengatur zaman tersebut.
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’. Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah : 24)
Syarah
Ibnu Katsir rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa ayat ini mengisyaratkan tentang kaum Ad-Dahriah. Mereka adalah kaum yang menyandarkan segala kejadian kepada masa.
Dalam hal ini, kaum musyrikin terbagi menjadi dua:
- Kaum musyrikin yang meyakini adanya Allah tapi mengingkari hari kebangkitan.
Kaum musyrikin yang seperti ini merupakan yang mayoritas seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan teman-temannya yang lain, mereka meyakini adanya Allah tapi mereka tidak meyakini adanya hari kebangkitan. Sebab keyakinan mereka itulah sehingga mereka mengatakan sebagaimana dalam ayat ini bahwa mereka hanya akan hidup dan mati, kemudian selesai, tidak ada yang namanya hari kebangkitan. Mereka mengatakan bahwa ketika mereka telah meninggal, maka akan datang generasi yang baru dan seterusnya.
- Kaum musyrikin yang terpengaruh dengan falasifah Ad-Dahriah
Falasifah Ad-Dahriah ini ada berbagai macam model:
- Yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Ada dua model terkait orang yang mengatakan bahwa tuhan tidak ada,
Pertama, mereka mengatakan bahwa alam itu azali dan abadi, sehingga hari kiamat dan kehancuran itu tidak ada, bahkan Tuhan itu pun tidak ada menurut mereka.
Kedua, mereka meyakini bahwa alam berulang setiap 36.000 tahun. Maksudnya adalah kejadian yang dialami sekarang ini akan terulang pada 36.000 tahun yang akan datang. - Yang menyatakan bahwa Tuhan ada. Model ini pun terbagi menjadi dua model,
Pertama, yang meyakini bahwa Tuhan memberi tahu aturan alam kepada benda-benda langit, sehingga semua kejadian di alam semesta ini tidak ada lagi kaitannya dengan Tuhan, karena Tuhan telah menyerahkan sunnatullah kepada benda-benda langit tersebut. Sehingga seakan-akan Tuhan tidak lagi memiliki kegiatan, dan yang kemudian mengatur adalah benda-benda langit.
Kedua, yang meyakini bahwa setelah Tuhan mencipta, Tuhan selesai dalam tugasnya. Sehingga Tuhan tidak lagi mengatur-atur sifat-sifat dan kejadian setelah penciptaan.
Semua model kaum musyrikin ini adalah kafir. Mereka semuanya menyandarkan kepada masa. Maka sungguh benarlah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
“Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah : 24)
Sesungguhnya keyakinan mereka itu hanyalah dugaan dan hipotesis belaka, tanpa ada argumentasi sama sekali. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan bahwasanya mereka itu hanya mengikuti dugaan-dugaan mereka. Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka Allah pula yang memberitahukan tentang hal-hal gaib yang terjadi dahulu dan yang akan terjadi. Maka dari itu kita hendaknya beriman dengan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun akal kita yang rendah ini tidak bisa menduga-duga apa yang akan terjadi.
Hukum Mencela Zaman
Hukum mencela zaman dapat kita ketahui dengan melihat dua kemungkinannya terlebih dahulu:
- Mencela zaman sebagai pelaku atau pengatur kejadian
Orang yang mencela zaman sebagai pengatur kejadian, maka ada dua kemungkinan:
Kemungkinan pertama: Jika yang dimaksud dengan zaman sebagai pengatur adalah zaman itu sendiri, maka yang demikian sebagaimana akidah Ad-Dahriah. Dan hukum seperti ini adalah kekufuran.
Kemungkinan kedua: Jika yang dimaksud dengan zaman adalah sang pengatur zaman yaitu Allah, maka pada hakikatnya dia sedang mencela Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya seseorang paham bahwa zaman tidak bisa berbuat apa-apa, dan dia tahu bahwa Allah yang mengaturnya, namun tetap saja dia mencela zaman. Hukum yang seperti ini juga kafir, karena hukum mencela Allah Subhanahu wa ta’ala adalah kafir.
- Mencela zaman sebagai waktu bergulirnya kejadian
Orang yang mencela zaman sebagai waktu bergulirnya zaman, maka ada dua kemungkinan:
Kemungkinan pertama: Mencela zaman dan bukan mencela Allah. Bagian inilah yang menjadi pokok pembahasan kita pada bab ini, ada orang yang jelas-jelas mencela zaman, namun bukan bermaksud untuk mencela Allah. Contohnya seperti perkataan seseorang, “Zaman telah membinasakannya”, “Kita berada di zaman edan”, atau “Kekejaman zaman telah menimpa kita”, dan lain-lain. Kalimat-kalimat seperti ini banyak sekali disebutkan oleh orang-orang Arab Jahiliah dahulu. Hukum asal perbuatan ini, adalah syirik kecil, karena yang dimaksud oleh mereka bukan mencela Tuhan, akan tetapi mencela zaman. Kalau mereka jelas mencela Tuhan, maka hukumnya jelas kafir. Oleh karena itu syariat mengajarkan kita untuk menjaga lisan, karena meskipun kita tidak bermaksud untuk mencela Allah, tetap saja kita tidak boleh mencela zaman.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan mencela zaman dihukumi syirik kecil karena melazimkan tiga hal kelaziman yang buruk: ([15])
- Mencela zaman merupakan bentuk mencela sesuatu yang tidak pantas untuk dicela, karena zaman tidak berbuat apa-apa dan hanya merupakan tempat bergulirnya waktu kejadian dan peristiwa.
- Mencela zaman melazimkan mencela Allah, karena yang mengatur zaman adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Mencela zaman menyerupai perkataan kaum Ad-Dahriah yang mereka menyandarkan kejadian kepada zaman. Sebagaimana firman Allah yang telah kita sebutkan,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’.” (QS. Al-Jatsiyah : 24)
Maka jika ada kaum muslimin yang mencela zaman, maka itu berarti dia menyerupai kaum Ad-Dahriah. Akan tetapi karena akidah antar kaum muslimin dan Ad-Dahriah berbeda, maka kaum muslimin yang mencela zaman dihukumi syirik kecil, adapun kaum Ad-Dahriah dihukumi kafir.
Kemungkinan kedua: Jika ungkapan celaan terhadap zaman hanya sekadar menjelaskan kondisi zaman dan bukan mencelanya. Jika demikian maka hukumnya adalah tidak mengapa, karena dalam Al-Quran juga datang firman Allah yang serupa, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ، تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari sial (mereka) yang terus menerus, yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya.” (QS. Al-Qamar : 19-20)
أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ لِنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَخْزَى وَهُمْ لَا يُنْصَرُونَ
“Maka Kami tiupkan angin yang sangat bergemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial (mereka), karena Kami ingin agar mereka itu merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan di dunia. Sedangkan azab akhirat pasti lebih menghinakan dan mereka tidak diberi pertolongan.” (QS. Fushshilat : 16)
Kedua ayat ini bukan dalam rangka mencela waktu, akan tetapi dalam rangka untuk menjelaskan kondisi yang terjadi pada hari itu, yaitu kesialan yang dialami oleh kaum ‘Ad. Contoh lain pula seperti dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain,
هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“(Luth berkata) Ini hari yang sangat sulit.” (QS. Hud : 77)
Nabi Luth ‘alaihissalam mengatakan demikian ketika melihat tamu yang datang ke rumahnya adalah orang yang tampan-tampan, sedangkan kaumnya satu kampung merupakan orang-orang homoseksual, oleh karena itu Nabi Luth ‘alaihissalam menjelaskan bahwa hari itu adalah hari yang sangat berat baginya, karena kaumnya sudah pasti sangat berhasrat kepada tamu-tamunya. Perkataan Nabi Luth ‘alaihissalam dalam ayat ini tentunya bukan dalam rangka mencela waktu, akan tetapi menjelaskan kondisi yang terjadi pada hari tersebut.
Demikian pula seperti perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam,
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ
“Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan.” (QS. Yusuf : 48)
Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam ayat ini sedang menyifati masa dengan sesuatu yang berat, akan tetapi perkataan beliau ini bukan dalam rangka untuk mencela masa, akan tetapi untuk menjelaskan kondisi waktu tersebut.
Jadi, selama niatnya hanya sekadar pengabaran tentang kondisi zaman dan bukan dalam rangka mencela, maka yang seperti itu tidak mengapa.
Matan
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَالَ تَعَالَى: يُؤْذِيْنِيْ ابْنِ آدَم، يَسُبُّ الدَّهْر، وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَار
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Anak Adam (manusia) menggangguku, mereka mencela masa padahal aku adalah pemilik dan pengatur masa. Akulah yang menjadikan mala dan siang silih berganti’.”
Dalam riwayat yang lain dikatakan,
لَا تَسُبُّوا الدَّهْر، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْر
“Janganlah kalian mencela masa, karena Allah adalah Ad-Dahr itu sendiri.”
Syarah
Hadits qudsi ini merupakan dalil jelas yang menunjukkan bahwa orang yang mencela zaman berarti telah mencela Allah, karena zaman tidak bisa berbuat dan Allah yang mengatur zaman. Telah kita jelaskan pula sebelumnya bahwa meskipun suatu hal dapat mengganggu Allah, akan tetapi terganggunya Allah tidak melazimkan bahwa Allah mendapat kemudharatan.
Dari dalil ini, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwasanya di antara nama-nama Allah adalah Ad-Dahr. Akan tetapi hal ini merupakan hal yang khilaf di kalangan para ulama. Di antara yang berpendapat bahwa di antara nama-nama Allah adalah Ad-Dahr adalah seperti Nu’aim bin Hammaad Al-Khuza’i([16]) dan Ibnu hazm Azh-Dzahiri. ([17]) Mereka berpendapat bahwa dalilnya sangat jelas, karena dalam dalil ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
وَأَنَا الدَّهْرُ([18])
“Dan aku adalah Ad-Dahr.”
Adapun yang berpendapat bahwa Ad-Dahr bukan merupakan nama-nama Allah merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa Ad-Dahr bukan di antara nama-nama Allah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa setelah Allah menyebutkan “Dan Aku adalah Ad-Dahr”, Allah kemudian menjelaskan bahwa maksudnya adalah Allah yang membolak-balikkan siang dan malam.
Pendapat jumhur yang menyatakan bahwa Ad-Dahr bukanlah di antara nama-nama Allah adalah pendapat yang paling benar. Di antara hal-hal yang mendukung hal tersebut antara lain:
Pertama, kata وَأَنَا الدَّهْرُ ditafsirkan dengan penjelasan setelahnya bahwa maksudnya adalah Allah yang membolak-balikkan siang dan malam.
Kedua, semua nama-nama Allah adalah isim musytaq dan bukan isim jamid. Isim musytaq adalah kata yang memiliki asal atau dengan kata lain merupakan perpecahan dari fi’il, adapun isim jamid adalah kata yang tidak memiliki asal perubahan. ([19]) Contohnya adalah nama Allah الغَفُوْرُ yang berasal dari kata غفر. Adapun kata الدَّهر merupakan isim jamid karena tidak memiliki asal kata, melainkan kata dasarnya adalah الدهر itu sendiri.
Ketiga, kalau Ad-Dahr adalah nama Allah maka perkataan kaum Ad-Dahriah menjadi benar. Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa perkataan kaum Ad-Dahriah adalah,
وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ
“Dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad-Dahr (masa).”
Jika Ad-Dahr maksudnya adalah Allah, maka perkataan kaum Ad-Dahriah adalah benar bahwa memang Allah yang membinasakan manusia. Akan tetapi ayat ini menjelaskan kesalahan mereka karena mengatakan hal tersebut. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan bahwa Ad-Dahr bukan Allah.
Matan
Kandungan bab ini:
- Larangan mencela masa (zaman)
- Mencela masa berarti mengganggu Allah Subhanahu wa ta’ala
- Perlunya merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah Dia adalah Ad-Dahr”
- Mencela mungkin saja dilakukan oleh seseorang, meskipun dia tidak bermaksud demikian dalam hatinya
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) As-Shihah, Al-Jauhari, 2/661
([2]) Al-Faiq, Az-Zamakhsyari, 1/446, An-Nihayah Fi Ghorib Al-Hadits, Ibnu Al-Atsir, 2/144
([6]) Syarh shohih Muslim, An-Nawawi, 8/56
([7]) Lihat As-Shorim Al-Maslul, Ibnu Taimiyyah, 1/57-dst
([12]) At-Tamhid, Ibnu ‘Abdi Al-Barr, 18/155
([13]) Dinisbatkan kepada imam As-Syafi’I. Lihat ‘Uyun Al-Akhbar, Ibnu Qutaibah, 2/284
([14]) Dan yang demikian sering tersebut dalam syair-syair mereka. lihat contoh-contohnya dalam kitab Ghorib al-Hadits, Abu ‘Ubaid Al-Qosim Ibnu Sallam, 2/146
([15]) Zad Al-Ma’ad, Ibnu Al-Qoyyim, 2/323-324
([16]) Sebagaimana yang dinisbatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, 2/494
([17]) Ketika beliau menyebutkan nama Allah ‘Azza wa Jalla yang 99, beliau akhiri dengan “Ad-Dahr”. Al-Muhalla, 6/282
([18]) Disebutkan bahwa Abu Bakr bin Dawud meriwayatkan hadits ini dengan menfathah huruf “ر” yaitu وأنا الدهرَ, artinya “Dan Aku, segala urusan ditanganKu sepanjang masa”. Karena kalaulah dhommah, maka yang demikian melazimkan bahwa Ad-Dahr adalah nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan yang demikian tidaklah benar. Dan Ibnu Al-Jauzi menyanggah hal itu:
- Semua para pakar hadits hadits meriwayatkan dengan mendhommah huruf “ر”, yaitu وأنا الدهرُ Dan Ibnu Dawud bukanlah termasuk huffazh (pakar) hadits yang mu’tabar.
- Maksud hadits telah ditafsirkan pada riwayat yang lain, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla yang mengatur masa).
)Lihat Kasyf Al-Musykil Min Hadits As-Shohihain, Ibnu Al-Jauzi, 3/347-348(