مِنَ الشِّرْكِ: إِرَادَةُ الإِنْسَانِ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا
Termasuk Kesyirikan Beramal Saleh Untuk Kepentingan Dunia
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Pembahasan ini merupakan kelanjutan dari pembahasan pada bab sebelumnya yaitu tentang riya’. Perlu untuk kita ketahui sebelumnya bahwa keinginan seseorang terhadap dunia itu ada dua, pertama adalah mengharapkan pujian, dan yang kedua adalah selain pujian. Maka dari itu kita ketahui bahwa riya’ merupakan salah satu bentuk dimana seseorang beramal saleh untuk dunia, yaitu ingin meraih pujian. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan pada bab ini adalah menginginkan bentuk dunia yang lain, yaitu dimana seseorang ingin meraih dunia selain riya’ dengan cara beramal saleh, seperti ingin meraih harta dan yang lainnya. Maka yang demikian juga termasuk dalam syirik.
Beramal saleh untuk mengharapkan pujian dan selain pujian (riya’) adalah dua bentuk amalan yang berbeda. Hal yang membedakan keduanya adalah waktu yang seseorang gunakan dalam beramal saleh. Bagi orang yang riya’ dalam amalannya terkadang dia riya’ dalam suatu amalan, namun pada amalan yang lain dia bisa ikhlas. Intinya, ketika suatu amalan itu selesai maka riya’ pun akan hilang. Akan tetapi berbeda dengan seseorang yang beramal saleh untuk mencari dunia (selain riya’), bisa jadi dia melakukan amalan tersebut dalam waktu yang lama bahkan bisa jadi sampai bertahun-tahun agar bisa meraih dunia tersebut. Oleh karena itu, terkadang orang yang termasuk dalam pembahasan bab ini bisa jadi sangat dan lebih berbahaya daripada orang yang beramal dengan riya’.
Pada bab ini pula kita mengingatkan bahwa yang menjadi permasalahan adalah seseorang yang beramal saleh (akhirat) untuk mencari dunia, adapun seseorang yang melakukan amalan (dunia) untuk meraih dunia maka hal tersebut tidak mengapa. Contohnya adalah orang yang pandai dan cerdas, kemudian dengan kecerdasannya itu dia bisa memenangkan tender proyek, yang seperti ini tidak mengapa. Contoh lain juga adalah seperti orang yang melakukan perkerjaannya dengan baik agar dilihat oleh atasannya sehingga dia bisa dipromosikan untuk mendapatkan jabatan yang lebih bagus daripada sebelumnya, yang seperti ini tidak menjadi masalah dan boleh-boleh saja. Akan tetapi yang perlu diperhatikan untuk orang yang beramal dunia untuk meraih dunia adalah agar dia tidak sombong dan ujub dengan perbuatannya, karena ujub dan sombongnya itu bisa menjerumuskannya dalam kemaksiatan.
Hukum Menggandakan (Mencampurkan) Niat
Pada pembahasan beramal saleh (amal akhirat) untuk kepentingan dunia, pembahasannya akan mengarah kepada bagaimana hukum seseorang yang menggandakan (mencampurkan) niatnya dalam beramal saleh. Hukum-hukum terkait itu bisa kita jelaskan terkait dengan beberapa model mencampurkan niat sebagai berikut:
A, Mencampurkan niat ikhlas dengan niat amal saleh (akhirat) yang lainnya dalam satu amalan
Disebutkan oleh ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam dalam kitabnya Qawaa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam, contoh dalam hal ini adalah seorang imam shalat yang memperpanjang rukuk agar makmum yang masbuk bisa mendapatkan rakaat. ([1]) Ini contoh seseorang yang mencampurkan niat amal saleh yang lain dalam satu amalan, dimana imam tersebut ikhlas dalam rukuknya, akan tetapi dia memiliki niat yang lain dalam lamanya rukuk tersebut yaitu agar orang yang terlambat mendapatkan rakaat tersebut. Hukum orang yang melakukan seperti ini adalah boleh.
Contoh lain dalam hal ini pula adalah apa yang dilakukan oleh Malik Ibnul Huwairits radhiallahu ‘anhu. Dalam Shahih Bukhari beliau mengatakan,
إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ، وَلَكِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
“Demi Allah, sungguh aku akan mengerjakan shalat bersama kalian, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk shalat (bersama kalian), namun aku hendak memperlihatkan kepada kalian bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat.”([2])
Ini contoh bahwa Malik Ibnul Huwairits shalat karena Allah, namun sekaligus ingin mengajarkan kepada yang lain tentang bagaimana tata cara shalat yang benar. Ini menunjukkan pencampuran niat lain dalam satu amalan.
Contoh yang lain adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati salah seorang sahabat yang terlambat datang ke masjid kemudian shalat sendiri, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
“Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan mengerjakan shalat bersamanya?”([3])
Maka jika seseorang yang sudah shalat ikut kembali shalat bersama orang tersebut, maka itu berarti dia shalat karena Allah dan juga sekaligus bersedekah agar saudaranya yang lain dapat pahala shalat berjemaah. Ini menunjukkan bolehnya niat ikhlas dicampurkan dengan niat akhirat lainnya dalam satu amalan.
Contoh yang lain adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lakukan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
“Sungguh (suatu ketika) aku berdiri melaksanakan shalat, aku ingin memanjangkannya. Akan tetapi aku mendengar tangisan bayi, maka aku pendekkan (mempercepat) shalatku karena khawatir memberatkan ibunya.”([4])
Hadits ini menjelaskan bahwa disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ikhlas dalam shalatnya, beliau memiliki niat yang lain yaitu tidak ingin memberatkan sang ibu dari bayi yang menangis tersebut, karena jika beliau jadi memanjangkan shalatnya maka sang bayi bisa menangis terus. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencampurkan niat lain dalam satu amalannya, sehingga ini menunjukkan kebolehan hal tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mencontohkan hal tersebut.
B. Mencampurkan niat akhirat dengan niat dunia
Artinya ada seseorang yang melakukan amal saleh untuk akhirat, namun juga untuk mendapatkan ganjaran duniawi. Model seperti ini terbagi menjadi dua jenis,
1, Niat amal akhirat tercampur riya’
Sebagaimana telah kita sebutkan pembahasannya pada bab sebelumya bahwa amalan apa pun (akhirat), jika tercampur dengan riya’ maka secara umum amalnya akan gugur dan menjadikan orang yang melakukannya telah berbuat dosa syirik.
2. Niat amal akhirat tercampur dengan niat dunia selain riya’
Terkadang seseorang yang beramal saleh untuk akhiratnya tercampur di dalamnya niat untuk dunia seperti memperbanyak harta, naik jabatan, untuk kesehatan, dan yang lainnya. Jika amal saleh tercampur dengan niat dunia seperti ini, maka bagaimana hukumnya? Untuk mengetahui hal itu, maka kita melihat dari motif seseorang dalam melakukannya yang terbagi menjadi dua,
- Niat amal akhirat murni untuk mendapatkan dunia
Para ulama sepakat bahwa jika seseorang beramal murni niatnya untuk mendapat dunia, maka dia tidak akan mendapat pahala, bahkan pelakunya diancam dengan neraka Jahannam. Contohnya adalah orang yang belajar agama di bangku kuliah, dan kita tahu bahwa belajar agama merupakan ibadah, namun ternyata orang tersebut niatnya sejak awal adalah untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan uang. Ini menunjukkan bahwa bisa jadi ada orang yang beramal akhirat dan niatnya murni untuk dunia. Akan tetapi kita katakan bahwa perkara seperti ini tidak keluar dari diri seorang muslim, kalau pun ada maka hanya bisa dihitung jari orang yang beramal murni karena dunia. Sesungguhnya yang banyak melakukan hal yang demikian adalah orang-orang kafir.
- Niat amal akhirat tercampur dengan dunia([5])
– Jika perkara dunia tersebut dimotivasi oleh syariat Islam
Banyak amalan yang dimotivasi oleh syariat agar seseorang mendapatkan dunia. Contoh dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةَ
“Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.”([6])
Ini menunjukkan bahwa seseorang bisa mencampurkan antara niat sedekah karena Allah dan niat untuk sembuh dari penyakit. Ini menunjukkan bahwa jika perkara dunia itu dimotivasi oleh syariat maka hukumnya boleh, sehingga tidak mengapa seseorang bersedekah untuk kesembuhan bagi dirinya atau yang lainnya.
Contoh lain adalah menambah harta dengan menyambung silaturahmi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin dilapangkan rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” ([7])
Memperbanyak harta dan panjang umur merupakan perkara duniawi, akan ternyata syariat memotivasi seseorang untuk meraihnya dengan amal saleh berupa silaturahmi. Maka dari itu, mencampurkan niat silaturahmi karena Allah dengan niat agar dilapangkan rezeki dan panjang umur merupakan hal yang diperbolehkan,
Contoh lain adalah syariat menyebutkan bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq : 2-3)
Seseorang yang terkadang memiliki masalah, kemudian dia shalat malam agar masalahnya tersebut hilang, maka hal itu tidak mengapa karena Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri yang mengatakan bahwa orang yang bertakwa akan diberikan jalan keluar.
Contoh lain adalah seseorang yang ingin berperang di jalan Allah, namun juga meniatkan untuk mendapatkan ghanimah. Ternyata hal yang demikian dibolehkan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya,
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ
“Barangsiapa yang telah membunuh musuh dan dia mempunyai bukti yang jelas maka salab([8]) menjadi miliknya.”([9])
Mendapatkan ghanimah adalah hal duniawi, akan tetapi ternyata syariat memotivasi seseorang melalui jihad.
Maka dari itu, amal saleh yang tercampur dengan niat dunia yang telah dimotivasi oleh syariat hukumnya adalah boleh. Dan yang terpenting adalah selama amal saleh tersebut ada niat akhirat dan bukan murni niat dunia semata. Jika amal saleh tersebut niatnya murni karena dunia maka jelas itu tidak boleh. Hal selanjutnya yang kemudian menjadi permasalahan dalam hal ini adalah khilaf di kalangan para ulama tentang apakah pahala dari amal saleh tersebut berkurang atau tidak.
– Jika perkara dunia tersebut tidak dimotivasi oleh syariat
Banyak hal dimana sebuah amal saleh dicampurkan niatnya dalam meraih dunia namun tidak ada motivasinya (dalil) dari syariat. Contohnya adalah orang yang pergi ke masjid untuk pengajian sekaligus jualan, atau seseorang Ikhwan yang pergi pengajian sekaligus untuk mencari akhwat, atau jadi imam shalat atau pendakwah agar bisa kaya, dan yang lainnya. Lantas bagaimana hukumnya? Ada khilaf di kalangan para ulama terkait ini, dan setidaknya terbagi atas tiga pendapat:
Pendapat pertama : selama seseorang mencampurkan antara niat amal saleh dan niat duniawi, maka amal tersebut akan tertolak (gugur). Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla’. ([10])
Pendapat kedua : Al-Qarafi([11]) dalam kitabnya Al-Furuq menyebutkan bahwa tidak mengapa suatu amal saleh tercampur dengan niat duniawi, sehingga tetap berpahala. Beliau mengiaskan masalah ini dengan masalah bolehnya niat dunia tercampur dengan niat akhirat karena motivasi syariat. Beliau menyebutkan bahwa jika sebagian perkara dunia boleh diniatkan dalam amal saleh maka pada dasarnya seluruh perkara dunia (selain riya’) dan ada niat akhirat tetap akan dapat pahala. Masalahnya kemudian hanya tentang apakah pahalanya tetap atau berkurang. Adapun penulis juga lebih condong pada pendapat ini.
Pendapat ketiga : pendapat ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka berpendapat bahwa jika niat akhirat yang mendominasi maka tetap berpahala, adapun jika niat dunia yang mendominasi maka tidak dapat pahala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perincian yang bagus terkait hukum masalah ini. Beliau membawakan masalah ini ketika membahas tentang orang yang badal haji.([12]) Beliau menyebutkan bahwa jika:
Pertama : seseorang beramal saleh untuk mendapatkan dunia. Contohnya adalah seseorang yang membadalkan haji orang lain, namun dia memilih-milih untuk mencari harga tertinggi yang bisa dia dapatkan dari orang yang ingin dibadalkan hajinya. Maka kita katakan bahwa orang yang beramal saleh (berhaji) untuk mengumpulkan harta, karena melihat siapa yang paling banyak memberikan bayaran untuk badal haji. Akan tetapi kita katakan bahwa hal yang semacam ini tidak baik bagi seorang muslim. Tidak pantas bagi seorang muslim untuk menjadikan amal salehnya sebagai sarana untuk mencari dunia (harta).
Kedua : seseorang mencari dunia untuk beramal saleh. Contohnya adalah seseorang yang sudah pernah haji, akan tetapi dia kemudian ingin haji hanya saja terkendala biaya. Dia ingin bisa kembali ke tanah suci, ingin bisa melihat baitullah, ingin bisa tawaf, dan yang lainnya. Maka dia kemudian menerima haji badal agar dia bisa pergi ke tanah suci, dia tidak terlalu peduli dengan jumlah biayanya, yang terpenting baginya adalah dia bisa pergi ke tanah suci. Intinya, jika seseorang mengambil dunia (secukupnya) agar dia bisa beramal saleh maka tidak mengapa, bahkan itu adalah hal yang terpuji.
Contoh lain dalam masalah ini adalah seperti seorang imam shalat fardhu yang meminta gaji agar bisa menafkahi keluarganya dan agar dia bisa fokus menjadi imam. Demikian pula dengan seorang guru dan pendakwah di negeri kita, mereka boleh menerima hadiah atau bahkan membuat akad terkait perkara dunia (harta) yang masuk akal, agar dia bisa fokus dalam mengajar dan berdakwah kepada masyarakat. Akan tetapi perlu diingat, bahwa niat itu hanya antara seorang hamba dengan Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu. Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu apakah hamba tersebut murni niatnya karena ingin fokus beramal saleh atau murni ingin mengumpulkan harta.
Ketahuilah bahwa tidak ada bedanya antara seseorang yang berdakwah dengan buku, berdakwah di mimbar-mimbar, menjadi guru, pembimbing umrah dan sebagainya. Maka pada dasarnya tidak boleh seseorang mengambil manfaat dunia sama sekali dari itu semua, sebagaimana perkataan para rasul-rasul terdahulu, dimana mereka selalu berkata kepada kaumnya,
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
“Dan wahai kaumku, aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang yang telah beriman.” (QS. Hud : 29)
Akan tetapi kita sadari bahwa kondisi di zaman sekarang ini berbeda, sehingga terkadang ada da’i yang berbisnis travel dan menjadi pembimbing umrah dan haji, atau menerbitkan buku dan dijual. Akan tetapi yang perlu diingat bagi para pendakwah yang melakukan demikian, hendaknya yang utama adalah niatnya tetap karena Allah Subhanahu wa ta’ala dan dia tidak meniatkan untuk memperkaya dirinya. Di sisi lain, jika seorang pendakwah sudah berdakwah dengan ikhlas, kemudian dia diberi pemberian tanpa diminta sebelumnya maka tidak mengapa untuk diterima. Hal ini sebagaimana tatkala Nabi Musa ‘alaihissalam menerima balasan atas perbuatannya membantu dua orang wanita untuk memberi minum kepada ternaknya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami’.” (QS. Al-Qashash : 25)
Oleh karena itu, tidak mengapa seseorang menerima pemberian dari orang lain atas amal saleh yang dia lakukan.
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ، أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Syarah
Ayat ini pada dasarnya ditujukan kepada orang-orang kafir. Akan tetapi para ulama mengatakan bahwa ayat ini maknanya umum, ([13]) sehingga barangsiapa yang murni mencari dunia dengan amal salehnya maka dia telah berakhlak dengan akhlaknya orang kafir, dan dia akan mendapatkan dunia tersebut namun di akhirat dia tidak mendapatkan apa-apa.
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa barangsiapa yang beramal saleh untuk mencari dunia maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan sempurnakan balasannya di dunia. Akan tetapi Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa ayat ini kemudian dikhusukan dengan ayat yang lain, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ : 18)
Artinya tidak semua orang yang beramal saleh untuk mencari dunia akan mendapatkan dunia itu oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, sehingga terkadang ada yang diberi dunia dan ada pula yang tidak. Terdapat banyak contoh orang-orang yang beramal saleh untuk mencari dunia dan Allah berikan apa yang dia inginkan di dunia. Di antaranya yang banyak adalah seseorang yang berpura-pura menjadi pendakwah, dan benar-benar Allah berikan dunia kepada orang-orang seperti mereka. Akan tetapi sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan bahwa orang-orang seperti itu tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat kelak kecuali neraka Jahannam. Demikian pula hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya tentang tiga orang yang beramal saleh untuk riya’ dan mendapatkan kedudukan. Keinginan mereka untuk dikatakan sebagaimana apa yang dia inginkan mereka dapatkan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan-Nya hingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat tersebut? Orang tersebut menjawab: ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani, dan kamu telah menyandang gelar tersebut’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya diseret di atas wajahnya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang ‘alim yang belajar Alquran dan mengajarkannya, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan hingga ia mengingatnya dengan jelas, maka Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengan nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Alquran demi Engkau’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang di beri keluasan rezeki oleh Allah dengan semua jenis rezeki, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan tersebut hingga ia mengingatnya dengan jelas. Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengan nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan jalan apa pun yang Engkau suka melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan tersebut’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”([14])
Dan ada pula orang yang telah berusaha melakukan berbagai macam amalan untuk bisa mendapatkan kedudukan di tengah-tengah masyarakat, atau untuk mendapatkan harta, akan tetapi ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa. Artinya, Allah Subhanahu wa ta’ala hanya memberikan dunia kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menahan bagi siapa yang Dia kehendaki. Adapun setiap orang yang menghendaki akhirat dari amal salehnya pasti akan diberikan balasannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Matan
Dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيلَة، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ، طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ، مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ
“Celaka hamba dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba kain tebal dan sutra, jika diberi (dunia tersebut) maka ia ridha, dan jika dia tidak diberi maka ia marah. Celaka dan merugilah ia, jika tertusuk duri maka ia tidak akan terlepas darinya. Beruntunglah hamba yang mengambil tali kendali kudanya berperang di jalan Allah, rambutnya kusut dan kakinya berdebu. Jika ia (ditugaskan) menjaga maka ia benar-benar menjaga, jika ia berada dibarisan belakang maka ia benar-benar berjuang dengan baik meskipun di belakang, jika ia meminta izin maka ia tidak akan diberi izin, jika ia memberi rekomendasi maka tidak akan diterima.”
Syarah
Hadits ini menyebutkan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan tentang dua orang yang berbeda, satunya adalah hamba dinar dan dirham (harta), dan yang satunya adalah hamba Allah Subhanahu wa ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan jenis hamba yang pertama adalah hamba dunia, yang menjadi hamba dunia tersebut telah berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena menjadikan kemarahannya atau kebenciannya karena dunia dan bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan tentang kecelakaan bagi hamba dinar dan dirham. Kalau kita kembali melihat teks hadits, kita akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan antara kecelakaan bagi hamba dinar dan dirham. Kita tahu bahwasanya dirham nilainya di bawah dinar, sehingga maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan kecelakaan bagi keduanya adalah untuk menegaskan bahwa ada orang-orang yang hatinya betul-betul terikat hatinya dengan harta, baik itu harta yang banyak seperti dinar ataupun harta yang sedikit seperti dirham. Kemudian kedua, setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa kecelakaan bagi hamba Al-Khamiisah dan Al-Khamiilah. Artinya, ada orang yang menjadi budak dari pakaiannya sendiri. Dia selalu terpaku pada penampilan pakaiannya yang indah, sehingga dia selalu berusaha dan berlebihan untuk memperhatikan penampilannya. Lalu kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa jika mereka semua mendapatkan apa yang mereka kehendaki dari dunia ini (dinar, dirham, dan pakaian yang indah) maka mereka akan senang. Adapun jika mereka tidak mendapatkannya apa yang mereka inginkan maka mereka akan marah dan kecewa. Maka hal inilah yang menjadikan mereka terjatuh pada perbuatan syirik kecil, karena kemarahan dan kesenangannya dibangun atas sebab perkara dunia. ([15]) Oleh karena itu, benarlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ
“Celaka dan merugilah ia, jika tertusuk duri maka ia tidak akan terlepas darinya.” ([16])
Artinya adalah ketika mereka telah mengalami penderitaan dalam hatinya karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan tersebut, mereka tidak dapat menghilangkan kegelisahan tersebut. Maka sungguh kasihan kita melihat orang yang seperti itu. Berbeda dengan orang yang segala kesenangan dan kekecewaannya karena Allah, setiap kali dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan maka dia akan ikhlas. Mungkin dia akan sedih, akan tetapi sedihnya bukanlah sedih yang berkepanjangan, karena dia tahu bahwasanya dia bukanlah budak dunia.
Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang contoh hamba yang lain, yaitu hamba yang segalanya karena Allah. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ciri-cirinya, ketika dia diamanahkan dengan suatu amanah maka dia akan menjalankan amanah itu dengan baik, sekecil apa pun amanah tersebut dia akan jalankan, karena dia hanya mencari ridha Allah. Kemudian ciri yang lain adalah dia bukan orang yang terkenal dan terpandang, jika dia meminta izin tidak akan diterima, dan jika dia memberi rekomendasi juga tidak akan diterima. Akan tetapi di awal sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ciri-cirinya, beliau menyebutkan
طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Beruntunglah hamba yang mengambil tali kekang kudanya berperang di jalan Allah.”
Sebagian ulama ada yang menafsirkan bahwa kata طُوبَى adalah sebuah nama pohon di surga, ([17]) sehingga itu menunjukkan bahwa orang dengan ciri-ciri tersebut masuk surga. Oleh karena itu, janganlah kita sekali-kali tertipu dengan penampilan. Ingatlah sebuah hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idiy, dia berkata,
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ: مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا، فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ، هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ، قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ المُسْلِمِينَ، هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لاَ يُنْكَحَ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لاَ يُشَفَّعَ، وَإِنْ قَالَ أَنْ لاَ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
“Ada seorang laki-laki melintasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi bersabda kepada orang yang duduk di dekat beliau, ‘Apa pendapat kalian dengan laki-laki ini?’ Maka seorang menjawab, ‘Dia termasuk orang-orang yang mulia. Demi Allah, apabila dia meminang, pasti akan diterima, dan bila dimintai bantuan pasti akan dibantu’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam. Beberapa saat kemudian, lewatlah seorang laki-laki lain, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, ‘Apa pendapatmu dengan orang ini?’ Dia menjawab; ‘Wahai Rasulullah, menurutku orang ini adalah orang termiskin dari kalangan kaum Muslimin, apabila ia meminang pasti pinangannya ditolak, dan jika dimintai pertolongan dia tidak akan ditolong, dan apabila berkata, maka perkataannya tidak akan didengar’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sungguh orang ini (yang terlihat miskin) lebih baik daripada seluruh bumi yang isinya orang ini (yang kelihatannya bangsawan)’.”([18])
Oleh karena itu, terkadang kita tidak tahu siapa yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, maka yang seharusnya kita fokuskan adalah bagaimana agar kita bisa ikhlas dalam beramal saleh. Lihatlah jenis orang kedua yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia selalu ikhlas meskipun dia tidak dianggap dan diperhatikan, dia tidak pernah marah karena tidak mendapatkan dunia, akan tetapi dia hanya marah dan ridha karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, berusahalah kita menjadi orang yang seperti ini yang marah dan senang karena Allah Subhanahu wa ta’ala.
Inilah dua contoh yang bertolak belakang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan, yang satu adalah jenis orang yang terjatuh dalam kesyirikan, dan yang satu adalah orang yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa ta’ala.
Matan
Kandungan bab ini:
- Motivasi seseorang dalam meraih dunia dengan amalan akhirat
- Tafsir ayat dalam surah Hud
- Adanya penamaan bagi seorang muslim sebagai hamba dinar, hamba dirham, dan hamba pakaian
- Penjelasan bahwa cirinya adalah jika diberi dia ridha, dan jika tidak diberi dia marah (kecewa)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan kecelakaan dan kerugian bagi mereka
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang “Jika tertusuk duri maka ia tidak akan bisa lepas darinya”.
- Pujian dan sanjungan bagi mujahid yang memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Qowaid Al-Ahkam Fi Masholih Al-Anam, Al-‘Iz bin ‘Abdissalam As-Syafi’i, 1/151
([5]) At-Tamhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 405-408
([6]) Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no. 3358, Al-Albani mengatakan hadits ini hasan
([7]) HR. Bukhari no. 5986 dan HR. Muslim no. 2557
([8]) Segala harta atau barang yang melekat pada musuh yang terbunuh
([10]) Berkata Ibnu Hazm rahimahullahu Ta’ala:
فَإِنْ خَلَطَ بِنِيَّةِ الطَّهَارَةِ لِلصَّلَاةِ نِيَّةً لِتَبَرُّدٍ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ لَمْ تُجْزِهِ الصَّلَاةُ بِذَلِكَ الْوُضُوءِ. بُرْهَانُ ذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ} فَمَنْ مَزَجَ بِالنِّيَّةِ الَّتِي أُمِرَ بِهَا نِيَّةً لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا، فَلَمْ يُخْلِصْ لِلَّهِ تَعَالَى الْعِبَادَةَ بِدِينِهِ ذَلِكَ، وَإِذَا لَمْ يُخْلِصْ فَلَمْ يَأْتِ بِالْوُضُوءِ الَّذِي أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ، فَلَوْ نَوَى مَعَ وُضُوئِهِ لِلصَّلَاةِ أَنْ يُعَلِّمَ الْوُضُوءَ مَنْ بِحَضْرَتِهِ أَجْزَأَتْهُ الصَّلَاةُ بِهِ، لِأَنَّ تَعْلِيمَ النَّاسِ الدِّينَ مَأْمُورٌ بِهِ.
“Jika seseorang mencampur niat ia bersuci dengan niat untuk mendinginkan badan atau selainnya, maka tidak boleh baginya shalat dengan wudhu tersebut. Dan dalil akan hal itu adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka barang siapa yang mencampur niatnya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan niat yang tidak diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, berarti ia tidak memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla dengan tercampurnya niat dia, dan jika ia tidak ikhlash, berarti ia belum melakukan wudhu yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Namun jika ia berwudhu dan berniat untuk mengajarkan orang-orang di sekitarnya dengan wudhunya tersebut, maka boleh baginya untuk shalat dengan wudhu tersebut, karena mengajarkan orang tentang agama adalah diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 2/94)
([11]) Seorang ulama Malikiyah. Dan beliau membahas masalah ini di dalam kitab Al-Furuq, 3/22-23
([12]) Lihat Majmu’ Fataawaa 26/19-20
([13]) ‘’Idatus Shobirin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/163-164.
([15]) Syarh Shohih Al-Bukhori, Ibnu Batthol, 5/38
([16]) Berkata Ibnu Hajar Al-‘Asqolani:
وَفِي الدُّعَاءِ بِذَلِكَ إِشَارَةٌ إِلَى عَكْسِ مَقْصُودِهِ لِأَنَّ مَنْ عَثَرَ فَدَخَلَتْ فِي رِجْلِهِ الشَّوْكَةُ فَلَمْ يَجِدْ مَنْ يُخْرِجُهَا يَصِيرُ عَاجِزًا عَنِ الْحَرَكَةِ وَالسَّعْيِ فِي تَحْصِيلِ الدُّنْيَا
“Dan doa dengan hal tersebut (jika tertusuk duri, maka tidak bisa dikeluarkan): Terdapat isyarat bahwa ia akan mendapatkan yang berlawanan dengan apa yang dia inginkan. Karena orang yang tertusuk duri kakinya, dan ia tidak mendapat orang yang bisa mengeluarkan duri tersebut, maka ia tidak mampu untuk bergerak dan berusaha untuk mendapatkan dunia” (Fath Al-Bari, Ibnu Hajar, 6/83)