بَابُ: مَا جَاءَ فِي حِمَايَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَابَ التَّوْحِيْدِ وَسَدِّهِ كُلَّ طَرِيْقٍ يُوْصِلُ إِلَى الشِّرْكِ
Bab Tentang Penjagaan Nabi Pada Sisi-Sisi Tauhid dan Bagaimana Nabi Menutup Segala Jalan Menuju Kesyirikan
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
الْجَنَابُ bermakna الْجَانِبُ yang di dalam bahasa arab artinya sisi. Seperti جَنَابُ الدَّارِ artinya فَنَاءُ الدَّارِ pelataran atau sisi depan rumah([1]). Nabi menjaga sisi-sisi tauhid seakan-akan orang yang sedang menjaga sisi-sisi rumahnya dari semua arah. Semua hal yang bisa mengganggu kemurnian tauhid akan dijaga oleh Nabi, bahkan Nabi akan menutup semua jalan yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan.
Di dalam syariat dikenal kaidah سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (saddudz dzari’ah), yaitu menutup segala sarana yang bisa mengantarkan kepada keharaman. Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung dan telah dijelaskan panjang lebar oleh para ulama. Diantara dalil akan kaidah ini adalah firman Allah,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS Al-An’am : 108)
Mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin pada dasarnya merupakan sesuatu yang disyariatkan, sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi-Nabi sejak zaman dahulu([2]). Akan tetapi apabila perbuatan tersebut bisa mengantarkan mereka balik mencela Allah maka perbuatan tersebut menjadi dilarang.
Sesuatu yang disyariatkan saja bisa berubah menjadi terlarang, apalagi sesuatu yang hanya sekedar mubah, hukumnya menjadi haram jika bisa mengantarkan kepada keharaman. Seperti firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al-Baqarah : 104)
Asalnya panggilan “Raa’ina” diperbolehkan karena maknnya dalam bahasa Arab yaitu, “Perhatikanlah kami” atau “Dengarkanlah kami”, akan tetapi di tengah kaum Yahudi “Raa’ina” bermakna يَا أَحْمَقُ “Wahai, goblok!”([3]). Sehingga karena dikhawatirkan akan digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk mencela Nabi, maka perkataan yang asalnya boleh ini menjadi dilarang oleh Allah untuk digunakan oleh kaum muslimin.
Semakin haram suatu perkara maka semakin banyak sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepadanya yang ditutup/dilarang oleh syariat.
Contoh, larangan berbuat zina, Allah berfirman
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’ : 32)
Dikarenakan zina adalah perbuatan yang keji dan sangat buruk, maka perkara-perkara yang asalnya dibolehkan tetapi bisa mengantarkan kepada zina menjadi diharamkan. Perkara-perkara tersebut ada banyak, diantaranya :
- Dilarang mengumbar pandangan. Asalnya memandang adalah sesuatu yang dibolehkan, akan tetapi Nabi larang karena dapat mengantarkan kepada zina
- Dilarang berkhalwat. Asalnya berduaan dengan perempuan tidak masalah selama tidak berpegangan, bermesraan, berciuman, atau hal haram lainnya, akan tetapi Nabi larang karena umumnya berduaan itu bisa mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan yang mengantarkan kepada zina
- Demikian pula dilarang menyentuh lawan jenis, dilarang bersafar tanpa mahram, dilarang menemui wanita di rumahnya tanpa ada mahramnya, dilarang seorang istri mensifatkan wanita lain kepada suaminya, dst.
Contoh lain, larangan bertikai. Karena diantara maksud pensyariatan islam adalah menjaga persatuan di tengah manusia. Allah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat : 10)
Sehingga seluruh perkara yang bisa mengantarkan kepada rusaknya maksud ini maka ia dilarang. Oleh karena itu, pada kelanjutan ayat dan ayat berikutnya terdapat banyak larangan yang mengikutinya, diantaranya :
- Dilarang berbuat ghibah
- Dilarang melakukan tajassus (mencari-cari aib orang)
- Dilarang memanggil dengan panggilan yang buruk
- Demikian pula di dalam hadits-hadits Nabi disebutkan akan tidak bolehnya membeli di atas pembelian saudaranya, tidak boleh menawar di atas penawaran saudaranya, tidak boleh melamar di atas lamaran saudaranya, tidak boleh melakukan najsy, dst.
Tatkala perkara yang paling diharamkan adalah kesyirikan, maka segala sarana yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan lebih dilarang di dalam syariat. Semisal, syirik yang muncul karena pengagungan terhadap penghuni kubur, segala sarana yang bisa mengantarkan kepada bentuk pengagungan kepada kuburan atau penghuni kubur maka hal itu dilarang di dalam syariat, diantaranya :
- Dilarang meninggikan kuburan
- Dilarang menulis di kuburan
- Dilarang menyemen di kuburan
- Dilarang memasang lampu di kuburan
- Dilarang shalat di kuburan
- Dilarang shalat menghadap kuburan
- Dilarang berdoa di kuburan dengan keyakinan lebih dikabulkan, dst
Ini adalah sekelumit contoh begitu detailnya Nabi, menunjukkan kekhawatirannya akan terjadinya kesyirikan karena pengagungan terhadap kubur sehingga Nabi mengharamkan banyak perkara. Nabi sangat khawatir perkara-perkara tersebut dapat mengantarkan kepada kesyirikan sebagaimana pernah menimpa kaum Nabi Nuh ketika awal kali terjadinya kesyirikan atau sebagaimana asal muasal terjadinya penyembahan terhadap kuburan Latta, dan seterusnya.
Namun sangat disayangkan, kekhawatiran-kekhawatiran Nabi itu telah terjadi di zaman sekarang karena tidak mengindahkan perintah Nabi dan terlalu bermudah-mudahan di dalam perkara-perkara. Banyak orang yang pergi ke kuburan kemudian minta-minta kepada penghuni kubur, mereka bertawakkal kepada penghuni kubur, takut kepada penghuni kubur, dan seterusnya. Oleh karena itu, demi menjaga kemurnian tauhid, segala perkara yang membuatnya cacat dilarang oleh Nabi.
Demikianlah manhajus salaf, mereka memutus segala perkara yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Beliau memerintahkan agar syajaratur ridhwan (pohon di mana dilakukan bai’atur ridwan) agar di tebang. Ibnu Waddhah berkata,
سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُوْنُسَ يَقُوْلُ : أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه بِقَطْعِ الشَّجَرَةِ الَّتِي بُوْيِعَ تَحْتَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَطَعَهَا لِأَنَّ النَّاسَ كَانُوا يَذْهَبُوْنَ فَيُصَلُّوْنَ تَحْتَهَا، فَخَافَ عَلَيْهِمُ الْفِتْنَةَ
“Aku mendengar Isa bin Yunus mengatakan, “Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu memerintahkan agar menebang pohon yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menerima baiat (Bai’atur ridhwan) kesetiaan di bawahnya (dikenal dengan pohon Syajaratur ridhwan). Ia menebangnya karena banyak manusia yang pergi ke sana dan shalat di bawahnya, lalu hal itu membuatnya khawatir akan terjadi fitnah (kesyirikan) terhadap mereka.”([4])
Manusia ketika itu shalat di bawah pohon bukan berarti menyembah pohon, akan tetapi mereka meyakini kemuliaan pohon tersebut. Umar pun memrintahkan agar pohon tersebut ditebang karena khawatir bisa menjadi sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Dalam Bab ini penulis membawakan 3 dalil.
Dalil Pertama :
Firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang orang mu’min.” (QS At-Taubah : 128)
Diantara nikmat Allah untuk umat ini adalah Allah mengutus seorang Rasul dari kaum mereka sendiri. Dalam ayat lain Allah berfirman,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali ‘Imran : 164)
Ditambah Nabi juga sangat sayang kepada kaum muslimin. Oleh karena itu, segala perkara yang mengantarkan kepada kebaikan dan kemaslahatan kaumnya pasti diajarkan oleh Nabi. Nabi bersabda,
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.” ([5])
Dari Salman Al-Farisi, ia berkata bahwa ada yang pernah bertanya padanya,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Apakah Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?” Salman menjawab, “Iya. Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” ([6])
Bahkan perkara-perkara yang mungkin di mata sebagian manusia sepele seperti adab makan, adab buang hajat, adab keluar rumah, semuanya diajarkan oleh Nabi. Maka, merupakan sesuatu yang tidak mungkin apabila Nabi tidak mengajarkan tentang tauhid dan syirik. Karena justru tauhid-lah tujuan penciptaan manusia, Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat : 56)
Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan tauhid Nabi jelaskan dengan detail, demikian pula hal-hal yang bisa merusaknya, hingga bentuk-bentuk syirik kecil yang berkaitan dengan lafadz juga dijelaskan. Sampaipun dalam perkara duniawi Nabi juga melarang tasyabbuh dan menyuruh untuk menyelisihi kaum Yahudi dan kaum kafirin lainnya, agar benar-benar berpisah antara tauhid dan syirik.
Maka, hendaknya seseorang itu tidak menggampangkan tauhid dan syirik. Segala sarana menuju kesyirikan jangan pernah disepelekan, karena tujuan syaithan adalah menjerumuskan ke dalam kesyirikan, jika belum di generasi kita maka generasi setelah kita harus terjerumus ke dalam kesyirikan. Ditambah syaithan sangat sabar dalam menggoda manusia. Lihatlah bagaimana kesyirikan kaum Nuh yang berawal dari pengagungan terhadap orang-orang shalih. Syaithan tidak langsung menyuruh mereka agar menyembah orang-orang shalih tersebut. Akan tetapi bertahap, diawali dengan membangun patung-patung untuk mengenang mereka agar semakin termotivasi dan bisa lebih khusyu’ dalam beribadah. Namun setelah genarasi demi generasi berlalu, syaithan pun perlahan-lahan syaithan menyerukan ke generasi setelahnya agar menyembah patung-patung tersebut. Demikian pula di zaman sekarang, sarana-sarana yang dekat kepada kesyirikan seperti yang banyak di tengah masyarakat tidak ada yang mengetahui bahwa kelak sarana-sarana tersebut akan berubah menjadi kesyirikan yang nyata.
Dalil Kedua :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا، وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَصَلّوْا عَلَيّ فَإِنّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, dan janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘id, ucapkanlah shalawat untukku, karena sesungguhnya ucapan shalawat kalian akan sampai kepadaku dimana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik, dan para perawinya tsiqah)
Terdapat dua larangan di dalam hadits ini:
Pertama : “Jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan”
Diantara cara yang bisa dilakukan agar rumah tidak menjadi kuburan adalah
- Dengan melakukan shalat sunnah di rumah. Nabi bersabda,
اِجْعَلُوْا مِنْ صَلَاتِكُمْ فِي بُيُوْتِكُمْ، وَلَا تتَّخِذُوهَا قُبُوْرًا
“Jadikanlah rumah kalian sebagai tempat shalat kalian, jangan jadikan ia sebagai kuburan” ([7])
- Dengan membaca Al-Quran di rumah. Nabi bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan karena setan itu lari dari rumah yang didalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” ([8])
Berdasarkan dua dalil di atas dapat dipahami bahwa kuburan itu bukanlah tempat shalat dan baca Al-Quran, dan secara umum kuburan bukanlah tempat ibadah. Oleh karena itu, apabila ingin rumah yang dipenuhi keberkahan maka hendaknya sering ditegakkan shalat sunnah di rumah, sering baca Al-Quran di dalamnya, shalat malam. Diantaranya karena banyak permasalahan rumah tangga yang timbul karena rumah tidak diisi dengan ketakwaan, sehingga keberkahan ditarik dari rumah tersebut, yang berujung pada pertikaian yang sering muncul di dalam rumah.
Kedua : “Jangan jadikan kuburanku sebagai ‘Id’”
‘Id secara bahasa adalah sesuatu yang diulang-ulang. ‘Id terbagi menjadi dua :
- ‘Id berkaitan dengan waktu. Contoh : idul fitri dan idul adha.
- ‘Id berkaitan dengan tempat. Seperti tempat-tempat yang didatangi berulang-ulang secara temporer, contoh : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, ‘Arafah, Muzdalifah, Mina, Masjidil Aqsha.
Oleh karena itu, tidak perlu mendatangi kuburan Nabi jika ingin bershalawat kepadanya karena bisa jadi kemudian akan berubah menjadi ‘Id karena didatangi secara terus menerus, silahkan bershalawat dimanapun berada, niscaya itu akan sampai kepada nabi sebagaimana sabda nabi.
Faidah dari Hadits ini:
Diantara bentuk menjadikan kuburan Nabi sebagai ‘Id adalah dengan bershalawat secara berulang-ulang di kuburan Nabi. Karena hal ini bisa menimbulkan pengagungan terhadap kuburan Nabi yang dikhawatirkan bisa berujung kepada penyembahan terhadap Nabi. Adapun jika ingin bershalawat, maka lakukanlah dimanapun berada karena shalawat itu akan sampai kepada beliau dimanapun kita berada. Nabi bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الأَرْضِ يُبَلِّغُونِي مِنْ أُمَّتِى السَّلاَمَ
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di muka bumi, mereka menyampaikan salam untukku dari seluruh umatku.” ([9])
Dalil Ketiga :
Dalam hadits yang lain, Ali bin Al Husain menuturkan, bahwa ia melihat seseorang masuk ke dalam celah-celah yang ada pada kuburan Rasulullah, kemudian berdoa, maka ia pun melarangnya seraya berkata kepadanya: “Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku dari kakekku dari Rasulullah, beliau bersabda:
لاَ تَتّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا، وَصَلّوْا عَلَيّ فَإِنّ تَسْلِيْمَكُمْ يَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan ucapkanlah doa salam untukku, karena doa salam kalian akan sampai kepadaku dari mana saja kalian berada.” (Diriwayatkan dalam kitab Al Mukhtarah)
Ali bin Husain disini adalah Ali bin al-Husain bin Ali bin Abu Thalib yang terkenal dengan gelar Zainul Abidin, tabi’in dari ahlul bait Nabi yang paling utama dan berilmu.
Tentang hadits di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
فَانْظُرْ هَذِهِ السُّنَّةَ كَيْفَ مَخْرَجُهَا مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَأَهْلِ الْبَيْتِ، الَّذِيْنَ لَهُمْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْبَ النَّسَبِ وَقُرْبَ الدَّارِ، لِأَنَّهُمْ إِلَى ذَلِكَ أَحْوَجُ مِنْ غَيْرِهِمْ فَكَانُوا لَهَا أَضْبَطَ
“Perhatikanlah sunnah ini, bagaimana sumber keluarnya adalah dari orang-orang Madinah dari kalangan Ahlul Bait yang mempunyai kedekatan nasab dan rumah dengan Rasulullah, karena mereka dalam hal ini lebih memerlukan daripada orang lain. Karenanya, mereka lebih paham.” ([10])
Sa’id bin Manshur berkata di dalam Sunannya, Abdul Aziz bin Muhammad menyampaikan kepada kami, Suhail bin Abu Sahal mengabarkan kepadaku, dia berkata,
رآني الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ عِنْدَ الْقَبْرِ، فَنَادَانِي، وَهُوَ فِي بَيْتِ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا يَتَعَشَّى، فَقَالَ: هَلُمَّ إِلَى الْعَشَاءِ، فَقُلْتُ: لاَ أُرِيْدُهُ، فَقَالَ: مَا لِي رَأَيْتُكَ عِنْدَ الْقَبْرِ؟ فَقُلْتُ: سَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ فَسَلِّمْ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيْداً، وَلاَ تَتَّخِذُوا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ، لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، مَا أَنْتُمْ وَمَنْ بِالأَنْدَلُسِ إِلاَّ سَوَاءٌ”
“Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhum melihatku berada di kubur Nabi, dia memanggilku, pada saat itu dia sedang makan malam di rumah Fatimah, dia berkata, ‘Kemarilah untuk makan malam.’ Aku menjawab, ‘Aku tidak berhasrat.’ Dia bertanya, ‘Mengapa aku melihatmu berada di kubur?’ Aku menjawab, ‘Aku memberi salam kepada kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia berkata, ‘Jika kamu masuk masjid maka berilah salam.’ Kemudian dia berkata, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu menjadikan kuburku sebagai ‘id, janganlah kamu menjadikan rumahmu sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada. Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid. Kalian dengan orang yang berada di Andalus sama saja’.”
Kuburan Nabi di masa dahulu sudah ditutup dan tidak semua orang bisa melihat kuburan beliau. Diantaranya seperti atsar yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, beliau berkata :
دَخَلَتُ عَلَى عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: يَا أُمَّهِ اكْشِفِي لِي عَنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَكَشَفَتْ لِي عَنْ ثَلَاثَةِ قُبُورٍ لَا مُشْرِفَةٍ، وَلَا لَاطِئَةٍ مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ
Aku menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku berkata, ‘Wahai Ibunda, tolong bukakan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kedua sahabatnya radliallahu ‘anhuma.’ Kemudian ia memperlihatkan tiga kuburan kepadaku yang tidak diunggukkan (tidak ditinggikan) dan tidak pula dicekungkan, akan tetapi rata dengan pasir dari al-Árshoh al-Hamroo’. ([11])
Ini adalah dalil bahwa kuburan Nabi tertutup, bahkan keponakan dari istri Nabi ‘Aisyah yaitu Al-Qasim bin Muhammad saja harus meminta izin agar diizinkan masuk. Dan juga kuburan Nabi dibuat tertutup agar manusia tidak terlalu mudah untuk berlalu lalang memegang-megang kuburan Nabi dan berdoa disitu. Bahkan diantara bentuk penjagaan Allah terhadap kuburan Nabi adalah kuburan Nabi dibuat runcing di bagian belakang tembok yang berbetuk segitiga sehingga menyulitkan orang untuk shalat ke arah kuburan Nabi.
Bentuk menjadikan kuburan Nabi sebagai ‘Id :
- Bolak-bolak ke keburan Nabi untuk bershalawat
Asalnya bershalawat kepada nabi di hadapan kuburan Nabi adalah hal yang disyariatkan, tetapi menjadi hal yang terlarang apabila dilakukan secara terus-menerus karena ini tergolong sebagai bentuk menjadikan kuburan nabi sebagai ‘id sebagaimana hadits yang telah berlalu.
- Bolak-balik mengucapkan salam kepada Nabi
Hal ini juga terlarang sebagaimana di dalam hadits tentang Al-Hasan bin Ali yang sudah berlalu. Ditambah Nabi punya keistimewaan, shalawat-shalawat yang ditujukan untuk beliau dari jauh disampaikan oleh malaikat, sehingga tidak perlu seseorang menitip salam kepada orang yang hendak ke Masjid Nabawi agar disampaikan ke Nabi. Oleh karena itu, tidak diriwayatkan dari para sahabat bahwa mereka selalu mengucapkan salam kepada Nabi di kuburan Nabi, kecuali sahabat Ibnu ‘Umar itupun hanya ketika pulang dari safar.
Dari Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’ beliau berkata,
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ أَتَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا بَكْرٍ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَبَتَاهُ»
قَالَ مَعْمَرٌ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَقَالَ: «مَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ ذَلِكَ إِلَّا ابْنَ عُمَرَ»
“Jika Ibnu Umar datang dari bepergian dia datang ke kubur Nabi, dia mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaika ya Rasulullah. Assalamu ‘alaika wahai Abu Bakar. Assalamu ‘alaika wahai bapakku.
Ma’mar berkata, “Maka aku menyebtukan hal ini kepada Ubaidullah bin Úmar, mak beliau berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun dari para sahabat Nabi yang melakukan hal itu selain Ibnu Umar.”([12])
Sesungguhnya para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Nabi melebihi manusia siapapun yang datang setelah mereka. Bersamaan dengan itu, tatkala Nabi melarang mereka menjadikan kuburannya sebagai ‘Id maka mereka menaati perintah Nabi.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, di mana ia berkata,
مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبُّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوْا إِلَيْهِ لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَّتِهِ لِذَلِكَ
“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu”. ([13])
Meskipun para sahabat sangat mencintai tetapi para sahabat mengukur cara mengekspresikan cinta mereka kepada Nabi dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Nabi. Kalau Nabi tidak suka apabila dia datang ke suatu majelis lalu orang-orang berdiri menyambut dan menghormatinya, maka para sahabat tidak melakukannya. Kalau Nabi tidak suka kuburannya dijadikan sebagai ‘Id maka para sahabat tidak akan melakukannya, walaupun mereka sangat mencintai Nabi.
Di dalam kitab Al-Mabsuth karangan Ismail bin Ishaq Al-Jahdhamy Al-Maliky (wafat 282H), beliau menukil perkataan Imam Malik, dimana Imam Malik berkata :
وَلَيْسَ يَلْزَمُ مَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَخَرَجَ مِنْهُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْوُقُوفُ بِالْقَبْرِ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ لَهُ إنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَا يَقْدِمُونَ مِنْ سَفَرٍ وَلَا يُرِيدُونَهُ إلَّا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً، أَوْ أَكْثَرَ فَيُسَلِّمُونَ وَيَدْعُونَ سَاعَةً فَقَالَ: لَمْ يَبْلُغْنِي هَذَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ بِبَلَدِنَا، وَلَا يُصْلِحُ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا، وَلَمْ يَبْلُغْنِي عَنْ أَوَّلِ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَصَدْرِهَا أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ، وَيُكْرَهُ ذَلِكَ إلَّا لِمَنْ جَاءَ مِنْ سَفَرٍ، أَوْ أَرَادَهُ
“Bukanlah suatu hal yang lazim bagi penduduk kota Madinah saat masuk atau keluar dari Masjid Nabawi untuk berdiri di depan kuburan, ini hanyalah boleh bagi orang-orang asing (yang berziarah). Maka dikatakan kepada beliau (Imam Malik), “Sebagian orang dari penduduk Madinah yang tidak pulang dari bersafar dan tidak pula ingin bersafar tetapi berdiri di kuburan Nabi sehari sekali atau lebih, mereka lalu bersalam kepada Nabi dan mereka berdoa beberapa saat”. Maka Imam Malik berkata, “Sesungguhnya perkara ini tidak pernah sampai kepadaku beritanya dari satu pun ahli fiqih kota Madinah (bahwa ada yang pernah melakukannya), dan tidak akan memperbaiki akhir umat ini kecuali yang memperbaiki awal umat ini. Dan tidak pula pernah sampai kepadaku bahwa para sahabat mereka melakukan perbuatan tersebut. Dan perbuatan ini dibenci kecuali kecuali orang yang pulang dari safar atau orang yang hendak bersafar.” ([14])
Ini adalah perkataan seorang Imam kota Madinah yang sangat mengetahui bagaimana tradisi penduduk kota Madinah secara turun temurun sejak zaman sahabat, dimana apabila penduduk kota Madinah di zaman Imam Malik tidak mengenal suatu amalan maka itu artinya amalan tersebut juga tidak dikenal di zaman para sahabat.
- Berkumpul untuk ziarah kubur Nabi pada waktu tertentu setiap tahun
Al-Munawi di dalam Faidhul Qadir mengomentari hadits لاَ تَتّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا “Janganlah kaliang menjadikan kuburanku sebagai íed”, beliau berkata :
لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي مَظْهَرَ عِيْدٍ وَمَعْنَاهُ النَّهْيُ عَنِ الاِجْتِمَاعِ لِزِيَارَتِهِ اِجْتِمَاعَهُمْ لِلْعِيْدِ إِمَّا لِدَفْعِ الْمَشَقَّةِ أَوْ كَرَاهَةَ أَنْ يَتَجَاوَزَ وَاحِدٌ التَّعْظِيْمَ
“yaitu janganlah kalian menjadikan kuburanku seperti kondisi hari raya, dan maknanya adalah larangan berkumpul untuk berziarah ke kuburan Nabi sebagaimana orang-orang berkumpul untuk merayakan ‘Id. Hal ini karena untuk menolak kesulitan atau agar seseorang tidak melampaui pengagungan (yang seharusnya)” ([15])
Beliau kembali melanjutkan di akhir perkataan beliau,
يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ اِجْتِمَاعَ الْعَامَّةِ فِي بَعْضِ أَضْرِحَةِ الأَوْلِيَاءِ فِي يَوْمٍ أَوْ شَهْرٍ مَخْصُوْصٍ مِنَ السَّنَةِ وَيَقُوْلُوْنَ هَذَا يَوْمُ مَوْلِدِ الشَّيْخِ وَيَأْكُلُوْنَ وَيَشْرَبُوْنَ وَرُبَّمَا يَرْقُصُوْنَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ شَرْعًا وَعَلَى وَلِيِّ الشَّرْعِ رَدْعُهُمْ عَلَى ذَلِكَ وَإِنْكَارُهُ عَلَيْهِمْ وَإِبْطَالُهُ
Diambil dari hadits ini juga larangan bagi orang-orang awam berkumpul pada sebagian kuburan para wali pada waktu tertentu atau bulan tertentu secara khusus dalam setahun, lalu mereka berkata ‘Ini adalah hari kelahiran Syaikh’, mereka makan, minum, terkadang mereka juga berjoget. Sesungguhnya ini semua dilarang oleh syariat, dan wajib bagi pemerintah untuk melarang, mengingkari, dan membatalkan kegiatan mereka. ([16])
- Sengaja bersafar khusus untuk ziarah kubur Nabi
Para ulama berbeda pendapat apakah bentuk ini termasuk menjadikan kuburan Nabi sebagai ‘Id, tetapi jumhur ulama memasukkannnya ke dalam bentuk ‘Id, karena tidak boleh bersafar kecuali kepada tiga masjid. Nabi bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidaklah pelana itu diikat –yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat)- kecuali ke tiga masjid: masjidil haram, masjid Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan masjidil aqsho” ([17]).
Bersafar ke Madinah dengan tujuan untuk ke Masjid Nabawi diperbolehkan. Kemudian apabila dia juga ingin berziarah ke kuburan Baqi’ untuk mendoakan para penghuni kuburnya, ke kuburan para syuhada uhud maka itu adalah hal yang diperbolehkan, bahkan apabila ingin berziarah ke kuburan Nabi, itu juga diperbolehkan bahkan sangat disyariátkan. Demikian juga setelah ke Masjid Nabawi ia lalu sengaja ke Masjid Quba. Adapun bersafar dari tanah air menyengaja ke Madinah dengan tujuan khusus untuk ke Masjid Quba, atau berziarah ke kuburan Syuhada’ Uhud, atau pekuburan Baqi’ atau ke khusus untuk ziarah kuburan Nabi maka ini tidak diperbolehkan, berdasarkan hadits di atas.
Karena dua hal ini berbeda, pertama sengaja untuk ke Masjid Nabawi, yang kedua sengaja untuk ke kuburan Nabi.
Inilah yang difatwakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meskipun beliau menukilkan tentang perbedaan pendapat dalam permasalahan ini, diantara mereka ada yang membolehkan seperti Al-Ghazali dan Abu Muhammad Al-Maqdisi, ada yang melarang seperti Ibnu Baththah, Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad Al-Juwaini, dan Al-Qadhi ‘Iyadh, ini adalah pendapat jumhur, dan inilah yang lebih kuat dalilnya berdasarkan hadits tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan pemahaman para sahabat, mereka memahami akan larangan bersafar untuk tujuan ibadah ke suatu tempat (karena berharap fadilah tempat tersebut) kecuali ke tiga masjid. Sebagaimana di dalam Al-Muwaththa, Al-Musnad, dan As-Sunan, dari Bashrah bin Abu Bashrah Al-Ghifari bahwa dia berkata kepada Abu Hurairah –sementara Abu Hurairoh baru pulang dari gunung Thur–,
لَوْ أَدْرَكْتُ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ إِلَيْهِ لَمَا خَرَجْتَ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لاَ تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Seandainya aku mendapatkanmu sebelum kamu berangkat niscaya kamu tidak akan keluar, aku mendengar Rasulullah bersabda, “Punggung hewan tidak ditunggangi kecuali menuju ke tiga masjid, Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsha.” ([18])
Árfajah berkata :
قُلْتُ لَابْنِ عُمَرَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ آتِيَ الطُّورَ قَالَ: «إِنَّمَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَدَعْ عَنْكَ الطُّورَ فَلَا تَأْتِهِ»
“Aku berkata ke Ibnu Umar, ‘Sesungguhnya aku ingin pergi ke Thur.’ Beliau menjawab, ‘Perjalanan jauh (safar) hanyalah dilakukan ke tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid Nabi shallallahu álaihi wasallam, dan Masjidil Aqsha. Tinggalkan Thur jangan datang kesana’.” ([19])
Oleh karena itu, sengaja bersafar dari jauh ke suatu masjid selain tiga masjid ini untuk berziarah atau beribadah adalah hal yang tidak diperbolehkan karena hanya tiga masjid ini yang diberikan kekhususan oleh Allah dan dibangun oleh para Nabi, Masjidil Haram dibangun oleh Nabi Ibrahim, Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad, Masjidil Aqsha dibangun oleh Nabi Sulaiman. Adapun selain dari tiga itu, tidak ada bedanya antara masjid yang satu dengan masjid yang lainnya dan tidak boleh menspesialkan seperti ketiga masjid para Nabi tersebut.
Jika bersafar ke masjid selain tiga masjid tadi saja dilarang apalagi ke kuburan, bahkan ke kuburan Nabi saja secara khusus dilarang terlebih lagi jika ke kuburan selain Nabi. Berziarah ke kuburan adalah amalan yang afdhal, tetapi jika dengan bentuk khusus bukan sesuai cara syariat maka itu adalah hal yang terlarang.
Kuburan Islam
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala hal. Termasuk hal yang diperhatikan adalah dalam bentuk kuburan. Jika kuburan di dalam ajaran Islam dibuat sesederhana mungkin bagaimanapun kedudukan orang yang di kubur, mau orang kaya atau miskin, terpandang atau tidak, berbeda halnya dengan kuburan di dalam ajaran agama lain yang sangat merepotkan. Di dalam agama lain, kuburannya dibuat mewah dengan menambahkan hiasan-hiasan segala rupa, atau jenazahnya dibakar dengan prosesi yang bisa menghabiskan biaya jutaan. Dijumpai pula ada jenazah yang dikubur dengan membawa hartanya ke dalam kubur, bahkan sebagian Raja dikubur dan diikutkan ke dalamnya para pengawalnya. Mereka meyakini bahwa keadaan di kuburan sama dengan keadaan di dunia, sebagaimana kita butuh terhadap barang-barang di dunia, maka kita juga butuh barang-barang tersebut di kuburan. Demikian pemahaman sesat mereka.
Sangat disayangkan, di dalam agama Islam sendiri, kaum muslimin tidak satu paham tentang permasalahan kuburan ini. Padahal Nabi telah mengajarkan bagaimana seharusnya, namun tetap dijumpai banyaknya amalan-amalan bid’ah yang dipraktekkan ketika menguburkan jenazah. Diantara perbedaannya, yaitu :
Kuburan sesuai Sunnah | Kuburan dengan cara Bid’ah |
Kuburannya sederhana (bahkan kuburan Nabi dan para sahabat di baqi, kuburan para Syuhada Badar dan Uhud). Tidak ditulisi, tidak disemen, tidak diberi penerangan | Kuburan dibuat tinggi, bahkan dijadikan Masjid |
Tujuan ziarah untuk mengingat kematian dan mendoakan penghuni kubur | Tujuan ke kuburan untuk beribadah di tempat tersebut dan meminta kepada wali |
Kandungan bab ini:
- Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Al Bara’ah ([20]).
- Rasulullah ﷺ telah memperingatkan umatnya dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjauhkan umatnya dari jalan yang menuju kepada kemusyrikan, serta menutup setiap jalan yang menjurus kepadanya.
- Rasulullah ﷺ sangat menginginkan keimanan dan keselamatan kita, dan amat belas kasihan lagi penyayang kepada kita.
- Larangan Rasulullah ﷺ untuk tidak menziarahi kuburannya dengan cara tertentu, [yaitu dengan menjadikannya sebagai tempat perayaan], padahal menziarahi kuburan beliau termasuk amalan yang amat baik.
- Rasulullah ﷺ melarang seseorang banyak melakukan ziarah kubur.
- Rasulullah ﷺ menganjurkan untuk melakukan shalat sunnah di dalam rumah.
- Satu hal yang sudah menjadi ketetapan dikalangan kaum salaf, bahwa menyampaikan shalawat untuk Nabi tidak perlu masuk ke dalam kuburannya.
- Alasannya karena shalawat dan salam seseorang untuk beliau akan sampai kepada beliau dimanapun ia berada, maka tidak perlu harus mendekat, sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang.
- Nabi ﷺ di alam barzakh, akan ditampakkan seluruh amalan umatnya yang berupa shalawat dan salam untuknya.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
([1]) Di Lihat Lisaan al-Árob 1/279 : والجَنابُ…والجانِبُ: النّاحِيةُ والفِناءُ “Yaitu sisi dan pelataran”
([2]) Sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim álaihis salam. Allah berfirman :
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun (QS. Maryam : 42)
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ، أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami (QS. Al-Anbiyaa : 66-67)
([3]) Lihat Tafsir al-Baghowi 1/132
([4]) Lihat Al-Bida’u wan-Nahyu ‘Anha, 42. Al-I’tsihâm, 1/346
([5]) HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, II/155-156 no. 1647
([7]) HR Al Bukhari no. 432, 1187, Muslim no. 777
([9]) HR. Nasai 1290, dan dishahihkan al-Albani
([10]) Iqtidhoo Shirooth al-Mutaqiim 2/176
([12]) Atsar riwayat Abdurrozzaq di al-Mushonnaf no 6724
([14]) Sebagaimana dinukil oleh Ibnu al-Haaj di al-Madkhol 1/262
([17]) HR. Bukhari 1189 dan Muslim no. 1397
([18]) HR Malik, I/108-109 di Muwaththa
([19]) Mushonnaf Abdirrozzaq no 9171
([20]) Ayat ini, dengan sifat sifat yang disebutkan di dalamnya untuk pribadi Nabi Muhammad ﷺ, menunjukkan bahwa beliau telah memperingatkan umatnya agar menjauhi syirik, yang merupakan dosa paling besar, karena inilah tujuan utama diutusnya Rasulullah ﷺ.