مَا جَاءَ أَنَّ الْغُلُوَّ فِي قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ يُصَيِّرُهَا أَوْثَانًا تُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ
Tentang Sikap Berlebihan terhadap Kuburan Orang-Orang Shalih Akan Menjadikan (Kuburan) Itu Sebagai Berhala yang Disembah Selain Allah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Berlebihan terhadap orang shalih bisa dalam dua bentuk :
Pertama, berlebihan dalam hal wasilah. Seperti beribadah kepada Allah di kuburan, berdoa kepada Allah di kuburan karena meyakini lebih mustajab. Bentuk berlebihan ini merupakan wasilah menuju kesyirikan
Kedua, berlebihan dalam hal sebagai tujuan. Seperti berdoa kepada mayat orang shalih. Bentuk berlebihan ini termasuk perbuatan kesyirikan akbar.
Pada bab sebelumnya telah dibahas bentuk berlebihan yang pertama. Lalu pada bab ini penulis akan membahas mengenai bentuk berlebihan yang kedua. Seakan-akan penulis juga ingin menjelaskan bahwa bentuk berlebihan yang pertama merupakan sarana menuju bentuk berlebihan jenis kedua, yang awalnya kuburan-kuburan dan penghuninya tersebut hanya sebagai wasilah tetapi lama kelamaan menjadi tujuan penyembahan secara langsung.
Patut diketahui bahwa tujuan ziarah kubur ada dua, pertama untuk mengingat kematian dan akhirat kemudian kedua untuk mendoakan penghuni kubur. Jika berziarah kubur adalah dengan tujuan ini maka tidak ada bedanya baik yang diziarahi itu orang shalih maupun bukan orang shalih. Bahkan jika tujuannya adalah untuk mengingat akhirat, menziarahi kuburan orang kafir pun dibolehkan, tetapi jika tujuannya untuk mendoakan maka khusus orang muslim. Berdasarkan dua tujuan ini, tidak ada alasan yang bisa dijadikan hujjah untuk berlebihan terhadap kuburan orang shalih.
Sangat disayangkan ternyata realita yang terjadi di masyarakat adalah justru pengagungan-pengagungan terhadap kubur sangat marak terjadi. Bahkan di sebagian kuburan-kuburan disediakan tempat khusus untuk beribadah disitu, yang tidak lain semua itu diambil dari tradisi orang-orang Syiah yang gemar berlebih-lebihan terhadap kuburan-kuburan orang shalih.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwattha’, bahwa Rasulullah bersabda:
اللّهُمّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang yang telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattha’nya dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar bahwa Rasulullah bersabda demikian. Atha’ bin Yasar adalah seorang tabi’in, sehingga hadits ini hadits yang mursal dan hadits mursal adalah hadits yang dhaif. Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id Al-Khudry secara marfu’ sampai Rasulullah. Karenanya, riwayat Al-Bazzar menguatkan riwayat Imam Malik.
Lebih dari itu, hadits ini memiliki riwayat pendukung di dalam Musnad Imam Ahmad. Beliau meriwayatkan dari Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi secara marfu’ dan dihukumi oleh para ulama sebagai hadits yang shahih, bahwasanya Nabi bersabda,
اَللّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah.”
Di dalam hadits di atas (sebagaimana yang dibawakan oleh penulis), Nabi menyebutkan dua perkara yaitu,
Pertama :
اللّهُمّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Potongan pertama hadits ini menunjukkan larangan berlebihan dalam tujuan, jangan sampai terjatuh dalam kesyirikan dengan melakukan penyembahan terhadap berhala.
Kedua :
اشْتَدّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah sangat murka kepada orang-orang yang telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Potongan kedua hadits ini menunjukkan larangan berlebihan dalam wasilah, artinya menjadikan kuburan sebagai masjid merupakan wasilah yang bisa mengantarkan kepada menjadikan kuburan tersebut sebagai berhala yang disembah
Doa Nabi ini dikabulkan oleh Allah sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim di dalam nuniyahnya,
فَأَجَابَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ دُعُاءَهُ وَأَحَاطَهُ بِثَلاَثَةِ الْجِدْرَانِ
حَتَّى غَدَتْ أَرْجَاؤُهُ بِدُعَائِهِ فِي عِزَّةٍ وَحِمَايَةٍ وَصِيَانِ
Rabb alam semesta menjawab doanya
Dan Dia mengelilinginya dengan tiga tembok
Sehingga berkat doanya, penjurunya berada
Dalam kemuliaan, perlindungan dan keterjagaan.
Maka jadilah kuburan Nabi dijaga oleh Allah dengan tiga dinding yang kokoh yang menutupi kuburannya sebagaimana yang telah digambarkan pada bab sebelumnya, sehingga manusia tidak bisa atau tidak leluasa berlebih-lebihan pada kuburan Nabi.
Sifat Allah Al-Gadhab (Marah/Murka)
Di dalam hadits ini, Nabi mengatakanاشْتَدّ غَضَبُ اللهِ (Allah sangat murka) yang menunjukkan bahwasanya Allah punya sifat marah, demikianlah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sementara ahlul bid’ah dari kalangan Mu’aththilah (penolak sifat) baik Jahmiyyah, Mu’tazilah, atau Asya’irah, mereka tidak menetapkan sifat marah bagi Allah. Karena menetapkan bahwasanya Allah mempunyai sifat marah, cinta, rahmat, dan lainnya itu artinya kita telah menyerupakan Allah dengan manusia yang juga memiliki sifat-sifat tersebut. Berdasarkan kaidah mereka, jika Allah punya sifat mencintai maka itu harus ditakwil, jika Allah punya sifat rahmat maka itu harus ditakwil, demikian pula jika Allah punya sifat marah maka itu harus ditakwil.
Mereka mengatakan bahwa marah itu bersumber dari darah yang menyala di dalam jantung yang mana itu adalah sifat manusia. Kita bantah dengan mengatakan, definisi marah yang demikian adalah marahnya manusia, adapun marahnya Allah tidak bersifat dengan bentuk-bentuk demikian, marahnya Allah adalah sesuai dengan keagungan Allah.
Mereka mengatakan bahwa marah harus ditakwil menjadi إِرَادَةُ الْاِنْتِقَامِ yaitu Allah ingin membalas. Kita bantah dengan mengatakan, keinginan membalas juga manusia bersifat dengannya. Tujuan mereka ingin lari dari tasybiih (menyamakan Allah dengan manusia) namun akhirnya mereka juga mentakwil dengan mentasybih juga.
Mereka mengatakan bahwa keinginan Allah berbeda dengan keinginan manusia. Kita katakan, demikian pula sifat marah Allah juga berbeda dengan marahnya manusia. Lebih dari itu, sifat marah dan sifat keinginan membalas adalah hal yang berbeda dan dibedakan Allah, Allah berfirman,
فَلَمَّا آسَفُونَا انتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Maka tatkala mereka membuat Kami marah, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut).” (QS Az-Zukhruf : 55)
Semangat Salaf Dalam Memutus Wasilah Menuju Kesyirikan
Para salaf dahulu berusaha untuk menutup segala celah dan sarana yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Wadhdhah, beliau berkata, aku mendengar Isa bin Yunus berkata, “Umar bin Khaththab memerintahkan agar memotong pohon dimana Nabi dibaiat di bawahnya.” Umar memotong pohon tersebut karena orang-orang pergi ke pohon tersebut dan shalat di bawahnya, maka Umar takut mereka tertimpa oleh fitnah.
Padahal pohon tersebut adalah sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran,
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS Al-Fath : 18)
Bersamaan dengan itu Umar memotongnya karena dia tidak punya keistimewaan khusus, melainkan justru bisa menjadi fitnah di tengah manusia. Sebagaimana gua Hira yang tidak memiliki keistimewaan khusus, hanya kebetulan saja Nabi mendapatkan wahyu di tempat tersebut. Karenanya tidak dijumpai Nabi pernah mengunjungi gua Hira untuk kedua kalinya, para sahabat juga tidak pernah dikabarkan bahwa mereka mengunjungi gua Hira. Demikian juga hikmah tidak disebutkannya lokasi gua Ashabul Kahfi, seandainya itu penting niscaya Allah akan menyebutkannya.
Kejadian yang lebih menakjubkan lagi adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq di dalam kitab Maghazinya, terdapat tambahan dari Yunus bin Bukair dari Abu Khaldah Khalid bin Dinar, Abul Aliyah menyampaikan kepada kami, dia berkata, “Ketika kami menaklukkan kota Tustar, kami menemukan sesosok mayit laki-laki terbaring di atas ranjang di baitul mal milik Al-Hurmuzan, di sisi kepala mayit tersebut terdapat mushaf, lalu kami mengambil mushaf tersebut dan mengirimkannya kepada Umar. Umar memanggil Ka’ab untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, dan aku adalah orang Arab pertama yang membacanya. Aku membacanya seperti aku membaca Al-Quran. Lalu aku bertanya kepada Abul Aliyah, ‘Apa isinya?’ Dia menjawab, ‘Tentang perjalanan hidup kalian, perkara-perkara kalian, gaya bahasa kalian dan apa yang akan terjadi nanti.’ Aku berkata, ‘Lalu apa yang kalian lakukan terhadap mayit tersebut?’ Dia menjawab, ‘Kami menggali tiga belas kubur secara terpisah di siang hari. Ketika malam tiba, kami menguburkannya dan meratakan seluruh kuburan tersebut untuk mengalabui orang-orang sehingga tidak membongkarnya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang mereka harapkan darinya?’ Dia menjawab, ‘Jika hujan tidak turun kepada mereka, maka mereka akan membawa mayat tersebut keluar sehingga hujan pun turun kepada mereka.’ Aku bertanya, ‘Menurut kalian, siapa mayit tersebut?’ Dia menjawab, ‘Seorang laki-laki bernama Danial.’ Aku berkata, ‘Sejak kapan kalian mendapatinya sudah mati?’ Dia menjawab, ‘Tiga ratus tahun lalu.’ Aku berkata, ‘Apakah ada perubahan dalam jasadnya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada, hanya beberapa helai rambut dari bagian belakang kepalanya. Sesungguhnya bumi tidak memakan jasad para Nabi’.”
Ini menunjukkan bahwasanya praktek-praktek masyarakat yang membuahkan hasil yang diharapkan tidak lantas melazimkan bahwa praktek-praktek tersebut benar. Turunnya hujan setelah mengeluarkan mayat Nabi Danial tidak melazimkan bahwa perbuatan mereka benar. Karena yang menjadi ukuran adalah dalil, sedangkan dalil-dalil menunjukkan bahwa mengagungkan mayit adalah hal yang terlarang di dalam syariat. Sama seperti perbuatan berdoa kepada mayit lantas doanya terkabul, tidak lantas melazimkan perbuatan tersebut benar. Atau doa-doa yang dipanjatkan oleh orang Nasrani kepada Nabi Isa lantas doanya terkabul, tidak melazimkan bahwa Nabi Isa adalah tuhan. Atau doa-doa yang dipanjatkan oleh orang-orang Hindu kepada sapi-sapi, atau orang-orang yang pergi ke dukun meminta tolong kemudian berhasil, tidak lantas melazimkan perbuatan tersebut benar. Bahkan bisa jadi itu adalah istidraj yang tidak mereka sadari.
Oleh karena itu, Umar memilih untuk menguburkannya dan menyembunyikannya dari manusia agar mereka tidak terfitnah dengannya. Tidak ada yang meragukan bahwa mayit tersebut adalah orang shalih, tetapi orang shalih tidak untuk disembah atau berlebih-lebihan kepadanya. Demikianlah fiqih Umar dan para salaf.
Ibnul Qayyim berkata mengomentari kisah ini, “Di dalam kisah ini orang-orang Muhajirin dan Anshar menghilangkan jejak kuburannya agar orang-orang tidak terfitnah karenanya, mereka tidak mengeluarkan mayat tersebut untuk berdoa di sisinya dan berharap berkah darinya. Seandainya orang-orang belakangan menemukannya niscaya mereka akan mengangkat pedang (berebut) untuk mendapatkannya, untuk selanjutnya menyembahnya selain Allah.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dengan sanadnya dari sufyan dari Mansur dari Mujahid, berkaitan dengan ayat:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ
“Jelaskan kepadaku (wahai kaum musyrikin) tentang (berhala yang kamu anggap sebagai anak perempuan Allah) Al lata dan Al Uzza.” (QS. An-Najm : 19)
Ia (Mujahid) berkata: “Al latta adalah orang yang dahulunya tukang mengaduk tepung (dengan air atau minyak) untuk dihidangkan kepada jamaah haji. Setelah meninggal, merekapun senantiasa mendatangi kuburannya.”
Demikian pula penafsiran Ibnu Abbas sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Jauza’: “Dia itu pada mulanya adalah tukang mengaduk tepung untuk para jamaah haji.”
Wasilah kepada kesyirikan melalui pengagungan terhadap orang shalih fitnahnya lebih kuat dari pada wasilah-wasilah yang lain. Orang-orang lebih mudah untuk terjerumus ke dalam kesyirikan melalui pintu pengagungan terhadap orang shalih dibandingkan pengagungan terhadap pohon, batu, patung, dan selainnya.
Dapat disaksikan bagaimana orang-orang di zaman sekarang banyak yang berlebihan terhadap orang shalih, mencium-ciumnya, ngalap berkah darinya, dan seterusnya. Setelah orang shalih tersebut meninggal, mereka justru semakin berlebihan mengagungkannya jika dibandingkan saat orang shalih tersebut masih hidup. Ketika dia masih hidup, mungkin sifat-sifat kemanusiaannya masih nampak, kekurangan-kekurangannya masih terlihat. Tetapi ketika sudah meninggal kekurangan-kekurangannya sudah tidak lagi terlihat, yang tersisa adalah kelebihan-kelebihannya, maka syaithan pun semakin menghiasinya dan terjatuhlah mereka ke dalam kesyirikan.
Demikianlah kesyirikan yang paling banyak terjadi di alam semesta yaitu berlebih-lebihan terhadap orang shalih dengan menyembahnya setelah dia meninggal dunia. Seperti kaum Nabi Nuh, mereka disembah ketika mereka telah meninggal dunia, Latta, Nabi Isa, dan Sidharta Gautama, semuanya disembah justru setelah mereka telah atau dianggap meninggal dunia.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ وَالْمُتّخِذِيْنَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسّرُجَ
“Rasulullah melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan, serta orang-orang yang membuat tempat ibadah dan memberi lampu penerang di atas kuburannya.” (HR. para penulis kitab Sunan)
Dalam hadits ini terdapat tiga golongan yang dilaknat oleh Rasulullah,
- Para wanita yang menziarahi kuburan
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum wanita berziarah ke kuburan :
Pendapat pertama, terlarang berziarah kubur secara mutlak berdasarkan hadits di atas
Pendapat kedua, terlarang jika frekuensi berziarahnya sering, berdasarkan hadits dalam riwayat yang lain dengan lafadz زَوَّارَاتٍ memakai shighah mubalaghah yang bermakna “Para wanita yang sering sekali melakukan ziarah”.
Pihak yang berpendapat dengan pendapat kedua mengatakan bahwa jika hanya sesekali maka boleh bagi wanita, karena sebagaimana laki-laki butuh pengingat terhadap kematian dan akhirat wanita juga butuh pengingat terhadap kematian dan akhirat.
Sedangkan yang berpendapat dengan pendapat pertama menganggap bahwa secara mutlak wanita terlarang berziarah kubur, sebagaimana dzhahir hadits. Adapun hadits lain dengan lafadz زَوَّارَاتٍ maka hukumnya semakin terlarang lagi jika dilakukan sering. Di samping itu, antara banyak dan sedikit relatif.
Masalah ini adalah masalah yang khilafnya kuat, namun yang lebih hati-hati adalah wanita sebaiknya tidak ikut berziarah kubur karena hati wanita tidak kuat, dikhawatirkan jika dia berziarah kubur maka bisa jadi dia akan menangis, meronta, menyesali apa yang sudah berlalu, bahkan protes kepada Allah dan tidak menerima takdir Allah. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih kuat. Lebih dari itu, selain wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur, hadits tentang keutamaan yang akan didapatkan oleh orang yang mengikuti jenazah disepakati ulama bahwasanya hal tersebut hanya berlaku pada laki-laki dan tidak berlaku pada perempuan. Adapun jika wanita ingin mengingat akhirat maka bisa dengan wasilah yang lain. Kesimpulannya, masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, yang berpendapat boleh silahkan, yang berpendapat tidak boleh silahkan. Namun yang lebih hati-hati adalah wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur walaupun hanya sesekali.
- Orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid / tempat ibadah
Pembahasan ini telah berlalu pada bab sebelumnya.
- Orang-orang yang memasang lampu penerang di atas kuburan
Memasang lampu penerang di atas kuburan adalah hal yang terlarang karena dua sebab :
- Bisa menjadi sarana pengagungan terhadap kubur yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan
- Bentuk membuang-buang harta pada hal yang tidak perlu
Ini menunjukkan bahwasanya kuburan hendaknya sederhana agar bisa mengingatkan kepada akhirat. Dengan melihatnya, segala fitnah duniawi dari kemewahan dan harta yang berlimpah bisa sirna karena mengingat tempat kembalinya yaitu kuburan. Lebih dari itu, kuburan adalah tempatnya orang yang sudah mati bukan yang masih hidup. Semewah apapun kuburannya tetap tidak bermanfaat untuk sang mayit. Lebih baik harta tersebut digunakan untuk bersedekah lalu diniatkan untuk sang mayit.
Para ulama mengingatkan bahwa kebiasaan menghiasi kuburan adalah kebiasaan kaum Ahlul Kitab. Jika kuburan terlalu indah yang dihiasi dengan taman-taman yang indah serta air yang memancar di sana sini, serta jalan-jalan yang indah, maka ini semua bisa menghilangkan fungsi kuburan untuk mengingat akhirat.
Kandungan dalam bab ini:
- Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan berhala.
- Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ibadah.
- Rasulullah ﷺ dengan doanya itu, tiada lain hanyalah memohon kepada Allah supaya dihindarkan dari sesuatu yang dikhawatirkan terjadi [pada umatnya, sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya] yaitu: sikap berlebih-ebihan terhadap kuburan beliau, yang akhirnya kuburan beliau akan menjadi berhala yang disembah.
- Dalam doanya, beliau sertakan pula apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan menjadikan kuburan para Nabinya sebagai tempat beribadah.
- Penjelasan bahwa Allah sangat murka [terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah].
- Di antara masalah yang sangat penting untuk dijelaskan dalam bab ini adalah mengetahui sejarah penyembahan Al lata berhala terbesar orang-orang jahiliyah.
- Mengetahui bahwa berhala itu asal usulnya adalah kuburan orang shaleh [yang diperlakukan secara berlebihan dengan senantiasa dikunjungi oleh mereka].
- Al latta nama orang yang dikuburkan itu, pada mulanya adalah seorang pengaduk tepung untuk disajikan kepada para jamaah haji.
- Rasulullah ﷺ melaknat para wanita penziarah kubur.
- Beliau juga melaknat orang-orang yang memberikan lampu penerang di atas kuburan.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.