KATA PENGANTAR
الحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِهِ الأَمِيْنِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ:
Tidak diragukan bahwasanya tauhid adalah landasan bagi setiap amal. Amal sebesar dan sehebat apapun jika tidak dibangun di atas tauhid maka akan sia-sia dan sirna.
Namun kenyataan yang menyedihkan yang kita rasakan di negeri kita, bahwasanya masih banyak saudara kita yang belum paham tentang tauhid meskipun lisan mereka mengucapkan kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallahu”. Buktinya, praktik-praktik kesyirikan di tanah air kita masih merajalela. Dukun masih bertebaran, dan banyak sekali jumlahnya. Bahkan hampir setiap kota, bahkan hampir setiap kelurahan ada dukun (baik dukun asli maupun dukun palsu). Masih banyak orang yang percaya kepada jimat-jimat, masih menganggap angka 13 adalah angka sial, masih memberikan sesajen ke pohon atau batu besar, masih menyembelih untuk jin atau penjaga tanah atau penguasa gunung atau penguasa sawah ladang, masih percaya pada benda-benda bertuah seperti untuk dicari keberkahannya seerti keris dan batu akik.
Diantara praktik mencari berkah bernuansa kesyirikan yang paling konyol adalah mencari berkah dari kiyai Slamet yang ternyata adalah gelaran bagi seekor sapi yang berwarna putih, yang jika sapi tersebut keluar maka diperebutkan keberkahannya, bahkan kotorannya pun diperebutkan !?
Belum lagi kalau kita menelusuri praktik-praktik meminta-minta kepada penghuni kubur terutama peghuni kubur yang dianggap orang shalih.
Kondisi di tanah air kita semakin memburuk tatkala muncul sebagian da’i yang berusaha memperlaris kesyirikan, semakin menganjurkan kepada masyarakat untuk meminta-minta (yang mereka namakan dengan beristighotsah) kepada mayat-mayat orang shalih. Demikian juga dengan munculnya da’i-da’i dan tokoh-tokoh pluralisme yang berusaha menyatakan bahwa semua agama sama dan mengantarkan kepada surga. Mereka hendak menyamakan antara agama tauhid (yaitu agama Islam yang menyeru kepada penyembahan terhadap Allah semata) dengan agama kesyirikan seperti Nashrani (yang menyeru kepada penyembahan terhadap manusia yaitu Nabi Isa) dan Hindu (yang menyeru kepada penyembahan terhadap tiga dewa).
Oleh karena penanaman aqidah secara umum (terutama tauhid) yang kurang di tanah air maka pemikiran-pemikiran yang aneh dan menyimpang mudah untuk disambut dan diterima oleh sebagian saudara-saudara kita. Di tanah air kita sampai terjadi berulang-ulang ada yang mengaku sebagai nabi akhir zaman, dan ini sangat aneh, tapi yang lebih aneh adalah ternyata ada juga masyarakat yang percaya dan mengikutinya. Demikian juga ada yang mengaku sebagai Nabi Isa yang turun dari langit, dan ada juga yang mengaku sebagai Al-Imam Al-Mahdi.
Hal ini seluruhnya semakin menekankan bahwa mempelajari perkara tauhid (atau aqidah secara umum) adalah perkara yang sangat urgen di negeri kita. Adapun pernyataan sebagian orang yang meremehkan dakwah tauhid, yang menganggap bahwa pembahasan mengenai tauhid adalah pembahasan kuno dan kurang relevan dengan kondisi sekarang maka tentu ini adalah pernyataan yang keliru dan berbahaya, yang tentunya keluar dari orang-orang yang tidak paham tentang makna tauhid yang sesungguhnya.
Tauhid –sebagaimana yang hakikatnya disalah pahami oleh sebagian orang- bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah; bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan) Nya, dan wahdaniyah (keesaan) Nya, dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan Sifat-Nya. Kaum musyrikin Jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah r juga meyakini bahwa Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Demikian juga kaum Nashrani dan Yahudi juga percaya bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Allah bukan Isa ataupun Uzair. Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat muslim, yang bertauhid kepada Allah I, mereka masih dicap oleh Allah dengan predikat musyrik. Kenapa?, karena mereka menyerahkan peribadatan tidak murni hanya untuk Allah.
Maka buku di hadapan pembaca ini mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk mengetahui hakikat tauhid dan kemudian menjadikannya sebagai pegangan hidup.
Buku ini ditulis oleh seorang ulama yang giat dan tekun dalam kegiatan dakwah Islamiyah. Beliau adalah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, yang dilahirkan di ‘Uyainah, tahun 1115 H (1703 M), dan meninggal di Dir’iyyah (Saudi Arabia) tahun 1206 H (1792 M).
Keadaan umat Islam -dengan berbagai bentuk amalan dan kepercayaan- pada masa hidupnya, yang menyimpang dari makna tauhid, telah mendorong syaikh Muhammad bersama para muridnya untuk melancarkan dakwah Islamiyah guna mengingatkan umat agar kembali kepada tauhid yang murni.
Kitab ‘Tauhid” ini membahas secara khusus tentang tauhid al-‘Ibaadah (atau yang dikenal dengan tauhid al-Uluhiyah), hal ini dikarenakan problem yang timbul di zaman penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah berkaitan dengan penyimpangan masyarakat dalam bab ini. Dan hendaknya demikian para penulis tatkala menulis suatu karya berusaha untuk mencari solusi dari problematika keagamaan yang ada di zamannya. Dalam buku ini juga akan disinggung tentang tauhid ar-Rububiyah dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat, akan tetapi bukan sebagai pokok permasalahan.
Keistimewaan kitab ini diantaranya :
- Kitab ini ringkas dan padat, berisi dalil al-Qur’an dan hadits, lalu diikuti dengan perkataan salaf. Oleh karenanya para ulama menyatakan bahwa metode Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sama seperti metodenya Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Beliau menyebutkan judul bab, lalu beliau menyebutkan dalil. Dan dalil-dalil yang beliau sebutkan secara umum mudah dipahami oleh orang awam untuk dikaitkan dengan judul bab. Karenanya kitab tauhid ini mudah untuk dipahami oleh orang awam.
- Kitab ini menjelaskan secara detail tentang permasalahan-permasalahan tauhid al-Uluhiyah (tauhid al-‘Ibadah) dan macam-macam kesyirikan baik syirik besar maupun syirik kecil. Dan dengan sebab inilah maka sebagian ulama menyatakan bahwa kitab tauhid yang ditulis oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah kitab yang terbaik. Hal ini dikarenakan para ulama terdahulu sebelum beliau mungkin tidak menghadapi model-model kesyirikian yang ditemui oleh beliau. ([1]) Karenanya tulisan mereka tentang perincian jenis-jenis kesyirikan tidak sedetail apa yang ditulis oleh beliau. Adapun pembahasan tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat secara detail maka telah ditulis oleh para ulama sebelum beliau.
Karenanya Syaikh Muhammad Abdul Wahhab menulis kitab-kitab berdasarkan kebutuhan masyarakat di zaman beliau, tentu ini berbeda dengan sebagian orang yang memang hobi menulis, menulis apa saja yang ilmiyah, dengan orang yang menulis berdasarkan kebutuhan masyarakat dan dakwah.
- Kitab inilah yang bisa menjelaskan dengan tepat siapa hakikat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dituduh sebagai pendiri dakwah Wahhabiyah. Kitab inilah yang bisa menjelaskan apa itu hakikat wahhabi. Karena banyak orang yang menuduh dakwah wahhabi dengan tuduhan yang tidak-tidak sementara mereka tidak pernah membaca kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
____________
([1] ) Tentu ada para ulama yang hidup sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menulis tentang tauhid al-uuhiyyah serta kesyirikan-kesyirikan yang berkaitan dengannya, akan tetapi mereka menulis tidak secara khusus dan tidak secara sistematis serta tidak secara lengkap, berbeda dengan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menulis secara khusus dan secara lengkap dan sistematis. Sebagai contoh adalah Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim rahimahullah, banyak tulisan mereka berdua yang berkaitan dengan tauhid al-uluhiyah bahkan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menimba ilmu dari buku-buku mereka berdua, akan tetapi tulisan mereka berdua tidaklah terkumpul dalam satu tempat dan tidak tersusun secara sistematis. Demikian juga para ulama yang hidup semasa beliau atau setelah beliau juga menulis tentang tauhid al-uluhiyyah. Berikut ini diantara para ulama yang menulis buku khusus tentang tauhid al-uluhiyah.
Pertama : al-Imam al-Miqrizi (wafat tahun 845 H), salah seorang ulama bermadzhab syafi’iy. Beliau menulis sebuah buku yang berjudul تَجْرِيْدُ التَّوْحِيْدِ الْمُفِيْدُ “Pemurnian tauhid yang bermanfaat”. Di awal buku ini beliau berkata :
كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ}، فَإِنَّهُ يَنْفِي شِرْكَ الْمَحَبَّةِ وَالإِلَهِيَّةِ، وَقَوْلِهِ: {وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} فَإِنَّهُ يَنْفِي شِرْكَ الْخَلْقِ وَالرُّبُوْبِيَّةِ، فَتَضَمَّنَتْ هَذِهِ الآيَةَ تَجْرِيْدَ التَّوْحِيْدِ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ فِي الْعِبَادَةِ، وَأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِشْرَاكُ غَيْرِهِ مَعَهُ، لاَ فِي الأَفْعَالِ وَلاَ فِي الأَلْفَاظِ وَلاَ فِي الإِرَادَاتِ، فَالشِّرْكُ بِهِ فِي الأَفْعَالِ، كَالسُّجُوْدِ لِغَيْرِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَالطَّوَافِ بِغَيْرِ بَيْتِهِ الْمُحَرَّمِ، وَحَلْقِ الرَّأْسِ عُبُوْدِيَّةً وُخُضُوْعًا لِغَيْرِهِ، وَتَقْبِيْلِ الأَحْجَارِ غَيْرِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ الَّذِي هُوَ يَمِيْنُهُ فِي الأَرْضِ، وَتَقْبِيْلِ الْقُبُوْرِ وِاسْتِلاَمِهَا وَالسُّجُوْدِ لَهَا. وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اتَّخَذَ قُبُوْرَ الأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مَسَاجِدَ، فَكَيْفَ مَنِ اتَّخَذَ الْقُبُوْرَ أَوْثَانًا تُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ؟
“Seperti firman Allah “Hanya kepadaMulah kami beribadah”, sesungguhnya ayat ini menafikan syirik mahabbah dan syirik al-uluhiyah. Dan firman Allah “Dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan” menafikan syirik penciptaan dan syirik ar-rububiyah. Maka ayat ini mengandung pemurnian tauhid kepada Robbul ‘alamin dalam ibadah dan bahwasanya tidak boleh menyekutukanNya, tidak boleh syirik dalam perbuatan, dalam lafal, dan dalam kehendak/niat. Syirik dalam perbuatan seperti sujud kepada selain Allah, thawaf di selain ka’bah, mencukur gundul karena beribadah dan tunduk kepada selain Allah, mencium batu selain hajar aswad yang merupakan tangan kanan Allah di bumi, mencium kuburan, mengusapnya dan sujud kepadanya. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid, maka bagaimana lagi kalau dijadikan kuburan tersebut sebagai berhala yang disembah?” (Tajriid at-Tauhiid, hal 18-19)
Beliau juga berkata :
زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ – عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ:
قَوْمٌ يَزُوْرُوْنَ الْمَوْتَى فَيَدْعُوْنَ لَهُمْ، وَهَذِهِ هِيَ الزِّيَارَةُ الشَّرْعِيَّةُ، وَقَوْمٌ يَزُوْرُوْنَهُمْ يَدْعُوْنَ بِهِمْ، فَهَؤُلاَءِ هُمُ الْمُشْرِكُوْنَ فِي الأُلُوْهِيَّةِ وَالْمَحَبَّةِ، وَقَوْمٌ يَزُوْرُوْنَهُمْ فَيَدْعُوْنَهُمْ أَنْفُسَهُمْ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: “اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ”، وَهَؤُلاَءِ هُمُ الْمُشْرِكُوْنَ فِي الرَّبَوْبِيَّةِ
“Ziarah kuburan ada tiga macam. (Pertama) mereka yang menziarahi orang-orang yang telah meninggal lalu mendoakan mereka, dan ini adalah ziarah yang disyari’atkan. (Kedua) mereka yang menziarahi mayat-mayat tersebut lalu berdoa dengan mayat-mayat tersebut, maka mereka inilah musyrikin dalam al-uluhiyah dan kecintaan. (Ketiga) mereka yang menziarahi mayat-mayat lalu berdoa kepada mayat-mayat tersebut, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah jangan Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”. Maka mereka ini adalah orang-orang musyrik dalam rububiyah” (Tajriid at-Tauhiid hal 20)
Kedua : al-Imam Muhammad bin Isma’il as-Shon’aani rahimahullah (wafat tahun 1182 H), yang beliau semasa dengan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau menulis sebuah buku yang berjudul تَطْهِيْرُ الاِعْتِقَادِ عَنْ أَدْرَانِ الإِلْحَادِ “membersihkan aqidah dari kotoran kekufuran”. Beliau berkata di awal kitab beliau :
فَهَذَا (تَطْهِيْرُ الاِعْتِقَادِ عَنْ أَدْرَانِ الإِلْحَادِ) وَجَبَ عَلَيَّ تَأْلِيْفُهُ، وَتَعَيَّنَ عَلَيَّ تَرْصِيْفُهُ؛ لِمَا رَأَيْتُهُ وَعَلِمْتُهُ يَقِيْناً مِنِ اتِّخَاذِ الْعِبَادِ الأَنْدَادَ فِي الأَمْصَارِ وَالْقُرَى وَجَمِيْعِ الْبِلاَدِ، مِنَ الْيَمَنِ وَالشَّامِ وَمِصْرَ وَنَجْدٍ وَتِهَامَةٍ وَجَمِيْعِ دِيَارِ الإِسْلاَمِ وَهُوَ الاِعْتِقَادُ فِي الْقُبُوْرِ
“Inilah kitab “membersihkan aqidah dari ktoran-kotoran kekafiran” wajib atas diriku untuk menulisnya, dan keharusan atas diriku untuk menyusunnya karena apa yang telah aku lihat dan telah aku ketahui dengan yakin tentang menjadikan hamba-hamba sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah) yang terjadi di kota-kota, kampung-kampung, dan seluruh negeri, di Yaman, Syam, Mesir, Nejd, Tihamah, dan seluruh negeri Islam, yaitu keyakinan terhadap kuburan”
Beliau hidup di zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan beliau melihat dan merasakan apa yang dirasakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang tersebarnya kesyirikan di seluruh negeri kaum muslimin terutama penyembahan terhadap penghuni kubur.
As-Shan’ani memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam qosidah (syaír) nya :
سَلاَمِي عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلَّ فِي نَجْدٍ… وَإِنْ كَانَ تَسْلِيْمِي عَنِ الْبُعْدِ لاَ يُجْدِي
“Salamku bagi negeri Nejd dan juga bagi yang tinggal di Nejd…meskipun salamku dari jauh tidaklah mencukupi”.
Sebagian orang menisbahkan kepada As-Shan’ani sebuah qosidah yang menunjukkan bahwa beliau taroju’ (berubah pikiran) dari pujiannya tersebut, akan tetapi nisbah qosidah taroju’ tersebut tidaklah benar sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin Samhaan rahimahullah. Diantara bukti yang terkuat akan kedustaan taroju’ tersebut bahwasanya hal ini tidaklah muncul kecuali setelah wafatnya As-Shan’ani. Sementara As-Shan’ani wafat sekitar 20 tahun sebelum As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kalau seandainya As-Shan’ani taroju’ maka tentu akan tersebar semasa hidup beliau. Lagi pula qosidah pujian As-Shan’ani ditulis pada tahun 1163 Hijriyah dan buku Tathirul i’tiqood ditulis pada tahun 1164 Hijriyah. Barang siapa yang menelaah kitab tathirul i’tiqood maka dia akan dapati mirip dengan kita kasyf asy-syubhatnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ketiga : al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah (wafat tahun 1250 H), beliau hidup setelah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau menulis sebuah buku yang berjudulشَرْحُ الصُّدُوْرِ بِتَحْرِيْمِ رَفْعِ الْقُبُوْرِ “Melapangkan dada dengan haramnya meninggikan kuburan”. Beliau menulis buku ini karena melihat bahwa meninggikan kuburan merupakan sarana kesyirikan.