Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Judul “Kitab Tauhid” menunjukkan bahwa tujuan dari penulisan kitab ini, bahwasanya dari awal hingga akhirnya adalah berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyah. Penjelasan tentang definisinya, syarat-syaratnya, keutamaannya, dalil-dalilnya, buahnya, konsekuensinya, dan penyempurnanya. Demikian juga pembahasan tentang lawannya yaitu kesyirikan dengan berbagai macamnya.
Tauhid adalah masdar dari wahhada (وَحَّدَ) yuwahhidu (يُوَحِّدُ) tauhiidan (تَوْحِيْدًا), yang artinya secara bahasa adalah ; “Mengesakan”, yaitu menjadikannya satu. Dan istilah tauhid disebutkan dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya sabda Nabi kepada Mu’adz bin Jabal takala Nabi mengutusnya ke negeri Yaman :
إِنكَ ستأتي قوماً أهلَ كتابٍ، فإذا جئتَهم فادْعُهمْ إِلى أنْ يشهَدوا أنْ لا إِله إلا الله، وأنَّ محمداً رسولُ الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum Ahlul Kitab. Maka jika engkau mendatangi mereka serulah mereka agar mereka bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah”([1])
Dalam sebuah riwayat :
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ الله
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah beribadah kepada Allah”([2]).
Dalam sebuah riwayat yang lain :
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah” ([3])
Dalam riwayat yang lain :
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ تَوْحِيدُ اللَّهِ
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah“([4])
Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مِتُّ، فَخُذُونِي وَاحْرُقُونِي، حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمَةً، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فِي يَوْمٍ رَاحٍ، قَالَ: فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللهِ، قَالَ: فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ : مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، قَالَ: فَغَفَرَ اللهُ لَهُ
“Sesungguhnya ada seorang lelaki yang tidak mengamalkan kebaikan sama sekali kecuali tauhid. Tatkala ia akan meninggal dunia ia berkata kepada keluarganya ; “Jika aku wafat maka ambillah jasadku lalu bakarlah hingga aku menjadi hangus, lalu girislah aku sampai jadi debu, lalu tebarkanlah aku di laut di hari yang bertiup angin kencang”. Maka merekapun melakukannya. Tiba-tiba ia berada pada genggaman Allah, maka Allah berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukannya?”. Ia berkata, “Karena takut kepadaMu”. Maka Allah pun mengampuninya’. ([5])
Dalam hadits yang lain :
أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِي نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِينَ بَدَنَةً وَأَنَّ عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: ” أَمَّا أَبُوكَ، فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ، فَصُمْتَ، وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ، نَفَعَهُ ذَلِكَ
Bahwasanya al-‘Aash bin Wa’il di zaman jahiliyah bernadzar untuk menyembelih 100 onta, dan (putranya) Hisyam bin al-‘Aash menyembelih bagiannya 50 onta, dan ‘Amr bin al-‘Aash (radhiallahu ‘anhu) bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu (yaitu apakah ia boleh menyembelih sisanya 50 ekor onta –pent). Maka Nabi berkata kepadanya, “Adapun ayahmu (yaitu al-‘Aaash bin Wa’il) kalau seandainya ia berikrar dengan tauhid, lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya maka akan bermanfaat baginya.” ([6])
Demikian juga para sahabat juga menggunakan istilah tauhid sebagaimana datang dalam sebagian hadits, diantaranya :
Jabir bin Abdullah berkata :
فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ «لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ»
“Maka Nabipun bertalbiah dengan tauhid Labbaik Allahumma Labbaik….”([7])
Jadi istilah tauhid bukanlah istilah yang baru, oleh karenanya para ulama menulis buku-buku yang mereka beri judul Kitab at-Tauhid. Seperti At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H) dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah (wafat 395 H). Al-Imam Al-Bukhari membahwakan hadits Muadz bin Jabal di atas dalam Shahihnya dalam Kitab at-Tauhid dalam bab :
مَا جَاءَ فِي دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ إِلَى تَوْحِيدِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Hadits-hadits tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru umatnya kepada bertauhid kepada Allah tabaraka wa ta’aala”
Pembagian Tauhid
Asalnya tauhid tidak boleh dibagi, karena rububiyah Allah, dan uluhiahNya serta asma’ wa sifaatNya adalah satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan. Akan tetapi makhluk (kaum musyrikin lah yang melakukan pembagian). Dahulu setelah diutusnya nabi Adam tauhid dipahami oleh manusia secara terakumulasi tanpa ada pembagian, hingga akhirnya setelah 10 kurun munculah kesyirikan. Kesyirikan inilah yang merupakan bentuk pemecahan tauhid, karena mereka mentauhidkan Allah pada sebagian sisi dan membatalkan tauhid Allah pada sisi yang lain. Allah berfirman tentang kondisi kaum musyrikin Arab ;
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (QS. Yusuf : 106)
Jadi kaum musyrikin yang telah memisah-misahkan tauhid, maka Allahpun menjelaskan keyakinan mereka yang salah ini, dengan menjelaskan bahwa iman (tauhid) mereka tercampur dengan kesyirikan. Ternyata keyakinan (tauhid) mereka yang disebut oleh Allah dengan “iman” adalah keyakinan mereka bahwa Allah maha pencipta dan maha pemberi rizki (yang merupakan tauhid ar-Rububiyah). Adapun kesyirikan mereka yang Allah sebutkan pada ayat tersebut adalah mereka menyembah kepada selain Allah, artinya keyakinan mereka rusak dari sisi tauhid al-‘Ibadah. Maka terjadilah pembagian tauhid secara otomatis untuk menjelaskan titik yang benar dan titik yang salah. Jadi merekalah kaum musyrikin yang membagi tauhid, maka Allah turunkan ayat-ayat kepada mereka agar mereka tidak membagi tauhid, bertauhid pada satu bagian/sisi dan berbuat syirik pada sisi yang lain. Diantaranya firman Allah melarang mereka membagi-bagi tauhid :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah : 21-22)
Jadi pembagian tauhid menjadi tiga adalah untuk memudahkan pemahaman yang benar bahwasanya tauhid tidak boleh dibagi-bagi.
Pembagian tauhid tersebut adalah :
Pertama ; Tauhid ar-Rububiyah
Kedua : Tauhid al-Uluhiyah
Ketiga ; Tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat
Adapun tauhid ar-Rububiyah adalah : تَوْحِيْدُ اللهِ بِأَفْعَالِهِ artinya mengesakan perbuatan-perbuatan Allah, bahwasanya hanya Allah semata yang melakukannya tanpa ada cempur tangan dan andil yang lain sama sekali. Dan af’aalullah (أَفْعَالُ اللهِ) banyak, seperti penciptaan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur alam semesta, memberi manfaat dan mudharat, menyembuhkan, mengabulkan doa dan yang lainnya.
Tauhid Ar-Rububiyah berporos pada tiga perkara, (1) Penciptaan (الْخَلْقُ), yaitu Allah menciptakan makhluk dari tidak ada menjadi ada. (2) Kepemilikian (الْمُلْكُ), artinya karena hanya Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya maka hanya Allah yang memiliki itu semuanya. (3) Pengaturan (التَّدْبِيْرُ), jadi tidak ada yang ikut serta bersama Allah dalam pengaturan alam semesta, semua yang terjadi adalah di bawah aturan Allah.
Adapun tauhid al-Uluhiyah (atau al-Ilahiyah atau al-ibadah) adalah mengesakan Allah dalam peribadatan, artinya hamba hanya boleh beribadah kepada Allah semata. Jika tauhid ar-Rububiyah berkaitan dengan أَفْعَالُ اللهِ (perbuatan-perbuatan Allah, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, dll), adapun tauhid al-Uluhiyah (al-‘Ibadah) maka berkaitan dengan أَفْعَالُ الْعَبْدِ (perbuatan hamba) yang mencakup bentuk-bentuk ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih, khauf (takut), radja (berharap), tawakkal, dll.
Adapun tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat yaitu seorang hamba meyakini bahwasanya Allah Maha Esa dengan kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi dalam nama-nama dan sifat-sifatNya yang agung, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah dari sisi nama dan sifatNya. Meskipun bisa jadi nama dan sifatnya sama antara makhluk dengan Allah tapi hakikatnya berbeda.
Tauhid ar-Rububiyah dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Sifaat berkaitan dengan dzat Allah yang harus diyakini bahwa Allah Maha Esa dalam rububiyahNya dan asma’ dan sifaatNya. Para hamba harus mengilmui dan meyakini hal ini.
Adapun tauhid al-Uluhiyah berkaitan dengan perbuatan hamba, yaitu hamba hanya boleh beribadah kepada Allah, karena Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah karena Allah Maha Esa dalam rububiyahnya dan asmaa’ wa shifaatNya. Dari sinilah ada sebagian ulama yang membagi tauhid menjadi dua, (1) Tauhid al-ilmi wa al-ma’rifah, yang mencakup tauhid ar-Rububiyah dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat, karena fokusnya adalah agar para hamba mengilmui dan bermakrifat tentang rububiyah Allah dan asmaa’ wa shifaatNya. Yang ke (2) Tauhid al-‘Amal wa at-Thalab yang berkaitan dengan tauhidu al-Uluhiyah karena fokusnya adalah menuntut (thalab) para hamba untuk ber-amal hanya untuk Allah.
Pada Bab ini penulis membawakan 6 dalil.
Dalil Pertama :
Firman Allah ﷻ :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin (1) dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah (2) kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat: 56 ) (3)
(1) Ayat ini merupakan dalil bahwa jin juga mukallaf (dibebani oleh syari’at), karena para nabi juga diutus kepada mereka, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diutus kepada golongan jin. Karenanya mereka juga mendapatkan balasan di dunia dan juga balasan di akhirat, dengan masuk surga atau masuk neraka.
Allah berfirman :
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا، وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Adapun kaum jin yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)” (QS Al-Jinn : 15-16)
Oleh karenanya jin juga memiliki berbagai macam aliran, Allah berfirman tentang perkataan para jin tentang diri mereka :
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda (QS. Al-Jinn : 11)
Ibnu Katsir meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-A’masy rahimahullah beliau pernah bertanya kepada jin :
فَمَا الرَّافِضَةُ فِيكُمْ؟ قَالَ شَرُّنَا
“Bagaimana syi’ah Rafidah di sisi kalian?”. Jin tersebut menjawab, “Paling buruk diantara kami”([8])
Ini menunjukkan kaum jin juga ada yang shalih dan ada yang fajir, ada yang mukmin ada yang kafir, dan yang muslim pun beraliran-aliran.
Akan tetapi apakah tata cara ibadah mereka persis seperti ibadah kita? Az-Zarkasyi berkata, “Telah terjadi perdebatan di kalangan ulama belakangan tentang apakah para jin dibebankan untuk menjalankan furu’ (cabang-cabang) syari’at?. Maka ahli tahqiq (para peneliti) diantara mereka berpendapat bahwasanya para jin sama dibebani secara global, akan tetapi tidak sama persis seperti syari’at manusia, karena para jin berbeda dengan manusia baik secara definisi maupun hakikat. Maka tentunya akan berbeda pula pada sebagian syari’at. Contohnya sebagian jin telah diberikan kekuatan untuk terbang di udara, dan mereka juga diperintahkan untuk berhaji dengan terbang, sementara manusia tidak diperintahkan demikian karena tidak bisa terbang. Akan tetapi sebaliknya jin tentu dibebankan dengan perintah/syari’at yang tidak dibebankan kepada manusia. Maka setiap syari’at yang berkaitan dengan syari’at tabi’at manusia (secara khusus) maka tidak akan dibebankan kepada jin karena jin tidak memiliki tabi’at tersebut.” ([9])
Maka tidak perlu kita membahas dan mencari tahu tentang bagaimana tata cara wudhu jin, cara beristinja mereka, atau yang lainnya karena kita tidak tahu hakekat mereka.
(2) Ibadah secara bahasa kembali kepada makna hina dan rendah dan ketundukan. Dikatakan الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ artinya hamba yang dimiliki, الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ artinya jalan yang telah ditundukan oleh kaki-kaki sehingga mudah untuk ditempuh([10])
Adapun ibadah secara istilah syari’at maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ: مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
“Ibadah berarti suatu kata yang mencakup segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah”([11])
Dan ibadah -ditinjau dari pelakunya- yaitu yang menggabungkan antara ketundukan dan kecintaan, ketundukan tanpa kecintaan bukanlah ibadah, dan demikian juga sebaliknya. Ibnu Taimiyyah berkata :
اسْم يجمع كَمَالَ الذُّلِّ وَنِهَايَتَهُ وَكَمَالَ الْحُبِّ للهِ وَنِهَايَتَهُ فَالْحُبُّ الْخَلِيُّ عَنْ ذُلٍّ وَالذُّلُّ الْخَلِيُّ عَنْ حُبٍّ لاَ يَكُوْنُ عِبَادَةً وَإِنَّمَا الْعِبَادَةُ مَا يَجْمَعُ كَمَالَ الْأَمْرَيْنِ
“Ibadah adalah kata yang mengumpulkan ketundukan yang sempurna dan puncaknya dengan kecintaan kepada Allah yang sempurna dan puncaknya. Maka kecintaan yang kosong dari ketundukan demikian juga ketundukan yang kosong dari kecintaan bukanlah ibadah. Hanyalah dikatakan ibadah jika mengumpulkan dua perkara tersebut dengan sempurna”([12])
(3) Sisi pendalilan penulis dari ayat ini yaitu bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Dan ibadah tentu yang dimaksud adalah tauhid, yaitu peribadatan hanya untuk Allah, karena tidak mungkin Allah memerintahkan untuk beribadah kepada selain Allah. Karenanya Allah berdalil dengan Rububiyah-Nya, yaitu Allah yang menciptakan mereka dan Allah yang memberi rizki kepada mereka. Ini sebagai isyarat bahwa jika mereka ternyata beribadah kepada selain Allah maka sungguh mereka telah terjerumus dalam kezaliman yang besar, karena Allah semata yang telah menciptakan mereka dan memberi rizki kepada mereka, dan Allah menciptakan mereka untuk semata beribadah kepadaNya.
Sungguh ayat ini menjelaskan tentang tujuan teragung dari penciptaan manusia dan jin. Allah tidak menyebutkan hewan pada ayat ini. Karenanya jika manusia dan jin tidak melakukan tujuan penciptaan ini maka tidak ada bedanya antara mereka dengan hewan-hewan. Bahkan mereka akan lebih parah daripada hewan, karena hewan tidak dibebani dengan perintah dan pertanggung jawaban, sementara manusia dan jin akan bertanggung jawab di akhirat kelak. Karenanya orang kafir tatkala melihat hewan-hewan ternak di akhirat diqishas setelah itu menjadi tanah maka tatkala itu orang kafir berkata :
يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا
“Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah” (QS. An-Naba’ : 40)
Maka tujuan yang agung ini harus ditunaikan oleh manusia dan jin, jika tidak maka mereka akan terhamparkan ke neraka.
Jika ada yang berkata firman Allah (Kecuali untuk beribadah kepadaKu) menunjukkan pembatasan, sementara kita dapati kebanyakan waktu kita bukan untuk beribadah. Waktu sebagian kita untuk shalat, untuk baca al-Qur’an, untuk berdzikir tidaklah banyak dibandingkan waktu kita untuk mencari dunia. Lantas bagaimana ia bisa mengamalkan ayat ini?. Asalnya manusia dalam kondisi ibadah, karena ibadah –menurut definisi Ibnu Taimiyyah- mencakup segala perkara yang dicintai Allah, dan tidak terbatas pada ibadah mahdlah. Maka ia berusaha beribadah kepada Allah dalam segala kegiatannya. Jika ia melihat perkara dunia maka hendaknya ia niatkan dalam rangka untuk memantapkan ibadahnya kepada Allah. Jika ia makan hendaknya diniatkan agar kuat beribadah, demikian juga jika ia tidur dan istirahat. Dan ini termasuk dalam kaidah :
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu kewajiban tidak bisa dikerjakan kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang lain itu juga wajib”
Karena seorang tidak mungkin untuk bisa memantapkan dan menjalankan ibadahnya kecuali dengan mengamalkan firman Allah
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qosos : 77)
Akan tetapi jika seseorang waktu dan jerih payahnya habis semata-mata untuk dunia, bahkan akhirat dinomer duakan, atau bahkan dikorbankan demi dunia, maka jadilah ia penyembah dunia. Nabi bersabda
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ
“Celaka hamba dinar dan dirham”([13])
Dalil Kedua :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut” . (QS. An – Nahl: 36).
Sisi pendalilannya adalah ayat ini sebagai penjelas bagi dalil pertama. Dalil pertama menjelaskan bahwa ibadah adalah tujuan penciptaan manusia dan jin. Adapun dalil yang kedua ini menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang disertai dengan meninggalkan thaghut. Bahkan demi mewujudkan hal ini maka Allah mengutus para rasul untuk menyerukan hal ini kepada kaumnya.
(sembahlah Allah) ini adalah penetapan, dan (Jauhilah Thaghut) ini adalah penafian. Dan tauhid dibangun di atas penafian dan penetapan, yaitu penafian dari peribadatan kepada selain Allah dan penetapan peribadatan hanya untuk Allah, dan inilah makna Laa ilah illallah.
Thaghut ialah : setiap yang diagungkan – selain Allah – dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi ; baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia, ataupun setan.
Ibnu Jarir At-Thabari berkata :
وَالصَّوَابُ مِنَ الْقَوْلِ عِنْدِي فِي الطَّاغُوتِ أَنَّهُ كُلُّ ذِي طُغْيَانٍ عَلَى اللَّهِ فَعُبِدَ مِنْ دُونِهِ، إِمَّا بِقَهْرٍ مِنْهُ لِمَنْ عَبَدَهُ، وَإِمَّا بِطَاعَةٍ مِمَّنْ عَبَدَهُ لَهُ، وَإِنَسَانًا كَانَ ذَلِكَ الْمَعْبُودُ، أَوْ شَيْطَانًا، أَوْ وَثنا، أَوْ صَنَمًا، أَوْ كَائِنًا مَا كَانَ مِنْ شَيْءٍ
“Pendapat yang benar menurutku tentang thaghut yaitu semua yang melampaui batasannya lalu diibadahi selain Allah, apakah dengan paksaan darinya kepada orang yang menyembahnya ataukah karena ketaatan orang yang menyembahnya kepadanya, apakah yang disembah itu manusia, atau syaitan, atau berhala, atau patung, atau apapun juga”([14])
Sebagian ulama memberi syarat bahwa thaghut adalah yang disembah selain Allah dan dia ridha akan hal tersebut. Adapun para nabi dan orang-orang shalih yang disembah maka mereka bukanlah thaghut, karena mereka tidak ridha dengan hal ini semua, bahkan mereka mengingkari ini semua.
Menjauhi thaghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan cara apapun.
Firman Allah ini (Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut), menunjukkan bahwa perkara tauhid adalah perkara yang disepakati oleh para rasul, meskipun syari’at mereka bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan zaman mereka. Adapun menyeru kepada tauhid dan meninggalkan thaghut maka tidak mengenal kondisi waktu dan tempat. Karenanya Nabi bersabda :
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ، وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى، وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi adalah saling bersaudar se-bapak, ibu mereka berbeda-beda dan agama mereka satu“([15])
Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan (agama mereka satu) yaitu mereka bersepakat dalam tauhid. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qadhy ‘Iyadh([16]), An-Nawawi([17]), Al-‘iraqiy([18]), Ibnu Hajar([19]), dan As-Suyuthy([20]).
Hal ini perlu digaris bawahi karena para da’i plurarisme ingin merubah makna hadits ini, mereka justru mengatakan bahwa perkara yang disepakati oleh para rasul bukan tauhid akan tetapi perkara-perkara yang bersifat kemanusiaan, seperti keadilan, kesamaan, kemanusiaan, dan kebebasan. Dan pemahaman mereka ini sangat berbahaya karena menghilangkan inti sari dakwah para rasul.
Dalil Ketiga :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. Al-Isra’: 23-24)
Sisi pendalilannya adalah ayat ini adalah pada firman Allah (Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya), ada an-Nafyu (penafian) dan al-itsbaat (penetapan), dan sama seperti Laa ilaah illallahu (tidak ada yang berhak disembah dengan hak kecuali Allah).
Ayat ini menunjukkan akan agungnya kedudukan kedua orang tua karena Allah menggandengkan perintah bertauhid kepadaNya dengan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Terlalu banyak dalil yang menunjukkan agungnya hak kedua orang tua, diantaranya :
- Pada ayat ini Allah menggandengkan perintah bertauhid kepadaNya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Bahkan hal ini juga berlaku pada syari’at nabi-nabi terdahulu. Allah berfirman :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada kedua orang tua (QS. Al-Baqarah : 83)
Nabi Isa ‘alaihis salam berkata :
وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا، وَبَرًّا بِوَالِدَتِي
dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan (memerintahkan aku) untuk berbakti kepada ibuku (QS. Maryam : 31-32)
- Allah juga menggandengkan perintah bersyukur kepadaNya dengan bersyukur kepada kedua orang tua
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Luqman : 14)
- Nabi juga mengkaitkan ridha Allah dengan ridha kedua orang tua
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridhaan Robb pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Robb pada kemarahan orang tua”([21])
- Nabi juga mengkaitkan surga dengan berbakti kepada kedua orang tua. Nabi berkata kepada sahabat yang bersikeras meminta berulang-ulang agar berjihad bersama Nabi sementara ibunya masih hidup :
الْزَمْ رِجْلَهَا، فَثَمَّ الْجَنَّةُ
“Lazimilah (menetaplah pada) kaki ibumu, di sanalah surga”([22])
Ada beberapa perkara yang perlu ditekankan dalam ayat ini :
Pertama : Adapun (إِحْسَاناً) maka i’robnya adalah maf’ul mutlaq dari fi’il yang mahdzuf([23]), yang taqdirnya adalah
(وَأحْسِنُوا) بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan maf’ul mutlaq di sini fungsinya adalah untuk penekanan. Jadi Allah tidak mengatakan (Berbuat baiklah kepada kedua orang tua) tapi Allah menekankan dengan berkata (Berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya)
Dan al-Ihsan (berbuat baik) di sini umum mencakup ihsan fi’liy (dalam bentuk perbuatan) dan juga ihsan qauliy (dalam bentuk perkataan).
Kedua : Allah menekankan untuk lebih berbakti kepada orang tua ketika mereka telah mencapai masa jompo. Karena di masa itulah orang tua biasanya sudah tidak mampu, baik secara fisik maupun secara materi. Kalaupun secara materi dan fisik masih mampu maka mereka butuh teman untuk ngbrol dan berkeluh kesah, rindu melihat dan bercengkrama dengan anak-anaknya. Ayat ini menunjukkan bahwa orang tua semakin tua maka semakin besar perintah untuk berbakti kepadanya bukan malah semakin ditinggalkan.
Ketiga : Allah memotivasi agar kedua orang tua tinggal bersama kita dalam firmanNya عِنْدَكَ الْكِبَرَ (Tatkala mereka tua di sisimu), bukan malah anak-anak saling lempar-lemparan orang tuanya. Sungguh aneh, seorang ibu mampu mengayomi 5 bahkan 10 anaknya, sementara 10 anak tidak mampu mengayomi seorang ibu.
Keempat : Allah melarang mengatakan Uff (ahh) yang itu adalah ucapan teringan yang menunjukkan kejengkelan kepada orang tua. Maka segala perkataan maupun perbuatan bahkan lirikan mata ataupun sikap yang menunjukkan kejengkelan kita kepada kedua orang tua maka itu termasuk bentuk durhaka kepada kedua orang tua.
Kelima : Allah memerintahkan kita untuk berkata-kata yang lembut kepada kedua orang tua. Orang tua lebih berhak untuk kita memilih kata-kata yang lembut yang penuh penghormatan daripada tatkala kita bertutur kata dengan guru kita, istri kita, sahabat kita dan bos kita.
Keenam : Allah memerintahkan kita untuk tawadhu’ (rendah diri) di hadapan orang tua. Jangan sampai kita sombong merasa tinggi dihadapan orang tua, baik dengan kata-kata atau sikap.
Nabi Isa ‘alahis salam berkata ;
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka” (QS. Maryam : 32)
Ibnu Katsir berkata, “Yaitu Allah tidak menjadikan aku sombong dan angkuh untuk beribadah dan taat kepadaNya dan untuk berbakti kepada ibuku yang bisa mengakibatkan aku celaka”([24])
Ketujuh : Perintah untuk mendoakan kedua orang tua bukan hanya tatkala sudah meninggal, namun juga tatkala mereka masih hidup.
Kedelapan : Perintah Allah untuk mengingat kebaikan kedua orang tua bagaimana susahnya merawat dan membimbing kita tatkala kita masih kecil. Karenanya sebagian ulama menyatakan kita tidak akan pernah bisa membalas jasa kedua orang tua, karena orang tua kita merawat kita, mencebok kita tatkala kita masih kecil dengan penuh harapan agar kita cepat besar. Sementara kita merawat orang tua kita yang jompo dan memandikan serta membersihkannya dengan perasaan yang tidak sama, tapi dengan perasaan bersabar dan menanti kapan selesai ujian tersebut.
Dalil Keempat :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kalian mensekutukanNya dengan sesuatu apapun” (QS. An-Nisaa : 36)
Sisi pendalilannya pada ayat ini Allah menggandengkan antara perintah beribadah kepadaNya dengan perintah untuk meninggalkan seluruh bentuk kesyirikan kepadaNya. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah kepadaNya tidaklah sah kecuali disertai meninggalkan segala bentuk kesyirikan kepadaNya. Karena kesyirikan merusak ibadah sebagaimana hadats membatalkan wudhu dan membatalkan shalat.
Pada ayat ini ada dua keumuman:
Pertama : Kata شَيْئًا (sesuatu apapun) dalam ayat adalah kata nakiroh (tanwin) dalam konteks larangan maka memberikan faidah keumuman, sehingga mencakup seluruh sekutu (baik nabi, malaikat, jin, wali, batu, pohon, dll).
Kedua : Kata وَلَا تُشْرِكُوا (Jangan kalian berbuat kesyirikan), dan dalam kaidah bahwasanya fi’il mengandung masdar dan zaman, sehingga taqdirnya : لاَ تُشْرِكُوا بِهِ إِشْرَاكاً (Janganlah kalian berbuat kesyirikan dengan kesyirikan apapun). Dan karena masdar ini nakiroh dan datang dalam konteks kalimat larangan maka memberikan faidah keumuman, yaitu janganlah kalian berbuat kesyirikan apapun, baik syirik besar, kecil, maupun khofiy, baik syirik dalam rububiyah atau uluhiyah atau asmaa’ wa sifaat.
Dalil Kelima :
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ، وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” ( QS. Al An’am: 151-153).
Sisi pendalilannya adalah firman Allah :
أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً
“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia”
menunjukkan akan pengharaman syirik, dan kelaziman dari pengharaman kesyirikan adalah wajibnya tauhid. Karena tidak mungkin terlaksana pengharaman tauhid kecuali dengan mewujudkan tauhid, karena jika tauhid tidak diwujudkan maka akan muncul kesyirikan. Tidak mungkin tergambarkan hilangnya kesyirikan kecuali dengan terwujudkannya tauhid, karena tauhid dan syirik adalah نَقِيْضَانِ (dua hal yang saling kontradiksi), jika ada salah satunya maka yang lain pasti tidak ada.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa perkara yang diharamkan, dan yang pertama kali disebutkan adalah kesyirikan, yang merupakan lawan dari tauhid. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid adalah أَوْجَبُ الْوَاجِبَاتِ perkara yang paling wajib dan syirik merupakan أَعْظَمُ الْمُحَرَّمَاتِ perkara yang paling haram.
Dalil Keenam :
Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وَصِيَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي عَلَيْهَا خَاتَمُهُ فَلْيَقْرَأْ قَوْلَهُ تَعَالَى : {قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا} إِلَى قَوْلِهِ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا}
“Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad r yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah ﷻ : “Katakanlah ( Muhammad ) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain”
Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim. Apakah Nabi berwasiat?,
Nabi hendak berwasiat, namun terjadi perselisihan, sehingga akhirnya Nabi tidak jadi berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan tidak juga kepada Abu Bakar dan yang lainnya. Jika demikian apa maksud Ibnu Mas’ud?
Maksud beliau bahwasanya perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kandungan ayat-ayat tersebut sangatlah besar, sehingga seakan-akan Nabi berwasiat dengan ayat-ayat tersebut. Dan biasanya wasiat ditulis oleh seseorang di akhir hayatnya sehingga tidak akan mengalami perubahan lagi. Demikian pula ayat-ayat tersebut bersifat muhkamaat sehingga tidak akan lagi mengalami perubahan dan penggantian. Jika seandainya ditaqdirkan Nabi menulis washiat maka menurut Ibnu Mas’ud Nabi akan menuliskan ayat-ayat tersebut yang menjadikan larangan terhadap kesyirikan sebagai larangan yang pertama. Nabi di awal dakwahnya menyeru kepada tauhid dan di akhir hayatnya menyeru kepada tauhid. Karenanya Nabi diakhir hayatnya melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Dalil Ketujuh :
Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ r عَلَى حِمَارٍ، فَقَالَ لِيْ: يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
“Aku pernah diboncengkan Nabi r di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku: “wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda: “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya: “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang? beliau menjawab: “Jangan engkau lakukan itu, karena khawatir mereka nanti bersikap bersandar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Nabi (Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun) ini jelas menunjukkan kewajiban para hamba untuk bertauhid kepadaNya.
Adapun hak hamba atas Allah, yaitu Allah –karena kemuliaanNya- mewajibkan diriNya untuk tidak mengadzab hambaNya yang tidak berbuat kesyirikan sama sekali. Hal ini sama seperti firman Allah dalam hadits qudsi إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي (Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diriKu). Demikian juga Allah berfirman :
وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (QS. Ar-Ruum : 47)
كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. (QS. Al-An’aam : 12)
Para hamba jika bertahid maka mereka berhak untuk tidak diadzab, akan tetapi hak mereka bukan seperti penuntutan hak diantara sesama makhluk (sebagaimana pendapat mu’tazilah) akan tetapi berhak mendapatkan karunia yang Allah wajibkan atas diri Allah sendiri.
Faidah-faidah hadits ini :
Pertama : Tawadhu’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau adalah orang yang paling mulia akan tetapi mau naik tunggangan yang paling rendahan yaitu himar (keledai).
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Ibnu Mandah telah menulis tentang nama-nama para sahabat yang pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan jumlahnya lebih dari 30 sahabat([25])
Kedua : Bolehnya membonceng di atas himar (keledai), tentunya jika himarnya kuat, jika tidak kuat maka tentu itu merupakan bentuk kezaliman
Ketiga : Sucinya keringat himar, adapun kotorannya adalah najis. Dan ini adalah sesuai dengan kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر (kesulitan mendatangkan kemudahan) karena himar adalah hewan yang sering berinteraksi dengan manusia, sebagaimana kucing yang kotorannya najis akan tetapi keringatnya dan bekas minumnya tidaklah najis karena Nabi berkata :
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ؛ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia adalah hewan yang sering lalu lalang kepada kalian”([26])
Keempat : Adab yang sangat agung tatkala seseorang tidak mengetahui jawaban pertanyaan tentang masalah agama adalah mengatakan : Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.
Ibnu al-Qosim berkata, “Aku mendengar Imam Malik berkata :
إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي مَسْأَلَةٍ مُنْذُ بِضْعِ عَشَرَةَ سَنَةً فَمَا اتَّفَقَ لِي فِيْهَا رَأْيٌ إِلَى الآنَ
“Sungguh aku telah memikirkan satu pertanyaan (permasalahan agama) semenjak belasan tahun, dan hingga saat ini aku belum menemukan pendapat yang pas”([27])
Al-Haitsam bin Jamil berkata :
شَهِدْتُ مَالِكاً سُئِلَ عَنْ ثَمَانِ وَأَرْبَعِيْنَ مَسْأَلَةً فَقَالَ فِي اثْنَيْنِ وَثَلاَثِيْنَ مِنْهَا : لاَ أَدْرِي
“Aku melihat Imam Malik ditanya 48 pertanyaan, 32 diantaranya beliau jawab dengan perkataan ; Aku tidak tahu”([28])
Bahkan Imam Malik pernah ditanya 22 pertanyaan namun beliau hanya menjawab 2 pertanyaan. Pernah juga beliau ditanya 20 lebih pertanyaan dan beliau hanya menjawab 1 pertanyaan. Pernah juga beliau ditanya 100 pertanyaan dan beliau hanya menjawab 5 atau 10 pertanyaan, adapun sisanya beliau hanya menjawab : La Adri (aku tidak tahu). ([29])
Imam Malik pernah ditanya satu permasalahan lalu beliau berkata, “Aku tidak tahu”. Dan sang penanya adalah orang yang memiliki kedudukan. Lalu sang penanya berkata, إِنَّهَا مَسْأَلَةٌ خَفِيْفَةٌ سَهْلَةٌ “Ini adalah permasalahan yang ringan dan mudah”. Maka Imam Malikpun marah dan berkata :
لَيْسَ فِي الْعِلْمِ شَيْءٌ خَفِيْفٌ، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى: (إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْنكَ قَوْلاً ثقيلاً)
“Tidak ada yang ringan dalam urusan ilmu, tidakkah engkau mendengar firman Allah (Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat)” ([30])
Ada seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik satu pertanyaan, maka Imam berkata, “Aku tidak tahu”. Maka ada yang nyeletuk, “Kalau anda tidak tahu, lantas siapa yang tahu?”. Imam Malik berkata, “Celaka kalian, siapa saya?, apakah kedudukanku sehingga aku harus tahu apa yang kalian tidak tahu?”. Lalu beliau berkata :
وَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ الْعُجْبُ وَطَلَبُ الرِّئَاسَةَ
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang adalah sifat ujub dan ingin dijadikan pemimpin”([31])
Kelima : Jika kita tidak tahu jawaban pertanyaan tentang agama maka kita menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Inilah yang dikatakan oleh para sahabat tatkala Nabi masih hidup. Apakah kita boleh menjawab dengan jawaban yang sama setelah wafatnya Nabi?. Secara syari’at maka kita tetap boleh menjawab dengan jawaban yang sama, karena seandainya Nabi masih hidup lantas ditanya tentang permasalahan-permasalahan kontemporer maka tetap saja Nabi yang lebih mengetahui. Akan tetapi dilihat dari praktek para sahabat, setelah Nabi meninggal maka jika mereka ditanya tentang permasalahan agama dan mereka tidak mengetahui jawabannya maka mereka hanya mencukupkan dengan menjawab اللهُ أَعْلَمُ “Allah yang lebih mengetahui”.
Akan tetapi jika pertanyaan yang kita tidak mengetahui jawabannya berkaitan dengan permasalahan dunia maka sepakat para ulama cukup kita berkata, “Allah yang lebih mengetahui”. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kalian lebih mengetahui tentang perkara dunia kalian”([32])
Keenam : Bolehnya menyembunyikan ilmu jika ada maslahat. Sebab Nabi melarang Mu’adz mengkhabarkan hadits ini karena khawatir orang-orang akan bersandar kepada luasnya rahmat Allah sehingga meninggalkan amal. Kawatir orang-orang yang lemah iman semakin tenggelam dalam kemaksiatan, mereka akan berkata, “Selama kita bertauhid maka kita tidak akan disiksa oleh Allah”. Namun di akhir hayatnya Mu’adz mengkhabarkan hadits ini. Dalam shahih Al-Bukhari :
وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
“Dan Mu’adz meriwayatkan hadits ini tatkala hendak meninggal dunia agar terhindar dari dosa”([33]). Yaitu agar terhindar dari dosa menyembunyikan ilmu ([34])
Ketujuh : Mengkhususkan ilmu pada sebagian orang. Dan hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’adz karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan ilmu kepadanya.
Kedelapan : Murid minta izin kepada guru untuk menyebarkan ilmu yang dikhususkan gurunya kepadanya
Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:
- Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah I.
- Ibadah adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasulullah r dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid ini. ([35])
- Barangsiapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum beribadah (menghamba) kepada Allah I. inilah sebenarnya makna firman Allah:
“Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah.” (QS. Al Kafirun: 3). - Hikmah diutusnya para Rasul [adalah untuk menyeru kepada tauhid, dan melarang kemusyrikan].
- Misi diutusnya para Rasul itu untuk seluruh umat.
- Ajaran para Nabi adalah satu, yaitu tauhid [mengesakan Allah I saja].
- Masalah yang sangat penting adalah: bahwa ibadah kepada Allah I tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thaghut.
Dan inilah maksud dari firman Allah ﷻ :
“Barang siapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia benar-benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat.” (QS. Al Baqarah: 256). - Pengertian thaghut bersifat umum, mencakup semua yang diagungkan selain Allah I.
- Ketiga ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al An’am menurut para ulama salaf penting kedudukannya, di dalamnya ada 10 pelajaran penting, yang pertama adalah larangan berbuat kemusyrikan.
- Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra mengandung 18 masalah, dimulai dengan firman Allah:
“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela.” (QS. Al Isra’: 22).
Dan diakhiri dengan firmanNya:
“Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al Isra’: 39).
Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firman-Nya:
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu.” (QS. Al Isra’: 39). - Satu ayat yang terdapat dalam surat An–Nisa’, disebutkan di dalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firman-Nya:
“Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An Nisa’: 36 ). - Perlu diingat wasiat Rasulullah r di saat akhir hayat beliau.
- Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan.
- Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah apabila mereka melaksanakannya.
- Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat.
- Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahat.
- Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada sesama muslim.
- Rasulullah r merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah.
- Jawaban orang yang ditanya, sedangkan dia tidak mengetahui adalah: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
- Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa yang lain.
- Kerendahan hati Rasulullah r, sehingga beliau hanya naik keledai, serta mau memboncengkan salah seorang dari sahabatnya.
- Boleh memboncengkan seseorang di atas binatang, jika memang binatang itu kuat.
- Keutamaan Muadz bin Jabal.
- Tauhid mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_________________
Footnote:
([1]) HR Al-Bukhari no 1496 dan Muslim no 19
([4]) HR Ad-Daraquthniy dalam sunannya no 2059
([5]) HR Ahmad dengan sanad yang shahih, no 3785 dari Ibnu Mas’ud dan no 3786 dari Abu Hurairah dan 8040 dari Ibnu Sirin secara mursal
([6]) HR Ahmad no 6704 dan Ibnu Abi Syaibah dan mushannaf no 12203 dengan sanad yang hasan
([7]) HR Muslim no 1218, dari hadits Jabir tentang haji wada’
([8]) Tafsir Ibnu Katsir 8/242
([9]) Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh 1/309
([10]) lihat Mu’jam Maqooyiis al-Lughoh 4/205-206
([11]) Majmuu’ Al-Fataawa 10/149
([12]) At-Tuhfah al-‘Irooqiyah hal 44
([14]) Tafsir At-Thabari 4/558
([15]) HR Al-Bukhari no 3442 dan Muslim no 2365
([16]) Lihat Ikmaal al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim 7/338
([17]) Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 15/120
([18]) Lihat Tharhu at-Tatsrib 6/244
([19]) Lihat Fathul Baari 6/489
([20]) Lihat Ad-Dibaaj ‘ala Shahih Muslim 5/349
([21]) HR. Al-Hakim no 7249, Ibnu Hibban no 429, dan At-Tirmidzi no 1899
([22]) HR. Ibnu Majah no 2781, dan dihasankan oleh al Albani
([23]) Lihat I’roobul Qur’an al-Mansuub li az-Zajjaaj 1/23
([24]) Tafsir Ibnu Katsir : 5/229
([25]) Lihat Fathul Baari 10/398
([26]) HR Abu Dawud no 75, At-Tirmidzi no 92, Ibnu Majah no 367 dan An-Nasai no 68
([27]) Ad-Dibaaj al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yaan Ulamaa al-Madzhab, karya Ibnu Farhuun al-Maliki 1/111
([28]) Ad-Dibaaj al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yaan Ulamaa al-Madzhab, karya Ibnu Farhuun al-Maliki 1/112
([29]) Lihat Tartiib Al-Madaarik wa Taqriib al-Masaalik karya al-Qodhy ‘Iyaad 1/183-184
([30]) Tartiib Al-Madaarik 1/184-185
([31]) Tartiib Al-Madaarik 1/184
([34]) Lihat Fathul Baari 1/228)
([35]) Tidak sebagaimana yang dipropagandakan oleh sebagian da’i dengan menggambarkan seakan-akan permasalahan utama antara para nabi dan kaumnya adalah permasalahan kekuasaan dan penerapan hukum Allah. Penafsiran yang keliru ini menjadikan sebagian gerakan dakwah hanya memfokuskan kepada penerapan syari’at dengan mengabaikan dan menumbalkan pembahasan tentang tauhid dan peringatan akan bahaya kesyirikan. Bahkan sebagian gerakan dakwah demi mencapai kekuasaan menjadi anti membahas tentang tauhid, karena membahas tentang tauhid akan berdampak mengurangi jumlah pengikut.
Padahal nabi Musa tidak berbicara tentang kekuasaan kepada Fir’aun, demikian juga Nabi Ibrahim tidak berbicara tentang kekuasaan dengan raja Namrud, Nabi Isa juga tidak berbicara tentang kekuasaan, demikian juga nabi-nabi yang lain. Sebenarnya tauhid adalah tujuan sementara kekhilafahan adalah sarana untuk mencapai tauhid, maka jangan dijadikan sebaliknya khilafah menjadi tujuan sementara tauhid menjadi korban.