Adzan Sholluu Fi Buyuutikum Dan Penanganan Mayat Terjangkit Corona Covid 19
Permasalahan Fikih Terkait Corona (bag. 2)
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc, MA. (Pengasuh Bekalislam.com)
PERTAMA : Berkaitan dengan ditiadakan shalat jumát dan shalat berjamaáh
Pertama : Untuk adzan maka tetap ada yang mengumandangkan adzan di masjid karena adzan adalah syiár negeri-negeri Islam. Berikut fatwa Haiah Kibaar al-Úlamaa di Arab Saudi :
فإنه يسوغ شرعاً إيقاف صلاة الجمعة والجماعة لجميع الفروض في المساجد والاكتفاء برفع الأذان، ويستثنى من ذلك الحرمان الشريفان، وتكون أبواب المساجد مغلقة مؤقتاً، وعندئذ فإن شعيرة الأذان ترفع في المساجد، ويقال في الأذان: صلوا في بيوتكم؛ … تصلى الجمعة ظهراً أربع ركعات في البيوت.
“Sesungguhnya dibolehkan secara syariát untuk memberhentikan pelaksanaan shalat jumát dan shalat berjamaáh untuk seluruh shalat lima waktu dan mencukupkan dengna mengumandangkan adzan. Dan dikecualikan dalam hal ini masjidil haram dan masjid Nabawi. Dan pintu-pintu masjid ditutup sementara, dan ketika itu syiár adzan tetap dikumandangkan. Dan diucapkan di adzan : “Sholluu fi buyuutikum” (Shalatlah di rumah kalian)…dan shalat jumát digantikan dengan shalat dzuhur dikerjakan di rumah” (https://www.spa.gov.sa/2048662)
Dengan demikian DKM masjid tetap menugaskan seseorang untuk tetap mengumandangkan adzan meskipun masjid ditutup untuk umum.
Kedua : Adapun cara mengumandangkan “Sholluu fi buyuutikum” maka ada dua cara yang bisa dilakukan :
Pertama : Diucapkan setelah adzan selesai (yaitu setelah Laa ilaa ha illaallah), baru mengucapkan “Sholluu fi buyuutikum”
Naafi’ berkata :
أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ، ثُمَّ قَالَ: صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ «أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ» فِي اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ، أَوِ المَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu shalat di malam yang dingin di Dhojnaan, lalu ia berkata : “Sholatlah di rumah-rumah kalian”. Maka beliapun mengabarkan kepada kami bahwasanya Rasulullah memerintahkan seorang muadzin untuk mengumandangkan adzan, lalu setelah adzan untuk berkata “Shalatlah di rumah-rumah” di malam yang dingin atau ketika hujan ketika safar. (HR Al-Bukhari no 632)
Dalam riwayat yang lain :
أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
“Ibnu Umar mengumandangkan adzan di malam yang dingin atau berangin kencang atau hujan, maka beliau berkata di penghujung/akhir adzan beliau, “Hendaknya shalatlah di rumah kalian, hendaknya shalatlah di rumah kalian” (HR Muslim no 697)
Kedua : Lafal حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ “Hayya álaas sholaah” (marilah menuju shalat) diganti dengan lafal صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ “Shollu fi buyuutikum”
Ibnu Sirin berkata :
قَالَ: ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: «صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ»
Ibnu Ábbas berkata kepada muadzzin-nya ketika hari hujan : “Jika engkau mengumandangkan أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ maka janganlah engkau berkata حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ, tapi katakanlah صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ. (HR Al-Bukhari no 901 dan Muslim no 699)
Adapun untuk cara kedua ini, maka setelah mengganti حَيَّ عَلَى الصَّلَاة dengan صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ, maka setelah itu tetap mengucapkan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ (marilah menuju kemenangan) hingga akhir adzan, karena yang diganti hanya حَيَّ عَلَى الصَّلَاة.
Maka silahkan para muadzin memilih salah satu dari dua cara ini. An-Nawawi berkata
وَالْأَمْرَانِ جَائِزَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْأُمِّ … لِثُبُوتِ السُّنَّةِ فِيهِمَا لَكِنَّ قَوْلَهُ بَعْدَهُ أَحْسَنُ لِيَبْقَى نَظْمُ الْأَذَانِ عَلَى وَضْعِهِ
“Dua acara ini boleh dilakukan sebagaimana telah dinyatakan oleh Imam Asy-Syafií rahimahullah dalam kitab al-Umm…. Karena telah shahih sunnah tentang kedua cara tersebut. Akan tetapi jika diucapkan setelah adzan (cara pertama) maka lebih baik, agar aturan adzan tetap sebagaimana biasanya” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/207)
Ketiga : Lafal صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ diucapkan dua kali, baik pada cara pertama maupun cara kedua.
Adapun lafalnya telah datang beberapa lafal dalam hadits-hadits, namun semua lafal tersebut kembali kepada makna untuk shalat di rumah atau tempat tinggal masing-masing dan tidak ke masjid. Diantara lafal-lafal tersebut :
- صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ “Shalatlah di rumah kalian” (HR Al-Bukhari no 901 dan Muslim no 699)
- أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ Alaaa Sholluu fii rihaalikum “Hendaknya shalatlah di tempat tinggal kalian” (HR Muslim no 697). Ar-Rihaal jamak dari الرَّحْلُ ar-Rahl, yang artinya adalah tempat tinggal secara umum, apakah tempat tinggal terbuat dari tanah, batu, kemah, atau apapun. (Lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/207)
- الصَّلاَةُ فِي الرِّحَالِ As-Sholaat fir rihaal (HR Al-Bukhari no 616(
- وَمَنْ قَعَدَ فَلاَ حَرَجَ“Barang siapa yang diam di rumah maka tidak mengapa” (HR Ahmad no 17934 dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 2605)
Keempat : Adapun yang mendengar ucapan muadzin ini maka tidak ada dalil khusus tentang apa yang hendaknya dia ucapkan untuk menjawab perkataan muadzin tersebut. Namun sebagian ulama mengqiyaskan dengan seperti menjawab “hayya álas sholaah”, yaitu menjawab dengan لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ “Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah” (Lihat Asna al-Mathoolib 1/130-131 dan Tahriir al-Fataawaa 1/225)
KEDUA : Berkaitan dengan menguburkan mayat yang terjangkiti corona
Pertama : Tetap menyikapi jasad mayat sebagaimana ketika sebelum meninggal, yaitu tidak menyentuhnya secara langsung karena mengakibatkan penularan.
Kedua : Jika memungkinkan untuk dimandikan, misalnya yang memandikan menggunakan pakaian lengkap tertutup (agar tidak tertular) maka itu harus dilakukan.
Ketiga : Jika tidak memungkinkan, atau memandikannya menyebabkan virus semakin menular karena air membantu penularan (lihat pendapat para dokter) maka tidak perlu dimandikan, karena keselamatan yang hidup lebih diutamakan. Maka berpindah pada mentayammumkan mayat tersebut jika memungkinkan.
Dan mentayammumkannya -jika darurat- maka tidak harus langsung menyentuh jasad mayat, akan tetapi tanah diletakan di kain atau di benda tertentu lalu ditayammumkan ke jasad mayat (wajah dan kedua tangannya).
Dalam kitab fikih Hanafi boleh mentayammum dengan kain jika tidak memungkinkan secara langsung, misalnya mayat lelaki meninggal di tengah-tengah kaum wanita sehingga tidak ada lelaki sama sekali yang memandikannya, atau sebaliknya.[1]
Jika ternyata semakin menambah penularan atau dikawatirkan penularan maka tidak perlu ditayammumkan.
Keempat : Jika memang mayat ternyata tidak mungkin dimandikan dan tidak mungkin juga ditayammumkan maka tidak mengapa disholatkan tanpa dimandikan dan ditayammumkan.
Ad-Dusuqi Al-Maliki berkata :
وَأَمَّا مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ وَتَيَمُّمُهُ كَمَا إذَا كَثُرَتْ الْمَوْتَى جِدًّا فَغُسْلُهُ مَطْلُوبٌ ابْتِدَاءً لَكِنْ يَسْقُطُ لِلتَّعَذُّرِ وَلَا تَسْقُطُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ
“Dan adapun mayat yang tidak memungkinkan untuk dimandikan dan ditayammumkan -misalnya seperti jika yang mati sangat banyak- maka asalnya memandikannya dituntut, akan tetapi mandi tersebut menjadi gugur karena udzur (tidak memungkinkan), dan shalat janazah mayat tersebut tidak gugur (kewajibannya)” (Hasyiyat ad-Dusuqi ála asy-Syarh al-Kabiir 1/408) [2]
Asy-Syribini (Asy-Syafií) berkata :
قَالَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ: وَلَا وَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَيْسُورَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ، لِمَا صَحَّ «وَاذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» ؛ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ هَذِهِ الصَّلَاةِ الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ لِلْمَيِّتِ وَجَزَمَ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ صُلِّيَ عَلَيْهِ. قَالَ الدَّارِمِيُّ: وَإِلَّا لَزِمَ أَنَّ مَنْ أُحْرِقَ فَصَارَ رَمَادًا أَوْ أَكَلَهُ سَبُعٌ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا قَالَ بِذَلِكَ
“Sebagian ulama syafiíyah belakangan menyatakan : Tidak ada sisi (pendalilan) untuk meninggalkan shalat janazah mayat tersebut (meski tidak bisa dimandikan), karena yang bisa (mudah) dilakukan tidak gugur (kewajibannya) dengan gugurnya yang tidak bisa dilakukan, berdasarkan hadits yang shahih “Dan jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu kalian”. Dan juga karena tujuan dari shalat janazah adalah mendoakan mayat dan memberi syafaát bagi mayat. Dan Ad-Darimi serta selain beliau memastikan bahwa mayat yang tidak memungkinkan untuk dimandikan maka tetap dishalatkan, jika tidak maka melazimkan bahwa mayat yang terbakar dan telah menjadi debu atau dimakan oleh binatang buas untuk tidak dishalatkan, dan aku tiak mengetahui ada seorangpun dari para ulama syafiíyah yang berpendapat demikian” (Mughil Muhtaaj 2/50)
Adapun menyolatkannya maka jika memungkinkan banyak orang menyolatkan tanpa resiko penularan (misalnya mayatnya telah dimasukan ke kantong atau kotak yang aman) maka itu yang terbaik. Namun jika dikawatirkan penularan maka yang menyolatkan secukupnya saja.
Kelima : Demikian juga penguburan, hendaknya mayat dibawa dalam kotak (bungkus) yang mengamankan dari penularan, lalu yang menurunkan di liang lahad hendaknya memakai pakaian yang aman dari penularan.
Keenam : Dalam kondisi peralatan tidak memadai, dan jika melakukan proses pengkafanan dan pemandian bisa mengakibatkan penularan, maka boleh dikubur tanpa dimandikan dan dikafankan -karena darurat- dimana keselamatan yang masih hidup lebih diutamakan.
Secara umum jika sebagian kewajiban tidak bisa dikerjakan maka hendaknya dikerjakan yang bisa dikerjakan dan tidak gugur. Allah berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah semampu kalian” (QS At-Taghoobun : 16)
_______________________________
Footnote:
(1) Lihat: Al-Bidayah Syarh al-Hidayah 13/534 dan al-Mabsuth 30/105
(2) Sebagian ulama berpendapat jika tidak bisa dimandikan dan tidak bisa ditayammumkan maka tidak bisa dishalatkan, karena syarat shalat adalah mayat tersebut harus dalam kondisi suci.
An-Nawawi berkata :
قَالَ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ حَتَّى لَوْ مَاتَ فِي بِئْرٍ أَوْ انْهَدَمَ عَلَيْهِ مَعْدِنٌ وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَغُسْلُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ بَعْدَ غُسْلِهِ قَبْلَ تَكْفِينِهِ
“Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata : Bahkan jika ia mati di sumur atau tertimpa runtuhan lokasi penambangan dan tidak bisa dikeluarkan mayatnya dan tidak bisa dimandikan maka tidak dishalatkan, dan sah menyolatkannya jika telah dimandikan meskipun sebelum dikafankan” (AL-Majmuu’ 4/222)
Namun pendapat yang benar bahwa sang mayat tetap di shalatkan meskipun tidak dimandikan dan tidak ditayammumkan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Lagi pula jangankan mayat bahkan orang yang hidup jika tidak mampu untuk bersuci atau tidak bisa terhilangkan najis dari dirinya maka ia tetap shalat. Apalagi mayat yang memang pada dasarnya tidak bisa berbuat apa-apa dan sangat membutuhkan untuk didoakan.