Penjelasan Hadits Tentang Berlindung ke Masjid Ketika Wabah
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc, MA (Pengasuh Bekalislam.com)
Hadits tersebut adalah hadits dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:
إِذَا عَاهَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أُنْزِلَتْ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ
“Jika penyakit dari langit diturunkan maka penyakit tersebut dipalingkan dari para pemakmur masjid-masjid”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi (di Syúabul Iman no 2686), Ibnu Ádiy (di Al-Kaamil fi Dhuáfaa’ al-Rijaal 4/205 pada biografi no 725 Zafir bin Sulaiman), dan Ibnu Ásaakir (di Tarikh Dimasyq 17/11 no 1999)
Semuanya dari Jalur Zafir bin Sulaiman dari Abdullah bin Abi Shalih dari Anas bin Malik radhiallahu ánhu.
Hadits ini dinilai lemah (dhoíf) oleh banyak ulama, diantaranya Ibnu Ádiy (Al-Kaamil 4/205), As-Suyuthi (Jamúl Jawaami’ 2/139), dan Al-Albani (Ad-Dhoífah 4/332 no 1861).
Adapun sebab lemahnya hadits ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Pada sanadnya ada dua perawi yang lemah.
Yang pertama adalah Zafir bin Sulaiman. Ibnu Ádiy menilainya sebagai parawi yang dhoíf karenanya dimasukan dalam bukunya “Al-Kaamil fi Dhuáfaa’ ar-Rijaal” yaitu buku yang menjelaskan para perawi yang dhoíf. Dan hadits Anas ini beliau riwayatkan dalam buku tersebut melalui jalur Zafir bin Sulaiman untuk memberi contoh tentang hdaits-hadits dhoíf yang diriwayatkan oleh Zafir. Beliau berkata secara khusus tentang Zafir :
وَكَانَ أَحَادِيْثُهُ مَقْلُوْبَةَ الإِسْنَادِ مَقْلُوْبَةَ الْمَتْنِ وَعَامَّةُ مَا يَرْوِيْهِ لاَ يُتَابَعُ عَلَيْهِ وَيُكْتَبُ حَدِيْثُهُ مَعَ ضَعْفِهِ
“Dan hadits-haditsnya terbalik sanadnya, terbalik matannya, dan keseluruhan periwayatannya tidak diikuti dan ditulis haditsnya meskipun dia lemah” (Al-Kaamil fi dhuáfaa ar-Rijaal 4/206)
Para ulama lain yang mendoífkannya adalah Al-Bukhari, an-Nasaai, Abu Zuráh, Ibnu Hibaan, dan al-Uqoili (Lihat Tahriir Taqriib at-Tahdziib 1/409)
Adapun Ibnu Hajar beliau berkata صَدُوْقٌ كَثِيْرُ الأَوْهَامِ “Shoduuq tapi banyak kelirunya” (Taqriib at-Tahdziib hal 213)
Yang Kedua : Abdullah bin Abi Shalih as-Sammaan al-Madani. Ibnu Hajar berkata tentangnya لَيِّنُ الْحَدِيْثِ “Lemah haditsnya” (Taqriib at-Tahdziib hal 308 no 3390)
Kedua : Sanadnya terputus. Hal ini karena Abdullah bin Abi Shalih tidak meriwayatkan dari Anas bin Malik, akan tetapi ia meriwayatkan dari Ayahnya yaitu Abu Shalih dan juga dari Saíd bin Jubair (lihat Tahdziib at-Tahdziib, Ibnu Hajar 5/263).
Ketiga : Dzahir hadits ini menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
إِذَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا، أَصَابَ العَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ، ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
“Jika Allah menurunkan hukuman/adzab kepada suatu kaum maka adzab tersebut menimpa siapa saja yang bersama mereka, kemudian mereka dibangkitkan sesuai dengan amal mereka.” (HR Al-Bukhari no 7108 dan Muslim no 2879)
Yaitu jika turun hukuman/adzab maka menimpa siapa saja termasuk orang-orang shalih, akan tetapi semuanya akan terbedakan tatkala dibangkitkan. Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan berkata:
أَيْ بُعِثَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَلَى حَسَبِ عَمَلِهِ إِنْ كَانَ صَالِحًا فَعُقْبَاهُ صَالِحَةٌ وَإِلَّا فَسَيِّئَةٌ فَيَكُونُ ذَلِكَ الْعَذَابُ طُهْرَةً لِلصَّالِحَيْنِ ونقمة على الْفَاسِقين
“Yaitu setiap orang dari mereka akan dibangkitkan sesuai amalnya. Jika amalnya shalih maka kesudahannya baik, dan jika tidak maka kesudahannya buruk. Maka adzab tersebut adalah pembersih bagi orang-orang shalih dan hukuman bagi orang-orang fasik” (Fathul Baari 13/60, Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak, sebagiannya disebutkan oleh Ibnu Har di Fathul Baari 13/60. Silahkan lihat juga penjelasan Al-Albani di Ad-Dhoífah 4/332)
Jika telah jelas hadits ini adalah hadits yang lemah maka sepantasnya tidak disebarkan (dan juga tidak ikut menyebarkannya), terutama di saat yang genting seperti ini yang sedang mewabah covid 19. Selain itu perlu dipertimbangkan pula hal-hal berikut:
Pertama: Jika hadits inipun taruhlah shahih maka “penyakit” yang disebutkan dalam hadits Anas ini masih bersifat umum. Adapun penyakit mewabah dan menular maka ada hadits-hadits khusus yang memerintahkan untuk menjauhinya. Seperti :
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ
“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)
Dan kita ketahui bahwasanya pemerintah dan para ahli kesehatan telah menyebutkan bahwa tempat-tempat keramaian apalagi saling berdekatan dan bersentuhan maka merupakan potensi tersebarnya covid 19. Apalagi ternyata telah terjadi penyebaran covid 19 di tempat-tempat ibadah.
Baca Berita Antara: Mayoritas dari 190 kasus baru corona Malaysia terkait acara di masjid
Kedua: Hendaknya kita menghormati para ulama dan juga penjelasan pemerintah dan ahli kesehatan dalam hal ini. Jika para ulama di seluruh dunia (di Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Al-Jazair, Maroko, Malaisya dan MUI Indonesia) telah sepakat untuk menutup masjid dan meniadakan jumátan maka tentu mereka tidak sembarang berfatwa. Jika ternyata pendapat kita bertentangan dengan pendapat mereka dan kita merasa kita yang benar dan mereka (para ulama tersebut) yang salah, maka hendaknya kita mengalah dan menghormati keputusan pemerintah dan para ulama tersebut.
Ketiga: Bisa kita banyangkan jika ternyata semua orang berpendapat bahwa fatwa ulama dan keputusan pemerintah tidak perlu ditaati dan tidak perlu diindahkan maka sudah bisa dipastikan negeri kita bisa cheos seperti yang dialami oleh Italia dan Iran yang di awal muncul covid 19 mereka tidak perduli dan tetap meramaikan tempat ibadah.
Keempat: Jangan sampai kita nekat sehingga kitapun ikut andil dalam menyebarkan virus, sehingga kita berdosa. Karena kalau seandainya yang mati kita sendiri perkaranya lebih ringan, tapi kalau kita sudah terjangkiti virus, lantas kita sengaja untuk ke tempat keraimaian sehingga orang-orang banyak pada tertular, maka hakikatnya kita telah memberi kemudorotan kepada mereka. Sementara Nabi bersabda :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Kelima: Adapun pendalilan sebagian orang bahwa Nabi dan para sahabat tetap shalat berjamaáh ketika perang, maka ini adalah qias yang tidak benar. Hal ini karena :
- Pertama: Dalam perang musuhnya kelihatan, sumber kematian terlihat sehingga memungkinkan untuk mengambil tindakan shalat berjamaah atau tidak. Adapun virus corona (covid 19) maka virusnya tidak kelihatan (sumber bahayanya) tidak kelihatan.
- Kedua: Ternyata ketika kondisi perang sangat berbahaya dimana nyawa terancam jika dikerjakan shalat maka jangankan berjamaáh bahkan shalat pun bisa dijamak atau ditunda. Karenanya ketika Nabi perang Khondak Nabi sempat menunda shalat ashar dan dikerjakan setelah maghrib. (HR Muslim no 627)
- Ketiga: Justru Ketika perang Khondak Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak shalat berjamaáh di Masjid Nabawi karena harus melawan musuh diperbatasan daerah peperangan. Karena jika Nabi ke masjid maka musuh akan masuk ke kota Madinah dan bisa menimbulkan binasanya kaum muslimin. Maka demikian pula, jika ternyata semua kaum muslimin tetap pergi ke tempat keramaian maka seluruh dokter sepakat bahwa itu akan memicu tersebarnya virus dan memicu bertambahnya angka kematian kaum muslimin.
Keenam: Kenyataannya sebagian orang yang nekat hendak ke masjid ketika dikatakan di masjid fulan imamnya sudah terjangkiti virus covid 19 maka iapun tidak berani shalat di masjid tersebut. Maka demikian kondisi masyarakat yang tidak pergi ke keramaian, karena orang yang terjangkiti virus tidak ketahuan. Seandainya yang terjangkiti virus ketahuan maka kita semua pasti shalat di masjid berjamaáh karena sumber bahaya terlihat dan bisa mengambil sikap terhadapnya.
Hendaknya kita bersabar dalam dua pekan atau sebulan ini, semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin.
Silahkan baca pula: