Tafsir Surah Al-Haqqah
Surah Al-Haqqah adalah surah Makkiyah([1]), yaitu surah yang turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Al-Haqqah adalah salah satu dari nama-nama hari kiamat. Hari kiamat memiliki banyak nama, dimana masing-masing nama tersebut mengandung makna tertentu. Di antaranya adalah السَّاعَةُ yang bermakna hari kiamat yang datang secara tiba-tiba. Kemudian juga يَوْمُ الْقِيَامَةِ yang bermakna hari dimana manusia berdiri lama di padang mahsyar menanti kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk memulai persidangan. Hari kiamat disebut juga dengan يَوْمُ الْحِسَابِ yang bermakna hari dimana semua amalan manusia akan ditimbang. Demikian juga يَوْمُ الدِّينِ yang bermakna hari pembalasan. Di antaranya juga الطَّامَّةُ yang bermakna hari dimana malapetaka menimpa seluruh umat manusia. Disebut pula dengan الصَّاخَّةُ yang bermakna hari ditiupkan sangkakala yang sangat memekakkan telinga karena suara yang begitu keras. Dan di antara nama-nama hari kiamat adalah الحَاقَّةُ. ([2])
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai Al-Haqqah. Sebagian ulama memaknai Al-Haqqah dengan mutahaqqiqatul wuqu’ (pasti terjadi) ([3]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَن فِي الْقُبُورِ
“Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj : 7)
Sebagian ulama yang lain memaknai Al-Haqqah dengan hari dimana Allah Subhanahu wa ta’ala akan mentahqiq al-wa’d wal wa’id yaitu hari dimana Allah Subhanahu wa ta’ala akan merealisasikan janji dan ancaman-Nya. Pada hari itu penghuni surga akan mendapatkan janji yang Allah janjikan, dan penghuni neraka akan mendapatkan ancaman yang Allah janjikan kepada mereka ([4]). Oleh karena itu, di dalam surah ini disebutkan bagaimana azab yang dijanjikan kepada kaum yang mendustakan risalah yang turun kepada mereka seperti kaum ‘Ad dan kaum Tsamud.
Sebagian ulama yang lain juga memaknai Al-Haqqah dengan hakikat-hakikat (Al-Haqaiq) dan rahasia-rahasia semuanya akan terbongkar pada hari tersebut, akan terlihat mana yang kafir dan mana yang mukmin. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. ([5])
Itulah beberapa pemaknaan dari para ulama tentang makna Al-Haqqah. Dan semua makna tersebut benar.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْحَاقَّةُ، مَا الْحَاقَّةُ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ
“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?” (QS. Al-Haqqah : 1-3)
Allah mengulangi kalimat Al-Haqqah dengan bentuk pertanyaan menunjukkan betapa agungnya hari tersebut. ([6])
Lalu pada ayat-ayat setelahnya, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang beberapa keadaan kaum-kaum sebelumnya yang pernah ditimpa azab. Sebagaimana salah satu tafsir makna kata Al-Haqqah yaitu hari dimana Allah akan mentahqiq (mewujudkan) ancaman-ancamannya. Maka apabila di dunia Allah telah mentahqiqnya, terlebih lagi di akhirat. Allah berfirman,
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ
“Kaum Tsamud dan ‘Ad telah mendustakan hari kiamat.” (QS. Al-Haqqah : 4)
Kata Al-Qari’ah juga merupakan salah satu dari nama-nama hari kiamat. Al-Qari’ah (الْقَارِعَةُ) dari الْقَرْعُ yang bermakna ضَرْبٌ شَديْدٌ (pukulan kuat) ([7]). Hari kiamat dinamakan Al-Qari’ah karena hari tersebut benar-benar membuat manusia ketakutan seakan-akan ada hantaman yang kuat di dalam hatinya karena menyaksikan dahsyatnya hari kiamat ([8]), yaitu tatkala mereka melihat langit terbelah, bintang berjatuhan, dan cahaya matahari meredup.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kaum ‘Ad dan kaum Tsamud secara khusus karena keduanya merupakan kaum Arab yang dikenal oleh orang-orang Quraisy dengan العَرَبُ البَائِدَةُ Al-‘Arab Al-Ba’idah (kaum Arab yang telah punah). Dan surah Al-Haqqah ini turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau di Makkah saat berhadapan langsung dengan kaum Quraisy Arab. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kaum ‘Ad dan kaum Tsamud sebagai contoh agar mereka bisa sadar. Sedangkan mereka mengenal kaum ‘Ad (kaumnya Nabi Hud) dan kaum Tsamud (kaumnya Nabi Shalih) sebagai al-Arab al-Ba’idah (kaum Arab yang sudah punah) ([9]).
Kaum Tsamud yang merupakan kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam terletak di sebelah utara jazirah Arab yang sekarang dikenal dengan nama kota Al-‘Ula, sekitar 200-300 kilometer ke utara kota Madinah. Adapun kaum ‘Ad yang merupakan kaum Nabi Hud ‘alaihissalam terletak di sebelah selatan jazirah Arab([10]) . Sebagian ulama mengatakan bahwa kaum ‘Ad dahulu terletak di Yaman. Sebagian yang lain mengatakan letaknya antara Yaman dan Oman yang dikenal dengan nama Al-Ahqaf (bukit-bukit pasir). Oleh karenanya kaum ‘Ad dan kaum Tsamud masih bagian dari Arab, dan Nabi-Nabi mereka juga orang Arab, namun mereka sudah punah tidak memiliki keturunan lagi hingga sekarang setelah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi kaum ‘Ad dan kaum Tsamud dikenal oleh orang-orang Quraisy karena mereka masih menjadi bagian dari bangsa Arab, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan kedua kaum tersebut sebagaimana dalam ayat ini.
Allah mendahulukan menyebutkan kaum Tsamud karena tempat tinggal kaum Tsamud lebih dekat dengan dengan orang-orang Quraisy Arab, yang dimana tempat mereka tinggal adalah jalur yang dilalui oleh orang-orang Arab ketika hendak pergi ke Syam. Dan yang demikian agar lebih mengena ke hati mereka dan lebih menakutkan mereka, karena menyaksikan kampung yang dahulu dibinasakan oleh Allah azza wa jalla. ([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ
“Maka adapun kaum Tsamud, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras.” (QS. Al-Haqqah : 5)
Telah dimaklumi bahwa kaum Tsamud dibinasakan dengan صَيْحَةٌ (suara yang sangat keras). Namun dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan ungkapan طَاغِيَةٌ yang bermakna sesuatu yang melampaui batas. Ada dua penafsiran ulama tentang maksud dari kata طَاغِيَةٌ.
Pendapat pertama, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata طَاغِيَةٌ dalam ayat ini untuk menunjukkan bahwa mereka dibinasakan dengan suara keras yang tidak wajar dan sangat melampaui batas. Jika suara guntur di zaman sekarang yang sering didengar oleh manusia saja terkadang membuatnya ketakutan, maka suara guntur yang terdengar oleh kaum Tsamud saat itu adalah suara guntur yang sangat keras melampaui batas sehingga membuat mereka meninggal dunia. Inilah kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut طَاغِيَةٌ.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan طَاغِيَةٌ adalah Qudar bin Salif, yaitu orang yang membunuh untanya Nabi Shalih ‘alaihissalam ([12]). Ketika Nabi Shalih ‘alaihissalam diutus kepada kaum Tsamud, bersamaan dengan itu Allah Subhanahu wa ta’ala kirimkan unta Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai mukjizat. Dan Nabi Shalih ‘alaihissalam telah melarang dan memperingatkan kaumnya agar jangan sampai berani mengganggu unta tersebut, karena mereka bisa ditimpa azab dengan sebab itu. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَا قَوْمِ هَٰذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ
“Dan wahai kaumku! Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab’.” (QS. Hud : 64)
Namun mereka tidak menghiraukan itu. Dan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا، إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا
“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (Rasul-Nya) karena mereka melampaui batas (zalim), ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams : 11-12)
Akhirnya mereka pun bermusyawarah, lalu bangkitlah seorang yang disebut oleh Ahli sejarah namanya adalah Qudar bin Salif ([13]). Dia bangkit dan pergi untuk membunuh unta Nabi Shalih ‘alaihissalam. Dia lah yang disebut dengan طَاغِيَةٌ, yaitu orang yang sangat zalim dan telah melampaui batas karena kenekatannya untuk membunuh unta Nabi Shalih ‘alaihissalam. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah walaupun yang membunuh hanya Qudar bin Salif seorang, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyandarkan perbuatan Qudar bin Salif terhadap mereka seluruhnya([14]). Oleh karenanya kita dapati Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka,
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا، وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا
“Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah), dan Dia tidak takut terhadap akibatnya.” (QS. Asy-Syams : 14-15)
Meskipun yang melakukan hanya satu orang, akan tetapi karena yang lainnya telah bermusyawarah dan ridha dengan dibunuhnya unta Nabi Shalih ‘alaihissalam, maka hukum bagi yang lainnya pun sama, yaitu mereka dihukumi ikut membunuh unta Nabi Shalih ‘alaihissalam. Oleh karenanya tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ
“Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa.”
Yaitu seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Adapun kaum Tsamud, mereka telah dibinasakan karena perbuatan satu orang dan mereka ridha.” Oleh karena itu, ini juga merupakan peringatan terkait sikap setuju terhadap sebuah kemaksiatan. Bisa jadi seseorang tidak melakukan kemaksiatan, kesyirikan, dan kekufuran itu secara langsung, tetapi dia setuju dan tidak berusaha mengingkarinya, maka bisa jadi dia ikut mendapat dosa dan terkena dampak dari perbuatan tersebut sebagaimana yang dialami oleh kaum Tsamud.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ
“Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin.” (QS. Al-Haqqah : 6)
Kaum ‘Ad merupakan kaum yang lebih dahulu ada dibandingkan kaum Tsamud. Oleh karenanya kaum ‘Ad disebut kaum ‘Adanil Ula (kaum ‘Ad yang pertama), adapun kaum Tsamud disebut sebagai kaum ‘Ad yang kedua ([15]). Karena antara kaum ‘Ad dan kaum Tsamud mereka memiliki hubungan keturunan, yaitu dimana kaum Tsamud asalnya merupakan keturunan dari kaum ‘Ad. Intinya kaum ‘Ad adalah kaum yang dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi kencang.
Kaum ‘Ad merupakan kaum yang dahulunya istimewa karena Allah Subhanahu wa ta’ala banyak kenikmatan kepada mereka. Mereka diberi keutamaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala berupa tubuh yang besar dan kuat melebihi nenek moyang mereka yaitu kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِن بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً
“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan.” (QS. Al-A’raf : 69)
Akan tetapi karena saking kuatnya mereka, ternyata kenikmatan tersebut mengantarkan mereka kepada kesombongan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۖ أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Fusshilat : 15)
Karena kesombongan dan pembangkangan mereka terhadap Nabi Hud ‘alaihissalam, maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengirimkan azab kepada mereka berupa angin. Adapun angin tersebut bukanlah angin biasa, melainkan angin yang disifat dengan صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. Adapun angin صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ ini memiliki tiga sifat. Pertama, dia adalah angin yang sangat dingin lagi sangat menyiksa. Kedua, dia adalah angin yang sangat bising dan keras, sebagaimana tafsiran Imam Al-Qurthubi dan Thahir Ibnu ‘Asyur terhadap makna صَرْصَرٍ ([16]). Ketiga, dia adalah angin yang sangat kencang. Bahkan karena saking kencangnya ([17]), Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkannya sebagaimana kencangnya angin tersebut di dalam surah Al-Qamar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّ، تَنزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُّنقَعِرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus, yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya.” (QS. Al-Qamar : 19-20)
Maka kita bisa bayangkan bagaimana badan mereka yang sangat kuat dan besar, akan tetapi angin lebih mampu untuk mengangkat badan-badan mereka. Ketika angin tersebut datang, mereka bersembunyi mencari tempat yang aman, ada yang masuk ke dalam gua, turun ke bawah sumur. Tetapi angin tersebut seakan-akan mencari mereka, memasuki semua tempat persembunyian mereka bagaimanapun sempitnya. Angin tersebut masuk ketempat-tempat persembunyian mereka lalu mengambil mereka, seperti sebuah pohon yang dicabut hingga ke akar-akarnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al-Haqqah : 7)
Ada dua pendapat di kalangan Ahli Tafsir tentang makna حُسُومًا. Pendapat pertama, حُسُومًا bermakna مُتَتَابِعًا yaitu terus menerus tidak berhenti mereka diputar oleh angin tersebut selama tujuh malam delapan hari. Pendapat kedua, حُسُومًا bermakna قَاطِعَةٌ مُسْتَأْصِلَةٌ yaitu angin yang menghabisi mereka ([18]). Karena kata حُسُم dalam bahasa Arab bermakna memutuskan. Dan pedang disebut dengan حُسَام karena sifatnya yang memutuskan. Oleh karenanya sifat angin tersebut ditafsirkan dengan angin yang membinasakan habis mereka.
Kemudian pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).”
Di sini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata تَرَى (melihat) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bentuk uslub dalam bahasa Arab untuk menunjukkan sesuatu yang sangat dahsyat dan seakan-akan beliau melihatnya secara langsung ([19]). Demikian pula kita yang membaca ayat ini tidak melihat kejadian tersebut, akan tetapi karena saking dahsyatnya Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan kejadian tersebut sehingga seakan-akan kita melihatnya. Seandainya kita melihat mereka secara langsung, niscaya akan kita jumpai keadaan mereka seperti pohon-pohon kurma yang kosong. Adapun makna bahwa mereka seperti batang pohon kurma yang telah kosong, para ulama mengatakan bahwa karena saking kencangnya angin tersebut memutar-memutar mereka sampai-sampai membuat isi-isi perut mereka keluar sampai tak bersisa ([20]). Dan sebagian ulama mengatakan, bahkan angin tersebut yang masuk ke dalam tubuh-tubuh mereka dan mengeluarkan isi perut mereka. Akhirnya tubuh mereka menjadi kosong seperti batang pohon kurma yang dalamnya telah kosong dan tersisa hanya pada bagian luarnya saja. Setelah diputar-putar oleh angin, tubuh mereka terjatuh ke bumi dan tertancap di tanah seakan-akan tubuh mereka itu adalah pohon kurma ([21]). Ini menandakan bahwa mereka adalah kaum yang bertubuh besar karena Allah mempermisalkan mereka dengan pohon kurma. Dan inilah akibat yang dirasakan oleh kaum yang angkuh dan sombong dengan kekuatan tubuhnya, Allah mengazab mereka hanya dengan angin.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَهَلْ تَرَىٰ لَهُم مِّن بَاقِيَةٍ
“Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka?” (QS. Al-Haqqah : 8)
Tentunya tidak ada yang tersisa dari mereka semua, karena semuanya telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. ([22])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَاءَ فِرْعَوْنُ وَمَن قَبْلَهُ وَالْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ
“Dan kemudian telah datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar.” (QS. Al-Haqqah : 9)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian bercerita tentang Fir’aun. Allah berfirman وَجَاءَ فِرْعَوْنُ “Dan datang Fir’aun”. Tentu yang diadzab bukan hanya Fir’aun saja, dan tentu bukan hanya Fir’aun saja yang membangkang, akan tetapi seluruh pengikutnya juga ikut membangkang. Hanya saja Allah menyandarkan kesalahan kepada Fir’aun pada ayat ini karena dialah biang keroknya, dia yang mengajak orang-orang Qibth untuk menyembahnya dan menyiksa orang yang enggan. Dan orang-orang Qibthpun terkena adzab karena mereka memenuhi seruannya dan mendustakan nabi Musa.([23])
Dalam sebagian qira’ah kalimat وَمَن قَبْلَهُ dibaca dengan وَمَن قِبَلَهُ yang artinya adalah Fir’aun dan bala tentaranya yang banyak ([24]). Sehingga ayat di sini memberi pengertian bahwa bukan hanya Fir’aun yang dibinasakan, akan tetapi pasukannya juga ikut binasa bersamanya.
Kata الْمُؤْتَفِكَاتُ (negeri yang dijungkirbalikkan) maksudnya adalah kaum Nabi Luth ‘alaihissalam. Disebutkan bahwa kaum Nabi Luth ‘alaihissalam terdiri atas beberapa suku, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata jamak (الْمُؤْتَفِكَاتُ) yang berarti suku-suku yang dibalik oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah menggunakan kata jamak karena kaum Nabi Luth terdiri atas beberapa suku. Disebut sebagai الْمُؤْتَفِكَاتُ (yang dijungkir balikan), karena mereka adalah kaum yang diazab dengan cara negerinya diangkat ke langit lalu dibalik dan dijatuhkan ke bumi seraya dilempari batu([25]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ
“Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (QS. Al-Hijr : 74)
Balasan ini sesuai dengan perbuatan mereka, yaitu karena mereka telah membalikkan fitrah mereka. Asalnya fitrah laki-laki menyukai perempuan, tetapi mereka merusak fitrah mereka sehingga menjadi laki-laki suka kepada laki-laki juga ([26]). Wal ‘iyadzu billah, tentu ini adalah perbuatan yang sangat keji dan di luar normal.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً
“Maka mereka mendurhakai utusan Tuhannya, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.” (QS. Al-Haqqah : 10)
Disebabkan kesalahan-kesalahan dan kedurhakaan-kedurhakaan mereka kepada Rasul mereka, Allah pun mengazab mereka dengan azab yang besar. Adapun kata رَّابِيَةً berasal dari kata رَبَا-يَرْبُوْ-رِبَا (bertambah) ([27]), yaitu siksaan mereka senantiasa bertambah dan bukan merupakan siksaan yang biasa sehingga disebut dengan siksaan yang keras.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kalian ke dalam kapal.” (QS. Al-Haqqah : 11)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang azab yang menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang mendustakan Nabinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُّنْهَمِرٍ، وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَىٰ أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ
“Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan.” (QS. Al-Qamar : 11-12)
Allah menjadikan seluruh bagian bumi sebagai tempat keluarnya air. Sehingga air menjadi melimpah sangat banyak. Lalu Allah menyelamatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan kaumnya yang beriman kepadanya dengan bahtera yang besar ([28]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ
“Agar Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (QS. Al-Haqqah : 12)
Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah mereka agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi kaum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya perlu untuk kita tahu tentang bagaimana mereka bisa membangkang, bagaimana mereka bermaksiat, bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala mengazab mereka, dan tentang bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menyelamatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan orang-orang beriman yang bersama mereka. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa kisah-kisah ini hanya bisa menjadi peringatan bagi orang-orang yang mau mendengar. ([29])
Pada ayat ini Allah menyindir orang-orang kafir Quraisy (dan selain mereka), sebab mereka mendengar semua kisah ini, akan tetapi kenapa mereka tidak ingin mengambil pelajaran? Dan mereka menjadikan cerita ini hanya sebagai dongeng belaka. Dan lafazh أُذُنٌ وَاعِيَةٌ adalah telinga yang mau mengilmui dan benar-benar mengingat kisah ini, sehingga ia bisa mengambil ibrah dari kisah ini. ([30])
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kebinasaan yang menimpa kaum-kaum yang membangkang di dunia, Allah kemudian menyebutkan tentang hari kiamat dan beberapa ancaman-Nya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ
“Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup.” (QS. Al-Haqqah : 13)
Menurut sebagian ulama, tiupan sangkakala ada tiga kali tiupan. Tiupan pertama disebut dengan نَفْخَةُ الْفَزْعِ, yaitu tiupan yang membuat semua orang ketakutan. Tiupan kedua disebut dengan نَفْخَةُ الصَّعْقِ, yaitu tiupan yang membuat semua orang meninggal dunia. Tiupan ketiga disebut dengan نَفْخَةُ الْبَعْثِ, yaitu tiupan yang membangkitkan semua manusia dari kuburnya. ([31])
Adapun pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang sangkakala ditiup dengan sekali tiupan. Maka para ulama berbeda pendapat tentang tiupan keberapa yang dimaksud dalam ayat ini?. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tiupan yang pertama, dan sebagian yang lain mengatakan itu adalah tiupan yang ketiga (terakhir). Jika ayat ini dibawa kepada makna tiupan pertama, maka yang akan menyaksikan peristiwa-peristiwa dahsyat hari akhir tersebut adalah orang-orang yang hidup di akhir zaman, dan mereka dalam kondisi ketakutan melihat peristiwa tersebut. Mereka akan menyaksikan bagaimana langit terbelah, bumi berguncang, bintang berjatuhan, dan peristiwa dahsyat lainnya. Sedangkan jika ayat ini dibawa kepada makna tiupan terakhir (tiupan ketiga), maka yang akan menyaksikan peristiwa-peristiwa dahsyat hari akhir adalah seluruh manusia tanpa terkecuali setelah mereka dibangkitkan dari kuburnya. ([32])
Inilah khilaf di kalangan para ulama tentang siapakah yang akan menyaksikan hari kiamat tersebut berdasarkan ayat ini. Sebagian ulama merajihkan pendapat yang kedua, bahwa semua manusia akan menyaksikan kedahsyatan hari kiamat ([33]). Sebagaimana ditunjukkan di dalam Alquran dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ، يَوْمَ تَرَوْنَهَا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (ingatlah) pada hari ketika kamu melihat (guncangan) itu.” (QS. Al-Hajj : 1-2)
Ayat ini menunjukkan bahwa sekian-akan kita semua manusia akan menyaksikan kedahsyatan hari tersebut.
Tentang pendapat mana yang lebih kuat, penulis sendiri lebih condong pada pendapat bahwasanya kita semua akan melihat kedahsyatan hari kiamat. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan ancaman-ancamannya kepada kaum musyrikin tidak lain karena mereka kelak akan menyaksikan kedahsyatan-kedahsyatan hari kiamat. Oleh karena itu, tiupan sangkakala dengan sekali tiup dalam ayat ini maksudnya adalah tiupan yang ketiga.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً
“Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan.” (QS. Al-Haqqah : 14)
Ini merupakan salah satu gambaran tentang kedahsyatan hari kiamat. Gunung-gunung akan diangkat dan dilepaskan dari pasaknya, lalu kemudian saling dibenturkan di langit, lalu ditabrakkan ke bumi hingga hancur seluruhnya. Dan di sini Allah menyebutkan dengan lafazh الدَّكُّ yang artinya: membenturkan sesuatu dengan yang lainnya dengan benturan yang sangat keras dan menyebabkan benda tersebut hancur lebur. ([34])
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا، فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا، لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلَا أَمْتًا
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang gunung-gunung, maka katakanlah, ‘Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari Kiamat) sehancur-hancurnya, kemudian Dia akan menjadikan (bekas gunung-gunung) itu rata sama sekali, (sehingga) kamu tidak akan melihat lagi ada tempat yang rendah dan yang tinggi di sana’.” (QS. Thaha : 105-107)
Maka Subhanallah, jika gempa bumi pada hari ini saja telah membuat manusia ketakutan, bagaimana lagi jika bumi itu diangkat, gunung-gunung diangkat lalu dibenturkan satu sama lain?
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَيَوْمَئِذٍ وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
“Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat.” (QS. Al-Haqqah : 15)
الْوَاقِعَةُ (Al-Waqi’ah) juga merupakan salah satu dari nama-nama hari kiamat ([35]). Adapun kata الْوَاقِعَةُ maknanya adalah pasti terjadi. Dan pada ayat ini Allah menekankan bahwa apa yang telah Allah janjikan pada mereka dari hari kiamat dan adzab-adzabnya pasti terjadi, karena Allah menyebutkan dengan lafazh وَقَعَتْ (fiil madhi/past) yang bermakna waktu yang telah berlalu dan telah terjadi, padahal untuk menjelaskan sesuatu yang akan terjadi, sehingga seakan-akan kejadian itu sudah terjadi (dan maksudnya untuk penekanan bahwa pasti akan terjadi).([36])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَانشَقَّتِ السَّمَاءُ فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ
“Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh.” (QS. Al-Haqqah : 16)
Kalau kita kumpulkan ayat-ayat yang menceritakan kondisi langit pada hari kiamat kelak, maka kita akan dapati langit akan mengalami beberapa kondisi. Pertama adalah langit tersebut mulai terbelah dengan tampak retakannya. Kondisi ini disebut dengan infithar yang diambil dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” (QS. Al-Infithar : 1)
Kedua adalah belahan langit akan semakin membesar dan sempurna. Kondisi ini disebut dengan insyiqaq yang diambil dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذَا السَّمَاءُ انشَقَّتْ
“Apabila langit terbelah.” (QS. Al-Insyiqaq : 1)
Ketiga adalah langit menjadi tampak lemah dan rapuh sehingga tidak kuat lagi untuk mempertahankan benda-benda langit yang berada di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa langit sangatlah kokok sehingga bisa menjadi tempat bagi benda-benda langit yang begitu banyak dan begitu besar. Akan tetapi pada hari kiamat langit akan menjadi lemah, sehingga bintang-bintang berjatuhan, planet-planet di langit lepas dari orbitnya. Pada kondisi ini langit disebut وَاهِيَةٌ sebagaimana disebutkan dalam ayat ini,
فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ
“Maka pada hari itu langit menjadi lemah (rapuh).” (QS. Al-Haqqah : 16)
Keempat adalah langit dalam kondisi Al-Kasyth, yaitu langit seakan-akan menjadi sesuatu yang dicabut dari bingkainya, atau seperti seorang yang melepas kulit hewan dari dagingnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ
“Dan apabila langit dilenyapkan.” (QS. At-Takwir : 11)
Kelima adalah langit dilipat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala seperti melipat lembaran buku. Kondisi ini disebut dengan Ath-Thay, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ ۚ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati. Sungguh Kami akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiya’ : 104)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
“Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS. Al-Haqqah : 17)
Langit adalah makhluk Allah yang paling luas yang bisa disaksikan oleh manusia. Adapun makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang lebih besar daripada langit itu masih banyak, namun kita tidak bisa melihatnya. Di antaranya adalah kursi Allah Subhanahu wa ta’ala yang luasnya meliputi langit dan bumi, kemudian ada pula ‘Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala yang lebih luas daripada itu semua.
Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa pada hari itu malaikat-malaikat berada di seluruh penjuru langit, yang mereka siap turun ke atas muka bumi.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
“Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.”
Para ulama khilaf tentang maksud delapan dalam ayat ini. Sebagian ulama mengatakan, delapan yang memikul ‘Arsy maksudnya adalah delapan malaikat. Sebagian yang lain mengatakan maksudnya adalah delapan ribu malaikat. Bahkan ada pula yang mengatakan maksudnya adalah delapan baris malaikat. Intinya ini menunjukkan bahwa ‘Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala adalah makhluk Allah yang paling besar ([37]). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضٍ فَلَاةٍ وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى الْحَلْقَةِ
“Tidaklah tujuh langit dibandingkan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di tanah lapang dan besarnya ‘Arsy dibandingkan kursi adalah seperti tanah lapang dibandingkan dengan cincin.”([38])
Langit jika dibandingkan dengan kursi Allah Subhanahu wa ta’ala, ibarat cincin yang dilemparkan di tanah lapang. Dan tidaklah kursi Allah Subhanahu wa ta’ala jika dibandingkan dengan ‘Arsy melainkan seperti itu pula. Artinya ‘Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala sangatlah besar, dan pada hari kiamat akan dipikul oleh malaikat, baik itu delapan malaikat, atau delapan ribu malaikat, atau bahkan delapan baris malaikat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah : 18)
Kata تُعْرَضُونَ (dihadapkan) dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ahli Tafsir dengan تُحَاسَبُوْنَ (dihisab) ([39]). Yaitu mereka akan dihadapkan kepada Allah untuk dihisab amalan-amalan mereka. Karena setelah bumi dihancurkan, maka bumi akan diratakan dan diubah menjadi padang mahsyar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa.” (QS. Ibrahim: 48)
Setelah itu, manusia akan dikumpulkan di padang mahsyar. Dan disitulah mereka berdiri dan tidak duduk menunggu kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala, yang pada waktu itu satu hari seperti lima puluh ribu tahun. Tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala telah datang, maka malaikat menjadi bersaf-saf mengiringi kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka saat itulah yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu manusia dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk untuk dihisab.
Adapun tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
“Tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah).”
Sebagian Ahli Tafsir menafsirkan bahwa maksud tidak ada amalan yang tersembunyi adalah seluruh amalan yang selama ini disembunyikan oleh manusia selama hidupnya baik dari kebaikan atau keburukan, maka akan tampak pada hari tersebut ([40]). Sebagian Ahli Tafsir yang lain menafsirkan bahwa maksud tidak ada yang tersembunyi adalah semua manusia akan dipaparkan di padang mahsyar dan tidak ada yang bisa bersembunyi, karena tanah di padang mahsyar semuanya rata, tidak ada gunung, tidak ada lembah, dan tidak ada pohon. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang padang mahsyar,
لَيْسَ فِيهَا مَعْلَمٌ لِأَحَدٍ
“Disana tidak ada tanda satu pun.” (Muttafaqun ‘alaih)([41])
Artinya tidak ada tempat bersembunyi dan tidak ada yang bisa disembunyikan di padang mahsyar. Sebagian Ahli Tafsir yang lain menafsirkan bahwa maksud tidak ada yang tersembunyi adalah semua aurat manusia akan terbuka ([42]), tidak ada yang bisa disembunyikan pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا
“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.”([43])
Dalam riwayat yang lain disebutkan oleh Abdullah bin Unais bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا، قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ
“Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak pula buhman”. Lalu kami bertanya, ‘Apakah buhman itu?’ Beliau bersabda, ‘Tidak ada sesuatupun yang kalian bawa’.”([44]) (HR. Ahmad 3/459 no. 16085)
Sebagian Ahli Tafsir yang lain menafsirkan bahwa tidak ada yang tersembunyi yaitu akan tampak mana orang yang beriman dan mana orang yang kafir, semuanya akan tersingkap pada hari tersebut. ([45])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ
“Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata, ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini)’.” (QS. Al-Haqqah : 19)
Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menghisab, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan akan membagikan catatan amal setiap manusia. Maka saat itu manusia terbagi menjadi dua, yang menerima catatan amal dengan tangan kanan, dan yang menerima catatan amal dengan tangan kiri.
Adapun dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala mulai bercerita tentang orang yang menerima catatan amalnya dengan tangan kanannya. Orang yang diberikan catatan amalnya dengan tangan kanannya merupakan tanda bahwa orang tersebut adalah orang baik, tanda bahwa dia telah berhasil, dan tanda dia telah lulus dari ujian kehidupan di dunia ([46]). Kalau kita bisa ibaratkan, maka orang yang menerima catatan amal dengan tangan kanannya seperti orang yang menerima rapor atau ijazah dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan. Maka kelak dia akan sangat berbangga terhadap isi laporan catatan amalnya selama hidup di dunia, sehingga seakan-akan dia ingin menunjukkannya kepada orang lain bagaimana hasilnya beramal di dunia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ
“Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” (QS. Al-Haqqah : 20)
Di antara hal yang membuat dia berhasil mendapatkan nilai yang baik dari catatan amalnya pada hari kiamat kelak adalah karena selama di dunia dia yakin akan bertemu dengan yaumul hisab (hari penghisaban) dan yakin bahwa dia akan diberikan laporan catatan amalnya.([47])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ، فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ، قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ
“Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat.” (QS. Al-Haqqah : 21-23)
Karena orang tersebut mendapat catatan amalnya dengan tangan kanannya, maka orang tersebut diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala berupa kehidupan yang menyenangkan, kehidupan yang abadi, kenikmatan abadi berupa surga yang tinggi. Namun meskipun surga tersebut tinggi, buah-buahannya sangat mudah untuk dipetik. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,
وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوفُهَا تَذْلِيلًا
“Dan naungan (pepohonan)nya dekat di atas mereka dan dimudahkan semudah-mudahnya untuk memetik (buah)nya.” (QS. Al-Insan : 14)
Orang yang duduk bisa langsung memetik buahnya, orang yang berdiri juga bisa mengambil buahnya, bahkan orang yang berbaring juga bisa mengambil buahnya ([48]). Adapun bagaimana caranya hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu. Akan tetapi intinya ini menunjukkan tidak ada kesusahan yang akan dirasakan oleh penghuninya di akhirat, seorang yang ingin memakan buah-buahan maka dia akan dengan mudah mengambilnya. Kalau di dunia semuanya butuh perjuangan, adapun di akhirat tidak ada lagi perjuangan, semua akan menerima balasan dari perjuangannya di dunia berupa kemudahan, sampai-sampai buah-buahan jika diinginkan bisa datang sendiri tanpa bersusah payah mencarinya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَة
“(kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu’.” (QS. Al-Haqqah : 24)
Ayat ini adalah dalil bahwasanya seseorang akan masuk surga dengan sebab amal saleh yang telah dikerjakan ketika dulu masih di dunia, karena dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan,
بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَة
“Karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.”
Oleh karena itu, berkaitan dengan masuknya seseorang ke dalam surga, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan amal sebagai sebabnya ([49]). Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl : 32)
Akan tetapi pada dasarnya amalan yang dilakukan oleh seseorang tidaklah pantas untuk memasukkannya ke dalam surga. Adapun amalan itu hanya merupakan sebab untuk mendatangkan rahmat dan karunia-Nya Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga seseorang bisa masuk surga. Hal ini sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sabdakan,
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لاَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
“Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para sahabat bertanya, ‘Dan tidak pula engkau wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Kecuali Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepadaku’.”([50])
Ini menunjukkan bahwa amalan seseorang tidak bisa digunakan untuk membayar surga, karena amalan tersebut tidak ada bandingannya dengan surga. Kita tahu bahwa shalat sunnah fajar memiliki balasan pahala yang lebih baik daripada dunia dan seisinya. Pertanyaannya, apakah shalat yang kita lakukan kurang dari lima menit itu atau mungkin yang terkadang kita lakukan dengan setengah sadar (tidak khusyuk) pantas untuk mendapatkan pahala sebesar dunia dan seisinya? Tentu tidak pantas. Maka demikian pula seluruh amalan seseorang pada dasarnya tidak pantas digunakan untuk membayar surga yang dimana orang-orang akan abadi di sana. Oleh karenanya amal saleh itu merupakan sebab untuk mendatangkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala bagi kita, sehingga dengan rahmat tersebut kita dapat masuk surga. Dan dari amalan-amalan tersebutlah, Allah Subhanahu wa ta’ala akan menempatkan seseorang di dalam surga pada derajat sesuai yang pantas untuknya. Semakin banyak amalan seseorang maka akan semakin tinggi derajat surganya dan semakin tinggi kualitas kenikmatan yang akan dia dapatkan di surga. Oleh karena itu, seseorang yang diberi umur dan kesehatan oleh Allah hendaknya ia benar-benar memanfaatkan waktu-waktunya untuk memperbanyak amalan saleh, karena tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali dengan hal tersebut. Dan sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
فَإِنَّ الْيَوْم عَمَلٌ وَلَا حِسَاب، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَل
“Sesungguhnya hari ini adalah untuk beramal dan tidak ada hisab, dan esok adalah hari penghisaban bukan lagi untuk beramal.”([51])
Maka sungguh beruntung orang yang banyak beramal saleh dalam kehidupannya di dunia. Demikianlah orang yang mendapatkan catatan amalnya dengan tangan kanannya, dia pun akhirnya bangga dan memamerkan catatan amalnya tersebut yang berisikan berbagai amalan kebaikan dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala selama dulu ia masih hidup di dunia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ، وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَه، يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ، مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ، هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku’.” (QS. Al-Haqqah : 25-29)
Di ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang orang-orang yang mendapatkan catatan amalnya dengan tangan kirinya. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ
“Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku’.”
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kondisi dimana orang-orang yang menerima catatan amal dengan tangan kirinya tidak ingin menerima catatan tersebut. Mereka takut, padahal mereka belum melihat isinya. Akan tetapi tatkala itu Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan dia ingat dengan apa yang telah dia lakukan selama di dunia. Kemudian dia akhirnya sadar bahwa diterimanya catatan dengan tangan kiri merupakan pertanda bahwa dia akan binasa, karena kiri merupakan simbol keburukan ([52]). Sampai-sampai dia berangan-angan untuk tidak menerima catatan tersebut. Akan tetapi dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada seluruh manusia termasuk mereka,
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu.” (QS. Al-Isra’ : 14)
Kemudian setelah itu dia berkata,
وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَه
“Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku.”
dia tidak ingin dihisab, akan tetapi mereka tetap harus dihisab. ([53])
Kemudian mereka berkata,
يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ
“Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu.”
Artinya tatkala melihat semua itu, dia justru sangat berangan-angan untuk mati agar segala suatu urusan pada hari selesai baginya. Sungguh hari itu adalah hari yang sangat mengerikan, karena kematian yang dahulunya merupakan suatu hal yang sangat dia benci, akan tetapi di akhirat kematian adalah cita-citanya, karena dia tahu bahwa dibalik hisab tersebut ada azab yang abadi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memberikan kematian lagi baginya.
Kemudian mereka berkata,
مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ
“Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku.”
Harta-harta yang dulu dia kumpulkan sama sekali tidak berfaedah, tidak bisa menyelamatkannya dari siksaan di neraka Jahannam. Karena selama di dunia dia hanya berfoya-foya, tidak bersedekah, dan dia hanya bermaksiat dengan hartanya.
Kemudian mereka berkata,
هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Kekuasaanku telah hilang dariku.”
Dia yang dahulunya presiden, dia yang dahulunya raja, dia yang dahulunya pejabat, dia yang dahulunya orang terkaya, tetapi semua kekuasaannya tersebut juga sama sekali tidak bermanfaat baginya di akhirat. Ketika dia dibangkitkan pada hari kiamat, seluruh jabatan dan kekuasaannya ditanggalkan, yang jadi raja dan penguasa pada hari itu hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan pada hari itu Allah Subhanahu wa ta’ala akan berfirman,
“Akulah Raja, mana yang mengaku raja dibumi?”([54])
Akan tetapi pada waktu itu tidak ada yang mengangkat kepala, mereka semua takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dia sadar pada waktu itu bahwa kekuasaannya sama sekali tidak bermanfaat.
Pada ayat ini terdapat penjelasan bahwa Allah juga mengadzab mereka pada perasaan mereka, dan isyarat bahwa adzab ruhani (perasaan) itu lebih menyakitkan bagi orang-orang kafir. ([55])
Dan sungguh merananya orang-orang yang membangkang, sebelum badan mereka di adzab, mereka telah diadzab perasaan mereka terlebih dahulu.
Karenanya handaknya seseorang berpikir terlebih dahulu sebelum berkata dan bertindak agar tidak tersiksa pada hari kiamat kelak. Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri:
” رَحِمَ اللهُ عَبْدًا وَقَفَ عِنْدَ هَمِّهِ، فَإِنَّ أَحَدًا لَا يَعْمَلُ حَتَّى يَهِمَّ، فَإِنْ كَانَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَضَى، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ اللهِ أَمْسَكَ ”
“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak untuk berfikir sebelum mengerjakan keinginannya, dan sungguh seseorang tidak akan berbuat kecuali dia sebelumnya memiliki keinginan, dan jika ia merasa perbuatan itu untuk Allah azza wa jalla (kebaikan) maka ia melanjutkannya (melakukannya), dan jika ia dapati ternyata amalan itu tidak untuk Allah azza wa jalla (bukan kebaikan atau dia hanya sia-sia) maka ia berhenti dan tidak melakukannya” ([56])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
خُذُوهُ فَغُلُّوهُ، ثُمَّ الْجَحِيمَ صَلُّوهُ، ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ
“(Allah berfirman), ‘Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta’.” (QS. Al-Haqqah : 30-32)
Tentang tujuh puluh hasta dalam ayat ini, para ulama khilaf tentang apakah hasta tersebut merupakan hasta hitungan manusia atau malaikat. Dan para ulama Ahli Tafsir juga berbeda pendapat tentang makna فَاسْلُكُوهُ. Sebagian menafsirkan dengan memasukkannya ke dalam lingkaran-lingkaran rantai lalu dia digeret dengannya. Sebagian yang lain menafsirkan dengan memasukkan rantai tersebut ke dalam duburnya hingga tembus hingga mulutnya, lalu digeret dengannya. Sebagian menafsirkan dengan rantai tersebut dililitkan pada tubuhnya lalu digeret dengannya. Intinya rantai tersebut sangatlah panas, yang jika seseorang menyentuhnya maka tangannya akan melebur. Inilah beberapa tafsiran dari para Ahli Tafsir tentang makna makna فَاسْلُكُوهُ. ([57])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Sesungguhnya dialah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Haqqah : 33-34)
Inilah dua sebab mengapa mereka disiksa di neraka Jahannam. Sebab pertama, dia tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun Sebab kedua dia tidak pernah memotivasi orang lain untuk memberi makan fakir miskin, artinya dia tidak mau berbuat baik kepada orang lain ([58]). Dan tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat ini, menunjukkan bahwa betapa buruknya sifat pelit. Oleh karenanya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan bahwa sumber kebahagiaan ada dua. Pertama, ikhlas yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kedua, ihsan (berbuat baik) kepada orang lain ([59]). Oleh karenanya jika kita ingin bahagia, hendaknya mengumpulkan dua sifat ini, yaitu ikhlas dan berbuat baik kepada orang lain. jika seseorang bisa mengumpulkan dua perkara ini, maka dia akan menjadi orang yang paling bahagia. Sebesar apa keikhlasan dan bantuannya kepada orang lain, maka sebesar itu pula kebahagiaan yang akan dia dapatkan dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Akan tetapi dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa dua perkara tersebut telah hilang darinya. Dia tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan dia pelit untuk membantu orang lain.
Pada ayat ini Allah menyebutkan shifatNya الْعَظِيمِ (Yang Maha Agung) untuk penekanan, bahwa orang-orang kafir itu ingkar terhadap Dzat yang Agung yang melazimkan adzabNya itu sangatlah pedih. Dan sebagian ulama mengatakan: untuk penekanan bahwa mereka telah ingkar kepada Dzat yang maha agung, dan mereka merasa agung (congkak) selama di dunia, maka terimalah balasan yang sangat pedih dari itu semua. ([60])
Di sini Allah mengancam adzab yang pedih kepada orang yang tidak mau mendorong orang yang mampu untuk memberi makan orang-orang yang miskin, lantas bagai mana ancaman orang yang enggan memberi makan orang yang tidak mampu padahal dia memiliki harta yang berlebih?.([61])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيمٌ
“Maka pada hari ini di sini tidak ada seorang teman pun baginya.” (QS. Al-Haqqah : 35)
Jika dahulu di dunia dia kaya raya, punya anak buah yang banyak, punya banyak teman, akan tetapi semua itu tidak ada yang bisa menolongnya. Tidak ada seorang pun yang bisa memberi syafaat untuk dirinya karena dia tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِينٍ
“Dan tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah.” (QS. Al-Haqqah : 36)
غِسْلِينٍ adalah cairan yang keluar dari tubuh penghuni neraka Jahannam ([62]), baik itu nanah, darah, muntahan, dan yang lainnya. Intinya غِسْلِينٍ adalah cairan yang busuk. Dan para ulama menyebutkan bahwa pada cairan ghislin terkumpul tiga sifat. Pertama, شَدِيدَةُ الْحَرَارَةْ yaitu sangat panas. Kedua, شَدِيْدَةُ الرَائِحَةْ yaitu sangat bau. Ketiga, شَدِيْدَةُ الْمَرَارَةْ yaitu sangat tidak enak ([63]). Demikianlah minuman dan makanan mereka kelak. kalau nanah di dunia saja kita merasa jijik melihatnya, maka bagaimana lagi dengan mereka yang harus meminumnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَّا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِئُونَ
“Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.”(QS. Al-Haqqah : 37)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan bahwa ghislin akan dimakan oleh المُخْطِئُوْن. Karena kata المُخْطِئُوْن menunjukkan orang tersebut berbuat salah namun tidak disengaja. Adapun الْخَاطِئُونَ menunjukkan bahwa orang tersebut berbuat salah dengan sengaja. ([64])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ، وَمَا لَا تُبْصِرُونَ
“Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak kamu lihat.” (QS. Al-Haqqah: 38-39)
Para ulama mengatakan maksud ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan seluruh makhluknya. Karena pada dasarnya segala perkara di dunia ini hanya ada dua, ada yang bisa dilihat seperti bulan, matahari, bumi, dan yang lainnya; dan ada yang tidak bisa dilihat seperti malaikat, jin, dan yang lainnya. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan sesuatu yang tampak dan berhak untuk dijadikan sumpah, dan dengan sesuatu yang tidak tampak namun berhak untuk dijadikan sumpah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
“Sesungguhnya ia (Alquran) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” (QS. Al-Haqqah : 40)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan penekanan. Sebagian ulama menafsirkan رَسُولٍ dalam ayat ini dengan Nabi Muhammad, sebagian yang lain menafsirkan dengan malaikat Jibril. Dan mereka dikatakan Rasul karena keduanya adalah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala, sedangkan utusan Allah itu pasti membawa apa yang dikatakan oleh yang mengutusnya. Oleh karenanya Alquran adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang dibawa oleh utusan-Nya, apakah yang dimaksud itu malaikat Jibril atau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. ([65])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تُؤْمِنُونَ
“Dan ia (Alquran) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” (QS. Al-Haqqah : 41)
Kita paham betul bahwa Alquran bukanlah syair. Kalau kita membuka Alquran pun kita akan melihat bahwa isinya bukanlah syair. Tentunya penulisan syair berbeda dengan Alquran. Syair memiliki aturan-aturan tertentu seperti ketukan dan yang lainnya, yang tentunya hal semacam ini tidak ada di dalam Alquran. Oleh karenanya inilah di antara mukjizat Alquran, meskipun dia bukan syair, akan tetapi tetap saja enak untuk dibaca dan didengarkan. Terlebih lagi Alquran dapat menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa sangat sedikit dari mereka orang-orang kafir Quraisy yang beriman kepada Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ، تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan bukan pula perkataan tukang dukun. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Alquran) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Haqqah : 42-43)
Tentunya Alquran juga bukan merupakan perkataan seorang dukun. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan kembali dalam ayat ini bahwasanya Alquran itu benar-benar datang dari-Nya.
Di sini Allah azza wa jalla membedakan dari ayat yang sebelumnya, adapun yang pertama: Allah azza wa jalla menyebutkan تُؤْمِنُونَ dan pada ayat ini Allah azza wa jalla menyebut dengan تَذَكَّرُونَ (mengambil pelajaran) sebagian ‘ulama menyebutkan bahwa sirr (rahasia kandungan) dari ayat ini adalah: Bahwa semua manusia yang tahu bahasa arab, tahu bahwa Al quran sangatlah jauh dari sya’ir-sya’ir dan tidaklah ada yang mengingkarinya kecuali orang yang congkak dan kafir, berbeda dengan ayat ini: yang mana tidak bisa diketahui bahwa Al quran bukanlah ucapan seorang dukun kecuali dengan benar-benar memperhatikan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mentadabburi ayat-ayat Al quran yang berbeda dengan thoriqoh para dukun. ([66])
Di sini Allah hanya menafikan bahwa Al quran ini bukan ucapan seorang penyair dan dukun, dan tidak menyebutkan tuduhan-tuduhan yang lain, seperti: pendusta, gila, dll. Karena di awal Allah menyebutkan bahwa Al quran ini adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasul yang karim (mulia), dan shifat ini sudah menjadi menafikan gila dan pendusta pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun penyair dan dukun, maka di masa itu mereka termasuk orang yang mulia, maka dari itu Allah azza wa jalla menafikan kedua sifat ini di sini (jika kita tafsirkan bahwa Rasul di sini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan Jibril). ([67])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ، لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ، ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya.” (QS. Al-Haqqah : 44-46)
Meskipun kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mengada-ada terkait Alquran, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa jika seandainya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengarang-ngarang tentang isi Alquran niscaya Allah akan menyiksanya juga. Tetapi Nabi tidaklah menyampaikan Al-Quran melainkan itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa orang yang menyandarkan sesuatu kepada Allah padahal itu bukanlah perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam dosa besar. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-A’raf : 33)
Oleh karenanya hendaknya seseorang berhati-hati dalam menyandarkan suatu perkara atau perkataan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena betapa banyak di zaman sekarang ini orang-orang berani berbicara tentang agama tanpa dalil, dan mengutamakan perasaan dan akalnya. Oleh karenanya ini adalah ancaman, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan demikian diancam untuk diputuskan urat nadi di jantungnya, maka bagaimana lagi dengan kita?
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ، وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِينَ
“Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). Dan sungguh, (Alquran) itu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Haqqah : 47-48)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala kembali memberi ancaman dan penekanan bahwa Alquran hanya akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh karenanya, di antara kekurangan kita adalah kurang perhatian dengan Alquran. Kita bersyukur bahwa di zaman sekarang ini semakin banyak orang yang bersemangat menghafal Alquran. Akan tetapi pada dasarnya hal tersebut adalah sarana, karena yang terpenting dari mempelajari Alquran adalah bagaimana seseorang bisa memahami isi Alquran. Karena Alquran hanya bisa menjadi pelajaran bagi masing-masing diri kita kalau kita bisa memahami maknanya. Adapun membaca tanpa memahami belum termasuk tujuan dari diturunkannya Alquran, melainkan hal tersebut merupakan tahapan yang harus dilanjutkan lagi pada tahapan-tahapan selanjutnya hingga setiap kita bisa memahami isi Alquran. Oleh karenanya hendaknya seorang muslim berusaha untuk mempelajari isi dan kandungan Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنكُم مُّكَذِّبِينَ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan.” (QS. Al-Haqqah : 49)
Meskipun mukjizat dan kebenaran Alquran telah tampak jelas, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa akan tetap saja ada orang-orang yang akan mendustakan Alquran. Jika orang-orang Quraisy yang mengerti betul bagaimana balaghah bahasa Arab tetap tidak beriman (mendustakan) terhadap Alquran, maka bagaimana lagi dengan orang yang tidak memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, begitu banyak dijumpai manusia di muka bumi ini yang termasuk orang yang mendustakan Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan sungguh, (Alquran) itu akan menimbulkan penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).” (QS. Al-Haqqah : 50)
Di antara tafsiran para Ahli Tafsir tentang ayat ini adalah tatkala hari kiamat kelak, orang kafir akan menyadari betapa besar pahala yang didapatkan dari orang yang membaca dan mengamalkan Alquran. Sehingga mereka benar-benar menyesal mengapa dahulu mereka menghiraukan dan tidak mengimani Alquran. ([68])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِينِ
“Dan Sungguh, (Alquran) itu kebenaran yang meyakinkan.” (QS. Al-Haqqah : 51)
Tingkatan الْيَقِينِ ada tiga menurut para ulama.
Tingkatan pertama adalah عِلْمُ الْيَقِينِ, yaitu keyakinan yang diperoleh setelah mendengar kabar tentang hal tersebut. Contohnya adalah jika kita telah mendengar suatu kabar dari beberapa orang yang dipercaya, maka kemudian kita yakin akan kabar tersebut.
Tingkatan kedua adalah عَيْنُ الْيَقِينِ, yaitu keyakinan yang diperoleh setelah melihat. Contohnya adalah seseorang yang mengatakan bahwa si fulan telah hadir karena dia telah melihatnya secara langsung.
Tingkatan ketiga adalah حَقُّ الْيَقِينِ, yaitu keyakinan yang diperoleh dengan adanya interaksi langsung atau bisa merasakannya secara langsung tanpa adanya perantara. Ini merupakan tingkat yang paling tinggi. Contohnya adalah seperti seseorang melihat secangkir kopi, dia kemudian mencium aroma kopi, dan ketika dicicipi ternyata benar itu adalah kopi. ([69])
Adapun dalam ayat ini, Alquran disifati dengan حَقُّ الْيَقِينِ. Maka seharusnya orang yang membaca Alquran, mempelajari kisah dan makna-maknanya, maka seharusnya dia mencapai titik dimana dia semakin yakin dengan agama Islam ini. Dia akan semakin yakin dengan adanya Rabbul ‘Alamin. Akan tetapi yang jelas dia harus mempelajari dan mengungkap rahasia-rahasia Alquran yang telah dijelaskan oleh para Ahli Tafsir.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Agung.” (QS. Al-Haqqah : 52)
Sebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan perintah agar melakukan shalat. Sebagian yang lain menafsirkan agar mensucikan Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala jenis kekurangan, cacat, dan aib, karena Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Sempurna ([70]). Dan tasbih sendiri dari segi bahasa berasa dari kata الإِبْعَادُ, yaitu menjauhkan Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala jenis kekurangan dan dan cacat terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya ketika seseorang mengucapkan ‘Subhanallah” (Maha Suci Allah), yaitu maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala jauh dari segala kekurangan, aib, dan segala cacat, dan Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Sempurna dengan segala sifat-sifat-Nya.
_________________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/256, dan dia mengatakan ini adalah pendapat seluruh ulama.
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/205 dari riwayat Ibnu Abbas yang menjelaskan Al-Haqqoh termasuk nama hari kiamat.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/256, dia membawakan sebagian pendapat ulama:
سُمِّيَتْ حَاقَّةً لِأَنَّهَا تَكُونُ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ
“Dinamakan Al-Haqqoh karena dia pasti terjadi tanpa adanya keraguan”
([4]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir cetakan al-Ilmiyyah 8/225
([5]) Lihat: Taisir al-Karim Ar-Rahman fii Tafsiir Kalaam Al-Mannaan 1/882
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/257
([7]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/115
([8]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/115 dan Tafsir Al-Qurthubi 18/257
([9]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/116
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/258
([11]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/116, Fath Al Bayan, Muhammad Shiddiq Hasan Khon, 14/285
([12]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/225, dia membawakan makna ath-thoghiyah dengan makna yang disebutkan di atas, dan juga menambahkan penafsiran lain dari thoghiyah yaitu perbuatan mereka yang melampaui batas berupa dosa-dosa, dan ini adalah penafsiran Mujahid.
([13]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 24/448
([14]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 24/450
([15]) Lihat: At-Tafsir Al-Wasith 14/87
([16]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 18/259 dan At-Tahrir wat Tanwir 29/116
([17]) Lihat: tafsir Ath-Thobari 23/209
([18]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 18/259
([19]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/215 menyebutkan khithob untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/118 khithob untuk siapa saja, seandainya dia melihatnya akan merasakan betapa dahsyatnya hal tersebut.
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/261
([21]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir cetakan Al-Alamiyah 3/390
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/261
([23]) Lihat : At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/120
([24]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/261-262
([25]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/262
([26]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/216
([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/262
([28]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 18/262
([29]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 18/262
([30]) Lihat : At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/123, Fath Al Bayan, 14/291
([31]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 15/419
([32]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 18/264
Jika dibawakan kepada tiupan sangkakala yang ketiga maka pada ayat ini terdapat dalil akan besarnya kekuasaan Allah azza wa jalla, yang mana Allah azza wa jalla menyebutkan: bahwa untuk mengumpulkan manusia hanya dengan sekali tiupan saja, tanpa perlu mengulangi tiupan itu sekalipun, dan kejadian itu sangatlah cepat terjadi, padahal kala itu makhluq sangatlah banyak, dari awal penciptaan sampai yang terakhir. (At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/125)
([33]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/228
[34] Attahrir Wa Attanwir, 29/125
([35]) Lihat: tafsir Al-Qurthubi 17/195
([36]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/126
([37]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/266
([38]) HR. Ibnu Hibban no. 361, dikatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah no. 109
([39]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/267
([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/268
([41]) HR. Bukhari no. 6521 dan HR. Muslim no. 2790
([42]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/268
([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/268, dan ini adalah tafsiran Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/269
([47]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/270
([48]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/270
([49]) Lihat: Fathul Qadiir 5/340
([51]) Ighatsatu Al-Lahfan – Ibnul Qayyim 1/71
([52]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 883
([53]) Lihat At-Tafsir al-Kabir 30/630, berkata Ar-Razy:
لِأَنَّهُ حَاصِلٌ وَلَا طَائِلَ لَهُ فِي ذَلِكَ الْحِسَابِ
“karena hisab itu sudah terjadi, maka tidak ada faidah baginya penyesalan dalam hisab tersebut.”
([55]) Lihat tafsir Al Maroghi, 29/59
([56]) H.R. Al Baihaqi (Syu’ab Al Iman) No.6894
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/272
([58]) Lihat: Fathul Qadir 5/340
([59]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 883
([60]) Ruh Al Ma’ani, 15/57 dengan sedikit penyesuaian, Fath Al Bayan, 14/298
([62]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/232
([63]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 884
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir tidak ada makanan di neraka kecuali dari darah dan nanah, akan tetapi ada ayat-ayat yang lain yang menjelaskan bahwa ada mkanan yang lain untuk penduduk nerakas sebagaimana firman Allah:
لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ
Tidak ada makanan bagi mereka kecuali dari pohon yang berduri)
Maka ada beberapa jawaban dari ‘ulama diantaranya:
- Penghuni neraka itu bermacam-macam siksaannya, ada yang tidak diberikan makanan melainkan darah dan nanah (sebagaimana yang disebut di dalam ayat ini), dan ada yang tidak diberi makanan kecuali dari pohon yang berduri, dan ada yang tidak diberi makanan kecuali dari pohon Zaqqum.
Dan yang menguatkan ini adalah firman Allah:
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ لِكُلِّ بَابٍ مِنْهُمْ جُزْءٌ مَقْسُومٌ
“Neraka itu memiliki tujuh pintu, dan setiap pintu itu memiliki bagian (adzab) nya masing-masing”.
- Yang dimaksud di dalam ayat-ayat ini adalah: penduduk neraka memang tidak memiliki makanan, karena darah, nanah, pohon berduri, Zaqqum bukan termasuk makanan, hewan saja tidak memakannya, apalagi manusia.
Mereka yang diberi ini semua tidak mendapatkan makanan, akan tetapi hanya ini bagian mereka, dan makanan hanya penamaan. (Lihat : Daf’ Iham Al Idthirob, Muhammad Amin Assyinqithy, 244)
([64]) Lihat: Syarah Bulughul Marom karya ‘Athiyah Salim 192/19
([65]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/274
([66]) Ruh Al Ma’ani, 15/60, Fath Al Bayan, 14/302
([67]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/142
([68]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/277