Membaca Al-Quran
Keutamaan Al-Quran
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang paling agung dan utama, bahkan Allah ﷻ sendiri memuji kitab-Nya yang mulia ini sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (QS Al-Isra’ : 9)
Ibnu Katsir berkata ketika mengomentari ayat di atas :
“يَمْدَحُ تَعَالَى كِتَابَهُ الْعَزِيزَ الَّذِي أَنْزَلَهُ عَلَى رَسُولِهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ الْقُرْآنُ بِأَنَّهُ يَهْدِي لِأَقْوَمِ الطُّرُقِ وَأَوْضَحِ السُّبُلِ…”
“Allah ﷻ memuji kitabnya yang mulia yang telah diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad ﷺ yaitu Alquran bahwa padanya terdapat petunjuk kepada arah yang paling lurus dan jalan yang paling terang…”([1]).
Di antara cara meraih keutamaan yang ada pada Alquran adalah dengan membacanya karena membaca Alquran merupakan perdagangan yang tidak akan pernah merugi. Allah ﷻ berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. (QS Fathir : 29)
قَالَ قَتَادَةُ رَحِمه ُاللهُ: كَانَ مُطَرف، رَحِمَهُ الله، إِذَا مَرَّ بِهَذِهِ الآيَةِ يَقُولُ: هَذِهِ آية القُرَّاءِ
“Qatadah rahimahullah berkata, “ Dahulu Mutharrif bin Abdullah jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran”([2]).
Oleh karenanya membaca Alquran termasuk di antara sarana taqorrub (mendekatkan diri) yang paling dicintai Allah ﷻ . Khabbab bin Arat radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
تَقَرَّبْ مَا اسْتَطَعْتَ، وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَتَقَرَّبَ إِلَى اللهِ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِهِ” ”
“Mendekatlah kepada Allah semampumu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan pernah mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya melainkan (membaca) firman-Nya”([3]).
Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضى الله عنه ، أنه قَالَ: ” مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ
“Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya”([4]).
Bahkan porsi bacaan Alquran seseorang juga merupakan barometer kesucian hatinya. Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
لو طَهُرَتْ قلوبُكم ما شبعتُم من كلام ربكم
“Jikalau hati kalian adalah hati yang suci (bersih dari noda-noda dosa) niscaya kalian tidak akan pernah merasa kenyang (cukup) dalam membaca firman Rabb kalian (Alquran)”([5]).
Hukum Membaca Al-quran dalam Kondisi Hadast
Para ulama bersepakat akan bolehnya seseorang membaca Alquran dalam kondisi sedang berhadast kecil. Bahkan sebagian ulama ada yang menukilkan Ijma’ dalam masalah ini, di antaranya adalah Imam An-Nawawy rahimahullah([6]).
Dalam masalah ini ada banyak hadits shahih yang menjelaskan bahwa tidak wajib berwudu bagi orang yang ingin membaca Al-Quran dalam kondisi hadats kecil, di antaranya :
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنٍ عَبَّاسٍ أَنَّهُ بَاتَ لَيْلَةً عِنْدَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ خَالَتُهُ – قال : فَاضْطَجَعْتُ فِي عَرْضِ الْوِسَادَةِ وَاضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ فِي طُولِهَا فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ اللَّيْلُ أَوْ قَبْلَهُ بِقَلِيلٍ أَوْ بَعْدَهُ بِقَلِيلٍ اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ ثُمَّ قَرَأَ الْعَشْرَ الْآيَاتِ الْخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ ثُمَّ قَامَ إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ فَتَوَضَّأَ مِنْهَا فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma bahwa beliau menginap di rumah Maimunah istri Nabi ﷺ yang juga adalah bibinya. Dia berkata, “Maka saya berbaring di kasur, dan Rasulullah ﷺ berbaring serta istrinya (berbaring juga di kasur) yang membentang. Rasulullah ﷺ tidur sampai pertengahan malam, sebelum atau sesudahnya (lewat) sedikit. Rasulullah ﷺ bangun dan duduk kemudian mengusap wajahnya dengan tangannya kemudian membaca sepuluh ayat terakhir di surat Ali Imran. Kemudian berdiri ke tempat bejana yang tergantung dan berwudu dengan sebaik mungkin darinya kemudian berdiri menunaikan shalat”([7]).
Imam Bukhari memberikan keterangan hadist di atas dengan mengatakan, ‘Bab bacaan Al-Quran setelah hadats dan lainnya’([8]).
Ibnu Abdil Barr juga mengatakan,
وَفِيهِ : قِرَاءَةُ القُرآنِ عَلَى غَيرِ وُضُوء ؛ لِأَنَّهُ نَام َالنَّومَ الكَثِيرَ الذِّي لَا يُختَلَفُ فِي مِثلِهِ ، ثُمَّ استَيقَظَ فَقَرَأَ قَبلَ أَنَّ يَتَوضَّأَ ، ثُمَّ تَوَضَّأُ بَعْدُ وَصَلَّى”
“Hadits tersebut menunjukkan dibolehkannya membaca Al-Quran tanpa berwudu. Karena beliau tidur nyenyak, dan hal tersebut tidaklah diperselisihkan. kemudian beliau bangun dan membaca sebelum berwudu. Kemudian berwudu setelah itu dan shalat.”([9])
Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah masalah membaca dalam kondisi junub (Hadast Besar).
Pendapat pertama :
Haram membaca Al-Quran bagi yang sedang dalam kondisi junub meskipun tanpa menyentuh mushaf.
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi ﷺ , Tabi’in, dan yang datang setelah mereka seperti ; Sufyan Atsaury, Ibnul Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishak”([10]).
Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya Para Imam 4 Madzhab bersepakat dalam pelarangan masalah ini (yakni membaca Al-Quran bagi seseorang yang sedang junub) ”([11]).
Terdapat beberapa hadist yang dijadikan dalil pendapat ini akan tetapi hadist-hadist tersebut dihukumi Dhai’f oleh sebagian ulama, di antaranya adalah
Hadist Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ قَالَ : أَتَيْتُ عَلِيًّا أَنَا وَرَجُلَانِ ، فَقَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ الْخَلَاءِ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ ) ، [ أي : غير الجنابة وفي لفظ : ( لَا يَحْجُزُهُ عَنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلَّا الْجَنَابَةُ )
Dari Abdullah bin Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata aku bersama dua orang laki-laki pernah mendatangi Ali, beliau berkata, ‘Dahulu Rasulullah ﷺ ketika keluar dari tempat buang air beliau membaca Al-Quran, kemudian makan daging bersama kami dan tidak ada suatu hal pun yang menghalangi beliau membaca Al-Quran melainkan ketika dalam kondisi junub’([12]).
Hadist di atas diperselisihkan oleh para ulama mengenai kesahihannya. Di antara yang menghukumi bahwa hadist tersebut dhaif adalah Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad, Al Baihaqi dan syeikh Al-Albani([13]) namun sebagian ulama tetap berhujjah dengan hadist di atas dengan dalih bahwasanya hadist tersebut dikuatkan dengan hadist-hadist lain dalam masalah ini. Di antaranya adalah Tajuddin As-Subky rahimahullah beliau mengatakan,
وَ فِي البَابِ أَحَادِيثُ أُخَرُ ضَعِيفَةٌ ، وَقَدْ يَنتَهِي مَجمُوعُهَا إِلَى غَلَبَاتِ الظُّنُونِ ، وَهِيَ كَافِيَةٌ فِي المَسْأَلَةِ، فَالمخْتَارُ مَا عَلَيهِ الجُمهُورُ.
“Dalam masalah ini terdapat hadist-hadist lain yang dhaif yang mana pada akhirnya seluruh hadist-hadist tersebut menunjukkan Ghalabat Ad-dzunun (kuatnya dugaan) dengan demikian hadist-hadist tersebut sudah cukup sebagai (dalil dalam masalah ini), maka pendapat yang terpilih dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama”([14]).
Pendapat pertama ini juga dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu taimiyah dan di fatwakan juga oleh Syeikh Bin Baz dan Syeikh Utsaimin dan disebutkan pula dalam Fatawa Lajnah Daimah([15]).
Pendapat kedua :
Boleh bagi seorang yang sedang dalam kondisi junub untuk membaca Al-quran.
Ini adalah pendapat madzhab Ad-Dzohiriyah([16]). Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwasanya dalam masalah ini pendapat Dawud Ad-Zohiri adalah pendapat yang syadz (menyelisihi para Imam)([17]).
Di antara dalil pendapat ini adalah :
Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Bahwasanya Nabi ﷺ senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap kondisi”([18]).
Bantahan : Dalam hadist tersebut terdapat dalil bahwasanya seseorang boleh berdzikir dalam setiap kondisi meskipun dalam keadaan sedang berhadast kecil atau besar, namun tidak terdapat keterangan yang menunjukkan bolehnya seseorang membaca Al-Quran dalam keadaan junub karena kata ‘Dzikir’ apabila disebutkan secara mutlak tidak terkandung padanya makna Al-Quran sebagaimana di jelaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah([19]).
Terdapat dalil lain yang dijadiakan hujjah untuk menguatkan pendapat ini namun dipatahkan pendalilannya oleh para ulama. Oleh karenanya pendapat yang dapat dijadikan sandaran pada masalah ini adalah pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Adapun wanita yang sedang dalam kondisi haidh atau nifas apakah boleh membaca Al-Quran maka ulama juga berbeda pendapat dalam masalah ini, mayoritas ulama berpendapat tidak boleh([20]) di antara dalil mereka karena kondisi tersebut sama seperti junub karena keduanya diwajibkan untuk mandi.
Pendapat kedua yaitu pendapat Malikiyah bahwasanya wanita yang dalam kondisi haidh boleh untuk membaca Al-Quran meskipun dia dalam kondisi junub sebelum haidh([21]). Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh As-Syaukani([22]) dan dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dimana beliau mengatakan bahwasanya qiyas (analogi) bahwa kondisi haidh sama dengan junub karena keduanya diwajibkan untuk mandi adalah qiyas ma’al fariq (analogi yang berbeda) karena seseorang yang junub bisa kapan saja untuk berlepas dari kondisi janabah dengan mandi berbeda dengan wanita haidh yang harus menunggu selesai dari haidhnya terlebih dahulu([23]).
Di antara hal yang perlu diperhatikan juga dalam masalah ini adalah bahwa hukum terkait membaca Al-Quran bagi wanita yang haidh adalah ketika ia membaca dengan hafalanya (tanpa menyentuh Mushaf). Adapun membaca langsung dari Al-Quran maka hukumya berbeda yang mana dalam kasus ini para ulama juga berbeda pendapat, apakah boleh bagi seorang yang sedang berhadast untuk menyentuh Mushaf? pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang melarang menyentuh Mushaf bagi seorang yang sedang berhadast dan ini adalah pendapat mayoritas ulama bahkan Ibnu qudamah menyebutkan dalam masalah ini tidak ada yang menyelisihi kecuali Dawud Ad-Dzohiri([24]). Oleh karenanya wanita yang sedang haidh apabila ingin membaca Al-Quran secara langsung sebaiknya ia menyentuhnya dengan sesuatu yang terpisah dari mushaf seperti kaos tangan dan yang semisalnya.
Dan alhamdulillah di zaman ini ada al-Qurán yang bisa dibaca lewat Gudget (HP, Iphone, Ipad, dll), yang dimana hukumnya tidak sama dengan lembaran mushaf, karena boleh bagi wanita yang haidh yang baca al-Qur’an memegang HP tersebut.
Wallahu A’lam Bisshowab…
Waktu baca al-Qurán?
Al-Quran Dzikir yang Paling Afdhol Jika Dibaca Pada Waktu yang Tepat
Dzikir itu bermacam – macam, yang paling afdhol adalah yang periwayatannya sahih dari Rasulullah ﷺ ([25]) dan di antara dzikir – dzikir yang sahih tersebut yang paling afdhol adalah Al-Quran, maka dari itu salah satu nama Al-Quran adalah “Ad-Dzikru”, Allah ﷻ berfirman
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Ad-Dzikru (yakni Al Quran), agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS An-Nahl Ayat : 44)
Para ulama juga menyebutkan bahwasannya Al-Qur’an adalah sebaik-baiknya dzikir, Sufyan At-tsauri – Rahimahullah – mengatakan :
“سَمِعْنَا أَنَّ قِرَاءَةَ القُرْآنِ أَفْضَلُ الذِّكرِ إِذَا عُمِلَ بِه”ِ
“Kami pernah mendengar bahwasanya bacaan Al-Qur’an adalah dzikir yang paling afdhol jika diamalkan”([26]).
Imam An-nawawy – Rahimahullah – juga mengatakan,
اعْلَمْ أَنَّ تِلاَوَةَ القُرْآنِ هِيَ أَفْضَلُ الأَذْكَارِ وَالمَطْلُوبُ القِرَاءَةُ باِلتَدَبُّرِ “
“Ketahuilah bahwasanya bacaan Al-Qur’an adalah dzikir yang paling afdhol dan yang diminta adalah membaca sambil mentadabburi”([27]).
Akan tetapi afdhol (keutamaan) yang dimaksud di sini ditinjau dari keumumannya, bahwasanya Al-Qur’an adalah bacaan yang paling afdhol untuk dibaca secara umum bukan berarti bacaan yang paling afdhol untuk dibaca dalam setiap keadaan, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“الشَّيْءَ إذَا كَانَ أَفْضَلَ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ لَمْ يَجِبْ أَنْ يَكُونَ أَفْضَلَ فِي كُلِّ حَالٍ ، وَلَا لِكُلِّ أَحَدٍ ،بَلْ الْمَفْضُولُ فِي مَوْضِعِهِ الَّذِي شُرِعَ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ الْفَاضِلِ الْمُطْلَقِ ، كَمَا أَنَّ التَّسْبِيحَ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ أَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَمِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ ، وَالتَّشَهُّدِ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ وَالدُّعَاءُ بَعْدَهُ أَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآن”.ِ
“Sesuatu apabila dinilai paling afdhol (paling utama) diantara yang lainnya secara umum bukan berarti paling afdhol diantara yang lainnya dalam setiap keadaan, atau paling afdhol dari siapapun, akan tetapi sesuatu yang mafdhul (yaitu amalan yang derajatnya dibawah afdhol) jika dikerjakan pada tempatnya dan sesuai syariat maka dia lebih afdhol dari amalan yang memiliki keutamaan secara umum, sebagaimana membaca tasbih pada saat rukuk dan sujud lebih afdhol dari pada membaca Al-Qur’an, tahlil dan takbir, begitu pula membaca tasyahhud di penghujung sholat dan membaca do’a setelahnya lebih afdhol dari pada membaca Al-qur’an”([28]).
Dari sini kita dapat mengetahui bahwasanya membaca dzikir pagi selepas sholat subuh dan membaca dzikir petang selepas sholat ashar lebih afdhol dari membaca Al-qur’an karena dikerjakan pada tempatnya dan sesuai tuntunan syariat tanpa sedikitpun menafikan keutamaan Al-Quran, karena Al-Qur’an dapat dibaca kapan saja dan waktunya lebih fleksibel.
Oleh karenanya Syeikh Bin Baz –Rahimahullah- mengatakan,
الأَوَرِادُ الشَّرْعِيَّةُ مِنَ الأَذكَارِ وَالدَّعَوَاتِ الوَارِدَةِ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : فَالأَفْضَلُ أَنْ يُؤْتَى بِهَا فِي طَرَفَيِ النَّهَارِ بَعْدَ صَلَاة ِالفَجْرِ وَصَلَاة ِالعَصْرِ ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ ؛ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مُؤَقَّتَةٌ تَفُوتُ بِفَوَاتِ وَقْتِهَا ، أَمَّا قِرَاءَةُ القُرْآنِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ
“Bacaan- bacaan dzikir yang syar’i yang sahih dari Nabi Salallahu alaihi wasallam, maka yang paling afdhol agar dibaca pada kedua penghujung siang yaitu setelah sholat subuh dan setelah sholat ashar, yang demikian itu lebih afdhol dari pada membaca Al-Qur’an, karena dzikir-dzikir tersebut memiliki waktu yang sudah ditetapkan yang akan luput jika waktu tersebut terlewatkan, adapun membaca Al-Qur’an maka waktunya lebih fleksibel”([29]).
________________________________________________
Footnote:
([1]) Tafsir Ibnu Katsir (5/45)
([2]) Tafsir At-Thobari (20/464)
([3]) Syu’ab Al-Iman karya Al-Baihaqy no.166 (1/329)
([4]) Al-Aadab karya Al-Baihaqy no.856 hal.346.
([5]) Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (3/81)
([6]) lihat Syarh Muslim karya An-Nawawi (6/46)
([7]) HR. Bukhari no.4295 dan Muslim no.763
([8]) Lihat Sahih Bukhari (1/47)
([9]) At-Tahmid Lima Fi Muwato’ Minal Ma’ani Wal Asanid (13/207).
([10]) Sunan At-Tirmidzi (1/195)
([11]) Lihat Majmu’ Al-fatawa (21/344)
([12]) HR. Ahmad no. 1011, Abu Dawud no.229, An-Nasai no. 265 dan Ibnu Majah no. 594.
([13]) Syeikh Al-Albani mengatakan bahwasanya As-Syafi’i, Ahmad, Al-Baihaqi, dan Al-Khotobi mendha’ifkan hadist tersebut maka perkataan mereka hendaknya lebih didahulukan karena mereka lebih berilmu dan lebih banyak dan mereka juga telah menyebutkan sebab kedha’ifannya bahwa terdapat perubahan akal (kekuatan hafalan) pada perawinya dan dia meriwayatkan hadist tersebut ketika akalnya (kekuatan hafalannya) telah berubah (Tamam Al-Minnah hal.109)
([14]) Thabaqaat As-Syafi’iyah Al-Kubro (4/15)
([15]) Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (26/190), Fatawa Lajnah Daimah (5/380)
([16]) Lihat Al-Muhalla (1/97)
([19]) Lihat Fathul Bari (2/45)
([20]) Lihat Al-Ikhtiyar li ta’lil Al-Mukhtar karya Ibnu maudud Al-Mushily (1/13), Al-Majmu’ karya An-Nawani (2/162), Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (1/143),
([21]) Kecuali jika darahnya benar-benar berhenti atau dihukumi darah haidnya sudah berhenti seperti darah istihadhoh, dalam kondisi ini maka ia tidak boleh membaca Al-Quran apabila kondisinya masih junub
([22]) Nail Al-Authaar (1/226)
([23]) Lihat As-Syarhu Al-Mumti’ (1/349)
([24]) Lihat Al-Mughni (1/147)
([25]) Lihat Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Taimiyah (22/510-511)
([26]) At-Tidzkar fi Fadhli Al-Adzkar karya Al-Qurthubi hal.55
([27]) Al-Adzkar karya An-Nawawi hal.101