Shalat Isyroq
Definisi
Secara bahasa adalah: Syaroqot asy-syamsu syuruuqon termasuk bab qo’ada (yang mashdarnya qu’uudan sehingga syaroqo mashdarnya syuruuqon) dan juga (mashdarnya bisa) syarqon yang artinya terbit. Asyroqot dengan tambahan alif artinya menerangi, diantara mereka ada yang menjadikan keduanya (syaroqot dan asyroqot) satu makna. Dan asyroqo artinya masuk ke waktu syuruk (terbitnya matahari). ([1])
Adapun secara istilah: Sholat isyroq adalah sholat yang dilakukan setelah matahari terbit setinggi tombak. Asal penamaannya berdasarkan penafsiran Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma: Aku telah membaca antara mushaf, aku tidak mengenal shalat isyroq kecuali sekarang ini.
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi).” ([2])
Ibnu ‘Abbas pun menyebut shalat ini dengan Shalat Isyraq. ([3])
Hukum
Hukumnya sunnah sama seperti shalat dhuha, karena shalat isyroq adalah shalat dhuha yang dikerjakan di awal waktu. ([4])
Keutaman
Adapun keutamaannya pahalanya seperti pahala orang yang berhaji atau umroh sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu:
«مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ»
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” ([5])
Sebagian ulama memandang tidak disyari’atkannya sholat isyrooq karena hadits-haditsnya dinilai oleh mereka sebagai hadits-hadits yang lemah. ([6])
Jumlah raka’at
Adapun jumlah raka’atnya sebagaimana yang dijelaskan pada hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yaitu dua raka’at:
مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” ([7])
Permasalahan
Bolehkah dikerjakan di rumah?
Keutamaan shalat isyroq yang disebutkan dalam hadits yang telah lalu adalah bagi siapa saja yang berzikir kepada Allah di masjid tempat ia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir. Kecuali jika wudhunya batal, maka dia boleh keluar dari masjid untuk berwudhu dan segera kembali ke masjid, karena ini termasuk udzur syar’i baginya.
Shalat dhuha setelah shalat isyroq
Perlu diketahui ketika seseorang sudah melakukan shalat isyroq maka hakikatnya ia telah melakukan shalat dhuha.
Namun jika ingin menambah shalat dhuhanya maka boleh, karena seperti yang dijelaskan dalam pembahasan shalat dhuha, bahwa shalat dhuha tidak ada batasan maksimalnya, namun keutamaan shalat isyroqnya hanya ia dapatkan di dua raka’at pertama saja.
Perbedaan antara shalat isyroq dan shalat dhuha
Walaupun shalat isyroq adalah shalat dhuha yang dikerjakan di awal waktu([8]), namun antara keduanya ada beberapa perbedaan:
Shalat isyroq | Shalat dhuha | |
Waktu pelaksanaan | Hanya di awal waktu dhuha (ketika matahari terangkat setinggi tombak) | Dari awal waktunya hingga akhir |
Jumlah raka’at | Hanya 2 raka’at | Boleh lebih dari 2 raka’at |
Tempat | Hanya di masjid | Boleh selain di masjid |
Sebab | Shalat subuh berjama’ah dan berdzikir di dalamnya hingga matahari terbit | – |
FOOTNOTE:
([1]) Misbahul Munir Fii Ghoriibi Asy-Syarhi Al-Kabiir 1/310
([3]) HR. Hakim dalam Al-Mustadrok ‘Alas Shohihain 4/59 No. 4873. “Sesungguhnya shalat isyroq adalah dua raka’at setelah terbitnya matahari setelah melewati waktu yang dibenci.” (Hasyiyah Al-Qoilubi Wa ‘Umairoh 1/214-215)
([4]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin: “Shalat sunnah isyroq adalah shalat sunnah dhuha, jika engkau melaksanakannya di awal waktu ketika matahari terbit dan meninggi setinggi tombak maka ia adalah shalat isyroq, dan jika dikerjakan di akhir waktu atau pertengahan maka ia adalah shalat dhuha. Akan tetapi sebenarnya ia adalah shalat dhuha, karena para ulama rahimahumullah mengatakan sesungguhnya waktu shalat dhuha dimulai dari terangkatnya matahari setinggi tombak hingga mendekati zawal.” (Liqo Al-Baab Al-Maftuuh 141/25)
([5]) HR. Ath-Thobrony dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8/154 no. 7663
Meskipun para ulama berselisih tentang disyari’atkannya sholat Isyraaq, akan tetapi mereka sepakat tentang dua hal :
Pertama : Keutamaan duduk di masjid setelah sholat subuh hingga terbit matahari. Dan ini merupakan Sunnah Nabi dan kebiasaan para salaf
Imam Muslim, dari jalur Simak bin Harb yang bertanya kepada salah seorang sahabat Nabi r bernama Jabir bin Samurah t,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ كَثِيرًا، «كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ، أَوِ الْغَدَاةَ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ، وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ»
Apakah engkau sering bermajelis dengan Rasulullah r? Iya, sering. Beliau r biasanya tidak meninggalkan tempat shalatnya dimana beliau melakukan shalat subuh sampai terbit matahari. Bila matahari telah terbit, beliau bangkit. Mereka (para sahabat) biasa berbincang-bincang dan membahas pengalaman mereka di masa jahiliyyah, hingga mereka tertawa dan beliau tersenyum. (HR Muslim no 670)
Kedua : Tentang keutamaan sholat duha
Dan diantara sholat duha adalah sholat syuruq, yaitu sholat duha yang dikerjakan di awal waktu duha, yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit.
Akan tetapi para ulama berselisih tentang pahala yang merangkai dua ibadah di atas, yaitu jika seseorang setelah sholat subuh duduk hingga matahari terbit lalu menunggu waktu syuruq lantas sholat 2 rakaát, apakah ia mendapatkan pahala umroh yang sempurna?
Khilaf ini dibangun di atas khilaf para ulama tentang derajat hadits tentang keutamaan sholat syuruq. Hal ini karena hadits tentang keutamaan sholat syuruq mendapatkan pahala umroh diriwayatkan dari banyak sahabat (yaitu Anas bin Malik, Abu Umaamah al-Bahili, Útbah bin Ábd, Aisyah, dan Ibnu Umar). Akan tetapi semua jalurnya bermasalah dan lemah. Sebagian ulama memandang bahwa setiap jalur periwayatannya sangat lemah sehingga tidak bisa saling menguatkan untuk naik menjadi derajat hadits hasan. Diantaranya adalah At-Tirmidzi yang menyatakan hadits ini adalah hadits ghoriib (yaitu dhoif), Ibnu Hazm (Al-Muhalla bil Atsar 5/7), Ibnu Hajar (Nataaijul Afkaar 2/318, beliau menyatakan haditsnya ghoriib) dan didukung oleh ahli hadits kontemporer seperti Mushthofa al-Ádawi, At-Thuraifi, al-Úlwan, Abdullah as-Saád, serta didukung oleh Sa’ad al-Khotslaan.
Dan sebagian ulama yang lainnya memandang bahwa jalur-jalur periwayatannya sebagiannya lemah meskipun sebagiannya yang lain sangat lemah, namun meski demikian masih bisa saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hadits hasan. Diantara para ulama yang menilainya sebagai hadits yang hasan adalah al-Mundziri (At-Targhiib wa at-Tarhiib 1/220), al-Haitsami (Majma’ Az-Zawaaid 10/104 no 16938, dan al-Mubaarokfuuri (Tuhfatul Ahwadzi 2/505), dan didukung oleh ulama kontemporer seperti Al-Albani (Shahih al-Jaami no 6346, As-Shahihah no 3403), Ibnu Baaz (Majmuu’ Fataawa Ibn Baaz 25/171), dan al-Útsaimin (Majmuu’ Fataawa al-Utsaimiin 14/299).
([7]) HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya 1/727 no 586
“Bahwasanya Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dhuha hingga kami mengatakan: beliau tidak pernah meninggalkannya, dan beliau pernah meninggalkannya hingga kami mengatakan: ia tidak pernah melakukan shalat dhuha.” (HR. At-Tirmidzi no 477)
Dan disebutkan dalam kitab Maniyyatus Sajid Syarh Bidaayatul ‘Aabid bahwa inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memilih mustahab untuk terus menerus melakukan shalat dhuha bagi orang yang tidak melakukan qiyamul lail, agar tidak luput salah satu dari keduanya, berdasarkan hadits Abu Sa’id yang telah lalu. Beliau memiliki kaidah dalam masalah tersebut, yaitu: sesuatu yang bukan termasuk rowatib, maka tidak dikerjakan terus menerus layaknya rowatib.” (Maniyyatus Saajid Bi Syarhi Bidayatil ‘Aabid 1/137)
([8]) Majmu’ Fatwa Ibnu Baz 11/401