Shalat Istisqoo (Meminta Hujan)
Penjelasan
Secara Bahasa Istisqo’ berasal dari wazan istaf’ala yang memiliki fungsi meminta seperti istighfar atau istaghfaro yang artinya meminta maghfiroh atau ampunan, begitu juga istisqo atau jika melihat dari kata kerjanya yaitu istasqo yaitu berarti meminta diturunkan hujan. ([1])
Maka bisa dipahami bahwa Shalat Istisqo adalah shalat yang dilakukan dalam rangka meminta kepada Allah agar diturunkan hujan saat terjadi kekeringan.
Macam-macam istisqo (meminta hujan)
Dalam madzhab syafi’i disebutkan bahwa istisqo ada tiga macam:
Pertama: berdoa tanpa dibarengi dengan shalat dan bukan dilakukan setelah shalat, dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara berjamaah, di masjid maupun di tempat lain.
Kedua: berdoa setelah Shalat Jumat atau shalat lain, dan berdoa pada waktu khutbah jum’at dan semisalnya.
Ketiga: istisqo dibarengi dengan shalat dua raka’at dan dua khutbah, ini yang paling utama. ([2])
Hukum shalat istisqo
Para ulama sepakat bahwa shalat istisqo’ termasuk syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun hukumnya, mayoritas ulama bahkan dikatakan ini adalah ijma’ berpendapat bahwa shalat istisqo’ hukumnya sunnah ketika terjadi kekeringan. ([3])
Dalil disyariatkannya shalat istisqo adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abbad bin Tamim dari pamannya berkata:
” رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي، قَالَ: فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ، وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ يَدْعُو، ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ، ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالقِرَاءَةِ ”
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari saat beliau keluar meminta hujan. Beliau kemudian menghadap ke arah kiblat dan menghadapkan punggungnya ke arah manusia, lalu beliau berdoa, kemudian membalikkan kain selendangnya, lalu beliau mengimami kami shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.” ([4])
Dan juga hadits Abdullah bin Zaid Al-Maziny, beliau berkata:
” خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ “، قَالَ إِسْحَاقُ فِي حَدِيثِهِ: وَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’-nya (pakaian atas, yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap kiblat”. Ishaq mengatakan: “Beliau mulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah, kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a.” ([5])
Sebab istisqo
Sebab dilaksanakannya istisqo adalah ketika terjadi bencana berupa kekeringan yang panjang, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr dengan membawakan perkataan Abu ‘Umar:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْخُرُوجَ إِلَى الِاسْتِسْقَاءِ وَالْبُرُوزَ وَالِاجْتِمَاعَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَارِجَ الْمِصْرِ بِالدُّعَاءِ وَالضَّرَاعَةِ إِلَيْهِ تَبَارَكَ اسْمُهُ فِي نُزُولِ الْغَيْثِ عِنْدَ احْتِبَاسِ مَاءِ السَّمَاءِ وَتَمَادِي الْقَحْطِ سُنَّةٌ مَسْنُونَةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا خِلَافَ بَيْنِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ فِي ذَلِكَ
“Para ulama sepakat bahwa keluar untuk istisqo (meminta hujan), menampakkan diri, dan berkumpul untuk menghadap Allah di luar daerah dengan berdoa dan menundukkan diri di hadapan-Nya yang maha Agung nama-Nya agar diturunkan hujan ketika tertahannya air hujan dan kekeringan yang berkepanjangan adalah sunnah Rasulullah dan tidak ada khilaf di antara ulama kaum muslimin terhadap perkara tersebut.” ([6])
Dan ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah
«إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ، وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ، وَقَدْ أَمَرَكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ، وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ»
“Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, dan sungguh Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” ([7])
Waktu mengerjakan istisqo
Para ulama mengatakan bahwa waktunya tidak dibatasi dengan jam tertentu, hari tertentu dan juga tidak dilakukan di waktu-waktu yang dilarang. Sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi:
وَالثَّالِثُ وَهُوَ الصَّحِيحُ بَلْ الصَّوَابُ أَنَّهَا لَا تَخْتَصُّ بِوَقْتٍ بَلْ تَجُوزُ وَتَصِحُّ فِي كُلِّ وَقْتٍ مِنْ لَيْلٍ وَنَهَارٍ إلَّا أَوْقَاتَ الْكَرَاهَةِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَهَذَا هُوَ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَصَحَّحَهُ الْمُحَقِّقُونَ
“dan pendapat yang ketiga dan ini yang pendapat yang benar bahwasanya shalat istikhoroh tidak dikhususkan di satu waktu, bahkan boleh dikerjakan disetiap waktu malam dan siang kecuali diwaktu yang di bensi menurut salah satu sisi, dan ini yang di-nas-kan dari Asy-Syafi’I dan ini yang dipegang oleh jumhur dan dibenarkan oleh para muhaqqiq” ([8])
Tempat pelaksanaannya
Tempatnya sama seperti ketika melaksanakan shalat ‘ied, yaitu di tanah lapang, ini adalah pendapat mayoritas Ulama, berkata Imam Nawawi:
السُّنَّةُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي الصَّحْرَاءِ بِلَا خِلَافٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهَا فِي الصَّحْرَاءِ وَلِأَنَّهُ يَحْضُرُهَا غَالِبُ النَّاسِ وَالصِّبْيَانُ وَالْحُيَّضُ وَالْبَهَائِمُ وَغَيْرُهُمْ فَالصَّحْرَاءُ أَوْسَعُ لَهُمْ وَأَرْفَقُ بِهِمْ
“Sunnahnya adalah shalat istisqo di tanah lapang dan tidak ada perselisihan daham hal ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat istisqo di tanah lapang, juga karena bisa dihadiri banyak orang, anak-anak, para wanita, hewan-hewan ternak dan lainnya, karena tanah lapang lebih luas dan lebih baik untuk mereka.” ([9])
Namun boleh juga dilakukan di masjid, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar:
قوله: (باب الاستسقاء في المسجد الجامع) أشار بهذه الترجمة إلى أن الخروج إلى المصلى ليس بشرط في الاستسقاء
“Perkataan Imam Al Bukhari: ‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat istisqa” ([10])
Tata cara istisqa
Pertama: Para ulama mengatakan bahwa tata caranya bisa sama seperti sholat ‘ied yaitu dua raka’at dengan takbir tambahan di setiap raka’atnya kemudian khutbah setelahnya.
Ini adalah pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Umar Abdul Aziz, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Dawud, dan Asy-Syafi’i. ([11])
Dalil yang menunjukkan bahwa sholat istisqa sama seperti sholat ‘ied adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:
«خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا، مُتَضَرِّعًا، حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ، فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ اتَّفَقَا، – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ، وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ، وَالتَّضَرُّعِ، وَالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, merendahkan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.” ([12])
Dan sebagian ulama berpendapat bahwa caranya bisa dilakukan seperti shalat sunnah lainnya yaitu dua raka’at tanpa takbir tambahan.
Berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Zaid:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى المُصَلَّى فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ، وَقَلَبَ رِدَاءَهُ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ»
“bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikkan posisi selendangnya, lalu shalat dua rakaat”. ([13])
Karena dalam hadits ini secara zhohirnya tidak disebutkan penyebutan takbir tambahan, dan ini adalah madzhab Malik, Awza’i, Abu Tsaur, dan Ishaq. ([14])
Ibnu Qudamah setelah menyebutkan dua tata cara shalat istisqo di atas, beliau berkata:
وَكَيْفَمَا فَعَلَ كَانَ جَائِزًا حَسَنًا
“dan mana saja yang dikerjakan maka boleh dan baik.” ([15])
Kedua : Tanpa Azan dan Iqamat
Sholat ini dilakukan tanpa adzan dan juga iqomat, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ishaq:
خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الأَنْصَارِيُّ وَخَرَجَ مَعَهُ البَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَزَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ «فَاسْتَسْقَى، فَقَامَ بِهِمْ عَلَى رِجْلَيْهِ عَلَى غَيْرِ مِنْبَرٍ، فَاسْتَغْفَرَ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يَجْهَرُ بِالقِرَاءَةِ، وَلَمْ يُؤَذِّنْ وَلَمْ يُقِمْ» قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَرَأَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الأَنْصَارِيُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Abdullah bin Yazid Al Anshari keluar bersama Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu anhum. Abdullah bin Yazid lalu ber-istisqa’, beliau berdiri tanpa menggunakan mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan, tanpa ada adzan dan iqamah”. Abu Ishaq berkata: “Abdullah bin Yazid pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” ([16])
Ketiga : Khutbah shalat istisqo
Khutbah shalat istisqo hukumnya sunnah, sebagaimana dikatakan oleh imam An-Nawawi
سن له الاجتماع وَالْخُطْبَةُ فَسُنَّ لَهُ الصَّلَاةُ كَالْعِيدِ
“Disunnahkan untuk istisqo untuk berkumpul, khutbah, dan sidunnahkan juga untuk shalat sebagaimana shalat ‘ied.” ([17])
Adapun waktu khutbah dijelaskan oleh Ibnu Qudamah ada tiga riwayat:
Pertama: Terletak setelah shalat istisqo. Hal ini dikarenakan shalat istisqo sama seperti shalat ‘ied sebagaimana riwayat Ibnu ‘Abbas di atas. Dan ini adalah pendapat imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Muhammad bin Al-Hasan.
Kedua: Terletak sebelum shalat, dan ini adalah pendapat Al-Laits dan Ibnul Mundzir
Ketiga: Imam boleh memilih antara mendahulukan khutbah atau mengakhirkannya.
Kemudian Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa semuanya boleh dilakukan, beliau berkata:
وَأَيًّا مَا فَعَلَ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ الْخُطْبَةَ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، عَلَى الرِّوَايَاتِ كُلِّهَا، فَإِنْ شَاءَ فَعَلَهَا، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهَا
“Dan apa saja yang dikerjakan dari hal tersebut maka dia boleh, karena khutbah tidak wajib terhadap semua riwayat-riwayatnya, maka boleh ia lakukan dan boleh ia tinggalkan, mana yang ia kehendaki.” ([18])
Jumlah khutbahnya hanya satu kali khutbah saja, sekalipun menurut ulama yang berpendapat bahwa tata caranya sama seperti shalat ‘ied dimana shalat ‘ied dilakukan dua khutbah, namun mereka dalam masalah shalat istisqo berpendapat bahwa khutbahnya hanya satu kali. ([19])
Permasalahan Shalat Istisqo’
Perbedaan antara shalat istisqo dengan shalat ‘ied
Dari semua pemaparan yang dijelaskan di atas kita dapati bahwa shalat istisqo hampir sama dengan shalat ‘ied, namun kita dapati juga ada beberapa perbedaan antara keduanya:
Shalat istisqo | Shalat ‘ied | |
Waktu | Waktunya tidak terbatas | Waktunya terbatas |
Sebab | Karena musibah kekeringan | Perayaan dan hari kesenangan |
Letak khutbah | Boleh sebelum atau setelah shalat | Hanya setelah shalat |
Jumlah khutbah | Satu kali khutbah | Dua kali khutbah |
Hukum mengulang shalat istisqo jika telah shalat namun belum turun hujan
Jika telah melaksanakan shalat istisqo namun belum turun hujan maka disyariatkan untuk mengulang shalat istisqo, ini pendapat mayoritas ulama. ([20])
Shalat istisqo sendirian
Shalat istisqo termasuk shalat yang disyariatkan untuk dikerjakan secara berjama’ah, namun jika dikerjakan sendirian maka boleh. ([21])
Apa saja yang dilakukan ketika melakukan istisqo?
Pertama: Disunnahkan agar orang-orang keluar bersama imam menuju tanah lapang dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.
«خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا، مُتَضَرِّعًا، حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah.” ([22])
Kedua: Hendaknya imam mengumumkan waktu pelaksanaan shalat istisqo, dikarenakan shalat istisqho tidak memiliki batasan waktu, sehingga untuk mengumpulkan semua orang ke tanah lapang perlu ada pemberitahuan bahwa shalat istisqo akan dilaksanakan pada waktu tertentu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah
وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ
“Dan beliau menjanjikan kepada para sahabat satu hari yang mereka semua keluar pada hari itu.” ([23])
Ketiga: Imam berdoa dengan mengangkat kedua tangannya dan menghadap ke arah kiblat di pertengahan khutbah dan membalikkan posisi selendangnya, menjadikan yang kanan menjadi posisi kiri begitu sebaliknya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah:
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ، ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ، وَقَلَبَ، أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ، وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Kemudian mengangkat kedua tangannya, dan beliau terus menerus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih dua ketiak beliau, kemudian beliau membelakangi manusia lalu membalikkan selendangnya masih dalam keadaan mengangkat kedua tangannya, kemudian menghadap kepada para sahabat lalu turun dan shalat dua raka’at.” ([24])
Keempat: Hendaknya imam menasihati orang-orang yang hadir untuk beramal saleh seperti puasa dan bersedekah, dan meninggalkan perbuatan buruk, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul ‘Aziz ketika menulis surat kepada Maimun bin Mihron, diriwayatkan oleh Ja’far bin Burqon:
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ: ” إِنِّي كَتَبْتُ إِلَى أَهْلِ الْأمْصَارِ أَنْ يَخْرُجُوا يَوْمَ كَذَا مِنْ شَهْرِ كَذَا لِيَسْتَسْقُوا، وَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَصُومَ وَيَتَصَدَّقَ فَلْيَفْعَلْ، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} [الأعلى: 15] وَقُولُوا كَمَا قَالَ أَبَوَاكُمْ {رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [الأعراف: 23] وَقُولُوا كَمَا قَالَ نُوحٌ: {إِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [هود: 47] وَقُولُوا كَمَا قَالَ مُوسَى: {إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فِغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} [القصص: 16] وَقُولُوا كَمَا قَالَ يُونُسُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: {لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ} [الأنبياء: 87]
Umar bin Abdul ‘Aziz menulis surat ini kepada Maimun bin Mihron: Aku menulis surat ini kepada penduduk kota supaya mereka keluar pada hari tertentu dari bulan tertentu untuk ber-istisqa’. Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, maka lakukanlah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan mengerjakan shalat‘ (QS. Al-A’la: 15). Dan berdoakan sebagaimana doa kedua orang tua kalian (Adam dan Hawa): ‘Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi‘ (QS. Al-A’rof: 23). Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh: ‘Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi‘ (QS. Al-Hud: 47). Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘ (QS. Al-Qoshosh: 16). Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus: ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (QS. Al-Anbiya: 87).” ([25])
Mengulang-ngulang shalat istisqo
Shalat istisqo’ adalah shalat yang berkaitan dengan sebab, yaitu terlambat turunnya hujan. Maka jika sebabnya masih ada maka masih disyari’atkan shalat istisqo’. Karenanya boleh mengulangi sholat istisqo jika memang masih ada sebabnya dengan kesepakatan 4 madzhab([26]).
Doa-doa Istisqa
Berikut ini beberapa doa yang dipraktikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا
“Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” ([27])
Dalam riwayat Muslim:
«اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا»
“Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” ([28])
«اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا، مَرِيئًا مَرِيعًا، نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ، عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ»
“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang terus-menerus, yang bermanfaat serta tidak membahayakan, yang datang dengan segera dan tidak tertunda” ([29])
«الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ، أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ، وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ»
“Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan” ([30])
«اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ، وَبَهِيمَتَكَ. وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ. وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ».
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, serta hewan-hewan ternak, tebarkanlah rahmat-Mu, serta hidupkanlah negeri-negeri yang mati” ([31])
«اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مَرِيئًا مَرِيعًا طَبَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ، نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ»
“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang memberi kebaikan, yang terus-menerus, yang memenuhi bumi, yang datang dengan segera dan tidak tertunda, yang bermanfaat serta tidak membahayakan” ([32])
FOOTNOTE:
========================
([1]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Manzhur:
وَتَكَرَّرَ ذِكْرُ الاسْتِسْقَاء فِي الْحَدِيثِ، وَهُوَ اسْتِفْعال مِنْ طَلب السُّقْيا أَي إنْزال الغَيْثِ عَلَى البلادِ والعِبادِ
“Telah berulang-ulang penyebutan istisqo dalam hadits, dia adalah istif’al dari meminta as-suqyaa yaitu meminta diturunkannya hujan kepada daerah-daerah dan hamba-hamba.” (Lisaanul ‘Arob 14/393)
([2]) Sebagaimana yang dijelaskan oleh An-Nawawi:
قَالَ فِي الْأُمِّ وأصحابنا والاستسقاء أنواع (ادناها) الدعاء بِلَا صَلَاةٍ وَلَا خَلْفَ صَلَاةٍ فُرَادَى وَمُجْتَمِعِينَ لِذَلِكَ فِي مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرِهِ وَأَحْسَنُهُ مَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الْخَيْرِ (النَّوْعُ) الثَّانِي وَهُوَ أَوْسَطُهَا الدُّعَاءُ خَلْفَ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ الصَّلَوَاتِ وَفِي خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَقَدْ رَأَيْت مَنْ يُقِيمُ مُؤَذِّنًا فَيَأْمُرُهُ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ أَنْ يَسْتَسْقِيَ وَيَحُضَّ النَّاسَ عَلَى الدُّعَاءِ فَمَا كَرِهْت مَا صَنَعَ مِنْ ذَلِكَ (النَّوْعُ الثَّالِثُ) أَفْضَلُهَا وَهُوَ الِاسْتِسْقَاءُ بِصَلَاةِ رَكْعَتَيْنِ وَخُطْبَتَيْنِ
“Berkata (Asy-Syafi’I) dalam Al-Umm dan ulama-ulama kami, istisqo ada berbagai macam: yang paling rendah adalah berdoa tanpa dibarengi dengan shalat dan bukan dilakukan setelah shalat yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara berjama’ah untuk hal tersebut, dilakukan di masjid ataupun selainnya, dan yang paling baiknya adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang baik. Kedua yaitu tingkatan pertengahan, adalah berdoa setelah Shalat Jumat atau shalat lain, dan berdoa pada waktu khutbah jum’at dan semisalnya, berkata Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm: Dan sungguh aku telah melihat orang yang menyuruh orang lain untuk mengumandangkan adzan lalu menyuruhnya untuk istisqo (agar dia meminta hujan) setelah shalat subuh dan maghrib, dan mengkhususkan untuk orang-orang untuk berdoa, maka aku tidak membenci apa yang diperbuat tersebut. Ketiga yaitu yang paling utama, adalah istisqo dibarengi dengan shalat dua raka’at dan dua khutbah.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/64)
([3]) Sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi:
الِاسْتِسْقَاءَ سُنَّةٌ وَاخْتَلَفُوا هَلْ تُسَنُّ لَهُ صَلَاةٌ أَمْ لَا فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تُسَنُّ لَهُ صَلَاةٌ بَلْ يُسْتَسْقَى بِالدُّعَاءِ بِلَا صَلَاةٍ وَقَالَ سَائِرُ الْعُلَمَاءِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ وَلَمْ يُخَالِفْ فِيهِ إِلَّا أَبُو حَنِيفَةَ
“Istisqo hukumnya sunnah, tetapi para ulama berselisih apakah disunnahkan melakukan shalat istisqo atau tidak? Berkata Abu Hanifah: Tidak disunnahkan shalat untuknya, akan tetapi istisqo cukup dengan doa tanpa shalat. Sementara ulama lain dari yang terdahulu maupun yang belakangan, para sahabat, tabiin, dan orang-orang yang setelahnya berpendapat disunnahkan shalat, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali Abu Hanifah.” (Syarhu An-Nawawi ‘Alaa Muslim 6/187)
([5]) HR. Ahmad 26/389 no. 16466, dikatakan oleh Al-Arnauth bahwa sanad hadits ini shohih dengan syarat imam Bukhori dan Muslim tanpa tambahan perkataan Ishaq.
([6]) At-Tamhid Limaa Fil Muwattho’ Minal Ma’aani Wal Asaaniid 17/172
([7]) HR. Abu Dawud no. 1173, hadits ini dihasankan oleh Al-Albani
([8]) Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/75
([9]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/72
([12]) HR. Abu Dawud 1/302 no. 1165, dan hadits ini dihasankan oleh Al-Albani
([17]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/101
([19]) Syaikh ‘Utsaimin berkata: “Adapun khutbah maka hanya satu khutbah saja, tidak seperti shalat ‘ied, shalat ‘ied di dalamnya terdapat dua khutbah, ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan ulama.
Ada yang mengatakan bahwa shalat ‘ied pun satu khutbah saja dan ini adalah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang shohih yang selamat dari pelemahan, khutbah ‘ied adalah satu khutbah akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada lelaki dulu lalu turun menuju para wanita lalu menasehati mereka.
Adapun istisqo maka satu khutbah saja, sampai orang yang berpendapat bahwa shalat ‘ied memiliki dua khutbah maka shalat istisqo satu khutbah, entah dilakukan sebelum salam ataupun setelah salam, dan perkara dalam masalah ini luas, seandaianya imam shalat ketika telah datang ke tanah lapang kemudian menghadap kiblat dan berdoa lalu orang-orang mengamininya maka ini cukup, dan seandainya ia mengakhirkan khutbah setelah selesai shalat maka ini juga cukup dan boleh. Namun perkara dalam masalah ini luas.” (Majmu’ Fatawa Wa Rosail Al-‘Utsaimin 16/355)
([20]) Berkata Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi:
(وَكرّرَ) الِاسْتِسْقَاء اسْتِنَانًا لِأَحَدِ السَّبَبَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ فِي أَيَّامٍ لَا فِي يَوْمٍ (إنْ تَأَخَّرَ) الْمَطْلُوبُ بِأَنْ لَمْ يَحْصُلْ أَوْ حَصَلَ دُونَ الْكِفَايَةِ
“Disunnahkan mengulang shalat istisqo karena salah satu dari dua sebab yang telah berlalu dalam hari yang berbeda, bukan dalam satu hari, jika yang diinginkan belum tercapai atau belum mencukupi.” (Hasyiyah ad-dusuqi ‘alaa syarhil kabiir1/405)
Berkata Ibnu Hajar al-Haitami:
(وَتُعَادُ) بِأَنْوَاعِهَا (ثَانِيًا وَثَالِثًا) وَهَكَذَا (إنْ لَمْ يُسْقَوْا) حَتَّى يَسْقِيَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَضْلِهِ لِخَبَرِ «إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ»
“Dan diulang (istisqo) dengan macam-macamnya yang kedua dan yang ketiga, dan begitu juga jika belum diturunkan hujan hingga Allah menurunkan hujan untuk mereka, berdasarkan hadits: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang terus menerus dalam berdoa.” (Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhil Minhaj 3/67)
([21]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh ‘Utsaimin:
“Berdasarkan perkataan para fuqaha rahimahullah maka boleh shalat istisqo sendirian atau bersama keluarga di rumah atau di sekolah. Tetapi yang sunnah dan yang lebih sempurna adalah kaum muslimin berkumpul di satu tempat dengan satu imam dan mereka semua meminta kepada Allah, karena semakin banyak yang shalat dan bersatu maka lebih dekat untuk dikabulkannya do’a, dengan demikian kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami untuk hadir ke tempat shalat ‘ied untuk melakukan shalat istisqo, para fuqaha berkata: keluar ke tanah lapang bersama orang-orang tua, anak-anak yang mumayyiz, dan orang-orang sholih, karena hal tersebut lebih dekat untuk dikabulkan, maka hadir lebih utama.” (Al-Liqoo’ Asy-Syahri 60-33)
([22]) HR. Abu Dawud 1/302 no. 1165, dan hadits ini dihasankan oleh Al-Albani
([23]) HR. Abu Daud no.1173, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud
([24]) HR. Abu Daud No. 1173, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud
([25]) Mushonnaf Abdurrozzaq no. 4903
([26]) Lihat Fathul Qodiir, Kamaal Al-Hanafi (2/91), Mawaahib al-Jalill, al-Hatthoob al-Maliki 2/595, Tuhfatul Muhtaaj, Al-Haitami asy-Syafi’i 3/67, dan al-Mughni, Ibnu Qudaamah Al-Hanbali 2/326
([28]) HR. Bukhari, no. 1014, Muslim no. 897
([29]) HR. Abu Daud no.1169, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud
Ghaits artinya: hujan. Mughits artinya: dari kata ighotsah yang asrtinya i’anah yaitu pertolongan, begitu juga pada kata aghitsnaa ini diambil dari kata ighotsah yang artinya pertolongan, dan bisa juga bermakna meminta hujan. Mari-an artinya: yang baik kesudahannya, dan bisa juga artinya lebat, sebagaimana dikatakan: Mari’an artinya: yang banyak, sebagaimana ungkapan Naqatun Mari’ yaitu “unta yang banya susunya.” (Lihat mirqootul mafaatiih syarhu misykaatul mashoobiih 3/1109-1110)
([30]) HR. Abu Daud no.1173, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud
([31]) HR. Abu Daud no.1176, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud
([32]) HR. Ibnu Maajah no.1269, dishahihkan Al Albani dalam Sunan Ibnu Maajah
Thabaqan artinya mengarah ke Bumi dengan menutupinya. Ghaira ra’its artinya bukan hujan yang lama turunnya. Lihat: hasyiyah as-sindi ‘alaa sunani Ibni Majah