Shalat Malam
Penjelasan
Shalat malam: adalah shalat yang dikerjakan dua raka’at – dua raka’at yang jumlah raka’atnya tidak terbatas, dikerjakan antara isya hingga terbitnya fajar.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:
«صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى….»
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat…..” ([1])
Shalat witir: witir secara bahasa dijelaskan oleh Ibnu Manzhur:
الوِتْرُ والوَتْرُ: الفَرْدُ أَو مَا لَمْ يَتَشَفَّعْ مِنَ العَدَدِ
“al-witru dan al-watru: adalah sendiri atau bilangan yang tidak digenapkan.” ([2])
Adapun secara istilah, shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat isya dan terbutnya fajar, yang menjadi penutup shalat malam. ([3])
Perbedaan antara shalat malam dan shalat witir
Berkata syaikh ‘Utsaimin: “Sunnah (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dalam ucapan maupun perbuatan membedakan antara shalat malam dan shalat witir, begitu juga para ulama membedakan antara keduanya secara hukum dan tata caranya.
(1) Sunnah ucapan, dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat malam, beliaupun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
«صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى»
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Shubuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk menjadikan ganjil shalat yang telah dia lakukan.” ([4])
(2) Sunnah perbuatan, dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa ia berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ»
“Dahulu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam shalat, sedangkan aku sedang tidur terlentang di atas kasurnya, dan jika beliau hendak witir maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membangunkanku hingga aku juga shalat witir.” ([5])
Dan diriwayatkan juga darinya, bahwasanya Rasulullah shalat malam 13 raka’at, dan shalat witir 5 raka’at dari 13 tersebut dan beliau tidak duduk kecuali di akhirnya.
Dan diriwayatkan darinya ketika Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir bertanya kepadanya:
يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ وِتْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: ” كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ، فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ، وَيَتَوَضَّأُ، وَيُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا فِي الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا
“Wahai ummul Mu’minin, beritahu aku tentang witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menjawab: kami menyiapkan untuknya siwak dan untuk bersucinya, maka Allah membangunkan beliau dengan kehendak-Nya pada waktu malam, beliau bersiwak, berwudhu, dan shalat sembilan raka’at, beliau tidak duduk kecuali di raka’at ke delapan, lalu ia berdzikir, bertahmid, dan berdoa kepada-Nya, lalu bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk shalat raka’at yang kesembilan, lalu beliau duduk, berdzikir, bertahmid, dan berdoa kepada-Nya lalu salam dengan sekali salam yang bisa kami dengar.” ([6])
(3) Secara hukum, sesungguhnya para ulama telah berselisih dalam wajibnya shalat witir, Abu Hanifah berpendapat shalat witir wajib dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-inshaf dan al-furu’, berkata Ahmad: Siapa yang meninggalkan shalat witir secara sengaja maka dia adalah orang yang buruk, dan tidak layak untuk persaksiannya diterima. ([7]) Dan yang terkenal dalam madzhab hanbali bahwa witir hukumnya sunnah, dan ini adalah madzhab Malik dan Asy-Syafi’i.
Adapun shalat malam tidak ada khilaf akan sunnahnya dan tidak wajibnya. Dalam kitab Fathul Baari disebutkan:
وَلَمْ أَرَ النَّقْلَ فِي الْقَوْلِ بإيجابه الا عَن بعض التَّابِعين قَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ شَذَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ فَأَوْجَبَ قِيَامَ اللَّيْلِ وَلَوْ قَدْرَ حَلْبِ شَاةٍ وَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاعَةُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ
“Aku tidak melihat ada nukilan yang mewajibkannya kecuali dari sebagian tabi’in. Berkata Ibnu ‘Abdil Barr: Sebagian tabi’in syadz dan mewajibkan shalat malam walau sebatas memerah susu kambing. Yang menjadi pendapat mayoritas ulama adalah hukumnya mandub (sunnah).” ([8])
(4) Dari segi tata cara, sangat jelas para ahlu fiqih dari madzhab hanabilah dalam membedakan keduanya, mereka berkata shalat malam dua raka’at dua raka’at, dan mereka berkata dalam shalat witir: jika berwitir dengan 5 raka’at, 7 raka’at tidaklah duduk kecuali di akhirnya, dan jika berwitir dengan sembilan raka’at maka duduk pada raka’at ke delapan untuk tasyahhud kemudian bangkit tanpa salam ke raka’at sembilan, kemudian duduk tasyahhud dan salam. Ini adalah yang dikatakan oleh penulis kitab Zaadul Mustaqni’.” ([9])
Perberdaan shalat tarawih dengan shalat malam
Pada hakikatnya shalat tarawih termasuk dalam shalat malam, namun perbedaannya hanya dari segi waktu pelaksanaan, shalat tarawih dikerjakan pada bulan Ramadhan adapun shalat malam di semua bulan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi. ([10])
Dan dinamakan tarawih dikarenakan orang-orang yang shalat beristirahat setiap dua kali salam. ([11])
Perbedaan antara shalat malam, tahajjud, dan shalat malam
Secara umum shalat malam dan shalat tahajjud sama, namun terdapat perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Hajjaj bin ‘Amr Al-Mazini:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَجَّدُ بَعْدَ نَوْمِهِ، وَكَانَ يَسْتَنُّ قَبْلَ أَنْ يَتَهَجَّدَ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan tahajjud setelah bangun dari tidurnya, dan melakukan shalat sunnah sebelum bertahajjud.” ([12])
«أَيَحْسَبُ أَحَدُكُمْ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنْ قَدْ تَهَجَّدَ إِنَّمَا التَّهَجُّدُ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، ثُمَّ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، ثُمَّ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، تِلْكَ كَانَتْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Apakah kalian mengira jika seseorang diantara kalian bangkit dari waktu malam lalu shalat hingga waktu subuh sungguh telah tahajjud? Tahajjud hanya untuk shalat setelah bangun dari tidur, kemudian shalat setelah bangun dari tidur, kemudian shalat setelah bangun dari tidur, itulah shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ([13])
Dan juga dalam firman Allah:
{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ}
“Pada sebagian malam bertahajjudlah kamu.” ([14])
Maka dari sini kita dapat fahami bahwa shalat malam lebih umum daripada shalat tahajjud, karena shalat malam bisa dilakukan sebelum dan sesudah tidur, adapun shalat tahajjud hanya dilakukan setelah tidur.
Keutamaannya
Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan sholat malam dan sholat witir, diantaranya:
1- Mendapatkan kedudukan Terpuji
Sebagaimana firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” ([15])
2- Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib
«أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ»
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah yaitu Muharram, dan sebaik-baik sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam.” ([16])
3- Termasuk kebiasaan orang-orang yang shalih, sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, juga menggugurkan keburukan serta mencegah dari berbuat dosa.
«عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرة لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الْإِثْمِ»
“Hendaklah kalian melaksanakan sholat malam, karena dia adalah kebiasaan orang-orang sholeh sebelum kalian, dan dia mendekatkan diri ke[ada Rabb kalian, dan pelebur atas keburukan-keburukan, dan juga pencegah dari dosa.” ([17])
4- Sebab masuk surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang-orang yang membutuhkan), sambungkanlah silaturrahim, dan shalatlah pada malam hari ketika orang lain sedang tidur; niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” ([18])
5- Kemuliaan seseorang terletak pada shalat malamnya
Selain mendapatkan kedudukan mulia di akhirat kelak, orang-orang yang ahli shalat tahajud juga akan mendapatkan kedudukan yang mulia di dunia. Allah akan memberinya kemuliaan dan kewibawaan.
وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ
“Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya”. ([19])
Hukumnya
Hukum shalat malam sunnah. Ibnu Hajar menjelaskan:
وَلَمْ أَرَ النَّقْلَ فِي الْقَوْلِ بإيجابه الا عَن بعض التَّابِعين قَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ شَذَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ فَأَوْجَبَ قِيَامَ اللَّيْلِ وَلَوْ قَدْرَ حَلْبِ شَاةٍ وَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاعَةُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ
“Aku tidak melihat ada nukilan yang mewajibkannya kecuali dari sebagian tabi’in. Berkata Ibnu ‘Abdil Barr: Sebagian tabi’in syadz dan mewajibkan shalat malam walau sebatas memerah susu kambing. Yang menjadi pendapat mayoritas ulama adalah hukumnya mandub (sunnah).” ([20])
Adapun shalat witir terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun yang kuat adalah hukumnya sunnah muakkadah([21]), karena dalam isro dan mi’roj Allah tidaklah mewajibkan kepada Nabi Muhammad kecuali lima shalat dalam sehari semalam. Dan juga Ali berkata:
” لَيْسَ الْوَتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الصَّلاةِ، وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”
“Shalat Witir tidak wajib seperti bentuk shalat wajib, namun ia adalah sunnah yang disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa salllam.” ([22])
Waktunya
Adapun waktunya sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
“إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ”
“Sesungguhnya Allah telah menambah sholat atas kalian, yaitu sholat witir, maka kerjakanlah antara waktu sholat isya sampai sholat fajar”. ([23])
Dan waktu yang paling utama untuk melakukannya adalah sesuai dengan kondisi seseorang. Jika ia mampu untuk bangun di sepertiga malam terakhir maka yang utama baginya adalah shalat di sepertiga malam akhir tersebut, karena ini waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa. Adapun jika khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka yang utama baginya adalah di awal malam, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir -radhiyallahu ‘anhu-
«أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ، ثُمَّ لِيَرْقُدْ، وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ، فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ»
“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir kemudian tidur. Siapa yang yakin untuk bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan itu lebih utama.” ([24])
Jumlah raka’at sholat malam dan sholat witir serta tata caranya
Jumlah raka’at sholat malam tidak dibatasi, adapun tata caranya dua raka’at – dua raka’at, dan ini dilandasi dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumaa:
«صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى»
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Shubuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah dia lakukan.” ([25])
Adapun shalat witir maka terdapat banyak atsar yang menyebutkan bilangan-bilangan raka’at witir:
– Satu rakaat, dalilnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar -radhiyallahu ‘anhumaa- di atas. Juga yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshory -radhiyallahu ‘anhu-:
«الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ»
“Shalat Witir wajib bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat, maka kerjakanlah; yang ingin berwitir tiga rakaat, maka kerjakanlah; dan yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!” ([26])
– Tiga raka’at, ini berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshory -radhiyallahu ‘anhu- di atas:
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa yang ingin berwitir dengan tiga rakaat, maka kerjakanlah”.
Dan ini bisa dilakukan dengan dua cara:
– Mengerjakannya dengan tiga raka’at sekaligus dengan satu kali tasyahhud, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلَاثٍ لَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ»
“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat witir tiga rakaat, dan tidak salam kecuali di rakaat terakhir”. ([27])
Mengerjakan 3 raka’at dengan 2 kali tasyahhud dan 2 kali salam yaitu salam di raka’at kedua dan ketiga. ([28])
– Lima raka’at
Cara shalat witir 5 raka’at adalah dilakukan sekaligus dengan sekali tasyahhud dan satu salam di akhir, sholat witir dengan 5 raka’at ini dilandasi dengan riwayat Abu Ayyub Al-Anshory -radhiyallahu ‘anhu- di atas:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat, maka kerjakanlah”.
Dan tata cara sholatnya dilandasi dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ، لَا يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ إِلَّا فِي آخِرِهَا»
“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat di malam hari, tiga belas rakaat, beliau shalat witir dengan lima rakaat, tidak duduk (tasyahud) kecuali di rakaat terakhir.” ([29])
– Tujuh raka’at, dan ini ada dua cara:
1- Melakukannya 7 raka’at sekaligus, dan tidak duduk kecuali di raka’at ke 6 dan duduk tasyahhud tanpa salam, kemudian bangkit ke raka’at ke 7 kemudian salam, witir 7 rakaat ini dilandasi dari hadits Abu Hurairoh di atas:
أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ، أَوْ بِسَبْعٍ…
“Witirlah kalian dengan 5 atau 7 raka’at”
Dan tata caranya berlandaskan hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
فَلَمَّا كَبِرَ وَضَعُفَ أَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ لَا يَقْعُدُ إِلَّا فِي السَّادِسَةِ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ، فَيُصَلِّي السَّابِعَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً
“ketika Nabi menjadi tua dan melemah, beliau melakukan sholat witir sebanyak 7 raka’at, dan tidaklah duduk kecuali di raka’at ke 6, kemudian bangkit dan tidak salam, dan melakukan raka’at ke 7 kemudian melakukan 1 kali salam” ([30])
2- Bisa juga dengan melaksanakannya langsung dengan sekali tasyahhud dan satu salam, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat lain dari ‘Aisyah ketika ditanay oleh Sa’ad bin Hisyam:
فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخَذَ اللَّحْمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَقْعُدُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ
“Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencapai umur senja dan bertambah gemuk, beliau mengerjakan witir tujuh rakaat dan tidak duduk (tasyahhud) kecuali di akhirnya.” ([31])
– Sembilan raka’at, dan ini ada dua tata cara:
- Dengan dua kali tasyahhud, yaitu di raka’at kedelapan dan kesembilan dengan satu kali salam di raka’at terakhir.
- Dan cara yang kedua dilandasi hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
ثُمَّ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ. لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا عِنْدَ الثَّامِنَةِ فَيَدْعُو رَبَّهُ، فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ، وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُو رَبَّهُ وَيُصَلِّي عَلَى نَبِيِّهِ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا
“Kemudian sholat witir sebanyak 9 raka’at, tidaklah duduk kecuali di raka’at ke 8, kemudian berdzikir, memuji Allah, dan berdoa kepadaNya, kemudian bangkit dari rakaat ke 7 tanpa salam, lalu melakukan raka’at ke 9, kemudian duduk, berdzikir, memuji Allah dan berdoa kepadaNya, kemudian mengucapkan salam yang terdengar oleh kami.” ([32])
Dan boleh melakukan shalat witir dengan jumlah raka’at lebih banyak lagi. ([33])
Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar, dari As-Saib bin Yazid:
” أَنَّ عُمَرَ: جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَعَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةُ يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ ”
“Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang pada bulan Ramadhan dengan Ubay Bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dary sebagai imam dengan jumlah 11 raka’at, mereka membaca mi’in dan mereka kembali ketika terbitnya fajar.” ([34])
Permasalahan Seputar Shalat Malam
Qodho shalat witir
Jika seseorang terbiasa melakukan shalat witir lalu ia tertidur dan tidak dapat melakukannya, maka boleh baginya untuk mengqodho shalat witir tersebut setelah terbit matahari dan terangkat, sebelum matahari berada di posisi di tengah (waktu zhuhur), dikerjakan dengan raka’at genap bukan ganjil. ([35])
Bolehnya Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at
Ijma’ Boleh Lebih 11 Rakaat
Para ulama telah ijmak (sepakat) akan bolehnya sholat malam (tarawih) lebih dari 11 raka’at. Bahkan yang menukil ijmak tersebut para ulama dari berbagai madzhab fikih. Berikut ini nukilan tersebut:
- Madzhab Maliki:
Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata:
وأكثر الآثار على أن صلاته كانت إحدى عشرة ركعة وقد روي ثلاث عشرة ركعة. واحتج العلماء على أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود والصلاة خير موضوع فمن شاء استقل ومن شاء استكثر.
“Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau adalah 11 rakaat, dan diriwayatkan bahwa 13 rakaat, para ulama berdalil bahwa shalat lail tidak ada batasnya, dan shalat adalah ibadah terbaik, siapa yang berkehendak silahkan menyedikitkan rakaát, dan siapa yang berkehendak maka silahkan memperbanyak rakaát”. ([36])
Beliau juga berkata:
وقد أجمع العلماء على أن لا حد ولا شيء مقدرا في صلاة الليل وأنها نافلة فمن شاء أطال فيها القيام وقلت ركعاته ومن شاء أكثر الركوع والسجود
“Para ulama sepakat tidak ada batas atau ukuran dalam shalat lail (malam), mereka juga sepakat bahwa shalat lail sunnah, siapun mau boleh memanjangkan berdiri dan sedikit jumlah rakaatnya, dan siapapun mau boleh memperbanyak ruku’ dan sujud”. ([37])
Beliau juga berkata:
وَلَيْسَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ حَدٌّ مَحْدُودٌ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَتَعَدَّى
“Tidak ada batas tertentu dalam jumlah rakaat dalam shalat lail yang tidak boleh dilewati menurut satupun ulama”. ([38])
Al-Qadhi Iyadh mengatakan:
ولاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدٌّ لاَ يُزَادُ عَلَيْهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُ، وَأَنَّ صَلاَةَ اللَّيْلِ مِنَ الْفَضَائِلِ وَالرَّغَائِبِ الَّتِي كُلَّمَا زِيْدَ فِيْهَا زِيْدَ فِي الأَجْرِ وَالْفَضْلِ، وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ فِي فِعْلِ النَّبِيِّ (صلى الله عليه وسلم) وَمَا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ
“Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batas yang tidak boleh ditambahi dan dikurangi, dan shalat lail termasuk amalan utama dan dianjurkan, jika ditambahi maka bertambah pula pahala dan keutamaanya, yang diperselisihkan hanya dalam perbuatan Nabi dan jumlah rakaat yang beliau pilih untuk beliau lakukan”. ([39])
- Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyebutkan bahwa yang menjadi pilihan jumhur ulama adalah shalat tarawih 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ketika mengumpulkan orang-orang, beliau juga berkata: “Para sahabat bersepakat dalam hal itu di masa mereka”. ([40])
Ishaq bin Mansur bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Berapa rakaat shalat qiyam bulan Ramadhan? Beliau berkata: Ada beberapa pendapat, diriwayatkan sekitar 40, tetapi itu adalah shalat tathawwu’. ([41])
- Madzhab Syafi’i
Abul Qasim Ar-Rafi’i: “Sesungguhnya Umar bin Khatthab mengumpulkan orang-orang diimami oleh Ubai bin Ka’ab, dan disepakati oleh para sahabat”. ([42])
An-Nawawi menukil ijma’ ini dan mengikrarkannya ([43])
Az-Za’farani meriwayatkan dari As-Syafi’I: “Aku lihat orang-orang di Madinah mengerjakan shalat 39 rakaat”, beliau berkata “Yang lebih aku suka adalah 20”, beliau berkata “Begitupula yang dikerjakan di Makkah”. Beliau berkata: “Tidak ada dalam hal ini batas akhirnya, jika mereka perbanyak ruku’ dan sujud maka lebih baik”. ([44])
Al-Iraqi mengatakan:
فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ مَحْصُورٌ وَلَكِنْ اخْتَلَفَتْ الرِّوَايَاتُ فِيمَا كَانَ يَفْعَلُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batas tertentu dalam qiyamul-lail, akan tetapi riwayat-riwayat berbeda tentang mana yang dilakukan oleh Nabi”. ([45])
- Ulama Hadits
Ibnu Al-Qatthan Al-Fasi juga menukil ijma’ tersebut dalam kitabnya “Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma’”.
At-Tirmidzi dalam Jami’-nya berkata:
“Para ulama berselisih pendapat dalam qiyam Ramadhan: Sebagian berpendapat 41 rakaat bersama witir, ini adalah pendapat ahlul Madinah, dan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Kebanyakan ulama adalah mengikuti riwayat Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Rasulullah berpendapat 20 rakaat, ini adalah pendapat At-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak dan As-Syafi’i.
As-Syafi’i berkata: Demikianlah yang aku jumpai di kota kami Makkah, mereka shalat 20 rakaat.
Ahmad mengatakan: Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dan tidak ada titik penentu.
Ishaq berkata: Tapi kita pilih 41 rakaat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab.”
Kesimpulan:
Di atas adalah pernyataan sejumlah ulama dari berbagai madzhab yang menukilkan ijma’ (konsensus) ulama bahwa tidak ada batas jumlah shalat lail yang di antaranya adalah shalat tarawih, tidak ada seorangpun ulama setelah mereka yang mempermasalahkan hal itu. Lihatlah dalam buku fikih manapun dan dalam madzhab manapun tidak ditemukan seorang ulamapun yang menyatakan tidak boleh sholat malam lebih dari 11 rakaát. Jika ada ulama yang mu’tabar (yang diakui) yang melarang dari kalangan para ulama terdahulu, tentu sudah dinukil dalam kitab-kitab fikih klasik ([46]).
Adapun hadits Aisyah (yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama kontemporer bahwa sholat malam tidak boleh lebih dari 11 rakaat) :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.
Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah ‘Berapa shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan?’ ia menjawab: ‘Beliau tidak menambah sebelas rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lain, beliau shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat tiga rakaat, lalu aku bertanya : wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum melakukan witir? Beliau menjawab: wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur’. ([47])
Maka hadits di atas menjelaskan bahwa sholat malam Nabi tidak lebih dari 11 raka’at. Tetapi tidak seorang salafpun yang memahami bahwa maksud Aisyah itu adalah batasan jumlah sholat malam, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah.
Sementara tatkala kita memahami hadits atau memahami syari’at Islam harus dengan pemahaman para salaf, sebagai konsenkuensi dari bentuk berpegang dengan manhaj salaf dalam beristidlal (berdalil).
Dalil-Dalil bahwa Shalat Tarawih Tidak Ada Batas Rakaat
Pertama: Hadits Ibnu Umar
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّائِلِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ قَالَ «مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَصَلِّ رَكْعَةً وَاجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِكَ وِتْرًا». ثُمَّ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ وَأَنَا بِذَلِكَ الْمَكَانِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلاَ أَدْرِى هُوَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ.
Seorang bertanya kepada Nabi, ia mengakatan: saat itu aku berada di antara beliau dan penanya. Penyanya mengatakan: Wahai Rasulullah, bagaimana mengerjakan shalat lail? Beliau menjawab: Dua rakaat, dua rakaat, jika kamu khawatir masuk subuh maka shalatlah satu rakaat, dan jadikan akhir shalatmu witir. Kemudian ada lelaki berusia hampir satu abad, dan aku di tempat itu bersama Rasulullah, aku tidak tahu apakah itu orang tadi atau orang lain, ia mengatakan semacam itu pula([48]).
Dalam riwayat yang lain (juga dalam shahih Muslim):
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَجُلاً نَادَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أُوتِرُ صَلاَةَ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «مَنْ صَلَّى فَلْيُصَلِّ مَثْنَى مَثْنَى فَإِنْ أَحَسَّ أَنْ يُصْبِحَ سَجَدَ سَجْدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى».
Seorang memanggil Rasulullah sedangkan beliau berada di masjid, lantas bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana aku melakukan witir pada shalat lail? Rasulullah menjawab : Siapapun yang shalat, hendaklah shalat dua rakaat dua rakaat, jika merasa datang subuh maka hendaklah melakukan satu sujud, makai a telah melukan shalat witir.
Dalam riwayat yang lain :
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: Shalat lail dua-dua, jika kamu melihat subuh akan tiba maka wtirlah satu rakaat. Lalu ada yang bertnya kepada Ibnu Umar: apa itu dua-dua? Beliau menjawab: hendaklah engkau salam di setiap dua rakaat. (diriwayatkan muslim juga di tempat yang sama).
Segi pendalilan:
Ada dua sisi pendalilan dari hadits Ibnu Umar di atas:
Pertama: Orang yang bertanya tersebut dalam sebagian riwayat adalah الأَعْرَابِيُّ arab badui([49]). Dan sebagaimana diketahui bahwa orang arab badui tidaklah tinggal bertetangga dengan Nabi dan para sahabat. Tentu ia tidak tahu tentang jumlah raka’at sholat malam Nabi, terlebih lagi tidak ada seorang sahabatpun yang meriwayatkan tentang jumlah 11 rakaat sholat malam Nabi kecuali Aisyah, karena Nabi mengerjakannya di rumah dan dilihat oleh Aisyah.
Hal ini dikuatkan lagi bahwasanya jika Arab badui tersebut tidak tahu tentang kaifiyyah (tata cara) sholat malam, setiap berapa rakaatkah harus salam? Maka ketidak tahuannya tentang jumlah rakaat lebih utama untuk tidak ia ketahui.
Jika seandainya sholat malam ada batasan jumlah raka’atnya tentu Nabi akan menjelaskan kepada orang arab badui tersebut. Tatkala Nabi tidak menjelaskan sisi ini maka menunjukan bahwa sholat malam tidak terikat dengan jumlah tertentu, karena mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.
Kedua: Justru Nabi menjawab orang arab badui tersebut dengan mengisyaratkan bahwa sholat malam tidak terbatas jumlah raka’atnya. Karena Nabi menyatakan bahwa sholat malam itu dua-dua rakaat hingga subuh. Artinya arab badui tersebut boleh sholat dengan shalat dua rakaat-dua rakaat dan terus melakukannya seperti itu, sampai jika ia khawatir tiba subuh maka shalat satu rakaat dan menjadi witir bagi shalatnya. Apalagi orang-orang arab badui tidak dikenal dengan sebagai para sahabat yang memiliki hapalan qur’an yang banyak, sehingga kemungkinan ia akan memperbanyak raka’at hingga subuh.
Kedua: Hadits Thalq bin Ali
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ».
Qais bin Thalq berkata: Thalq bin Ali mengunjungi kami pada satu hari Bulan Ramadhan dan sore masih bersama kami lalu berbuka dan mengimami shalat kita pada malam itu, beliau witir bersama kami kemudian pergi ke masjidnya dan shalat mengimami para sahabatnya, ketika hendak witir beliau menyuruh seorang maju dengan berkata: shalatlah witir bersama para sahabatmu karena aku mendengar Rasulullah bersabda “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. ([50])
Segi pendalilan:
Sahabat Tholq bin Áli dahulu melakukan shalat malam dua kali, yang pertama di tempat ini dan yang kedua di tempat lain. Dan tentu jika digabungkan dua kali sholat tarawih beliau tersebut akan lebih dari 11 raka’at, wallahu A’lam.
Ketiga: Hadits Abu Dzar
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ».
Abu Dzar berkata: Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7 hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5 hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa malam ini ([51]), maka beliau mengatakan “Sesungguhnya jika seorang shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam”. ([52])
Segi pendalilan:
Ketika sudah lewat tengah malam, Rasulullah selesai shalatnya, tapi para sahabat meminta Rasulullah tambahan shalat lagi, dan beliau tidak mengingkari atau menyalahkan mereka, namun beliau menunjukkan yang afdhal. Para sahabat juga tidak memahami bahwa shalat malam ada batas tertentu dan mereka juga tidak memahami jika shalat selesai maka tidak boleh ditambah. Karena jika mereka memahami bahwa sholat malam tidak boleh ada tambahannya tentu mereka tidak akan minta tambahan kepada Nabi, karena berarti meminta sesuatu yang haram kepada Nabi.
Keempat: Hadits ‘Amr bin ‘Anbasah
عن عَمرو بن عَنْبَسة ــ رضي الله عنه ــ أنَّه قال: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَسْلَمَ مَعَكَ؟ قَالَ: «حُرٌّ وَعَبْدٌ»، قُلْتُ: هَلْ مِنْ سَاعَةٍ أَقْرَبُ إِلَى اللَّهِ ــ عَزَّ وَجَلَّ ــ مِنْ أُخْرَى؟ قَالَ: “نَعَمْ، جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَصَلِّ مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تُصَلِّيَ الصُّبْحَ”.
“Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah yang masuk islam bersama engkau? Beliau menjawab: orang merdeka dan budak. Aku bertanya: Apakah ada waktu yang lebih dekat kepada Allah Azza wa Jalla daripada selainnya? Beliau menjawab: Ya, pertengahan malam akhir, maka shalatlah yang kamu mau sampai kamu shalat subuh”. ([53])
Muhammad Ali Adam Al-Ityubi mengomentari hadits ini, “Shalat malam tidak memiliki jumlah tertentu, berbeda dengan persangkaan sebagian orang bahwa lebih dari 11 rakaat yang terdapat pada shalat Rasulullah adalah bid’ah, sehingga mengingkari orang yang shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat atau kurang atau lebih sesuai semangat orang yang shalat, maka dapat dibantah dengan hadits ini.” ([54])
Tarawih para shahabat di masa Umar bin al-Khottob adalah 20 rakaát.
Berikut ini adalah pohon seluruh riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang jumlah rakaát tarwih yang dikerjakan di masa Úmar bin al-Khottob atas perintah Umar bin al-Khottob:
Jika diperhatikan pohon sanad periwayatan tentang jumlah rakaát tarawih yang dikerjakan di masa Umar bin al-Khottob sebagaimana di atas, maka kita dapati yang menyebutkan bahwa Umar memerintahkan untuk sholat 11 rakaát hanyalah 1 jalur saja, yaitu Dari Imam Malik, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid, dari Umar bin al-Khottob. (Sebagaimana di kitab al-Muwattho’ karya Imam Malik)
Sementara seluruh jalur yang lain meriwayatkan bahwa sholat yang dikerjakan atas perintah Umar bin al-Khottob lebih dari 11 rakaat, yaitu 20 rakaát. Karenanya Ibnu Ábdil Barr yang bermadzhab Maliki, dan paling paham tentang periwayatan Imam Malik, berkata :
وَهَذَا كُلُّهُ يَشْهَدُ بِأَنَّ الرِّوَايَةَ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَهْمٌ وَغَلَطٌ وَأَنَّ الصَّحِيْحَ ثَلاَثٌ وَعِشْرُوْنَ وَإِحْدَى وَعِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاللهُ أَعْلَمُ
“Ini semua menunjukkan bahwa riwayat 11 rakaat adalah kesalahan dan kekeliruan, yang shahih adalah 23 dan 21 rakaat, wallahu a’lam”. ([55])
Lafadz riwayat 11 Rakaat:
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’:
عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد رضي الله عنه أنَّه قال: أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ رضي الله عنهم أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ: وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ، حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْر
“Dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid beliau mengatakan: Umar bin Khaththab memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang dengan 11 rakaat, saat itu imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak bubaran (selesai sholat) kecuali mendekati terbit fajar”. ([56])
Ibnu Abdil Barr berkata:
هَكَذَا قَالَ مَالِكٌ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَغَيْرُهُ يَقُوْلُ فِيْهِ إِحْدَى وَعِشْرِيْن
“Begitulah yang dikatakan Malik dalam hadits ini, yaitu 11 rakaat, sedangkan selain beliau mengatakan 21 rakaat”. ([57])
Di kitab yang sama beliau juga berkata:
وَلاَ أَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً غَيْرُ مَالِكٍ والله أعلم. إلا أنه يحتمل أن يكون القيام في أول ما عمل به عمر بإحدى عشرة ركعة ثم خفف عليهم طول القيام ونقلهم إلى إحدى وعشرين ركعة يخففون فيها القراءة ويزيدون في الركوع والسجود إِلاَّ أَنَّ الأَغْلَبَ عِنْدِي فِي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً الْوَهْمُ وَاللهُ أَعْلَمُ
“aku tidak tahu seorangpun mengatakan dalam hadits ini 11 rakaat kecuali Malik, wallahu a’lam. Hanya saja ada kemungkinan bahwa shalat yang dilakukan Umar pertama kali adalah 11 rakaat, kemudian beliau ringankan panjangnya berdiri dan diganti menjadi 21 rakaat dengan meringankan bacaan dan menambah ruku’ dan sujud. Akan tetapi yang lebih kuat menurutku adalah bahwa 11 rakaat adalah kekeliruan, wallahu a’lam.([58])
Lafadz dari jalur Yazid bin Khushaifah:
عن يزيد بن خُصَيْفَة عن السائب بن يزيد رضي الله عنه قال: يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَكِنْ كَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ فِي رَكْعَةٍ حَتَّى كَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ
Dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid mengatakan : mereka mengerjakan shalat di masa Umar bin Khatthab pada bulan Ramadhan 20 rakaat, akan tetapi mereka membaca ratusan ayat dalam satu rakaat, sehingga mereka bersandar pada tongkat-tongkat mereka karena lamanya berdiri. ([59])
Sanadnya dishahihkan oleh:
- Imam Nawawi dalam Al-Khulashah no 1961
- Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir 4/350
- Ibnul Iraqi dalam Tharh Tatsrib 3/97
- Al-‘Aini dalam Al-Binayah Syarh Al-Hidayah 2/660
- Syaikh Abdullah Ad-Duwaisy dalam Tanbih Al-Qari’ li Taqwiyati Ma Dha’afahul Albani hlm. 42 mengatakan: Hadits ini shahih.
Penulis belum mendapatkan ulama mutaqodiimin (terdauhulu) mendoifkan riwayat Umar tentang sholat 20 rakaat di atas karena riwayatnya([60])
Para salaf (sahabat dan tabiín) sholat tarwih lebih dari 11 rakaát
Pendapat bahwa para sahabat sholat tarwih di masa Umar adalah 20 rakaat dikuatkan dengan praktik para salaf yang sholat malam lebih dari 11 rakát. Berikut penukilannya :
- Atha’ berkata:
أَدْرَكْت النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ
“Aku menjumpai orang-orang shalat 23 rakaat dengan witir”. ([61])
Atha adalah seorang tabi’in faqih yang wafat pada tahun 114 H, sehingga yang beliau jumpai adalah para sahabat Rasulullah, wallahu a’lam
- Dawud bin Qais berkata:
دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ : أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتَّة وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.
“Aku jumpai di Madinah pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Utsman shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat.” ([62])
Atsar ini menjelaskan bahwa para tabiín mereka sholat bahkan 39 rakaát
- Sa’id bin Jubair:
كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي بِنَا عِشْرِينَ لَيْلَةً سِتَّ تَرْوِيحَاتٍ، فَإِذَا كَانَ الْعَشْرُ الأَخَرُ اعْتَكَفَ فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى بِنَا سَبْعَ تَرْوِيحَاتٍ.
“Dahulu Sa’id bin Jubair adalah imam kita di bulan Ramadhan, beliau shalat mengimami kita 20 malam dengan 6 kali istirahat, jika memasuki 10 malam akhir beliau I’tikaf di masjid dan shalat mengimami kita dengan 7 kali istirahat.” ([63])
Dan Saíd bin Jubair adalah seorang tabií yang mulia yang merupakan murid Ibnu Ábbas
Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in wafat tahun 95 H, ketika 10 hari terakhir beliau shalat menjadi imam dengan 7 kali istirahat berarti 14 rakaat.
- Abu Al-Hashib berkata:
كَانَ يَؤُمُّنَا سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami shalat kita pada bulan Ramadhan dengan 5 kali istirahat dalam 20 rakaat”. ([64])
Suwaid bin Ghafalah masuk Islam saat Nabi masih hidup, akan tetapi beliau tidak bertemu dengan Nabi, dan beliau meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ubay bin Kaáb, Bilal, Abu Dzar, Ibnu Masúd, dan sahabat-sahabat yang lain([65]).
Beliau shalat 20 rakaat, setiap 4 rakaat salam, sehingga ada 5 kali istirahat.
Imam bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir menyebutkan riwayat Abu Al-Hasib Al-Ju’fi:
كَانَ سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami kita pada bulan Ramadhan 20 rakaat”. ([66])
- Ibnu Abi Mulaikah
عن نافع بن عمر، قال: كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَيَقْرَأُ: بِحَمْدِ الْمَلَائِكَةِ فِي رَكْعَةٍ
Nafi’ bin Umar berkata: Dahulu Ibnu Abi Mulaikah shalat mengimami kami 20 rakaat, beliau membaca Hamdu Al-Malaikat (Surat Fathir) dalam satu rakaat. ([67])
Ibnu Abi Mulaikah adalah seorang tabií yang lahir di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib atau sebelumnya. Beliau telah menjumpai 30 sahabat([68]).
Atsar-atsar para tabiín ini menunjukan bahwa pelaksanaan shalat tarwih di masa tabiín berlanjut dengan lebih dari 11 rakaát. Dan kemungkinan besar bahwa kebiasaan para tabiín tersebut diwariskan dari kebiasaan para sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya qiyam Ramadhan sendiri tidak ditetapkan oleh Nabi dengan jumlah tertentu, bahkan beliau dalam Ramadhan maupun bulan lain tidak lebih dari 13 rakaat, akan tetapi beliau memanjangkan rakaat, ketika Umar mengumpulkan orang-orang untuk shalat diimami oleh Ubai bin Ka’ab shalat bersama mereka 20 rakaat kemudian witir 3 rakaat, pada saat itu beliau meringankan bacaan sesuai dengan tambahan rakaat, karena itu yang paling ringan bagi para makmum daripada memanjangkan satu rakaat.
Kemudian sekelompok salaf mengerjakan shalat 40 rakaat dan witir 3 rakaat, dan sekelompok salaf yang lain mengerjakan shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat, dan ini semua diperbolehkan. Bagaimanapun cara yang dilakukan pada bulan Ramadhan dri tata cara tersebut maka ia telah melakukan hal yang baik.
Dan yang paling utama adalah hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi jamaah yang shalat; jika mereka mampu tahan berdiri lama maka mengerjakan 10 rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika shalat sendiri di bulan Ramadhan dan bulan lain maka ini lebiih baik, namun jika mereka tidak mampu maka mengerjakan 20 rakaat lebih utama, inilah yang dikerjakan kebanyakan kaum muslimin; harena terletak pertengahan antara 10 dan 40 rakaat, dan jika mengerjakan 40 rakaat maka boleh dan sama sekali tidak dibenci. Ini telah disebutkan sejumlah imam, seperti Ahmad dan lainnya.
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
Siapa mengira qiyam Ramadhan ada bilangan tertentu dari Nabi yang tidak boleh ditambah dan dikurangi maka ia terjatuh dalam kesalahan”. ([69])
As-Syaukani mengatakan :
والحاصل أن الذي دلت عليه أحاديث الباب وما يشابهها هو مشروعية القيام في رمضان والصلاة فيه جماعة وفرادى فقصر الصلاة المسماة بالتراويح على عدد معين وتخصيصها بقراءة مخصوصة لم يرد به سنة
“Kesimpulannya, hadits-hadits dalam bab ini dan hadits yang serupa menunjukkan disyariatkannya qiyam ramadhan, shalat baik dengan jamaah maupun sendiri-sendiri. Adapun membatasi shalat yang dinamai dengan tarawih dengan jumlah tertentu dan mengkhususkan dengan bacaan tertentu maka tidak ada sunnah yang menunjukkah hal itu”. ([70])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره
Shalat tarawih jika dikerjakan sesuai madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad adalah 20 rakaat, atau sesuai madzhab Malik 36 rakaat, atau 13, atau 11 maka itu baik, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada penentuan batas akhir, sehingga memperbanyak jumlah rakaat dan mempersedikit dilakukan tergantung panjang atau pendeknya berdiri. ([71])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
وأُبَىٌّ بن كعب لما قام بهم وهم جماعة واحدة لم يمكن أن يطيل بهم القيام، فكثر الركعات ليكون ذلك عوضا عن طول القيام، وجعلوا ذلك ضعف عدد ركعاته، فإنه كان يقوم بالليل إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة، ثم بعد ذلك كأن الناس بالمدينة ضعفوا عن طول القيام، فكثروا الركعات، حتى بلغت تسعا وثلاثين
Ubai bin Ka’ab tatkala mengimami mereka yang saat itu mereka satu jamaah, tidak memungkinkan untuk memperlama berdiri, maka beliau perbanyak rakaat sebagai ganti berdiri lama, dan mereka menjadikannya dua kali lipat jumlah rakaat, karena sebelum itu ia melakukan qiyamulllail 11 atau 13 rakaat, kemudian setelah itu sepertinya orang-orang penghuni Kota Madinah tidak mampu berdiri lama, maka mereka perbanyak rakaat, hingga sampai 39 rakaat. ([72])
Kesimpulan :
Pertama : Telah terjadi Ijma’ (kesepakatan) ulama akan bolehnya shalat lebih dari 11 rakaát
Kedua : Tidak seorang ulamapun yang mu’tabar dari kalangan mutaqoddimin (terdahulu) yang melarang shalat tarawih lebih dari 11 rakaát, apalagi sampai mengatakan bidáh. Yang ada hanyalah ulama belakangan seperti As-Shonáni yang wafat tahun 1182 H
Ketiga : Atsar bahwa para sahabat sholat tarawih di masa Umar 20 rakaát adalah atsar yang shahih, dan tidak diketahui ada seorang ulamapun dari mutaqoddimin yang mendoifkan atsar ini.
Keempat : Para salaf di zaman para tabiín (seperti Áthoo, Saíd bin Jubair, Suwaid bin Ghofalah, Ibnu Abi Mulaikah, dan Daud bin Qois) mereka semuanya sholat tarawih lebih dari 11 rakaát.
Kelima : Hendaknya kita memahami hadits Aisyah tentang sholat malam Nabi 11 rakaát dengan pemahaman para salaf, yaitu bahwa bilangan tersebut bukanlah batasan.
Hukum Ta’qib (Shalat Tahajjud Lagi Setelah Tarawih)
Ibnu Qudamah berkata :
فَأَمَّا التَّعْقِيبُ، وَهُوَ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ التَّرَاوِيحِ نَافِلَةً أُخْرَى جَمَاعَةً، أَوْ يُصَلِّيَ التَّرَاوِيحَ فِي جَمَاعَةٍ أُخْرَى
“Adapun at-Ta’qiib, yaitu sholat sunnah berjamaáh lagi setelah sholat tarawih (dengan jamaáh yang sama), atau sholat tarawih lagi di jamaáh yang lain” ([73])
Dari sini Ibnu Qudamah menyebutkan dua model at-Táqiib ;
Pertama : Yaitu suatu jamaáh sholat tarwih di awal malam, setelah itu mereka sholat tarwih lagi di akhir malam
Kedua : Yaitu seseorang sholat tarwih pada suatu jamaáh, lalu ia sholat tarwih lagi setelah itu bersama jamaáh yang lain.
Dari sini kita tahu bahwasanya jika seseorang setelah sholat tarawih lalu sholat tahajjud sendirian (tanpa berjamaáh) maka diperbolehkan tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Yang diperselisihkan adalah kedua bentuk yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah di atas
Adapun hukum at-Ta’qiib di bulan Ramadhan maka ada perbedaan pandangan di kalangan salaf, sebagian membolehkan dan sebagian membenci :
1- Pendapat yang memakruhkan : Ini adalah pendapat Qatadah([74]) dan Al-Hasan, alasan Al-Hasan adalah karena memberatkan orang-orang, beliau mengatakan “Siapa yang memiliki kekuatan maka hendaklah ia lakukan sholat malam sendirian dan tidak dilakukan bersama orang-orang”, beliau juga mengatakan لَا تُمِلُّوا النَّاسَ “Janganlah kalian membuat orang-orang bosan”. ([75])
Pendapat ini juga dipilih sebagian Hanafiyah, Ishaq bin Rahawaih dan pendapat lama dari Imam Ahmad. Al-Kaasani mengatakan : Jika mereka selesai shalat tarawih kemudian ingin shalat tarawih lagi maka dilakukan sendiri-sendiri dan tidak berjamaah, karena shalat yang kedua adalah shalat sunnah mutlak, dan shalat mutlak berjamaah dibenci. ([76])
2- Pendapat yang membolehkan : ini adalah pendapat Anas bin Malik dan mayoritas Fuqohaa. Anas radhiallahu ánhu berkata tentang at-Ta’qiib:
لَا بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا يَرْجِعُونَ إِلَى خَيْرٍ يَرْجُونَهُ، وَيَبْرَءُونَ مِنْ شَرٍّ يَخَافُونَهُ
“Tidak mengapa, karena mereka kembali pada kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari keburukan yang mereka takuti”. ([77])
Ibnu Rojab berkata :
وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ بِحَالٍ
“Mayoritas fuqohaa’ berpendapat bahwa at-Ta’qiib tidaklah makruh sama sekali”([78]).
Dan ini adalah pendapat yang mu’tamad dalam madzhab hanabilah.
Dan pendapat jumhur ulama adalah yang lebih tepat, berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
PERTAMA : Asal hukum tarawih di bulan Ramadhan adalah sholat malam (qiyamul lail) yang dikerjakan secara berjamaáh. Bahkan Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah sholat dan diam-diam para sahabat bermakmum kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam. Karenanya apa yang dikerjakan Nabi shallallahu álaihi wasallam tatkala sholat malam sendirian boleh dipraktikan secara berjamaah.
Dan telah datang dalam hadits-hadits bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam membolehkan sholat lagi setelah sholat witir([79]). Diantaranya :
Pertama : Hadits Aisyah dimana Nabi shallallahu álaihi wasallam shalat 11 rakaat (langsung witir 9 rakaat setelah itu beliau sholat 2 rakaat). Aisyah berkata :
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ
“Dahulu kami menyiapkan siwak dan air untuk bersuci beliau, Allah membangunkan beliau pada malam hari dengan kehendak-Nya, beliau pun bersiwak dan shalat 9 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat ke 8, beliau berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian berdiri dan melanjutkan rakaat ke 9, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau salam dengan salam yang kita dengar, kemudian shalat 2 rakaat setelah salam dalam keadaan duduk, maka semuanya adalah 11 rakaat wahai anakku. ([80])
Kedua : Nabi juga pernah sholat 9 rakaát, yaitu beliau sholat 7 rakaát setelah itu beliau sholat lagi 2 rakaát.
Berdasarkan kelanjutan hadits Aisyah di atas juga:
فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Ketika Nabi semakin berusia dan gemuk, beliau witir dengan 7 rakaat, kemudian beliau melakukan 2 rakaat seperti di awal, sehingga semuanya 9 rakaat wahai anakku”. ([81])
Ketiga : Nabi juga pernah sholat 13 rakaat, yaitu beliau sholat 8 rakaát, lalu witir 3 rakaát, lalu sholat lagi 2 rakaát.
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
Dari Abu Salamah, ia bertanya kepada Aisyah tentang shalat rasulullah, maka ia menjawab : beliau shalat 13 rakaat, shalat 8 rakaat kemudian witir, setelah itu shalat dua rakaat dengan duduk, dan jika ingin ruku’ maka beliau berdiri dan ruku’, kemudian shalat dua rakaat antara adzan dan iqamah shalat subuh. ([82])
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas maka para ulama berkesimpulan bolehnya sholat malam lagi setelah witri. Imam Nawawi berkata,
إذَا أَوْتَرَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ نَافِلَةً أَمْ غَيْرَهَا فِي اللَّيْلِ جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ وَلَا يُعِيدُ الْوِتْرَ
“Jika seorang melakukan witir kemudian ingin shalat sunnah atau lainnya pada malam itu juga maka diperbolehkan tanpa dibenci dan tidak perlu mengulang witir”([83])
Catatan :
Tentu yang terbaik adalah seorang menutup sholat malamnya dengan witir. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar, dimana Rasulullah bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا.
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir”. ([84])
Namun jika seseorang sudah melakukan shalat malam beserta witirnya di awal atau pertengahan malam kemudian ingin melakukan shalat lagi hukumnya diperbolehkan. Dan jika melakukan shalat lagi maka tidak perlu mengulang witir dua kali, cukup dengan witir yang dilakukan di awal, berdasarkan hadits Thalq bin Ali, beliau mendengar rasulullah bersabda:
لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. ([85])
Ibnu Hazm mengatakan :
وَالْوِتْرُ آخِرَ اللَّيْلِ أَفْضَلُ وَمَنْ أَوْتَرَ أَوَّلَهُ فَحَسَنٌ، وَالصَّلاَةُ بَعْدَ الْوِتْرِ جَائِزَةٌ، وَلاَ يُعِيْدُ وِتْراً آخَرَ
“Witir di akhir malam lebih utama, siapa yang witir di awal malam maka bagus, shalat setelah witir hukumnya boleh, dan janganlah ia mengulang witir lagi”. ([86])
Demikian juga Nabi shallallahu álaihi wasallam membolehkan sholat malam sama witir, setelah itu istirahat tidur, dan melanjutkan lagi jika telah bangun.
Dalam hadits Tsauban Rasulullah memerintahkan shalat dua rakaat setelah witir:
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ فَقَالَ إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جَهْدٌ وَثِقَلٌ فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ فَإِنِ اسْتَيْقَظَ وَإِلاَّ كَانَتَا لَهُ
Tsauban maula rasulullah berkata : “Dahulu kami bersama rasulullah dalam safar, beliau berkata : “Sesingguhnya safar ini berat dan melelahkan, jika salah satu dari kalian melakukan witir maka shalatlah dua rakaat, jika dia bangun maka (bisa melakukan shalat lagi) dan jika tidak maka shalat itu sudah cukup. ([87])
Imam Ibnu Khuzaimah berkata sebelum menyebutkan hadits di atas:
بَابُ ذِكْرِ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ الْوِتْرِ مُبَاحَةٌ لِجَمِيعِ مَنْ يُرِيدُ الصَّلَاةَ بَعْدَهُ، وَأَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا بَعْدَ الْوِتْرِ لَمْ يَكُونَا خَاصَّةً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ أُمَّتِهِ، إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَنَا بِالرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ، أَمْرَ نَدْبٍ وَفَضِيلَةٍ، لَا أَمْرَ إِيجَابٍ وَفَرِيضَةٍ
“Bab dalil bahwa shalat setelah witir diperbolehkan bagi siapa saja yang ingin shalat setelahnya, dan dua rakaat yang dikerjakan oleh Nabi setelah witir bukan khusus bagi nabi tanpa umat beliau, karena nabi telah memerintahkan kita melakukan dua rakaat tersebut setelah witir dengan perintah bersifat anjuran dan keutamaan, bukan perintah yang bersifat wajib”. ([88])
Demikian juga hadits ini menunjukan boleh ada jeda antara dua shalat malam. Karena dalam lafadz hadits tersebut فَإِنِ اسْتَيْقَظَ yaitu “jika bangun dari tidur” berarti boleh ada jeda waktu antara kedua shalat malam tersebut sekalipun jeda dengan tidur.
KEDUA : Para sahabat pernah meminta Nabi untuk sholat tarwih lagi padahal Nabi shallallahu álaihi wasallam telah selesai dari tarwih, dan tentu telah selesai dari sholat witir. Dan Nabi tidak mengingkari permintaan mereka. Ini menunjukan bahwa para sahabat memahami tidak mengapa at-Ta’qib, yaitu melakukan shalat tarwih lagi setelah shalat tarwih yang pertama meskipun jamaáhnya sama.
Abu Dzar radhiallahu ánhu berkata :
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ».
“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7 hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5 hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa malam ini ([89]), maka beliau mengatakan “Sesungguhnya jika seorang shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam”. ([90])
KETIGA : Praktik sebagian sahabat (yaitu Tholq bin Ali radhiallahu ánhu) yang pernah sholat tarwih dua kali dengan jamaah yang berbeda. Dan ini adalah salah satu dari 2 makna at-Ta’qib yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah.
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ».
Qais bin Thalq berkata: Thalq bin Ali mengunjungi kami pada satu hari Bulan Ramadhan dan sore masih bersama kami lalu berbuka dan mengimami shalat kita pada malam itu, beliau witir bersama kami kemudian pergi ke masjidnya dan shalat mengimami para sahabatnya, ketika hendak witir beliau menyuruh seorang maju dengan berkata: shalatlah witir bersama para sahabatmu karena aku mendengar Rasulullah bersabda “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. ([91])
Sahabat Tholq bin Áli dahulu melakukan shalat malam dua kali, yang pertama di tempat ini dan yang kedua di tempat lain
KEEMPAT : Jika seseorang boleh sholat malam tanpa berhenti dari ba’da isya hingga jam 3 subuh, maka tentu boleh juga jika ia sholat 2 jam, lalu istirahat 3 jam (baik tidur maupun tidak tidur), lalu melanjutkan lagi 2 jam.
Terlebih lagi istilah “Tarawiih” adalah istilah yang baru yang tidak ada di zaman Nabi, akan tetapi sudah di zaman para salaf, karena mereka dahulu setiap kali sholat malam di bulan Ramadhan 4 rakaát maka merekapun istirahat, lalu mereka melanjutkan lagi 4 rakaát lalu istirahat lagi. Istirahat tersebut dalam bahasa Arab adalah التَّرْوِيْحَة (at-Tarwiihah), maka munculah istilah التَّرَاوِيْحُ (at-Tarawiih) yang artinya adalah kumpulan dari istirahat-istirahat mereka tatkala sholat malam.
KELIMA : Di zaman Nabi shallallahu álaihi wasallam bahkan para sahabat sholat berkelompok-kelompok kecil (berjamaah-jamaah) di masjid Nabawi dalam satu waktu([92]). Dan ini juga terjadi hingga di zaman Umar bin al-Khottob. Lalu akhirnya Umar menggabungkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaáb([93]).
Sisi pendalilan di sini adalah para sahabat tidak memandang terlarangnya berbilangnya jamaáh sholat tarawih. Yang penting tidak menimbulkan kegaduhan.
Jika para sahabat membuat beberapa jamaah dengan masing-masing imamnya dalam satu waktu dan dalam satu masjid, maka lebih boleh lagi melakukan lebih dari satu jamaah dengan jeda waktu dan waktu yang berbeda.
Jawaban atas dalil pendapat yang memakruhkan shalat ta’qib
Adapun alasan yang digunakan oleh Al-Hasan yang membenci shalat ta’qib maka alasan sebenarnya tidak dibenci karena shalatnya, namun karena takut memberatkan manusia. Maka jika orang-orang tidak merasa berat dan tidak merasa bosan tentu tidak mengapa.
Adapun Al-Kasani beliau tidak melarang kalau melakukannya sendiri, dengan alasan shalat sunnah mutlak tidak boleh dilakukan berjamaah, maka ini adalah kaidah Hanafiyah yang menyelisihi jumhur ulama, sehingga ini adalah berdalil dengan sesuatu yang masih diperdebatkan, yang menjadikan dalil pendapat ini lemah.
Abu Nashr Al-Marwazi berkata : “Ashaburra’yi (yaitu madzhab Hanafi) membenci shalat sunnah berjamaah kecuali qiyam Ramadhan dan shalat gerhana matahari, ini adalah pendapat yang menyelisihi sunnah; karena telah tsabit dari Rasulullah beliau shalat sunnah berjamaah di luar bulan Ramadhan baik malam maupun siang hari, dan dilakukan juga oleh sejumlah sahabat beliau”. ([94])
Adapun pendalilan dengan sabda Rasulullah :
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا.
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir”. ([95])
Sehingga sholat ta’qiib menjadi makruh karena terjadi sholat lagi setelah witir, maka bisa dijawab bahwa perintah beliau di sini adalah menunjukkan sunnah bukan wajib, karena yang shahih dari sunnah Nabi baik perbuatan maupun ucapan beliau adalah membolehkan shalat setelah melakukan witir dan sudah kita sebutkan di atas.
Fatwa Ulama kontemporer yang membolehkan at-Ta’qiib
- Lajnah Ad-Daimah dan didalamnya ada Syaikh Ibnu Bāz pernah ditanya tentang masalah ini dan jawabannya adalah boleh.
Diperbolehkan membagi shalat qiyam Ramadhan menjadi dua bagian: satu bagian dilakukan di awal malam dan diringankan sebagai shalat tarawih dan bagian kedua dikerjakan di akhir malam dan dipanjangkan sebagai shalat tahajjud; karena Nabi di sepuluh akhir Ramadhan melakukan tahajjud lebih semangat dan mencari keutamaan malam lailatul qadr. Adapun yang mengatakan tidak boleh, maka menyelisihi petunjuk nabi dan para salaf. ([96])
- Syaikh Utsaimin ketika ditanya beliau menjawab : Yang saya pandang kuat adalah shalat bersama imam sampai salam, saat imam salam witir ia tambah satu rakaat lagi supaya witir tersebut berubah menjadi genap, lalu witir bersama imam kedua di akhir malam. Dengan demikian dia telah menerapkan sabda Rasulullah : “Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir”. ([97])
- Syaikh Shalih Al-Fauzan ketika ditanya juga menjawab dengan boleh dan tidak perlu mengulang witir lagi, tapi beliau berpendapat melakukan dua witir lebih utama, karena yang lebih utama menurut beliau adalah mengikuti imam. ([98])
FOOTNOTE:
([1]) HR. Bukhori 2/24 No. 990 dan Muslim 1/516 no. 749
([3]) Lihat: Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah 27/289
([4]) HR. Bukhori 2/24 no 990 dan Muslim 1/516 no. 749
([5]) HR. Bukhori no. 512 dan Muslim no. 512
([7]) Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah 2/118, Al-Mubdi’ Syarhul Muqni’ 2/6, Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zaadil Mustaqni’ 1/112, Syarh Al-Muntahaa Al-Iroodaat 1/237
([9]) Lihat Majmu’ Fatawa Wa Rosaaila Al-‘Utsaimin 14/262-264
وَالْمُرَادُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ
“Dan yang dimaksud dengan shalat di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih”. (Syarhu An-Nawawi ‘Ala Muslim 6/39)
([11]) Lihat Lisaanul ‘Arab 2/462
([12]) HR. Ath-Thobroni Dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Awsath No. 8669
([13]) HR. Ath-Thobroni dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath No. 8670
Hadits ini lemah karena terdapat perowi yaitu Ibnu Lahi’ah, akan tetapi Ibnu Hajar menghasankannya karena ada riwayat sebelumnya yang menguatkannya. Lihat: at-Talkhis al-Habir 2/42
Berkata Mujahid, ‘Alqomah, dan Al-Aswad, Al-Laits, dan Al-Azhari bahwa tahajjud setelah bangun dari tidur. (Lihat: At-Tafsir Al-Wasith karya al-Wahidi an-Naisabury 3/121)
([16]) HR. Muslim 2/821 No. 1163
([17]) Shohih Ibn Khuzaimah 2/176 no. 1135, dan dihasankan oleh Al-Albani
([18]) HR. Ibnu Majah no 3251 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([19]) Lihat Syu’abul Iman no. 10058
([20]) Lihat: Fathul Baari 3/27
([21]) Ini adalah pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa shalat witir hukumnya wajib, barang siapa yang meninggalkannya hingga masuk waktu subuh maka ia berdosa dan wajib baginya untuk megqodho. (Lihat: al-majmu’ syarhul muhadzdzab 4/19)
([23]) HR. Imam Ahmad 39/271 no. 23851, dan sanadnya shohih
([24]) HR. Muslim 1/520 no. 755
Berkata Imam An-Nawawi setelah menyebutkan hadits di atas:
فِيهِ دَلِيلٌ صَرِيحٌ عَلَى أَنَّ تَأْخِيرَ الْوِتْرِ إِلَى آخِرِ اللَّيْلِ أَفْضَلُ لِمَنْ وَثِقَ بِالِاسْتِيقَاظِ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَنَّ مَنْ لَا يَثِقُ بِذَلِكَ فَالتَّقْدِيمُ لَهُ أَفْضَلُ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَيُحْمَلُ بَاقِي الْأَحَادِيثِ الْمُطْلَقَةِ عَلَى هَذَا التَّفْصِيلِ الصَّحِيحِ الصَّرِيحِ
“Di dalamnya terdapat dalil yang sangat jelas bahwa mengakhirkan witir hingga akhir malam lebih utama bagi yang yakin bisa bangun di akhir malam, dan barang siapa yang tidak yakin terhadap hal tersebut maka memajukan (shalat di awal malam) lebih utama baginya, dan ini adalah yang benar, dan membawakan sisa hadits-hadits yang mutlaq kepada perincian yang jelas dan benar ini.” (Syarhu An-Nawawi Alaa Muslim 6/35)
([25]) HR. Bukhori 2/24 no 990 dan Muslim 1/516 no. 749
([26]) HR. Abu Dawud dalam sunannya 2/62 1422, dan dishohihkan oleh Al Albani
([27]) HR. Hakim dalam Al-Mustadrok ‘Alas Shohihain 1/447 no 1140
(وَأَدْنَى الْكَمَالِ) فِي الْوِتْرِ (ثَلَاثُ) رَكَعَاتٍ (بِسَلَامَيْنِ)
“Minimal kesempurnaan dalam shalat witir adalah 3 raka’at dengan 2 kali salam.” (syarhu muntahal irodat 1/239)
Terdapat sebuah hadits yang zhohirnya melarang shalat witir dengan tiga raka’a, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh -radhiyallahu ‘anhu-:
«لَا تُوتِرُوا بِثَلَاثٍ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ، أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ، أَوْ بِسَبْعٍ»
“Janganlah melakukan sholatwitir dengan 3 raka’at menyerupai sholat maghrib, witirlah dengan 5 atau 7 raka’at!” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrok ‘Alas Shohihain 1/446 no 1138)
Terkandung di dalamnya larangan melakukan sholat witir dengan 3 raka’at, maka para para ulama menjelaskan sisi pelarangannya, dijelaskan oleh Mamud Muhammad Khotthob As-Subki bahwa itu ada dua kemungkinan:
Pertama: Larangan tersebut adalah shalat tiga rakaat dengan dua tasyahud dan satu salam, ini lebih utama dan menggabungkan banyak hadits.
Kedua: Larangan tersebut bersifat makruh, dibawa kepada 3 raka’at yang menyebabkan meninggalkan shalat malam, akan tetapi ini menyelisihi zhohir hadits. (Al-Manhal Al-‘Adzbu Al-Maurud syarhu Sunan Abi Dawud 8/49)
Maka dari sini kita ketahui pelarangan shalat witir dengan tiga raka’at apabila dilakukan persis seperti shalat maghrib, yaitu dua kali tasyahhud dan satu kali salam. Adapun jika dilakukan dengan menyelisihi tata cara shalat maghrib maka boleh.
([29]) HR. Muslim 1/508 no 737
([30]) HR. An-Nasai No. 1719, dishohihkan Oleh Al-Albani
([32]) Sunan Ibn Majah 1/376 No 1191, Dishohihkan Oleh Al-Albani
([33]) Sebagaimana yang disampaikan dewan fatawa al-lajnah ad-daimah: “Batasan minimal shalat witir adalah satu raka’at dan tidak ada batasan untuk maksimalnya.”(fatawa al-lajnah ad-daimah 7/174 )
([34]) Mushonnaf Abdurrozzaq 4/260 no. 7730
([35]) Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz:
“Yang sunnah adalah mengqodhonya di waktu dhuha setelah terangkatnya matahari dan sebelum ia berada di posisi tengah-tengah, dikerjakan dengan genap bukan ganjil, jika kebiasaanmu berwitir dengan tiga raka’at di malam hari kemudian engkau tertidur atau terlupa maka disyariatkan bagimu untuk mengqodhonya di waktu siang empat raka’at dengan dua kali salam, dan jika kebiasaanmu berwitir lima raka’at di waktu malam hari kemudian engkau tertidur atau terlupa maka disyariatkan bagimu untuk mengqodhonya di waktu siang enam raka’at dengan tiga kali salam… sebagaimana shahih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa:
«كَانَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ، أَوْ غَيْرِهِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً»
“Jika beliau luput dari shalat malam dikarenakan sakit atau yang lainnya, beliau shalat di waktu siang dua belas raka’at.” ([35])
Kebiasaan beliau adalah melakukan shalat sebelas raka’at, dan sunnah untuk shalat qodho dengan bilangan genap dan dua raka’at – dua raka’at berdasarkan hadits yang mulia ini dan berdasarkan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa salam: “Shalat malam dan shalat siang dua raka’at dua raka’at” diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashabus Sunan dengan sanad yang shohih dan asalnya dari shohihain dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhumaa, akan tetapi tanpa penyebutan “siang”, dan tambahan ini shahih menurut ulama-ulama yang kami sebut barusan, mereka adalah Ahmad dan Ashabus Sunan. Wallahu waliyyut tawfiq. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 30/47)
([39]) Ikmalul Mu’lim Syarh Shahih Muslim 3/48
([41]) Masail Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih 2/755
([42]) As-Syarhu Al-Kabir 4/267
([43]) Lihat Syarh Shahih Muslim 6/19
([44]) Mukhtashar Qiyamul Lail hlm. 222
([45]) Tharh At-Tatsrib fi Syarh Taqrib 3/50
([46]) Adapun tiga ulama (Imam Malik, Ibnul ‘Arobi, dan As-Shonáani) yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani bahwa mereka melarang sholat lebih dari 11 rakaát, maka penukilan tersebut kurang tepat.
Pertama : Al-Imam Malik yang masyhur di madzhab Malik justru menganjurkan lebih dari 11 rakaát. Adapun nukilan Syaikh Al-Albani dari Imam Malik melalui jalur seorang ulama syafiíyah yang bernama al-Juuri, maka beliau (Syaikh Al-Albani) juga tidak bisa memastikan siapakah al-Juuri tersebut, karena banyak ulama yang bernisbahkan kepada al-Juuri. Setelah itu harus diketahui terlebih dahulu bagaimanakah kedudukan al-Juuri dikalangan para ulama. Demikian juga jika tentu penukilan tentang pendapat Imam Malik dari kitab-kitab ulama Malikiyah lebih kuat daripada yang dinukil dari seorang ulama bermadzhab syafií.
Kedua : Ibnul Árobi, justru beliau menyatakan dengan tegas bahwa sholat malam tidak ada batasan jumlah rakaatnya. Beliau berkata :
وَلَيْسَ فِي قَدْرِ رَكْعَتِهَا حَدٌّ مَحْدُوْدٌ
“Dan tidak ada batasan tertentu pada jumlah rakaát sholat malam” (Áaridhotul Ahwadzi 4/19)
Adapun pernyataan Ibnul Árobi yang dinukil oleh Asy-Syaikh al-Albani maka maksudnya jika memang sholat malam itu ada batasannya maka ikutlah yang dilakukan oleh Nabi yaitu 11 rakaát. Akan tetapi telah jelas bahwa sebelumnya -di halaman yang sama- Ibnul Árobi telah menegaskan bahwa sholat malam tidak ada batasan jumlah rakaátnya.
Ketiga : As-Shonáani, maka memang jelas beliau memandang bahwa “menganggap jumlah 20 rakaat sebagai sunnah” itulah yang bidáh. As-Shonáni berkata :
نَعَمْ قِيَامُ رَمَضَانَ سُنَّةٌ بِلَا خِلَافٍ، وَالْجَمَاعَةُ فِي نَافِلَتِهِ لَا تُنْكَرُ وَقَدْ ائْتَمَّ ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَغَيْرُهُ بِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ لَكِنَّ جَعْلَ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ، وَالْكَمِّيَّةِ سُنَّةً، وَالْمُحَافَظَةَ عَلَيْهَا هُوَ الَّذِي نَقُولُ إنَّهُ بِدْعَةٌ
“Memang benar bahwa sholat malam di bulan Ramadhan adalah sunnah tanpa ada khilaf, dan dikerjakan secara berjamaah adalah sunnah tidak diingkari -karena Ibnu Ibaas dan yang lainnya pernah bermakmum kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam sholat malam-. Akan tetapi menjadikan cara sholat dan jumlah (20 rakaat) sebagai sunnah (Nabi) dan kontinyu dalam malakukannya itulah yang kami katakan sebagai bidáh” (Subulus Salam 1/345)
Yang perlu diperhatikan bahwa di Subulus Salam :
Pertama : As-Shonáni membenarkan riwayat bahwa Umar mengumpulkan orang-orang untuk sholat 23 rakaát.
Kedua : Beliau menekankan bahwa tidak hadits yang marfu’ (dari Nabi) bahwasanya Nabi sholat malam 23 raka’at, semua hadits yang datang tentang hal tersebut adalah dho’if. Ini yang menjadikan beliau menekankan bahwa menganggap sholat 20 rakaat sebagai sunnah adalah anggapan yang bid’ah.
Ketiga : Meskipun beliau menetapkan bahwa 20 rakaat telah datang dari Umar bin Al-Khottob namun beliau memandang bahwa tidak wajib mengikuti Umar, yang wajib adalah mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 11 raka’at.
Tentu pendapat As-Shon’ani ini kurang tepat, lagi pula beliau termasuk ulama mutaakhirin (belakangan) yang wafat di abad ke 12 Hijriyah.
([47]) HR. Bukhari no 2031 dan Muslim no 1757
([48]) HR. Muslim dalam shahihnya no 749
([49]) Shahih Ibn Khuzaimah no 1110, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh al-A’dzomi
([50]) HR. Abu Dawud no : 1441, An-Nasa’I no : 1679, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no : 1101, Ibnu Hibban dalam shahihnya. Dishahihkan Ad-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarat 8/156, Syaikh Al-Albani dalam shahih abu dawud 5/184.
([51]) Sebagaimana penjelasan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 2/349
([52]) HR. Abu Dawud no 1377 dan Nasa’i no 1364, dishahihkan syaikh Al-Albani dalam shahih wa dhaif Sunan Abu Dawud.
([53]) HR. Ahmad no 17026, Nasa’I no 584 dan ini adalah lafadz beliau, Ibnu Majah 1251. Dishahihkan Ibnu Khuzaimah 260 dan Al-Hakim 583, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud 5/21 menshahihkan sanad hadits ini.
([54]) Dzakhiratul ‘Uqba fi Syarh Al-Mujtaba 7/423
([57]) At-Tamhid Ibnu Abdil Barr 8/114
([58]) At-Tamhid Ibnu Abdil Barr 2/63
([59]) Hadits ini dikeluarkan oleh Ali bin Ja’ad dalam Musnad beliau no 2825, Al-Baihaqi dalam Sunan beliau 2/496, Al-Firyabi dalam As-Shiyam 176.
([60]) Adapun anggapan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa Al-Imam At-Tirmidzi mengisyaratkan akan dhoifnya atsar ini -dengan dalil bahwa At-Tirmidzi mengatakan dengan shighot at-tamriid رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ وَعُمَرَ وَغَيْرِهِمَا- maka anggapan ini kurang tepat. Hal ini karena banyak sekali di kitab Sunan At-Tirmidzi beliau menghikayahkan hadits-hadits yang shahih bahkan yang terdapat di shahihain dengan shighoh at-Tamriidh, dan tentu maksud beliau bukan untuk mengisyaratkan akan lemahnya tetapi hanya sekedar untuk menghikayatkan jalur-jalur periwayatan hadits.
Misalnya At-Tirmidzi berkata :
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam bahwasanya beliau membaca surat at-Thuur di sholat magrib” (Sunan At-Tirimidzi 1/403).
Padahal hadits tentang Nabi membaca surat at-Thuur di sholat maghrib diriwayatkan oleh Al-Bukhari no 4854.
Demikian juga anggapan syaikh Al-Albani bahwasanya Al-Imam Asy-Syafií mendoifkan atsar Umar ini, beliau berdalil dengan perkataan Syafií yang dinukil oleh Al-Muzani di Mukhtashornya bahwasanya Syafií berkata : رُوِيَ عَنْ عُمَرَ “Diriwayatkan dari Umar”
Maka berikut nukilan perkataan Asy-Syafií selengkapnya :
فَأَمَّا قِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَصَلَاةُ الْمُنْفَرِدِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ وَرَأَيْتهمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَأَحَبُّ إلَيَّ عِشْرُونَ؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَكَذَلِكَ يَقُومُونَ بِمَكَّةَ وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ
“Adapun sholat malam di bulan Ramadhan maka sholat sendirian lebih aku sukai, dan aku melihat di Madinah mereka sholat malam 39 rakaát. Dan yang lebih aku sukai adalah 20 rakaát karena hal itu diriwayatkan dari Umar. Dan demikianlah mereka di Mekah sholat malam 20 rakaát dan mereka witir 3 rakaát”
Maka sangat jelas dalam perkataan Asy-Syafií di atas justru beliau membenarkan atsar Umar, karena pada perkataan di atas beliau sedang berdalil dengan atsar Umar sehingga beliau lebih memilih sholat tarawih dengan 20 rakaát.
Dan ternyata di Mukhtashor Al-Muzani banyak sekali perkataan Asy-Syafií dengan shighoh at-Tamriid akan tetapi riwayat yang beliau bawakan adalah shahih. Beliau menggunakan shighoh at-Tamriid hanya sekedar untuk menghikayatkan saja bukan bermaksud untuk mendhoifkan riwayat. Contohnya beliau berkata :
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُنْقَصَ عَمَّا رُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ بِالْمُدِّ وَاغْتَسَلَ بِالصَّاعِ»
“Dan aku suka agar air tidak kurang dari yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau berwudu dengan air seukuran mudd, dan beliau mandi dengan air seukuran shoo’”.
Padahal hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya no 325.
([61]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7770, Fadhail Ramadhan Ibnu Abi Dunya hlm. 79 no riwayat : 49. Sanad atsar ini sesuai dengan syarat (kriteria) Imam Muslim, dishahihkan Nawawi dalam Al-Majmu’ 4/32 dan Ibnul Iraqi di Tarhu At-Tatsrib 3/97.
([62]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7771
([63]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7773, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Ismail bin Abdul Malik dalam Mushannaf Abdurrazzaq no 7749, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Musa bin Nafi’ dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/271
([64]) HR. Baihaqi dalam Sunan beliau 2/496 no 4803, Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab beliau Ta’sisul Ahkam 2/287 mengatakan : Sanadnya shahih.
([65]) Lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 4/70
([66]) At-Tarikh Al-Kabir 9/28 tarjamah no 234
([67]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7683 dengan sanad shahih.
([68]) Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata :
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam, semuanya takut akan kemunafikan atas dirinya”(Shahih Al-Bukhari 1/18).
Diantara shahabat yang dijumpai oleh beliau adalah ; Aisyah, Asmaa’ binti Abi Bakar, Abu Mahdzuurah, Ibnu Ábbas, Abdullah bin Ámr, Ibnu Umar, Ibnu Az-Zubair, Úqbah bin al-Haarits, Ummu Salamah, Al-Miswar bin Al-Makhromah, dan Abdullah bin Ja’far. (Lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 5/89-90)
([69]) Majmu’ Fatawa 22/272 dan 23/113
([70]) Nailul Authar 3/66, Dar Al-Hadits
([72]) Majmu’ Al-Fatawa 23/113
([74]) Mushannaf Ibni Abi Syaibah no 7732
([75]) Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 7734
([76]) Bada’i Shana’i 3/156. Bahkan At-Tsauri berkata التَّعْقِيْبُ مُحْدَثٌ “At-Ta’qiib adalah muhdats” (Fathul Baari, Ibnu Rojab 9/175)
([77]) Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 7733
([78]) Lihat Fathul Bari, Ibnu Rajab 9/175
([79]) Imam Tirmidzi dalam Sunan beliau mengatakan :
لأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الوِتْرِ
“telah diriwayatkan lebih dari satu riwayat bahwa Nabi shalat setelah witir”,
Kemudian beliau menyebutkan riwayat Ummu Salamah tentang sholat Nabi setelah witir lalu beliau berkata :
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، وَعَائِشَةَ، وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan telah diriwayatkan semacam ini dari Nabi oleh abu umamah, aisyah dan lainnya”.
([80]) HR. Muslim no 1773, Ibnu Majah no 1191, Nasa’i no 1315.
([81]) Sama dengan hadits sebelumnya.
([82]) HR. Muslim no 738, Abu Dawud no 1352, Nasa’I no 1780, Ibnu Majah no 1196
([83]) Al-Majmu’ 4/16. An-Nawawi menjelaskan juga bahwa sholatnya Nabi shallallahu álaihi wasallam 2 rakaát setelah witir bukanlah menunjukan disunnahkan sholat 2 raka’at setelah witir sehingga seseorang selalu mendawamkannya, karena yang Nabi anjurkan adalah menjadikan sholat witir sebagai penutup. Akan tetapi maksud Nabi adalah untuk menjelaskan bahwa setelah witir masih boleh melaksanakan sholat sunnah (lihat al-Majmuu’ 4/17, lihat juga Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi 5/21)
([84]) HR. Bukhari no 998 dan Muslim no 749
([85]) HR. Tirmidzi no 470, Nasai no 1679 dan Abu Dawud no 1439, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahih Al-Jami’ no 7567
([87]) HR. ad-Darimi no 1584, Thahawi no 2011, Ibnu Hibban no 2577, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no 1106. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 4/646
([88]) Shahih Ibnu Khuzaimah 2/169
Asy-Syaikh al-Albani berkata mengomentari hadits ini yang menunjukan taroju’ (berubahnya pendapat) beliau :
وهذه فائدة هامة، استفدناها من هذا الحديث، وقد كنا من قبل مترددين في التوفيق بين صلاته صلى الله عليه وسلم الركعتين وبين قوله: ” اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا “، وقلنا في التعليق على ” صفة الصلاة ” (ص 123 – السادسة): ” والأحوط تركهما اتباعا للأمر. والله أعلم “.
وقد تبين لنا الآن من هذا الحديث أن الركعتين بعد الوتر ليستا من خصوصياته صلى الله عليه وسلم، لأمره صلى الله عليه وسلم بهما أمته أمرا عاما، فكأن المقصود بالأمر بجعل آخر صلاة الليل وترا، أن لا يهمل الإيتار بركعة، فلا ينافيه صلاة ركعتين بعدهما، كما ثبت من فعله صلى الله عليه وسلم و أمره. والله أعلم.
“ini adalah faidah penting yang bisa kami ambil faidah dari hadits ini, karena sejak dahulu kami bimbang dalam menggabungkan antara beliau shalat dua rakaat dan sabda beliau “Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir” dan dahulu kita katakan dalam ta’liq (Sifat Shalat hlm. 123 –cetakan ke 6) : yang paling hati-hati adalah meninggalkan dua rakaat tersebut dalam rangka mengikuti perintah beliau.
Dan sekarang sudah terang bagi kami dari hadits ini bahwa dua rakaat setelah witir bukanlah kekhususan beliau, karena beliau memerintahkan umatnya melakukan dua rakaat tersebut dengan perintah umum, seolah-olah yang dimaksud dengan perintah menjadikan akhir shalat malam witir adalah agar tidak mengabaikan witir dengan satu rakaat, maka tidak ada lagi pertentangan dengan shalat dua rakaat setelahnya, sebagaimana yang telah shahih dari perbuatan dan perintah beliau” (As-Shahihah 4/647)
([89]) Sebagaimana penjelasan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 2/349
([90]) HR. Abu Dawud no 1377 dan Nasa’i no 1364, dishahihkan syaikh Al-Albani dalam shahih wa dhaif Sunan Abu Dawud.
([91]) HR. Abu Dawud no : 1441, An-Nasa’I no : 1679, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no : 1101, Ibnu Hibban dalam shahihnya. Dishahihkan Ad-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarat 8/156, Syaikh Al-Albani dalam shahih abu dawud 5/184.
كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ فِي رَمَضَانَ أَوْزَاعًا، فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَضَرَبْتُ لَهُ حَصِيرًا، فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Dahulun orang-orang sholat di Masjid Nabawi di bulan Ramadhan dengan terpencar-pencar. Maka Nabipun memerintahkan aku lalu aku membentangkan baginya karpet maka beliaupun sholat di atasnya” (HR Abu Dawud no 1347 dan dihasankan oleh Al-Albani)
([93]) Dalam Shahih Al-Bukhari no 21010, Abdurrahman bin Ábdin al-Qoori berkata
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: «إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ» ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
“Aku keluar bersama Umar bin al-Khottob radhiallahu ánhu pada suatu malam di bulan Ramadhan menuju Masjid (An-Nabawi). Ternyata orang-orang sholat dengan terpencar-pencar. Seseorang sholat sendirian, dan seseorang sholat dan diikuti oleh sekelompok orang. Maka Umar berkata, “Menurutku seandainya aku kumpulkan mereka di atas satu Qori tentu lebih baik”. Lalu Umarpun bertekad, kemudian beliau mengumpulkan mereka diimami oleh Ubay bin Kaáb”.
([94]) Mukhtashar qiyamul lail, Al-Marwazi hlm. 212
([95]) HR. Bukhari no 998 dan Muslim no 749
([96]) Fatwa Lajnah Daimah, Bagian Kedua 6/81-83 fatwa no 19854, silahkan baca juga Fatwa Lajnah Daimah, Bagian Kedua 6/94-95 pertanyaan kedua dari fatwa no 18638
([97]) Majmu’ Fatawa wa Rasail Syakh Utsaimin 14/126, lihat juga di kitab yang sama 14/190-191, 14/125-126, 14/206-208