Takbiratul Ihraam
Disusun oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc, MA.
Penjelasan
Takbiratul ihram ([1]) adalah Ucapan (اللَّهُ أَكْبَرُ) ketika seseorang memulai shalat ([2]), bukan seperti yang difahami sebagian orang bahwasanya takbirotul ihrom adalah gerakan mengangkat tangan ketika memulai shalat.
Adapun mengangkat tangan ketika takbir maka hukumnya sunah, sehingga jika ditinggalkan tidak membatalkan shalat.
Dalil akan wajibnya takbiratul ihram adalah sabda Rasulullah -shallallaahu alaihi wa sallam- kepada seorang Sahabat yang belum faham tata cara shalat, setelah beliau mengatakannya kepadanya:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Ulangilah shalatmu, karena engkau belum shalat”
Setelah ia tidak mampu shalat lagi dengan benar, maka Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- pun mengajarinya tata cara shalat yang benar seraya berkata :
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke arah kiblat dan bertakbirlah….”([3])
“Ihram” secara bahasa artinya “pengharaman”. Disebut dengan Takbiratul ihram karena dengan melakukannya, seseorang diharamkan melakukan hal-hal yang sebelumnya dibolehkan, karena jika dilakukan maka dapat merusak shalat. ([4])
Hikmah dimulainya shalat dengan Takbiratul Ihram adalah mengingatkan bagi orang yang sedang shalat akan tingginya kedudukan orang yang sedang mendirikan ibadah shalat ini. Berhadapan dengan dzat yang Maha Sempurna, menandakan bahwa segala sesuatu rendah dihadapanNya. Hingga membuat hati dan anggota tubuh tunduk, menghilangkan gangguan hati dan memenuhinya dengan cahaya. ([5])
Hukum-hukum
Pertama : Hukum Takbiratul ihram ([6])
Takbiratul ihram merupakan rukun dalam shalat, sebagaimana yang telah disepakati oleh Jumhur ulama. ([7])
Hal ini berlandaskan hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.” ([8])
Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang mengharamkan dari segala hal yang merusak shalat adalah takbir. Hal ini juga menunjukkan bahwa seseorang belum dianggap masuk ke dalam shalat selama dia belum bertakbir (Takbiratul ihram). ([9])
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.” ([10])
Kedua : Syarat Sah Takbiratul Ihram
Diantara syarat sah dari Takbiratul ihram adalah mengucapkan (اللَّهُ أَكْبَرُ) beriringan dengan niat. Hendaknya takbiratul ihram diucapkan dan dibarengkan dengan niat. Ulama tidak berselisih dalam hal keutamaan mengiringi takbiratul ihram dengan niat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal mendahulukan niat sebelum takbir.
1- Wajib mengiringi niat dengan takbiratul ihram, menurut Syafi’iyyah, Malikiyyah pada pendapatnya yang lain dan Ibnu Mundzir. Hal ini berdasarkan firman Allah azza wa jalla:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. ([11])
Ayat ini menjelaskan keadaan mereka ketika beribadah. Keadaan tersebut menggambarkan sifat pelaku dan waku pekerjaan yaitu ikhlas yang merupakan niat. Rasulullah shallallahu ‘laihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amal bergantung kepada niat. Dan setiap orang tergantung apa yang diniatkannya. ([12])
2- Boleh mendahulukan niat dari takbir, menurut Hanafiyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Malikiyyah. Misalnya jika seseorang ketika wudhu berniat mengerjakan shalat dzuhur, tidak disibukkan dengan perbuatan apapun setelah nya seperti makan, minum, atau percakapan hingga sampai pada saat shalat belum menghadirkan niat, maka boleh baginya mendirikan shalat dengan niatnya tadi. Karena shalat merupakan ibadah, mendahulukan niat yang dia kerjakan sama halnya mendahulukan niat saat ingin mengerjakan puasa. Dan mendahulukan niat dari suatu perbuatan tidak berarti telah mengeluarkan dari perbuatan tersebut. Inilah yang digambarkan oleh Hanafiyyah dalam hal mengiringi takbiratul ihram dengan niat. ([13])
Inilah pendapat yang terkuat.
Adapun mengakhirkan niat dari takbiratul ihram, maka takbirnya tidak sah dan tidak sah pula shalatnya. Karena shalat merupakan ibadah yang tidak bisa terpisah-pisah. Seandainya dibolehkan mengakhirkan niat dari takbir, maka sebagian orang menganggap bahwa amalan yang tidak masuk dalam niat , bukanlah ibadah dan amalan yang masuk dalam niat merupakan ibadah. Inilah yang dikatakan oleh Hanafiyyah dan Malkiyyah. ([14])
Ketiga : Mengucapkan takbiratul ihram dengan berdiri
Diwajibkan bagi orang yang shalat mengucapkan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, para ulama telah sepakat dalam hal ini. ([15]) Berdasarkan hadits Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu dan hadits Abu Humaid As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam jika mendirikan shalat, maka beliau berdiri dengan tegak, mengangkat kedua tangannya seraya mengucapkan: “Allahu Akbar.” ([16])
Yaitu dengan menegakkan tulang punggung. Tidak diperbolehkan mengucapkan takbiratul ihram dalam keadaan duduk atau merunduk (membungkuk). ([17])
Gerakan
Bacaan Takbiratul Ihraam
Diantara syarat takbiratul ihram adalah mengucapkan lafadz (اللَّهُ أَكْبَرُ) dengan bahasa arab. Tidak diperbolehkan ketika takbiratul ihram mengucapkan selain bahasa arab bagi yang mampu mengucapkan bahasa arab. Adapun bagi yang tidak mampu mengucapkan bahasa arab, maka dibolehkan baginya mengucapkan takbir dengan bahasanya. Karena takbir merupakan bentuk dzikir kepada Allah. ([18]) Dan termasuk syarat sah yang berkaitan dengan takbir adalah hendaknya yang diucapkan adalah lafadz (اللَّهُ أَكْبَرُ) bukan dengan lafadz yang selainnya. ([19]) Dan hendaknya mendahulukan lafadz “Allah” sebelum mengucapkan lafadz “Akbar” dengan menjaga lafadz takbir dari kesalahan pengucapan dengan menambah atau mengurangi lafadz tersebut yang menyebabkan perubahan arti. ([20])
Hal ini berdasarkan:
1- Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.” ([21])
2- Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berdiri untuk shalat, maka beliau megucapkan: “Allahu Akbar.” ([22])
3- Hadits Abu Humaid As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam jika mendirikan shalat, maka beliau berdiri dengan tegak, mengangkat kedua tangannya seraya mengucapkan: “Allahu Akbar.” ([23])
4- Hadits Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu
إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ، فَيَضَعَ الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ
“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’.” ([24])
5- Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.” ([25])
6- Hadits Abu Sa’id Al-Khudry -radhiyallahu ‘anhu-, Nabi berkata
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: اللَّهُ أَكْبَرُ فَقُولُوا: اللَّهُ أَكْبَرُ
“Apabila imam mengucapkan: Allahu Akbar, maka ucapkanlah: Allahu Akbar.” ([26])
Yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mengucapkan lafadz “Allahu Akbar” tidak dengan yang lain. Para sahabat pun tidak ada satupun yang mengucapkan selain dari itu. Seandainya shalat tersebut sah dengan mengucapkan selain lafadz tersebut, pasti Rasulullah akan melakukannya meskipun hanya sekali seumur hidup, namun beliau tidak melakukannya. Dan tidak ada yang meriwayatkan satu pun hingga beliau meninggal dunia. Dan ini menunjukkan bahwa shalat tidak sah kecuali dengan lafadz ini. ([27])
FOOTNOTE:
([1]) Hanafiyyah lebih sering menyebutnya dengan Takbiratul Iftitaah atau At-Tahrimah (lihat: Al-Badai’ 1/130).
([2]) Lihat: Tuhfatul Fuqaha’ 1/124
([3]) HR. Bukhari 757, Muslim 397
([4]) Lihat: Kassyaful Qina’ 1/330.
([5]) Lihat: Kassyaful Qina’ 1/330.
([6]) – Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa takbiratul ihram merupakan bagian dan rukun shalat yang tidak akan sah kecuali dengannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآن
Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak ada percakapan manusia, akan tetapi dia merupakan tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an. (HR. Muslim no.537).
Jadi takbir seperti halnya membaca surat dalam shalat, yang merupakan rukun di dalam shalat (Al-Majmu’ 3/289, Al-Mughni 1/461).
- Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa takbiratul ihram merupakan syarat shalat di luar shalat dan bukan termasuk dalam shalat itu sendiri (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah 2/154). Hal ini berdasarkan firman Allah azza wa jalla :
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. (QS Al-A’la ayat 15)
Dan yang menunjukkan bahwa takbiratul ihram adalah karena dia tidak berulang-ulang seperti rukun shalat yang lainnya (Az-Zaila’i 1/103). Wallahu a’lamu bis showab.
([7]) Yaitu pendapat Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyyah (lihat: Adz-Dzakhirah 2/167, Nihayatul Muhtaj 1/459, Al-Uddah Syarhul ‘Umdah hal.89, Hasyiyah ibnu Abidin 1/437).
Dan sebagian yang lain seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hasan, Al-Hakam, Az-Zuhri dan Al-Auza’i mengatakan bahwa Takbiratul ihram merupakan sunnah. Mereka mengatakan bahwa takbir ruku’ sudah mencukupkan dari takbiratul ihram. Dan diriwayatkan oleh Malik yang menunjukkan bahwa takbiratul ihram bagi makmum merupakan sunnah. Adapun takbir bagi imam dan orang yang shalat sendirian hukumnya wajib (lihat: ‘Umdatul Qari 5/268).
([8]) HR. Abu Dawud no.61, Tirmidzi no.4 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([9]) At-Tamhid li Ibni Abdil Bar 18/318.
([10]) HR. Bukhari no.757, Muslim no.397.
([13]) Lihat: Maraqil Falah hal.119, Hasyiyah Al-Adawiy ‘ala syarhi Ar-Risalah 1/227.
([15]) Lihat: Al-Badai’ 1/131, Mughnil Muhtaj 1/151, Kassyaful Qina’ 1/330 dan Mawahibul Jalil 2/475.
([16]) HR. Tirmidzi no. 304 dan Al-Albani mengatakan hadits shahih.
([17]) Lihat: Al-Mughni 1/493.
([18]) Ini merupakan pendapat Malikiyyah, Hanabilah, Syafi’iyyah, Abu Yusuf dan Muhammad yakni dua sahabat Abu Hanifah (lihat: Ibnu Abidin 1/325, Al-Badai’ 1/131, Al-Majmu’ 3/301).
- Menurut Malikiyyah: “Tidak diperbolehkan mengucapkan takbiratul ihram dengan kalimat yang semakna dalam bahasa arab maupun bahasa asing, apabila tidak mampu maka gugur kewajibannya (lihat: Al-Mughni 1/462)
- Imam Abu Hanifah membolehkan mengucapkan terjemah dari takbiratul ihram baik bagi yang mampu mengucapkan bahasa arab ataupun tidak. Beliau mengatakan: “Seandainya seseorang bertakbir dengan bahasa asing padahal dia mampu berbahasa arab, maka shalatnya tetap sah (Al-Majmu’ 3/301).
([19]) Tidak ada khilaf ulama dalam masalah ini. Namun mereka berbeda pendapat, apabila yang diucapkan adalah lafadz-lafadz yang mengandung arti mengagungkan Allah azza wa jalla (lihat: Al-Kafi 1/199, Al-Mughni 1/333, Al-Majmu’ 3/298-320, Bidayatul Mujtahid 2/20).
- Malikiyyah dan Hanabilah berkata: “Tidak diperbolehkan kecuali dengan (اللَّهُ أَكْبَرُ) saja. Sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Al-Mughni 1/460).
- Syafi’iyyah sependapat dengan Malikiyyah dan Hanabilah. Dan salah satu pendapat yang masyhur di madzhab syafiíyah adalah dibolehkan memberikan tambahan dalam lafadz takbir seperti (اللَّهُ الأَكْبَرُ) yatiu ada tambahan ال pada lafal أَكْبَرُ. Hal itu dikarenakan lafadz yang diucapkan merupakan takbir dan tambahannya bertujuan untuk bersungguh-sungguh dalam mengagungkannya. Begitu juga lafadz semisalnya yang memiliki arti sifat-sifat Allah dan tidak ada jeda dalam melafadzkannya, seperti (اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ). Wallahu a’lam.
- Hanafiyyah menganggapnya sah, apabila mengganti ucapan takbiratul ihram dengan dzikir yang mengandung pujian dan pengagungan kepada Allah dan tidak ada tujuan yang lain, misalnya dengan (الله أجلُّ) atau (الله أعظمُ) atau (اللَّهُ الْكَبِيرُ) atau lafadz-lafadz lain yang berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla dalam surat Al-A’la ayat 15:
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.
Dan dikarenakan takbir merupakan bentuk pengagungan, maka dibolehkan mengucapkan lafadz yang mengandung arti pengagungan (Al-Badai’ 1/130).
- Abu Yusuf mengatakan Tidak diperbolehkan kecuali dengan lafadz yang terkandung dalam lafadz takbir yaitu ada 3: (اللَّهُ أَكْبَرُ), (اللَّهُ الأَكْبَرُ) dan (اللَّهُ الْكَبِيرُ). Dikecualikan bagi yang tidak mampu mengucapkan takbir dengan baik. Landasan mereka adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Pengharamnya adalah takbir. (lihat: Al-Badai’ 1/130)
([20]) Barang siapa yang mengucapkan “Aaallahu Akbar” dengan memanjangkan “a” pada lafadz Allah atau mengucapkan “Allahu Akbaaar” maka takbirnya tidak sah (Al-Mughni 1/461, Al-Majmu’ 3/292, Kassyaful Qina’ 1/330)
- Syafi’iyyah menuturkan sesungguhnya penambahan huruf wawu sebelum huruf hamzah dengan mengatakan “Allahu wa akbar” (اللَّهُ وَأَكْبَرُ) atau mengganti huruf hamzah dengan huruf wawu menjadi “Allahu wakbar” (اللَّهُ وَكْبَرُ) maka hal itu dapat membatalkan shalat (lihat: Al-Iqna’ 1/120, Al-Majmu’ 3/292).
- Malikiyyah menuturkan sesungguhnya penambahan huruf hamzah diantara lafadz takbir dan perubahan huruf wawu tidak membatalkan takbiratul ihram. (Al-Fawakih Ad-Diwani 1/204).
Penambahan tasydid huruf ra’ pada lafadz “Akbar”, maka hal itu membatalkan takbiratul ihram dalam shalat, menurut Malikiyyah dan apa yang difatwakan oleh Ibnu Razin dari Madzhab Syafi’i. Ar-Ramli dan Ibnu ‘Imad mengatakan: bahwa hal itu tidak membatalkan shalat karena tidak merubah makna (Nihayatul Muhtaj 1/440).
Jeda yang lama dalam mengucapkan lafadz “Allahu” dan “Akbar” dapat membatalkan takbiratul ihram dalam shalat. Adapun jeda yang sebentar, maka tidak membatalkan, menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah (Al-Majmu’ 3/292, Al-Iqna’ 1/120).
([21]) HR. Abu Dawud no.61, Tirmidzi no.4 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([22]) HR. Abu Dawud no.761, Tirmidzi no.3421 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([23]) HR. Tirmidzi no. 304 dan Al-Albani mengatakan hadits shahih.
([24]) HR. Abu Daud no. 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud.
([25]) HR. Bukhari no.757, Muslim no.397.
([26]) HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala–sh Shahihain 1/335 no 779
([27]) Lihat: Al-Majmu’ 3/303, Hasyiyah Ibnul Qayyim ‘ala sunan Abi Dawud 1/92-93.
Bahkan menurut Asy-Syaukany bahwa ber-takbiratul ihram dengan lafaz yang tidak berasal dari syariat adalah suatu perbuatan bid’ah. (Lihat: Shifatu Shalaati-n Nabiyyi Ma’khuudzatun min Mu’allafaati Syaikhi-l Islaam Asy-Syaukaany, hal: 63)