36. وَمَآ أَظُنُّ ٱلسَّاعَةَ قَآئِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّى لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا
wa mā aẓunnus-sā’ata qā`imataw wa la`ir rudittu ilā rabbī la`ajidanna khairam min-hā mungqalabā
36. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.
Tafsir :
Dia lebih nekat lagi dia mengatakan bahwa kiamat tidak akan datang. Para ulama mengatakan bahwa kawannya yang beriman telah menasihatinya agar ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahwasanya dia akan dihisab, dan nanti akan ada hari kiamat([1]). Teman yang kafir ini membantah nasihat kawannya yang beriman dengan mengatakan: “menurutku hari kiamat tidak akan ada”.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا
“dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.
Dia sesumbar dengan perkataan yang lebih dahsyat lagi, yaitu dia berkata: “Seandainya aku mati dan ada hari kiamat lalu aku dibangkitkan maka aku akan masuk surga dan surganya lebih bagus dari surgaku saat ini”.
Ada dua pendapat di kalangan para ulama mengenai sebab ucapan orang ini:
Pendapat pertama: lelaki yang kafir ini mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya dia mengatakan وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي “dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku”. Ini menunjukkan bahwasanya dia percaya ada Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah kondisi kaum musyrikin Quraisy yang secara umum percaya adanya Allah subhanahu wa ta’ala, hanya saja mereka ragu akan adanya hari kebangkitan. Mereka percaya adanya Allah subhanahu wa ta’ala dan juga mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun mereka berharap agar ibadah mereka dibalas di dunia dan tidak perlu untuk dibalas di akhirat, karena mereka tidak percaya dengan hari kiamat. Oleh karenanya kita dapati mereka melakukan ibadah umrah, haji, dan puasa akan tetapi mereka mengharapkan ibadah mereka dibalas di dunia saja. Itulah orang-orang kafir Quraisy yang keadaannya sama dengan lelaki kafir yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan perumpamaan dalam ayat ini. Dia mengatakan tidak akan ada hari kiamat dan juga seandainya ada hari kiamat maka dia akan masuk surga yang bentuknya lebih indah dari kebunnya saat ini. Dengan kebodohannya juga dia mengqiyaskan antara kekayaan dunia dengan kekayaan akhirat, seakan-akan otaknya yang bodoh berkata: jika Anda di dunia adalah orang kaya maka Anda di akhirat juga akan menjadi orang kaya([2]). Menurutnya ini merupakan sebuah kelaziman, padahal tidak ada kelaziman dalam hal tersebut, karena orang yang kaya di dunia tidak mesti masuk surga dan orang yang miskin di dunia tidak mesti masuk neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
خَافِضَةٌ رَافِعَةٌ
“(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).” QS. Al-Waqi’ah: 3
Mungkin saja di dunia ini ada orang yang kaya, hebat, atau pejabat namun ketika di akhirat Allah subhanahu wa ta’ala rendahkan mereka. Begitu juga sebaliknya, mungkin di dunia ini ada orang yang tidak dianggap karena tidak memiliki harta dan dia disepelekan, diejek, dan dihinakan oleh orang lain, namun pada hari kiamat Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat mereka menjadi orang-orang yang mulia. Jadi karena kebodohannya dia menganalogikan bahwa orang yang kaya di dunia maka dia akan kaya dia akhirat juga, sehingga dia berkata dengan sombongnya
وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا
“dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.
Pendapat kedua: bahwa lelaki kafir ini sedang mengejek temannya yang beriman (yang mengatakan bahwa akan ada hari kiamat) ([3]). Dengan nada mengejek, lelaki yang kafir tersebut berkata bahwa tidak ada hari kiamat dan sekalipun ada hari kiamat maka dia akan masuk surga. Ini adalah pendapat yang lebih kuat, bahwasanya dia sedang mengejek kawannya yang beriman (yang miskin yang sedang menasihatinya). Ini juga dalil yang menunjukkan mulianya orang yang miskin tersebut, walaupun dia miskin dan tidak memiliki apa-apa namun sebagai konsekuensi orang yang beriman dia tetap menasihati temannya yang kafir. Betapa banyak orang tidak berani menasihati orang kaya dan tidak berani ngomong di hadapannya. Namun orang miskin yang beriman yang disebutkan dalam ayat ini dia adalah orang yang berani, dia menasihati kawannya yang kaya yang kafir, meskipun balasan yang ia dapatkan adalah hinaan dan cercaan.
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/404