110. قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
qul innamā ana basyarum miṡlukum yụḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid, fa mang kāna yarjụ liqā`a rabbihī falya’mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi’ibādati rabbihī aḥadā
110. Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Tafsir :
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti yang lainnya, maksudnya beliau tidak mengetahui ilmu gaib([1]). Oleh karenanya sebagian ulama menyebutkan tafsir dari ayat ini, sebab nuzulnya adalah pertanyaan orang-orang musyrikin yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa beliau tidak mengetahui ilmu gaib. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menjawab
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”
Dalam ayat yang lain,
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)
Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa kemudharatan ketika Perang Uhud, yaitu beliau terluka dan lainnya. Ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui banyak hal. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sebagian ilmu gaib yang Allah subhanahu wa ta’ala beritahukan kepadanya.
Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Di antara bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti kita walaupun beliau seorang Rasul yang diistimewakan adalah beliau makan seperti kita makan. Beliau merasakan lapar sebagaimana kita merasakan lapar. Beliau buang hajat sebagaimana kita buang hajat. Beliau merasakan lelah, letih, tidur, dan sakit maka begitu juga kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sebagaimana kita menikah. Beliau memiliki anak seperti kita yang memiliki anak. Kita akan meninggal, begitu juga dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar: 30)
Allah menurunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk manusia, bukan dalam bentuk malaikat, tujuannya adalah agar bisa kita teladani. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa beliau tidak ada bayangannya dan dari tubuhnya keluar cahaya, maka bagaimana kita bisa mencontohi Nabi? Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak buang hajat, lalu bagaimana kita bisa belajar tentang istinja? Maka yang benar bahwasanya Rasulullah seperti kita, hanya saja beliau diberikan kelebihan dan mukjizat, sebagai pembeda antara dirinya dengan manusia biasa.
Kemudian firman-Nya,
يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”
Banyak Ahli tafsir mengatakan bahwasanya maksud dari ayat ini adalah larangan riya dalam beribadah([2]). Jika seseorang ingin melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka seseorang jangan berbuat riya’. Hendaknya seseorang waspada dalam beribadah, karena ibadah yang ikhlas pahalanya sangat besar, yaitu melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Tantangannya juga berat, yaitu seseorang harus ikhlas dan tidak mencari pujian sama sekali. Karena jiwa kita ini lemah, ingin dipuji, ingin pamer, ingin menyebut-nyebut kehebatan agar diakui, disanjung, dan dihormati orang. Sehingga jika muncul perasaan seperti tersebut, hendaklah seorang ingat ayat ini. Jika ingin melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala, maka jangan berbuat syirik. Jika terlanjur berbuat syirik maka segera istighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang kita cari pujiannya pada hari kiamat tidak bisa menolong kita sama sekali, walaupun dia memuji kita setinggi langit, maka itu tidak akan bermanfaat sama sekali.
________________
Footnote :