54. وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِى هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ أَكْثَرَ شَىْءٍ جَدَلًا
wa laqad ṣarrafnā fī hāżal-qur`āni lin-nāsi ming kulli maṡal, wa kānal-insānu akṡara syai`in jadalā
54. Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
Tafsir :
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.”
Banyak perumpamaan dengan berbagai macam model yang menghantarkan seseorang kepada akhlak yang mulia, akidah yang benar, keimanan. Yang membuat seseorang berpikir dengan permisalan tersebut antara kebatilan dengan kebenaran, dan membuat seseorang berpikir dengan permisalan tersebut antara tauhid dan kesyirikan. Di dalam Al-Quran sangat banyak perumpamaan agar seseorang merenungkan tentang hakikat dunia dan hakikat akhirat, akan tetapi manusia adalah makhluk yang suka membantah. Sikap suka membantah ini adalah sifat dasar manusia, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yasin: 77)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa manusia yang berasal dari air mani kemudian menjadi orang yang membangkang. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhori dan Al-Imam Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala anhu, beliau bercerta tentang dirinya,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَقَهُ وَفَاطِمَةَ – عَلَيْهَا السَّلاَمُ – بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُمْ: «أَلاَ تُصَلُّونَ؟»، فَقَالَ عَلِيٌّ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا أَنْفُسُنَا بِيَدِ اللَّهِ، فَإِذَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَنَا بَعَثَنَا، فَانْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالَ لَهُ ذَلِكَ، وَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيْهِ شَيْئًا، ثُمَّ سَمِعَهُ وَهُوَ مُدْبِرٌ، يَضْرِبُ فَخِذَهُ وَهُوَ يَقُولُ: {وَكَانَ الإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا}،
“sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam membangunkannya di malam hari, dan juga beliau bangunkan Fatimah binti Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, beliau berkata kepada mereka: “Tidakkah sebaiknya kalian mendirikan shalat? Kata Ali, kujawab “Wahai Rasulullah, jiwa kita ada di tangan Allah, kalaulah Dia berkenan membangunkan kita niscaya Dia pasti membangunkan.” Lantas Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pergi ketika Ali menjawab demikian, dan sama sekali tidak membalas lagi, kemudian Ali mendengar Nabi membaca sebuah ayat ketika kembali sambil menepuk pahanya, ayat yang beliau baca: ‘(Sungguh manusia itu makhluk yang suka membantah) (QS. Al Kahfi; 54).“ ([1])
Rasulullah tidak membalas perkataan ‘Ali dikarenakan perkataan Ali benar, karena memang jiwa kita di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Namun seseorang tidak boleh berdalil dengan takdir untuk melegalkan kesalahan yang dia lakukan. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi([2]). Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi tanpa mengingkari, sambil memukul pahanya beliau mengingatkan ‘Ali dengan membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا “dan manusia itu makhluk yang suka membantah”. Hadits ini sebagai dalil bahwa seseorang tidak boleh berdalil dengan takdir untuk melegalkan kesalahannya. Para ulama mengecualikan bolehnya berdalil dengan takdir jika dalam rangka bertobat atau untuk musibah yang menimpanya agar dia sadar, adapun jika digunakan untuk pembenaran kesalahan maka ini tidak diperbolehkan, seperti perdebatan Nabi Adam dengan Nabi Musa,
احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلاَمِهِ، وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً؟ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى “
“Adam dan Musa saling berdebat. Musa mengatakan; ‘Hai Adam, engkau adalah bapak kami, sungguh engkaulah yang telah menelantarkan kami dan mengusir kami dari surga’. Adam menjawab; ‘Hai Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya, dan Allah telah memberi catatan-catatan untukmu dengan tangan-Nya, apakah kamu mencelaku karena suatu hal yang telah Allah takdirkan bagiku sejak empat puluh tahun yang lalu sebelum Dia menciptaku?’ Adam akhirnya bisa mengalahkan debat Musa.” ([3])
Oleh karenanya para ulama mengatakan, jika seseorang berdalil dengan takdir untuk musibah yang menimpanya agar dia sadar maka tidak mengapa. Adapun jika dia berdalil dengan takdir untuk pembenaran apa yang dilakukan maka ini tidak diperbolehkan, seperti yang dilakukan oleh Ali yang kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya. Begitu juga dengan apa yang terjadi antara Umar bin Al-Khotthob dengan seorang pencuri yang kemudian pencuri tersebut berkata: wahai amirul mukminin aku mencari karena takdir Allah, lalu Umar bin Al-Khottob menjawab bahwa tangan pencuri tersebut juga dipotong karena takdir Allah([4]).
Jadi asalnya sifat suka mendebat ada pada diri kita. Namun kita tidak separah orang kafir yang suka mendebat sampaipun masalah tauhid dan keimanan. Oleh karenanya dikatakan oleh para ulama bahwa dalam ayat ini menggunakan lafal وَكَانَ الْإِنْسَانُ “dan manusia” yang ini adalah lafal yang umum yang mencakup muslim dan kafir([5]). Sikap suka membantah ini adalah sifat dasar manusia, karena asal dasar sifat manusia adalah tidak mau ditegur. Hal ini dikarenakan seseorang jika ditegur seakan disalahkan, dan syaithan membuat seseorang yang ditegur seakan-akan dia rendah, salah. Sehingga diapun tidak mau ditegur karena merasa direndahkan. Hendaknya seseorang melawan sifat ini, karena itu semua dari syaithan.
Ayat ini lebih telak lagi bagi orang-orang musyrikin, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan penjelasan dalam Al-Quran dengan berbagai perumpamaan yang sangat gamblang, sementara kebanyakan pemuka kaum mausyrikin mereka pakar dalam bahasa Arab. Mereka mampu berbicara dengan Bahasa Arab secara fasih dan mereka mengerti apa yang diinginkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka suka berjidal/menentang kebenaran.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
“dan manusia itu makhluk yang suka membantah”
Di sini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata شَيْءٍ yang artinya sesuatu yang artinya bahwa manusia adalah sesuatu yang paling banyak berjidal. Ini untuk mengingatkan bahwasanya manusia hanyalah sesuatu dari sesuatu-sesuatu lain yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan agar seseorang tidak merasa sombong dan angkuh sehingga sukanya berjidal.([6])
_______________
Footnote :
([1]) HR. Bukhori no. 7347 dan Muslim no. 775
([2]) Lihat: Syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim 6/65 dan lihat juga penjelasan Ibnu Taimiyyah di Majmu’ al-Fatawa 8/244
([3]) HR. Bukhori no. 6614 dan Muslim no. 2652
([4]) Lihat: Fashlul Khitob Fiz Zuhd War Roqqooiq Wal Adab 4/177